15 Januari 1974, Sebuah Tragedi
Menurut asvi warman adam, kontroversi sejarah indonesia disebabkan oleh 3 hal, 1) interpretasi yang tidak tepat; 2) fakta yang tidak lengkap; dan 3)fakta dan interpretasi yang tidak jelas. Begitu juga yang terjadi pada tragedi-tragedi sejarah yang terjadi pada masa orde baru, hampir semuanya merupakan kontroversi yang belum terpecahkan sepenuhnya hingga sekarang. Selain karena termasuk sejarah kontemporer sehingga bukti-bukti kejadian belum terungkap seluruhnya, meninggalnya tokoh kunci orde baru (Soeharto) juga menjadi penyebab kenapa tragedi pada masa orde baru banyak meninggalkan teka-teki
Salah satu kejadian yang cukup kontroversial pada orde baru adalah peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan Malari. Peristiwa ini terjadi tepat pada saat kunjungan Perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia. Jepang pada saat itu dianggap sebagai pemeras ekonomi Indonesia karena mengambil lebih dari 53% ekspor (71% diantaranya berupa minyak) dan memasok 29% impor Indonesia, selain itu investasi jepang yang semakin bertambah dari waktu ke waktu di Jawa dianggap membunuh pengusaha-pengusaha kecil pribumi. Hal ini mendapat perhatian dari masyarakat khususnya kalangan mahasiswa. Tepat pada hari kedatangan PM Jepang Tanaka, mahasiswa se-Indonesia melakukan aksi bersama di pusat ibukota. Pergerakan ini dipimpin oleh Hariman Siregar yang saat itu menjabat sebagai ketua DMUI. Aksi apel besar yang dipusatkan dihalaman Universitas Trisakti ini tadinya merupakan aksi damai, namun tanpa disangka yang terjadi adalah perbuatan anarki diberbagai tempat di wilayah ibukota. Mobil, motor dan produk elektronik Jepang semuanya dibakar, bahkan gedung-gedung dan pusat perbelanjaan di Senen, Harmoni, pun ikut dibakar. korban-korban berjatuhan, dari yang luka kecil bahkan sampai korban jiwa ada. Total terdapat 11 korban jiwa, 75 luka berat, ratusan luka ringan, 775 orang ditahan, 807 mobil dan 187 motor dibakar, 160 kg emas raib. Selain itu terdapat 144 gedung yang porakporanda termasuk gedung Astra Toyota Motors, coca-cola, Pertamina, dan puluhan toko di proyek Senen.
Setelah diusut ternyata terdapat oknum-oknum gelap dibalik peristiwa Malari itu. Kenyataanya aksi pelajar dan mahasiswa itu telah ditunggangi oleh pihak tak bertanggung jawab. Pada siang hari itu, mahasiswa dan pelajar sedang melakukan apel besar untuk menolak modal Jepang terkait kedatangan PM Jepang, namun ternyata terdapat mahasiswa selundupan yang diduga telah dibayar oleh seseorang asisten pribadi presiden bernama Ali Moertopo untuk melakukan provokasi terhadap masyarakat agar melakukan kerusuhan sehingga terkesan kalau mahasiswa merupakan dalang dibalik kerusuhan ini. Ternyata peristiwa Malari ini bukan peristiwa yang sederhana, terdapat banyak faktor dan latar belakang yang menyebabkan peristiwa ini terjadi.
Dualisme (adanya dualisme yang terjadi dalam tubuh kekuasaan)
Pada awal masa pemerintahan orde baru, Indonesia berada pada keadaan ekonomi yang sangat buruk. Zaman orde lama yang sangat fokus pada manifesto politiknya meninggalkan masalah ekonomi pada masa orde baru, akibatnya terjadi inflasi besar-besaran, hutang yang menumpuk dimana-mana dan banyak masalah lainnya.
Soeharto yang saat itu menjabat sebagai presiden akhirnya membuat sebuah badan pembangunan nasional yang terdiri dari ekonom-ekonom anak buah soemitro djojohadikusumo. Tim yang disebut dengan ‘Mafia Berkeley’ karena hampir seluruh anggotanya merupakan lulusan University of California, Berkeley ini merupakan teknokrat yang menentukan seluruh kebijakan ekonomi dan anggaran negara pada masa itu. Tim ini terdiri dari dosen-dosen Universitas Indonesia yaitu, Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, J.B. Soemarlin, dan Dorodjatun Koentjoro-Jakti. Para teknokrat ini cukup berhasil dalam memulihkan keadaan ekonomi indonesia dengan kebijakan-kebijakan kapitalisnya namun cukup berimbas buruk pada ekonomi rakyat. Hal ini terjadi karena Indonesia berada pada keadaan dimana ekonomi nasional harus cepat dipulihkan. Kemudian para teknokrat itu pun membuat sebuah undang-undang mengenai penanaman modal asing dan melakukan kerja sama dengan IMF. Hal ini membuat hutang Indonesia meningkat drastis dalam waktu yang cepat.
Namun selain tim teknokrat Widjojo cs. Soeharto juga memiliki dua orang asisten pribadi yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardhani. Ali Moertopo adalah kepala operasi khusus (opsus) dan juga Aspri Presiden, hal ini membuatnya memiliki kekuasaan lebih untuk mengintervensi dan mengambil keputusan sendiri. kekuasaan ini digunakan untuk menaklukan lawan-lawan politiknya atau siapapun yang menghalangi jalannya. selain itu Ali Moertopo juga memiliki sebuah lembaga studi yang didirikan bersama Pater Beek untuk menjadi dapur dan think tank bagi pemerintah untuk mengkonsep sistem dan kebiajakan negara selanjutnya yaitu CSIS. Lembaga ini didukung oleh ilmuwan-ilmuwan lulusan eropa seperti Pang Lay Kim, Daoed Joesoef, Soedjati, Harry Silalahi, dan Hadisoesastro. Dari diskusi lembaga ini mengenai kebijakan yang seharusnya diambil oleh negara kedepan kemudain dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul “Dasar-dasar Pemikiran mengenai Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun”. Buku ini diterbitkan sendiri oleh lembaga studi tersebut dan mengatasnamakan Jenderal Ali Moertopo sebagai pengarangnya.
Dari kedua kubu inilah (ASPRI dan Teknokrat) kebijakan politik dan ekonomi nasional diambil. Dari kedua kubu ini jugalah kedisharmonisasian antar elemen aparatur negara terjadi. Dualisme ini muncul karena kebijakan masing-masing kubu bertolakbelakang. Yang lebih aneh lagi adalah ketika presiden Soeharto mengambil kebijakan untuk menjalankan langkah-langkah sesuai buku “Dasar-dasar Pemikiran mengenai Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” dari kubu Ali Moertopo dengan CSIS-nya namun menyerahkan tugas untuk menjalankanyannya pada Widjojo Nitisastro dengan tim Teknokratnya.
Persaingan Dua JenderalSelain Ali Moertopo, orang yang memiliki power dalam kepemerintahan adalah Pangkopkamtib Jenderal Purn. Soemitro. Soemitro dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974 mengakui kalau ada usaha untuk menetralisir dirinya yang dilakukan oleh Ali Moertopo. Hal ini dilakukan karena pak mitro dianggap menjadi penghalangnya dalam melakukan pengambil alihan kekuasaan dari Jenderal Soeharto. Ali Moertopo sendiri dalam buku itu digambarkan sebagai orang yang idealis. ‘Ali merupakan orang yang idealismurni dimana gerak-langkahnya didalam hidup dimotivasi oleh idealisme dan ambisi, dan bukan oleh dorongan uang, Namun sayangnya yang salah adalah permainan Ali Moertopo yang kurang terpuji, dengan budaya, mental, pola, dan tata pikir peninggalaan zaman Nasakom. ’.
Ali Moertopo dipercaya menjadi asisten pribadi Soeharto karena keberhasilannya melaksanakan tugas operasi khususnya meminimalisir jumlah partai sebagai partisipan pemilu dan menambah jumlah anggota partai Golkar. Hal ini diperintahkan oleh presiden dan dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto dan rezim orde baru. Kepercayaan ini dimanfaatkan oleh Ali Moertopo untuk menjalankan rencana-renacannya dalam mencapai kursi presiden.
Adapun langkah-langkah yang dia lakukan adalah membuat sebuah gerakan yang mampu membantunya dalam menggalang dukungan, akhirnya Ali mengambil alih GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) yang bermarkas di jalan Timor, Jakarta. Organisasi ini tadinya sudah hampir mati karena tekanan PKI pada masa revolusi namun kemudian pada tahun 1972 Ali mencoba menghidupkannya kembali dengan berusaha menarik partai tersebut ke Golkar. Lalu dijadikan sebagai wadah untuk menampung bekas-bekas pemberontak Darul Islam termasuk Dodo Kartosuwiryo, anak SM Kartosuwiryo, untuk bekerja padanya.
Sedangkan Soemitro dalam mencari dukungan melakukan kunjungan ke kampus-kampus di Indonesia, kecuali UI. Dalam setiap pidatonya di kampus kunjungannya, ia selalu menyinggung malasah ‘bentuk kepemimpinan baru’. Kemudian ini oleh sebagian pihak dianggap sebagai bentuk sosialisasi dalam menggalang dukungan untuk menggantikan Soeharto namun dia berdalih kalau dia melakukan kunjungan ke kampus-kampus karena disuruh oleh Soeharto untuk meredakan dan menenangkan keresahan mahasiswa akibat keadaan negara saat itu.
Mahasiswa sebagai kaum intelektual juga memainkan peranan penting dalam terjadinya peristiwa Malari. Banyaknya masalah yang terjadi setelah pemilu tahun ’71 seperti, cukong-cukong China yang sejahtera sementara pengusaha pribumi banyak yang gulung tikar, invasi produk Jepang, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah sebagai proyek mercusuar disaat ekonomi belum stabil sepenuhnya menyebabkan munculnya gerakan yang dibentuk kaum intelektual saat itu—misalnya Aksi Pelajar 70, Komite Anti Korupsi, Komite Anti Kelaparan, dan Anti TMII—dan ikut menghangatkan suhu politik.
Dilatarbelakangi oleh kejayaan angkatan ‘66 pada masa revolusi, kemudian keberhasilan mahasiswa thailand dalam menggulingkan presiden mereka, Thanom Kittiakachorn pada oktober 1973 juga membuat mahasiswa terpicu untuk melakukan sebuah perubahan.
Kronologi kejadianPeristiwa Malari sendiri bukanlah satu-satunya kejadian yang terjadi akibat masalah ekonomi pada saat itu. Jauh sebelum Malari terjadi telah ada aksi-aksi lain yang sebenarnya menjadi menjadi pemicu terjadinya Apel Tritura jilid II pada tanggal 15 Januari 1974 yang berujung huru-hara itu.
Diskusi ’28 Tahun Kemerdekaan Indonesia’
Acara ini digelar oleh Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) pada tanggal 13-16 Agustus 1973 dengan mengundang Soebadriosastrosatomo, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB. Simatupang kesimpulan dari diskusi ini adalah:
Perlunya praktik politik dan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah dan bukan sekedar diskusi-diskusi.
Dikalangan generasi muda dan tua masih terdapat perbedaan pandangan mengenai struktur politik serta lebih banyak kondisi dihadapi dalam merumuskan strategi bersama.
Ada dua pandangan dalam melihat praktik kekuasaan yaitu, melihatnya dari luar dan mengbahnya dari dalam.- Petisi 24 Oktober
Untuk memperingati sumpah pemuda DMUI menggelar sebuah diskusi yang mengundang perwakilan dari tiap-tiap angkatan mahasiswa: ’28, ’45, ’66. Adapun untuk pembicara adalah Soediro (perwakilan angkatan 28), B.M. Diah (mewakili angkatan 45), Cosmos Batubara (mewakili angkatan 66), dan juga Hariman Siregar. Ada juga pembicara lain seperti Emil Salim dan juga Frans Seda.
Dari hasil diskusi ini lahirlah ‘Petisi 24 Oktober’ yang dibacakan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
untuk memperingati hari pahlawan para mahasiswa yang terdiri dari 8 dewan mahasiswa antara lain UI, ITB, dan UNPAD. Membacakan sebuah ikrar mengenai kesatuan tekad dan meningkatkan solidaritas sesama mahasiswa.
Kedatangan ketua IGGI, sebuah organisasi yang mengatur hutang di Indonesia, disambut dengan demonstrasi dan poster-poster berisi kalimat protes dari mahasiswa. Hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta namun juga di Yogyakarta.
Diskusi mengenai untung rugi modal asing ini diadakan di Balai Budaya Jakarta oleh eks anggota Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia seperti, Mochtar Lubis, Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien. Diskusi ini menghasilkan sebuah ikrar yaitu ‘Ikrar Warga Negara Indonesia’ yang ditanda tanganni oleh 152 orang yang hadir.
Pada malam tahun baru ini DMUI menggelar sebuah malam renungan yang dihadiri oleh dosen dan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, dan Bandung. Malam itu Hariman Siregar membacakan sebuah pidato yang berjudul ‘Pidato Pernyataan Dari Mahasiswa’. Pidato itu dituding menjadi seruan untuk gerakan makar terhadap pemerintah. Dalam pidato itu menunjukkan bukti peran pemuda akan kepedulian terhadap keadaan bangsa dan pemuda bisa melakukan perubahan.
12 Januari 1974Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang diwakili oleh ketua dewan mahasiswa masing-masing bertemu dengan presiden. Pertemuan ini menghasilkan 6 tuntutan mengenai pemberantasan korupsi dan pembenahan ekonomi.
Karena tidak puas dengan hasil diskusi bersama presiden akhirnya seluruh mahasiswa yang hadir berkumpul kembali di Student Center UI di Salemba mereka memutuskan untuk melakukan sebuah apel akbar di halaman utama Universitas Trisakti pada tanggal 15 Januari 1974 untuk membacakan kembali tuntutan mereka.
Pada tanggal 14 Januari 1974, PM Jepang, Kakuei Tanaka, datang ke Indonesia. Dia disambut dengan demonstrasi kecil-kecilan di lapangan terbang Halim Perdanakusuma, kejadian ini membuat pemerintah memperketat penjagaan terhadap seluruh aksi mahasiswa.Tepat keesokan harinya, 15 Januari 1974, ratusan mahasiswa dan pelajar berkumpul di halaman Fakultas Kedokteran UI, Salemba, untuk melakukan longmarch ke halaman Universitas Trisakti. Rencananya nanti mereka akan membacakan Tritura Jilid II yang berisi 1) Bubarkan Aspri, 2)hentikan modal asing, 3)hukum para koruptor.
Namun kejadian ini digunakan oleh pemerintah untuk menjatuhkan mahasiswa. Ada Invicible Hand yang menyusupkan orang-orang bayaran untuk mengacaukan aksi dan melakukan provokasi sehingga terjadi huru-hara. Diduga orang yang melakukan ini adalah Ali Moertopo namun ada juga indikasi kalau Soeharto sendiri yang melakukan ini untuk menghentikan aksi mahasiswa.
Dari penjabaran diatas dapat ditarik kesimpulan kalau peristiwa Malari merupakan rekayasa dan belum bisa dibuktikan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab. Kebanyakan Sumber-sumber tertulis menyatakan kalau Ali Moertopo berada dibelakang ini semua namun karena yang bersangkutan telah tiada maka tak ada kepastian mengenai hal ini. Satu-satunya tokoh kunci yang menulis tentang peristiwa ini hanyalah Jend. Purn. Soemitro dan Hariman Siregar, selain itu tak ada pengulasan khusus mengenai peristiwa Malari.
Dari essai ini juga bisa ditarik kesimpulan kalau pemuda intelek khusunya mahasiswa sangat berpengaruh terhadap perubahan suatu bangsa. Apabila mahasiswa tak dipenuhi tunututannya (yang bermanfaat tentunya) bukan tak mungkin peristiwa sejenis Malari bisa terulang. Maka sudah seharusnya ada keharmonisan dan hubungan yang baik antara penguasa dengan kaum intelektual untuk membangun bangsa yang lebih baik.
Cahyono, Heru. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari ’74. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1998.
- Hasibuan, Imran dkk. Hariman & Malari, Gelombang Aksi Mahasiswa Menetang Modal Asing. Jakarta: Q-Communication. 2011.
- Cahyono, Heru. Peranan Ulama Dalam Golkar 1971-1980, Dari Pemilu Sampai Malari. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1992.
- Hisyam, Muhamad. Krisis Masa Kini Dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2003.
- Adam, Asvi Warman. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 2007.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. 2010.
- Harian Kompas 16 Januari 1947, No.168, Thn. Ke-IX
- http://www.scribd.com/doc/45659945/Peristiwa-15-Januari-1974 ditulis oleh Peter Kasenda, diakses pada 7 Januari 2012, pukul 8.40]
Ausof Ali
No comments:
Post a Comment