Al-Qadhi al-Fadhil, Sosok Penting dalam Perang Salib [2]



Hadia Ragheb Dajani-Shakeel dalam disertasinya, Al-Qadi al-Fadil: His Life and Political Career, menyebutkan bahwa proses eliminasi kerajaan Fatimyah dan peralihannya menjadi sebuah kesultanan Sunni dilakukan dalam tiga tahap:

Pertama, membersihkan administrasi pemerintahan serta kekuatan militer Mesir dari para pendukung Ismailiyah.

Kedua, mempersiapkan masyarakat melalui propaganda dan pendidikan yang mengkritisi keyakinan dan kebijakan Fatimiyah.

Ketiga, membangun dan mengokohkan administrasi serta militer yang mendukung kepemimpinan Shalahuddin.

Semua itu tidak mungkin dijalankan Shalahuddin tanpa adanya bantuan orang dalam di pemerintahan Mesir, dalam hal ini al-Qadhi al-Fadhil. Karena itu tidak salah jika seorang penulis, Muhammad al-Abdah, menyebutnya sebagai “among those who revived the Sunnah.”

Sejak masa itu, al-Qadhi al-Fadhil menjadi orang kepercayaan Shalahuddin al-Ayyubi.

Nasihatnya selalu didengar oleh sang Sultan, baik dalam masalah administrasi pemerintahan, ekonomi, maupun militer. Ia juga menjadi penasihat yang baik bagi Shalahuddin dan mengingatkannya terhadap hal-hal yang dituntun dalam agama. Ketika Shalahuddin sibuk berperang dan berusaha mengambil alih wilayah Mosul, sebuah kota Muslim di Irak yang belum mau tunduk pada kekuasaannya, ia tiba-tiba jatuh sakit.

Al-Qadhi al-Fadhil kemudian menasihatinya agar fokus dalam memerangi pasukan Salib. “Anda sebaiknya tidak lagi memerangi sesama Muslim setelah Allah memberikan kesembuhan,” katanya kepada Shalahuddin. “Anda sekarang mesti mengarahkan seluruh perhatian untuk memerangi pasukan salib.” Shalahuddin menerima nasihatnya itu.

Kedudukannya pada kesultanan yang dipimpin oleh Shalahuddin digambarkan dengan sangat baik oleh seorang penulis:

Al-Qadhi al-Fadhil, semoga Allah merahmatinya, merupakan (seorang petinggi) kesultanan Shalahuddin (al-dawla al-Shalahiyya). Ia merupakan sekretarisnya, wazirnya, tuannya, penasihatnya, serta penyuplai tentaranya. Ia menanggung seluruh bebannya, memerintah seluruh wilayahnya ... ketika sang Sultan sedang pergi (dari Mesir atau dari Suriah), ia memerintah sebagai wakilnya, atau membantu deputinya, baik deputinya itu merupakan salah satu adik atau anak Sultan.

Ia menerima kepercayaan itu hingga Shalahuddin meninggal dunia pada tahun 1193. Setelah itu, ia menarik diri dari dunia politik hingga ia meninggal dunia sekitar enam tahun kemudian. Kelihatannya, ia tidak merasa cocok dengan situasi politik selepas wafatnya Shalahuddin al-Ayyubi.

Di samping peranan politik, al-Qadhi al-Fadhil mempunyai banyak peranan penting lainnya. Ia mencatat berbagai peristiwa yang terjadi pada masa ia menjabat di pemerintahan dan catatannya itu berjumlah banyak dan menjadi rujukan bagi para sejarawan yang hidup setelahnya. Ia juga dikatakan mendirikan sebuah perguruan tinggi, Darb al-Mulukhiyah, di Kairo, dan tampaknya Abul Qasim al-Shatibi, seorang qari terkenal, menjadi salah satu pengajar utama di lembaga pendidikannya itu. Selain itu ia juga menerjuni bidang bisnis dan memiliki perniagaan di Hindia dan Maroko. Wallahu a’lam bis showab.

Semoga Allah merahmati al-Qadhi al-Fadhil dan orang-orang yang seperti beliau.*/Kuala Lumpur, 25 Dzulqaidah 1432/ 23 Oktober 2011

Referensi:

Al-Abdah, Muhammad. “Sunni Revival; A Slow Trickle that Grew into a Raging River,”
dalam http://www.sunnahonline.com/ilm/seerah/0049.htm
Dajani-Shakeel, Hadia Ragheb, Al-Qadi al-Fadil: His Life and Political Career,
Michigan: The University of Michigan, Ph.D., 1972.
Imam al-Dzahabi. Ringkasan Siyar A’lam Nubala’: Biografi Sahabat, Tabi’in, Tabiut
Tabiin, dan Ulama Muslim. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.
http://www.crusades-encyclopedia.com/alqadialfadil.html

Alwi Alatas

No comments: