Dibalik Pesona "Heaven IN Exile"
Kartu-kartu domino itu terus berjatuhan. Setelah meruntuhkan tembok Berlin, kartu selanjutnya memicu meletusnya revolusi permadani di seluruh Negara-negara Eropa Timur anggota Pakta Warsawa. Sebelum akhirnya memangsa induknya sendiri, Uni Soviet, yang statusnya bubar sebagai Negara tepat pada natal 1991, saat Mikhail Gorbachev memimpin negeri beruang merah tersebut. Suatu kemenangan yang mempeti-eskan Perang Dingin, sekaligus membalikkan roh demokrasi sebagai martabat yang paling hakiki dari sejarah kemanusiaan.
Pematik semangat perubahan ini sesungguhnya telah dimulai bulan April 1989 ketika gerakan Solidarnosc pimpinan Lech Walesa berhasil menyatukan hati para buruh galangan kapal Polandia (khususnya Gdanks) menentang pemerintahan tiran jendral Wojciech Jeruzelski. Kekompakan serta determinasi gerakan Solidarnosc akhirnya berhasil menyeret pemerintah komunis Polandia untuk berunding dengan mereka, sebelum menyetujui agenda pendirian Serikat buruh Independen, pembatasan kekuasaan eksekutif dan pembentukan senat pada tanggal 4 Juni tahun itu juga.
Tepat pada saat yang sama, nun jauh di bulevar Chang’an, area Tiananmen, Beijing, berdiri dengan tegar, Wang Weilan, seorang pemuda kerempeng berusia menjelang 20-an, mengenakan hem putih, menjinjing tas kresek warna dadu. Sendirian, dengan meyakinkan dia menghadang laju empat tank dari kekuatan Tentara Merah China yang tengah menjalankan perintah penumpasan gerakan reformasi mahasiswa di kawasan lapangan gersang yang kemudian menjadi sangat terkenal itu. Poster raksasa Mao Zedong yang dipajang di gerbang Balai Peringatan Mao yang juga adalah gerbang masuk kawasan wisata Kota Terlarang, menjadi saksi bisu peristiwa bersejarah itu.
Warga dunia terpana melihat citra yang tertangkap kamera pewarta foto mingguan Newsweek, Charlie Cole yang ada disana pada saat itu. Suatu image yang kemudian menjadi perihal representasi memori sejarah hitam penumpasan gerakan pro-demokrasi yang merengut ribuan jiwa pemuda dan mahasiswa Beijing. Sebentuk citra yang melanjutkan panorama penindasan serupa karya fotografer Marc Riboud dan Josef Koudelka di Hongaria dan Czeck, ketika gerakan pemuda dan mahasiswa negeri itu turun ke jalan menentang pemerintahan otoriter komunis yang bengis di penghujung dekade 1960-an.
Tragedi Tiananmen tersebut membuka tabir hati para majelis juri penghargaan Nobel untuk menganugerahi Dalai Lama, tokoh spiritual dan pemimpin kerajaan Tibet yang hidup dalam pengasingan di Dharamsala sebagai pemenang Nobel Perdamaian 1989. Dalam sambutan yang disampaikan pada 11 November 1989 ketika upacara penganugerahan penghargaan, Dalai Lama dengan elegan tetap mengemukakan perlawanan tanpa kekerasan (ahimsa) sebagai pilihan menentang pendudukan China di Tibet.
Penganugerahan Nobel tersebut menjadi pintu masuk untuk menyimak Tibet beserta pemimpin dan sebagian rakyatnya yang terpaksa hidup dalam pengasingan. Dalam pengasingan yang menginjak dasawarsa kelima di Dharamsala, Dalai Lama, yang membawa derita rakyatnya yang memendam rindu tanah kelahirannya, yang harus melihat dari jauh bagaimana kebudayaan Tibet punah secara perlahan-lahan, terus gigih mendorong perdamaian di muka bumi. Diperkirakan ada 6,1 juta warga Tibet yang hidup di sekitar limabelas kawasan di empat benua saat ini.
Sejarah negeri di puncak dunia yang kebudayaannya menginspirasi umat manusia dan kesusasteraan dunia itu ternyata bersimbah darah rakyatnya sendiri. Kerajaan Tibet yang merdeka dan berdaulat penuh itu dulunya sangat pasifis dan sentosa. Kenangan indah itu akhirnya harus berakhir setelah invansi dan kependudukan Tentara Merah China pada 1950. Penyerbuan yang mengobarkan perlawanan rakyat Tibet itu akhirnya padam setahun kemudian karena mereka tak kuasa menandingi persenjataan moderen pasukan pendudukan. Ibu kota Lhasa jatuh, pemerintahan China kemudian melucuti kekuasaan Tenzin Gyatso raja Tibet yang diberi gelar Dalai Lama XIV tersebut.
Pada 17 Maret 1959, Dalai Lama berhasil meloloskan diri ke India Utara dan oleh PM India Jawaharlal Nehru, diperkenankan tinggal di kawasan Dharamsala. Di kawasan yang indah dan juga kerap disebut sebagai “Little Lhasa” itu, Dalai Lama dan warganya hidup dan memimpin pemerintahan Tibet di pengasingan, hingga detik ini. Limapuluh tahun kemudian perlawanan, perlawanan “underground” tokoh kunci gerakan perlawanan ternyata hanya memanjangkan daftar putra-putra Tibet yang meninggal dunia karena membela tanah air mereka. Penumpasan besar-besaran yang dilakukan tentara merah pada 1970 hanya menghentikan sementara gerakan bawah tanah di Tibet.
Dataran tinggi Tibet merupakan dataran tinggi yang luas di Asia Timur. Terhampar di pelataran pegunungan Himalaya yang meliputi sebagian besar Tibet dan propinsi Qinghai di Republik Rakyat China, serta provinsi ladakh di Kashmir. Tibet berbatasan dengan Nepal, Bhutan, India serta Xinjiang, Qinghai dan Sichuan di China. Dataran tinggi ini luasnya 2,5 juta kilometer persegi (1.000 kali 2.500 kilometer), dengan ketinggian rata-rata 4.500 di atas permukaan laut. Karena letaknya yang tinggi, kawasan dataran tinggi Tibet mendapat julukan sebagai “atap dunia” atau puncak dunia.
Ada jiwa yang hilang dalam penglihatan yang disaksamai empat fotografer, Enrico Soekarno, Jay Subyakto, Kris Suharnoko, Yori Antar, ketika berkunjung ke pelataran langit Lhasa, ibukota Tibet. Bagi mereka yang berziarah di serambi langit yang misterius itu, Lhasa tidak lagi menggetarkan hati, Ibukota Lhasa telah berubah menjadi kota besar yang hampa. Kota yang tercerabut akar budayanya karena dibangun tanpa selera konsep arsitektur yang setara dengan keagungan budaya Tibet yang berusia sangat tua. Ada upaya pemusnahan akar budaya asli yang dipreteli perlahan-lahan dengan pembangunan-pembangunan infrastruktur yang masif.
Bulevar yang sangat luas sengaja dibangun di hadapan istana musim panas Potala di bukit kota Lhasa. Pembangunan fisik yang menelan keanggunan istana yang sangat indah itu dan membiarkannya merana teronggok di puncak bukit sana. Tak ada lagi image yang fantastis yang sebelumnya terungkap dari dalam etsa kuno ataupun sumber visual seperti postcard-postcard lama, bahkan citra yang terkesan dari novel Pearl S Buck dan James Hilton. Tak ada lagi imajinasi tentang Shangri-La, pohon-pohon tua yang berserakan di antara semak belukar dan taman-taman alamiah yang tumbuh di kawasan yang sekarang menjadi jalan raya gersang nan luas yang dilalu-lalangi kuda-kuda besi buatan China dan Negara industri lainnya.
Sesungguhnya “empat sekawan” fotografer ini awalnya hanya ingin membuktikan mimpi yang menjadi kenyataan dengan menggapai atmosfir langit dari puncak dunia. Dari surge yang tercabik, kata Jay Subyakto. Atap dunia dengan panorama yang sarat dengan aura spiritual dan bermukim disegenap indra. Penglihatan, penciuman, pendengaran. Semuanya. Kenang Yori Antar. Meskipun krish Suharnoko yang tak dapat menikmati, pesona Tibet sepenuhnya karena harus menaklukan penyakit ketinggian sepanjang ziarah mereka. Serta Enrico Soekarno yang merasa kehilangan Tibet dari otaknya.
Beberapa tahun kemudian, saat jutaan turis menikmati budaya Tibet yang tidak lagi asli seraya mencoba menikmati “yak butter” ala Lhasa, “empat sekawan” memutuskan berkunjung ke Dharamsala. Berkeliling lokasi di lembah Kangra, provinsi Himachal Pradesh, sebelum bersua Dalai lama serta tokoh-tokoh kunci pemerintahan Tibet di pengasingan. Karya-karya fotografi mereka disana mengungkapkan sisi kemanusiaan yang melengkapi kunjungan ziarah mereka sebelumnya. Suatu simpati atas orang-orang yang tercerabut kemerdekaannya. Mereka-mereka yang termajinalkan oleh ekspansi ideologi.
Heaven in Exile adalah sebentuk pameran fotografi yang dipersembahkan untuk menjunjung kebudayaan dan peradaban demokratis, mengumandangkan hakekat saling menghormati sebagai warga dunia, sekaligus menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Semacam refleksi solidaritas bagi mereka-mereka yang menderita akibat pembunuhan, penindasan, kekerasan dan genosida kebudayaan. Di Gaza, Sidon, Myanmar, Laos, Balkan, di Konservasi Aborijin, di areal Zapatista Meksiko, di Poso dan disetiap jengkal manapun di permukaan bumi kita ini. Terlalu banyak kekerasan di bumi, teriak mendiang Robert Nesta Marley dalam syair yang sangat lantang.
Karenaya visual yang terekam kamera mereka semata-mata demi menghargai perjuangan panjang mereka-mereka yang terpasung dan termarjinalkan. Akankah kekerasan terus berada dalam lorong gelap, pada jalannya yang tak berujung?
For as long as space endures,
And for as long as living being remain,
Until then may I,
Abide to dispel the misery of the world
(Dalai Lama pada penghujung sambutan penganugerahan Nobel perdamaian 1989)
No comments:
Post a Comment