Buddha Membentuk Negara Duniawi




buddha-images
Jika Tiongkok kuno dikatakan sebagai keturunan sang Naga, kalau begitu India kuno pun bisa dikatakan sebagai penerus Boddhisattva. Belum lama ini, di museum sejarah nasional, Taipei/Taiwan telah dipamerkan 169 buah benda pameran yang berasal dari museum Calcutta. Melalui proses sejarah yang sudah 5.000 tahun lamanya, kita telah dapat melihat sebuah negara duniawi yang diciptakan oleh Buddha.

Tidak Menghargai Sejarah

Karena pengaruh daripada budaya penyebaran Buddha, maka orang India itu percaya sekali akan reinkarnasi, kehidupan itu datang ke dunia ini sesuai dengan karma sebab-akibatnya, bagai rembulan menyinari datang ke bumi, hari demi hari, dengan demikian India pun peroleh nama seperti ini. Tidak hanya itu saja, orang India pun percaya bahwa segala sesuatu di dunia ini ada di tangan sang dewa, diciptakan dan dimusnahkan sesuai hukum tertentu, ketika sebuah siklus berakhir, seluruh alam semesta, dewa-dewi, binatang dan materiil akan ditelan oleh air bah besar, lewat kondisi kacau balau suatu saat, kemudian akan ada selapis langit Buddhis tercipta kembali, siklus ini berlangsung terus-menerus.


Berdasarkan legenda genesis orang India, mereka seolah-olah hidup dalam aliran sungai alam semesta, oleh karenanya mereka tidak menghargai sejarah. Karl Marx berkata: "Orang India tidak mempunyai sejarah!" Mereka tak punya gagasan kronologi sejarah, kalau berbicara tentang suatu peristiwa selalu 'pada dahulu kala, dahulu kala, ada seorang rajac.' Ditinjau dari kitab Buddha yang ada sekarang ini, kisah selalu berawal dengan: "Seperti apa yang saya dengar, ketika Buddha masih adac", di tengahnya diikutsertakan puisi puji-pujian pada sang Buddha, berulang-ulang fenomena tersebut secara terperinci memancari wajah asli saat itu. Kita dapat merasakan khidmatnya, serta hati orang yang takwa, tapi bagi orang modern yang terbiasa dengan keteraturan, suka akan ekspedisi dan menyelidiki, gemar analisa terperinci itu, sulit bisa menerima sepenuhnya pemikiran pada kepercayaan orang India yang begitu unik.


Yang jelas adalah bahwa tampaknya orang India itu tidak mementingkan turun-naik dan pasang-surut duniawi, yang mereka perhatikan ialah dunia Buddha dan Batara. Buddha Sakyamuni pernah bersabda, Buddha seperti butir pasir di sungai Gangga, banyaknya tak terhitung jumlahnya. Dalam agama Hindu mengatakan bahwa dewa-dewi mencapai tiga ratus tiga puluh tiga juta banyaknya. Sejarah legenda mereka, isinya bukan berkisah tentang para kaisar, menteri dan jenderal, cendekiawan atau gadis cantik rupawan serta rakyat jelata, tapi justru kisah tentang Buddha dan dewata.


Dua puisi terkenal dari India yakni Ramayana dan Mahabhrata, hampir dapat dikatakan sebagai ensiklopedinya orang India, budaya India naik ke permukaan lewat kisah epos/epik. Menurut versi Ramayana bahwa jagat raya ini terkandung unsur jagat raya dan berlapis-lapis tak terhingga. Strukturnya sangat mirip dengan apa yang ditemukan oleh ilmuwan sekarang mengenai komposisi kosmos yang terdiri dari lapisan-lapisan molekul, proton, atom hingga partikel mikrokosmis itu.

Kesenian Agama Buddha

Kesenian orang India mencerminkan kebudayaan penyebaran Buddha. Hal tersebut di atas mungkin tergolong masalah ilmu teologi, namun benda kesenian yang ditinggalkan India, penuh dengan citra khidmat sang Buddha. Seperti 'gajah putih masuk ke dalam janin', 'ramalan putra mahkota', 'kepergian sang Boddhisattva', 'sang Buddha dianugerahi jubah kebesaran', 'turunnya iblis dan mendapatkan Tao', 'putaran roda hukum elementer', 'nibanna nirwana' dan sebagainya menceritakan kultivasi Buddha Sakyamuni, mendapatkan Tao serta kisah tentang penyebaran agama Buddha. Generasi penerus mencatatnya dengan ukiran batu, tidak saja sebuah puji-pujian, tetapi lebih merupakan suatu ekspresi akan rasa hormat welas asih dan wibawa dari kebajikan sang Buddha.


Yang paling klasik ialah sebuah ukiran patung Buddha yang berasal dari Dinasti Janda Raja, bermeditasi pada posisi kaki silang sempurna, dengan sebuah selendang di bahu kiri, ada sebuah lingkaran di seputar kepala, hidung mancung dengan mata cekung, bermuka berewok serta atas kedua alis mata terdapat sebuah mata sakti. Ditinjau dari kontur ajaran Buddha, tampak berkaitan erat dengan peradaban orang Yunani berkulit putih yang pernah ada di India Utara. Seiring penyebaran agama Buddha ke Timur maka kesenian Buddhis yang penuh dengan langgam Yunani setelah Dinasti Merak, seperti "Jiantoro" dan "Jirto" tersebar luas, mempengaruhi kesenian Buddha China setelah Enam Dinasti.

Peradaban Agama India

Asal-muasal rumpun bangsa India, kalangan intelektual belum dapat memastikannya sampai dewasa ini. Cendekiawan Barat berpraduga berdasarkan alat-alat yang ada ciri khasnya memastikan peradaban India berasal dari Mesopotamia dan ada juga cendekiawan yang beranggapan berasal dari peradaban Aria.


Sang Buddha Sakyamuni sama seperti orang suci lainnya di India, beliau mengalami reinkarnasi dalam jurang penderitaan, melepaskan kehormatan sebagai pangeran, meninggalkan perasaan kasih sayang pada ayah, istri serta anak untuk berkultivasi sepenuh hati. Tepat seperti yang diutarakan kitab (Perjalanan Biksu Tong ke Barat), beliau mengajarkan bahwa segala sesuatu ini bagai disinari cahaya rembulan. Kala itu India dipengaruhi oleh peraturan kasta dan Brahman menguasai kepercayaan di India. Masa penyebaran ajaran Buddha mendapat gangguan dari hegemoni agama lain, berdasarkan kekuatan ajaran Buddha yang bagus, maka India lalu menjadi sebuah negara yang taat pada ajaran Buddha-nya.


Setelah Boddhisattva Sakyamuni mencapai nirwana, agama Buddha mulai merosot, orang India kemudian banyak beralih ke agama Hindu dan agama Zena tua, muncul banyak agama lainnya, agama Buddha mundur dari percaturan agama di India, menyusuri jalur utara dan selatan, menyebar ke wilayah Timur (China). Ditilik dari hasil karya kesenian pada 'budaya baru' itu, diketahui mereka tak mirip Buddha, sering ditemukan birahi cinta, bahkan bentuk kemurkaan, terdapat perbedaan yang mencolok jika dibanding dengan prinsip sang Buddha yang berpegang teguh ajaran belas kasih serta kearifan, cara mengekspresikan dan mengimplikasikannya pun sangat berlainan

No comments: