Ketidakstabilan Status Sang Nyai

Kehidupan sosial perempuan, baik itu perempuan Jawa maupun Eropa banyak dikaji di dalam cerita oleh para novelis abad XIX. Mereka mencermati proses sosial yang terjadi di dalam masyarakat kolonial dan menuangkannya ke dalam tulisan-tulisan. Para novelis yang terkenal di masa itu adalah Marie Sloot (menggunakan nama pena Melati van Java), Francois Junius, Mina Kruseman, Therese Hoven dan lain-lain. Pengarang yang disebut pertama dikenal sebagai tokoh yang menempatkan pribumi sebagai kaum yang memiliki superioritas moral, sedangkan yang lainnya-seperti orang Eropa lainnya-tidak. Salah satu novelnya berjudul De familie van den Resident bermaksud mengatakan bahwa seorang perempuan indo yang lahir dari pembantu Jawa yang mengenal peradaban jauh lebih baik daripada perempuan Belanda secantik apapun dia.

Perempuan Mestizo, Indies, Tionghoa, dan Inlander

Kata Mestizo atau Eurasia atau indo mengarah pada orang yang berdarah campuran Eropa dan Asia, yang mereka memiliki kehidupan sosial tersendiri dan terpisah dari kehidupan masyarakat Eropa. Kata Indies digunakan untuk merujuk orang yang lahir di Eropa, namun tinggal di Indonesia dan melakukan kebiasaan Mestizo, bukan Eropa lagi. Atau kebalikannya, seorang anak yang lahir dari nyai Jawa namun tinggal dengan ayahnya dan diakui, dan menerapkan kehidupan Eropa juga dapat disebut Indies. Kelompok Tionghoa merupakan kelompok tersendiri yang disebut dengan istilah Timur Asing. Mereka kebanyakan berprofesi di bidang niaga, dan menjadi saingan bisnis orang-orang Eropa. Selanjutnya, inlander adalah penduduk pribumi pada umumnya, atau orang indo yang tidak diakui oleh ayahnya. Golongan indo masuk dalam sebuah lingkaran kehidupan sosial yang rumit. Mereka ada yang berasal dari anak perempuan pribumi yang menikah dengan imigran secara sah, namun ada juga yang merupakan anak dari seorang gundik. Jika mereka anak yang sah, hal itu tidak menjadi masalah, namun jika mereka adalah anak-anak dari seorang gundik, hal ini sedikit rumit.

Nyai, Sang Pengatur Urusan Rumah Tangga

Pada masa VOC, batasan boleh atau tidaknya menikah adalah berdasar agama Kristen atau non Kristen. Akan tetapi, dibuatlah undang-undang pada tahun 1848, yang menghilangkan batasan agama untuk pernikahan. Oleh karenanya, orang Eropa boleh menikahi orang Asia dengan syarat mematuhi hukum eropa yang berlaku. Mahalnya biaya untuk formalitas perempuan asia yang ingin “berpindah” menjadi Eropa menyebabkan praktik perbudakan sebagai gundik masih banyak terjadi.

Kata “Nyai” yang merupakan istilah yang biasa digunakan untuk panggilan seorang gundik ini dikenal di Jawa, Sunda dan Bali. Keberadaan kata yang telah ada sejak zaman VOC ini diperkirakan berasal dari Bali karena pada waktu itu Bali adalah pemasok budak.[1] Budak-budak inilah yang kemudian menjadi gundik di waktu selanjutnya, karena peraturan yang menyatakan dihapusnya perbudakan tahun 1860.

Nyai, oleh karenanya dapat dikatakan berasal dari status paling bawah-masyarakat paling miskin. Selama ini mereka menjadi nyai dinilai karena kepentingan meterial, atau hanya karena iseng. Jikalau alasan itu yang selama ini dilontarkan, lalu bagaimana dengan alasan kebutuhan para laki-laki imigran? Mereka yang pada dasarnya pembantu rumahtangga menjadi pengatur kehidupan domestik para tuannya: memasak makanan, membersihkan rumah, dan melayani kebutuhan seks, serta mereka juga bersolek dengan pakaian khusus para nyai sebagai simbol status. Mereka mencegah para tuannya agar tidak mengunjungi tempat-tempat pelacuran, sehingga dapat mengurangi terjadinya penyakit kelamin. Sebenarnya, Nyai tidak hanya diambil oleh para laki-laki Eropa, namun juga Tionghoa. Akan tetapi, di sini bahasan akan dikerucutkan kepada kelompok yang disebut pertama.

Ketika pegawai perkebunan Belanda harus lajang, karena keberadaan perempuan (Eropa) dinilai akan menambah biaya hidup yang dikeluarkan oleh perkebunan dan akan mengganggu aktivitas mereka dalam bekerja, maka disarankan agar mereka memelihara nyai di rumah. Dalam pada itu, pergundikan dan pelacuran adalah realitas sehari-sehari di kalangan tentara. Mereka hidup di tangsi-tangsi bersama nyai, disamping ada juga tentara pribumi yang hidup bersama istri dan anak-anaknya.

Nyai boleh dikatakan tidak memiliki hak atas apapun, atas anak yang dilahirkannya dari hasil samenleven, bahkan ketika sang imigran itu secara resmi menikahinya. Tak jarang suami membatasi ibu pribumi untuk bertemu dengan anaknya karena mereka berada di tempat yang berbeda untuk dididik secara barat. Ketika sang imigran menikah dengan perempuan Eropa, nasib anak nyai semakin dilematis: apakah diakui dan menjadi bagian dari kelompok Eropa, dan hidup bersama ibu tiri, ataukah tidak diakui dan kembali bersama ibu kandungnya menyandang gelar pribumi.

Ketidakstabilan Status

Menarik untuk dicermati, bahwa di satu sisi nama-nama seperti Kembang dan Njai Dasima ini sulit untuk diterima di masyarakat karena citranya yang tidak berbeda jauh dengan pelacur. Akan tetapi, ketika nyai berada serumah dengan laki-laki imigran, meskipun statusnya belum dinikahi secara sah, mereka secara lahiriah diperlakukan secara terhormat dengan istri sah dan seakan-akan mendapatkan kenaikan status. Mereka seperti telah menjadi bagian dari kehidupan para tuannya. Apalagi jika kemudian tuannya menikahinya, maka nyai mengalami kenaikan status secara resmi-menjadi bagian dari orang Eropa. Akan tetapi ketika tuannya menikahi orang Eropa lain, maka ia biasanya akan diusir, bersama anak-anaknya atau tidak, dan kembali menjadi kaum inlander yang berstatus sosial rendah dan digunjingkan.

Keadaan seperti di atas mencerminkan betapa status sosial masyarakat di masa kolonial dinilai dari ras apakah Eropa, pribumi, atau Timur Asing. Sepandai dan secantik apapun dia juka pribumi, maka tetap saja statusnya rendah. Disisi lain, perempuan-perempuan Belanda yang malas, dan cenderung bodoh dinilai berstatus tinggi.

Status sosial perempuan pribumi dan indo tidak stabil karena ditentukan oleh siapa ia berpasangan. Jika nyai sudah tidak dibutuhkan, mereka diusir dari rumah dan menjadi pribumi. Anak-anak indo dapat membuktikan betapa tidak stabilnya status sosial di masyarakat kolonial ini. Jika ayah mereka mengakui mereka sebagai sebagai voorkinderen (anak sebelum pernikahan), atau mengadopsi mereka (anak tidak sah biasanya nama mereka dibalik dari nama ayahnya, contoh: Kjidsmeir dari Riemsdijk) maka status mereka naik menjadi Eropa, jika tidak mereka adalah anak-anak inlander Indonesia.

[1] Tinneke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor: 2007), hlm. 38.

ika tantri

No comments: