Menguak Misteri ”Déjà vu”
Di tengah keasyikan menonton sebuah teater, mendadak Andi terbawa ke masa silam. Ia yakin betul sudah pernah mengalami pengalaman yang sama persis dengan yang dialami detik itu juga. Pemandangan itu, musik itu, hingga ke warna baju orang di sebelahnya. Semua diyakini pernah ia alami sebelumnya. Tapi kapan dan di mana, lelaki itu tak pernah mampu mengingatnya.
Andi hanya satu dari sekian juta orang di dunia ini yang mengalami déjà vu. Apa itu déjà vu? Agak sulit menjelaskan definisi peristiwa yang lebih populer dalam bahasa Prancis ini. Namun yang jelas, kalau ditanya pernahkan kita ada pada suatu kondisi di mana merasa pernah mengalami sebuah peristiwa yang sama persis di masa lalu, maka jawabnya hampir selalu ya.
Definisi déjà vu secara ilmu kejiwaan, menurut Dr. Vernon Neppe MD, PhD, Direktur Pacific Neuropsychiatric Institute (PNI), adalah pengaruh subjektif mengenai anggapan adanya kesamaan pengalaman saat ini dengan masa lalu yang sulit dijelaskan. Sedangkan James Lampinen, profesor psikologi dari University of Arkansas mendefinisikan déjà vu sebagai perasaan begitu kuat mengenai adanya kesamaan global yang terjadi pada situasi baru. Kesamaan pengalaman dalam déjà vu ini bersifat keseluruhan, hingga setiap detail terkecil, mirip sekali dengan yang pernah dialami seseorang di masa lampau. Tapi pengalaman ini selalu disertai dengan perasaan tidak nyata.
”Kebanyakan orang pernah mengalami déjà vu. Dari survei yang pernah dilakukan, mayoritas responden menjawab ia pernah mendapatkan pengalaman déjà vu, minimal sekali dalam seumur hidupnya,” papar Lampinen seperti dilansir Scientific American.
Teori ini didukung oleh Neppe yang sempat mengadakan survei pada dekade 1980-an. Setidaknya 70 persen dari populasi yang pernah dijumpainya sempat mengalami déjà vu. Orang termuda yang pernah mengalami déjà vu dilaporkan berusia lima tahun.
Sampai saat ini memang belum ditemukan apa gerangan penyebab déjà vu. Namun beberapa pendekatan teoretis sudah pernah dilakukan. Sigmund Freud, ahli psikoanalisis itu sempat mengamati ihwal kondisi aneh ini. Menurut Freud, déjà vu terjadi ketika seseorang secara spontan teringat kembali pada sebuah fantasi yang muncul tanpa disadari. Karena hal ini tak disadari, maka kandungan fantasinya tidak bisa dicermati lebih lanjut. Ia hanya bisa teringat sepintas bahwa peristiwa yang terjadi detik itu sempat terlintas di benaknya entah kapan.
Proses Informasi
Lampinen yang memusatkan perhatian di bidang memori berpendapat, déjà vu kerap dijelaskan sebagai proses sebuah informasi. Herman Sno, misalnya, seorang psikolog asal Belanda yang memang ahli masalah déjà vu sempat menuturkan bahwa semua memori tersimpan dalam sebuah format di otak sama dengan yang digunakan untuk menyimpan gambar holografi. Yang dimaksud holografi oleh Sno adalah gambar tiga dimensi yang dihasilkan oleh sinar laser. Hasil gambarnya kita kenal dengan nama hologram.
Tidak seperti fotografi tradisional, setiap bagian hologram mengandung semua informasi yang diperlukan untuk menghasilkan gambar secara keseluruhan. Makin kecil sebuah bagian dipakai, makin sedikit kemiripan hasil gambar dengan aslinya.
Berangkat dari teori ini maka memori manusia bekerja dengan cara analog. Maka bisa disimpulkan bahwa pengalaman déjà vu terjadi ketika seseorang mengalami situasi yang cocok dengan yang pernah terlintas di benaknya di masa silam.
”Bisa juga dilakukan pendekatan déjà vu sebagai kecocokan model memori secara keseluruhan. Dari sisi ini maka sebuah situasi bisa jadi terkesan sama bagi satu atau dua orang sekaligus,” tutur Lampinen yang memiliki laboratorium khusus untuk menganalisis memori ini.
Usaha untuk memahami apa itu déjà vu juga melanda dunia neuro science (ilmu saraf) yang lebih memusatkan perhatian ke otak daripada kejiwaan manusia. Para ahli bidang ini membedakan memori menjadi dua bagian, yakni yang berasal dari ingatan kesengajaan dan keserupaan. Sebagai contoh, mayoritas orang bisa secara tak sengaja teringat pada ciuman pertamanya. Mereka secara mental mampu membawa dirinya kembali ke masa lalu. Tapi ada saatnya kita bertemu seseorang yang sudah pernah kita jumpai sebelumnya tanpa ingat kapan dan di mana.
Para ilmuwan percaya bahwa sistem memori termasuk di dalamnya korteks bagian depan dan media hippocampus bisa mengumpulkan kembali memori lama secara tidak disengaja. Hal ini terhubung juga dengan parahippocampal gyrus yang menjadi media perasaan adanya kesamaan.
Josef Spatt dari University of Lyon, Prancis merupakan orang pertama yang berargumen bahwa déjà vu bisa terjadi ketika parahippocampal gyrus dan area yang terhubung teraktifkan dalam keadaan normal sesuai berfungsinya korteks bagian depan beserta hippocampus. Kondisi ini menghasilkan sebuah perasaan kuat yakni keyakinan adanya kesamaan suatu peristiwa tapi tidak diikuti dengan ingatan yang disengaja. Dalam hal ini maka kita tak mampu mengingatnya seperti saat kita mengenang ciuman pertama kita beberapa tahun silam.
Hingga hari ini, penelitian ihwal pengalaman aneh ini masih terus dilakukan. Dan mirip dengan mimpi, déjà vu sangat sulit dijelaskan dengan mudah dan sederhana. Bahkan beberapa kalangan rohaniwan berpendapat bahwa déjà vu merupakan bukti adanya reinkarnasi. Betulkah? Agaknya déjà vu akan terus menjadi misteri.
Andi hanya satu dari sekian juta orang di dunia ini yang mengalami déjà vu. Apa itu déjà vu? Agak sulit menjelaskan definisi peristiwa yang lebih populer dalam bahasa Prancis ini. Namun yang jelas, kalau ditanya pernahkan kita ada pada suatu kondisi di mana merasa pernah mengalami sebuah peristiwa yang sama persis di masa lalu, maka jawabnya hampir selalu ya.
Definisi déjà vu secara ilmu kejiwaan, menurut Dr. Vernon Neppe MD, PhD, Direktur Pacific Neuropsychiatric Institute (PNI), adalah pengaruh subjektif mengenai anggapan adanya kesamaan pengalaman saat ini dengan masa lalu yang sulit dijelaskan. Sedangkan James Lampinen, profesor psikologi dari University of Arkansas mendefinisikan déjà vu sebagai perasaan begitu kuat mengenai adanya kesamaan global yang terjadi pada situasi baru. Kesamaan pengalaman dalam déjà vu ini bersifat keseluruhan, hingga setiap detail terkecil, mirip sekali dengan yang pernah dialami seseorang di masa lampau. Tapi pengalaman ini selalu disertai dengan perasaan tidak nyata.
”Kebanyakan orang pernah mengalami déjà vu. Dari survei yang pernah dilakukan, mayoritas responden menjawab ia pernah mendapatkan pengalaman déjà vu, minimal sekali dalam seumur hidupnya,” papar Lampinen seperti dilansir Scientific American.
Teori ini didukung oleh Neppe yang sempat mengadakan survei pada dekade 1980-an. Setidaknya 70 persen dari populasi yang pernah dijumpainya sempat mengalami déjà vu. Orang termuda yang pernah mengalami déjà vu dilaporkan berusia lima tahun.
Sampai saat ini memang belum ditemukan apa gerangan penyebab déjà vu. Namun beberapa pendekatan teoretis sudah pernah dilakukan. Sigmund Freud, ahli psikoanalisis itu sempat mengamati ihwal kondisi aneh ini. Menurut Freud, déjà vu terjadi ketika seseorang secara spontan teringat kembali pada sebuah fantasi yang muncul tanpa disadari. Karena hal ini tak disadari, maka kandungan fantasinya tidak bisa dicermati lebih lanjut. Ia hanya bisa teringat sepintas bahwa peristiwa yang terjadi detik itu sempat terlintas di benaknya entah kapan.
Proses Informasi
Lampinen yang memusatkan perhatian di bidang memori berpendapat, déjà vu kerap dijelaskan sebagai proses sebuah informasi. Herman Sno, misalnya, seorang psikolog asal Belanda yang memang ahli masalah déjà vu sempat menuturkan bahwa semua memori tersimpan dalam sebuah format di otak sama dengan yang digunakan untuk menyimpan gambar holografi. Yang dimaksud holografi oleh Sno adalah gambar tiga dimensi yang dihasilkan oleh sinar laser. Hasil gambarnya kita kenal dengan nama hologram.
Tidak seperti fotografi tradisional, setiap bagian hologram mengandung semua informasi yang diperlukan untuk menghasilkan gambar secara keseluruhan. Makin kecil sebuah bagian dipakai, makin sedikit kemiripan hasil gambar dengan aslinya.
Berangkat dari teori ini maka memori manusia bekerja dengan cara analog. Maka bisa disimpulkan bahwa pengalaman déjà vu terjadi ketika seseorang mengalami situasi yang cocok dengan yang pernah terlintas di benaknya di masa silam.
”Bisa juga dilakukan pendekatan déjà vu sebagai kecocokan model memori secara keseluruhan. Dari sisi ini maka sebuah situasi bisa jadi terkesan sama bagi satu atau dua orang sekaligus,” tutur Lampinen yang memiliki laboratorium khusus untuk menganalisis memori ini.
Usaha untuk memahami apa itu déjà vu juga melanda dunia neuro science (ilmu saraf) yang lebih memusatkan perhatian ke otak daripada kejiwaan manusia. Para ahli bidang ini membedakan memori menjadi dua bagian, yakni yang berasal dari ingatan kesengajaan dan keserupaan. Sebagai contoh, mayoritas orang bisa secara tak sengaja teringat pada ciuman pertamanya. Mereka secara mental mampu membawa dirinya kembali ke masa lalu. Tapi ada saatnya kita bertemu seseorang yang sudah pernah kita jumpai sebelumnya tanpa ingat kapan dan di mana.
Para ilmuwan percaya bahwa sistem memori termasuk di dalamnya korteks bagian depan dan media hippocampus bisa mengumpulkan kembali memori lama secara tidak disengaja. Hal ini terhubung juga dengan parahippocampal gyrus yang menjadi media perasaan adanya kesamaan.
Josef Spatt dari University of Lyon, Prancis merupakan orang pertama yang berargumen bahwa déjà vu bisa terjadi ketika parahippocampal gyrus dan area yang terhubung teraktifkan dalam keadaan normal sesuai berfungsinya korteks bagian depan beserta hippocampus. Kondisi ini menghasilkan sebuah perasaan kuat yakni keyakinan adanya kesamaan suatu peristiwa tapi tidak diikuti dengan ingatan yang disengaja. Dalam hal ini maka kita tak mampu mengingatnya seperti saat kita mengenang ciuman pertama kita beberapa tahun silam.
Hingga hari ini, penelitian ihwal pengalaman aneh ini masih terus dilakukan. Dan mirip dengan mimpi, déjà vu sangat sulit dijelaskan dengan mudah dan sederhana. Bahkan beberapa kalangan rohaniwan berpendapat bahwa déjà vu merupakan bukti adanya reinkarnasi. Betulkah? Agaknya déjà vu akan terus menjadi misteri.
No comments:
Post a Comment