Ramalan Biksu Danchoukun (Lengsernya Soeharto)
“Saya mengenalnya pertama kali pada tahun 1987, ketika menjabat Kasgarnisun, “Kata Kentot dalam wawancara dengan majalah Tajuk (edisi 11 Juni 1998)”. ”Danchoukun bisa melihat nasib seseorang. Ramalannya memang tepat. Saya sendiri mengalaminya.” Danchoukun bertemu dengan Soeharto yang saat itu masih menjabat sebagai presiden. Semua mendapat giliran ketemu dengan tokoh itu, termasuk Kentot yang mendapat giliran paling akhir bertemu secara khusus dengan sang Biksu.
Karena sudah pernah mengenal, Danchoukun tersenyum kepada Kentot. Kemudian ia mengambil kertas putih dari dalam saku bajunya. Di kertas itu, ada lima foto dengan urutan dari atas : Try Sutrisno, Habibie, Siswono Yudohusodo, Feisal Tanjung dan Moerdiono. Melalui penerjemahnya, Danchoukun menanyai Kentot Harseno, “Siapa menurut Harseno yang patut untuk menggantikan Pak Harto?”. Kentot menunjuk nomor satu. Danchoukun mengangguk-angguk. Setelah itu ia bicara tentang diri Kentot sendiri, kemudian makan bersama. Tanpa ngomong apa-apa, Donchoukun memasukkan kembali kertas itu ke kantungnya. Setelah Danchoukun pergi, penerjemahnya bercerita kepada Kentot.
“Tadi pagi kita dihadapkan pada Pak Harto di Cendana. Kertas yang tadi itu dari Pak Harto. Pada kesempatan itu, Pak Harto bertanya kepada Danchoukun, “Dari lima orang ini siapa yang patut menggantikan saya?”, Danchoukun menjawab, “nomor satu”. Pak Harto lalu nanya: “Yang nomor dua gimana?”, Danchoukun menjawab, “Jangan, orang ini ambisius dan oportunis”. Kentot mengaku ingat betul detail omongan penerjemah itu.
Masih menurut si penerjemah, saat itu Pak Harto bertanya lagi tentang nasib dirinya sendiri. Danchoukun mengatakan, bahwa yang sekarang ini adalah yang terakhir. Maksudnya, periode 1993-1998 adalah kesempatan terakhir untuk berkuasa. Tahun 1994 adalah term keenam Soeharto sebagai presiden. Itu berarti, pada tahun 1998 seyogianya Soeharto tidak lagi mencalonkan diri menjadi presiden.
Kata si penerjemah, Pak Harto mengangguk-angguk mendengar nasihat Danchoukun. Berarti ia paham dengan maksudnya. Tapi di kemudian hari, mungkin saja Pak Harto lupa. Kalau misalnya Soeharto ingat nasihat Danchoukun mungkin nasibnya lain. Andaikan Pak Harto ingat adanya pertanda alam, yaitu wafatnya Ibu Tien, ia pasti tidak akan memaksakan diri dengan mengeluarkan pernyataan politik yang intinya menghindari tinggal glanggang colong playu (sikap tidak ksatria dengan meninggalkan tanggung jawab). Sebetulnya, kalau pun pada Maret 1998 tidak lagi mencalonkan diri sebagai presiden, tidak akan muncul kesan ia menghindari masalah. Sebab, mundurnya Soeharto merupakan bagian dari solusi masalah yang saat itu menghimpit bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment