Asal Usul Yahudi
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah سبحانه وتعالى,
Bahasan kali ini merupakan kelanjutan dari bahasan yang lalu yang berjudul “Yahudi dan Percaturan Dunia”, yaitu agar kita dapat memahami lebih jauh dan secara mendasar apakah yang menjadi sebab Yahudi itu sampai hari ini sedemikian “ganas”-nya kepada masyarakat dunia. Hendaknya kita mempelajari akar permasalahannya berdasarkan Al Qur’an.
Allah سبحانه وتعالى berfirman dalam QS. Al Hadiid 57:26 sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan kepada keturunan keduanya kenabian dan Al Kitab, maka di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka fasiq.”
Ayat tersebut maksudnya menjelaskan kepada kita bahwa Nabi Nuh عليه السلام dan Nabi Ibrahim عليه السلام adalah bapak para Nabi dan para Rasul. Tetapi sayangnya, karunia Allah سبحانه وتعالى yang sedemikian besarnya itu, hanya sedikit daripada keturunannya itu yang mengikuti petunjuk Allah سبحانه وتعالى. Kebanyakan dari mereka adalah fasiq.
Apabila kita renungkan, maka sampai sekarang pun adalah lebih banyak kaum Muslimin yang tidak mengindahkan apa yang menjadi aturan Allah سبحانه وتعالى dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم, mereka lebih cenderung kepada hawa nafsunya. Bahkan ada kecenderungan bahwa Islam saat ini sudah mulai dianggap aneh.
Keanehan itu disebabkan karena orang kebanyakan (bahkan yang ber-KTP Islam sekalipun), pada dasarnya tidak mengenal Islam dengan cara yang benar (– sesuai Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Pendahulu Ummat yang shalih –). Lalu yang mengenal Islam pun banyak yang tidak tahan dalam mengamalkan Islam-nya secara istiqamah. Bagaimana tidak, karena orang yang berusaha untuk mengamalkan ajaran Islam sesuai tuntunan Allah سبحانه وتعالى dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengalami berbagai macam tuduhan. Dituduh “terorisme”, dituduh “terbelakang”, dituduh “ketinggalan zaman” atau “kuno” atau “ikut zaman onta”, dan berbagai tuduhan buruk lainnya yang memang sengaja dihembuskan oleh musuh-musuh Islam agar kaum Muslimin itu takut kepada ajaran Islam-nya sendiri. Semua itu menyebabkan orang Islam menjadi tidak istiqamah (teguh) dalam mengamalkan dien-nya, apalagi kalau orang itu imannya pas-pasan.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas, bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام adalah bapak dari sekian banyak para Nabi dan Rasul. Dari silsilah para nabi sejak Nabi Adam عليه السلام, ternyata asal-usul Yahudi itu berasal dari Nabi Ibrahim عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام. Sebagaimana kita pelajari dari sejarah, bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام memiliki anak bernama Ismail عليه السلام dan Ishaq عليه السلام.
Nabi Ismail عليه السلام tidak banyak menurunkan nabi-nabi, hanya dalam urutan keturunan Nabi Ismail عليه السلام yang terakhir lalu muncul keturunannya yang merupakan seorang Nabi dan Rasul Penutup yakni Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Sedangkan Nabi Ishaq عليه السلام langsung menurunkan secara berturut-turut para nabi dan Rasul, yakni Nabi Ya’qub عليه السلام, Nabi Yusuf عليه السلام, Nabi Ayyub عليه السلام, Nabi Musa عليه السلام, Nabi Harun عليه السلام, Nabi Ilyas عليه السلام, Nabi Ilyasa عليه السلام dan seterusnya hingga sampai kepada Nabi ‘Isa عليه السلام.
Pada kali ini, kita akan membahas tentang Nabi Ibrahim عليه السلام, Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام terlebih dahulu. Lalu pada kajian mendatang insya Allah akan kita bahas tentang Nabi Ya’qub عليه السلام dan Nabi Yusuf عليه السلام; kemudian Nabi Musa عليه السلام dan Nabi Harun عليه السلام; dan selanjutnya adalah Nabi Daawud عليه السلام dan Nabi Sulaiman عليه السلام. Dan dari mereka itulah akan kita kenal apa yang disebut dengan Haikal Sulaiman. Dalam rangka membangun Haikal Sulaiman itulah maka Yahudi sampai saat ini memiliki rencana yang Mega-Besar (antara lain dengan meruntuhkan Masjid Al Aqsa milik kaum Muslimin — Silakan baca artikel berjudul “Yahudi Rampas Masjid Al Aqsa” pada Blog ini http://ustadzrofii.wordpress.com/2011/09/25/yahudi-rampas-masjid-al-aqsa/#more-3152 ). Maka segala sesuatu itu tergantung kepada landasan dasar filosofi berfikir yang pada akhirnya adalah menjadi suatu ideologi.
Sesuai ayat diatas, maka asal usulnya adalah bermula dari Nabi Nuh عليه السلام dan Nabi Ibrahim عليه السلام. Nabi Nuh tidak akan kita bahas karena keturunan-keturunannya tidak bermasalah dan tidak bersambung kepada Israil (Bani Israil).
Adapun Israil adalah nama lain dari Nabi Ya’qub عليه السلام, putra dari Nabi Ishaq عليه السلام dan yang merupakan cucu dari Nabi Ibrahim عليه السلام.
Kajian kita ini adalah berdasarkan ‘Aqidah kita sebagai ummat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Allah سبحانه وتعالى memberitahukan kepada kita dalam Al Qur’an bahwa Nabi Ismail عليه السلام adalah putra dari Nabi Ibrahim عليه السلام. Namun dalam Kitab Perjanjian Lama (Taurat), ada upaya dari Yahudi untuk melakukan Tahriif (mengubah, mengganti dan menukar) serta membalikkan fakta agar terkesan bahwa Nabi Ismail عليه السلام bukanlah putra Nabi Ibrahim عليه السلام. Oleh karenanya ketika pada akhirnya muncul Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, maka kaum Yahudi tidak mau mengakui kenabian dan ke-Rasulan beliau صلى الله عليه وسلم, karena beliau صلى الله عليه وسلم adalah berasal dari keturunan Nabi Ismail عليه السلام, dan bukan berasal dari keturunan Nabi Ishaq عليه السلام sebagaimana para Nabi dan Rasul lainnya.
Dalam QS Ibrahim 14:39, Allah سبحانه وتعالى berfirman:
“Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Rabb-ku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) do`a.”
Jadi jelaslah bahwa Nabi Ismail عليه السلام adalah putera Nabi Ibrahim عليه السلام. Dan dalam urutannya adalah bahwa Nabi Ismail عليه السلام adalah anak pertama dan Nabi Ishaq عليه السلام adalah anak kedua.
Kemudian perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Huud 11:71
“Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir puteranya) Ya`qub.”
Yang dimaksud “istrinya” dalam ayat diatas adalah Sarah, istri pertama Nabi Ibrahim عليه السلام. Dari Sarah, Nabi Ibrahim عليه السلام memiliki putra bernama Ishaq عليه السلام, yang kemudian dari Ishaq عليه السلام akan lahir cucunya yang bernama Ya’qub عليه السلام. Maka kita mengenal bahwa Nabi Ya’qub عليه السلام adalah putra dari Nabi Ishaq عليه السلام dan cucu dari Nabi Ibrahim عليه السلام. Bayangkan, betapa besar ni’mat Allah سبحانه وتعالى kepada Nabi Ibrahim عليه السلام; dimana mulai dari bapak, anak lalu cucu itu semuanya adalah menjadi Nabi.
Kemudian dalam QS Maryam 19:49, Allah سبحانه وتعالى berfirman :
“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq, dan Ya`qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi.”
Juga dalam QS. Al Anbiyaa 21:72
“Dan Kami telah memberikan kepadanya (Ibrahim) Ishaq dan Ya`qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). Dan masing-masing Kami jadikan orang-orang yang shalih.”
Dan dalam QS Al An’aam 6:84-86
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Ya`qub kepadanya. Kepada keduanya masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan kepada Nuh sebelum itu (juga) telah Kami beri petunjuk, dan kepada sebahagian dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, `Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang shalih. dan Ismail, Alyasa`, Yunus dan Luth. Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).”
Demikianlah, ayat-ayat tersebut diatas memberikan bukti kepada kita bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام memiliki 2 putra, yakni dari istri pertamanya (Sarah) terlahir Nabi Ishaq عليه السلام dan dari istrinya yang kedua (Haajar) terlahir Nabi Ismail عليه السلام.
Kemudian dalam QS. Al Baqarah 2:133, Allah سبحانه وتعالى berfirman :
“Adakah kamu hadir ketika Ya`qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya (Muslimun).”
Dari ayat diatas, sangatlah jelas bahwa Allah سبحانه وتعالى memberitakan kepada kita (termasuk juga kepada seluruh ummat manusia) bahwa keturunan Nabi Ya’qub عليه السلام itu TIDAK ADA yang beragama Yahudi atau Nashrani; tetapi semuanya adalah Islam (Muslimun).
Nabi Ibrahim عليه السلام pada mulanya berasal dari Iraq (Babylonia), kemudian beliau pergi ke Mesir. Istri Nabi Ibrahim عليه السلام (Sarah) adalah sangat cantik jelita. Raja Mesir ketika itu tertarik kepada Sarah عليه السلام. Maka Nabi Ibrahim عليه السلام sangat khawatir dan cemburu (– dan itu memang haknya untuk cemburu, karena Sarah adalah istrinya –). Nabi Ibrahim عليه السلام sadar kalau seandainya ia mengaku sebagai suami Sarah, maka ia pasti akan dibinasakan oleh Raja Mesir tersebut. Maka ia pun menyuruh kepada Sarah : “Wahai Sarah, bila Raja bertanya, maka katakanlah olehmu bahwa kamu adalah saudaraku.”
Menurut para ‘Ulama Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud “saudara” diatas, dalam hal ini bisa berarti “saudara se-‘aqidah” atau bisa pula berarti “saudara sekandung”.
Demikianlah, ketika Sarah didekati oleh Raja Mesir, maka ia pun berpura-pura sedih, bahkan menangis, tidak mau berhias dan sebagainya; sehingga sang Raja pun tidak lagi berselera kepadanya karena Sarah selalu murung dan hal itu menjadikannya tidak menarik lagi bagi sang Raja. Pada akhirnya mereka disuruh pulang saja oleh Raja Mesir tersebut, dengan dihadiahi 100 (seratus) ekor kambing dan seorang perempuan pembantu (seorang wanita Mesir) bernama Haajar (– “Haajar” artinya adalah “Orang yang hijrah” –).
Mereka bertiga kemudian pulang ke daerah yang sekarang dikenal sebagai Palestina. Setelah mereka kembali ke tempatnya (Palestina), maka beberapa tahun kemudian Nabi Ibrahim عليه السلام sangat menginginkan anak. Sarah pun menganjurkan kepada Nabi Ibrahim عليه السلام untuk menikahi Haajar agar memiliki anak keturunan. Ternyata dengan kehendak Allah سبحانه وتعالى maka Haajar pun hamil, dan tidak lama kemudian lahirlah Ismail عليه السلام.
Setelah Ismail lahir, ternyata Sarah merasa iri. Lalu Sarah meminta kepada suaminya, Nabi Ibrahim عليه السلام, agar suaminya membawa Haajar dan anaknya Ismail عليه السلام pergi menjauh.
Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Imaam Al Bukhari no: 3364 dijelaskan sebagai berikut;
Dari Shahabat Ibnu Abbas رضي الله عنه, beliau berkata, “Cara berfikir wanita pertama kali diambil dari Ummu Ismail (Haajar) ketika ia mengambil taktik agar terbebas dari Sarah. Kemudian Ibrahim عليه السلام membawanya serta anaknya Ismail عليه السلام yang dikala itu Haajar masih menyusuinya.
Kemudian Ibrahim عليه السلام meninggalkannya di Ka’bah, di suatu bukit diatas Zam-Zam, disebelah atas dari Masjid, dimana ketika itu disana tidak dihuni seorang pun dan tidak ada air. Kemudian Ibrahim عليه السلام meninggalkan mereka berdua disana, dengan memberi bekal sedikit kurma dan sekantong air. Lalu Ibrahim عليه السلام beranjak kembali mengarah ke negeri asalnya.
Maka Ummu Ismail pun mengikuti dari belakang seraya berkata, “Wahai Ibrahim kemana engkau hendak pergi meninggalkan kami di lembah ini, yang tak ada manusia dan apa pun?”
Dikatakannya lah hal ini pada Ibrahim عليه السلام berkali-kali. Dan Ibrahim عليه السلام sama sekali tidak menggubrisnya. Maka Haajar berkata, “Apakah Allah سبحانه وتعالى yang menyuruhmu begini?”
Ibrahim عليه السلام menjawab, “Ya.”
Maka Haajar berkata, “Kalau begitu Allah سبحانه وتعالى tidak akan menyia-nyiakan kita.”
Lalu Haajar pun kembali ke tempat semula, dan Ibrahim عليه السلام melanjutkan perjalanannya.
Dan ketika Ibrahim عليه السلام sampai diantara perbukitan, dimana tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka Ibrahim عليه السلام lalu menghadap kearah Ka’bah dan berdoa sembari mengangkat kedua tangannya, “Ya Allah, Rabb kami, sungguh aku tinggalkan keturunanku di suatu lembah yang tak bertetumbuhan… hingga mereka bersyukur.”
Kemudian Ummu Ismail menyusui Ismail عليه السلام dan meminum dari air bekalnya. Ketika air yang ada didalam kantong tersebut habis, maka hauslah dia dan hauslah anaknya. Sembari memandang Ismail عليه السلام yang tengah menggerak-gerakkan kakinya, maka ia pun pergi meninggalkan Ismail عليه السلام karena tidak suka melihat Ismail عليه السلام dalam keadaan kehausan. Maka pergilah ia (Haajar) kearah Bukit Shofa dan diatasnya dia berdiri kemudian menghadap kearah lembah untuk melihat adakah seseorang disana. Namun ternyata tidak ada seorang pun yang didapatinya. Maka ia pun pergi meninggalkan Shafa hingga ke dasar bukit, lalu dia menyingsingkan bajunya kemudian berlari kecil seolah orang yang sedang dikejar sesuatu, sehingga ia melewati bukit tersebut dan sampai di Marwah. Kemudian ia berdiri diatas Bukit Marwah dan melihat apakah ada seseorang disana. Juga ternyata ia tak melihat seorang pun. Lalu dilakukannya hal itu bolak-balik sebanyak 7 kali.
Kemudian Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Karena itu, manusia diajarkan untuk Sa’i diantara keduanya.”
Ketika sampai di Bukit Marwah, tiba-tiba Haajar mendengar suatu suara, yang dikiranya suara itu tertuju padanya. Maka ia pun berupaya untuk kembali mendengarkan suara tersebut. Maka benar lah bahwa ia mendengar suara itu kembali. Maka Haajar pun berkata, “Sungguh engkau telah memperdengarkan suaramu, jika engkau penolong.”
Ternyata sumber suara itu adalah malaikat yang sedang berada di lokasi Zam-Zam yang tengah menggerak-gerakkan sayapnya untuk membantu mencarikan air, sehingga muncullah air (Zam-Zam) tersebut. Kemudian Ummu Ismail (Haajar) berusaha menampung air tersebut dengan tanah kemudian memasukkannya kedalam kantung airnya hingga membasahi tangannya.
Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Allah سبحانه وتعالى menyayangi Ummu Ismail. Kalau seandainya Ummu Ismail meninggalkan Zam-Zam atau seandainya dia tidak menciduk air tersebut maka Zam-Zam tidak akan menjadi mata air.”
Maka Haajar meminum air tersebut dan menyusui anaknya. Lalu malaikat berkata pada Haajar, “Janganlah kalian takut disia-siakan, sebab disini adalah Rumah Allah سبحانه وتعالى yang anak ini dan ayahnya kelak akan membangunnya. Dan sesunggunya Allah سبحانه وتعالى tidak akan menyia-nyiakan penghuni Baitullah ini.”
Pada mulanya Baitullah (Ka’bah) terletak di tanah tinggi, mirip bukit, kemudian ditimpa oleh banjir sehingga melongsorkan sebelah kanan dan kirinya. Dan terus dalam keadaan seperti ini sehingga lewatlah segerombolan orang dari Jurhum (– arah Yaman – pent.) atau penduduk dari Jurhum, datang dari arah Kada, lalu mereka turun sampai dibawah Makkah. Dan ketika mereka melihat burung yang terbang mengerumuni air, maka mereka pun berkata, “Sesungguhnya burung ini terbang diatas air. Mari kita menuju ke lembah ini dan mengambil air yang ada di dalamnya.”
Dengan mengutus seorang atau dua orang utusan yang berlari ke tempat tersebut, ternyata mereka (para utusan itu) menemukan air, sehingga mereka pun kembali ke kabilah tadi dan memberitakan hal itu. Maka mereka semuanya bergerak menuju ke sumber air, sememtara Ummu Ismail berada disana. Maka kabilah itu pun berkata, “Apakah anda mengizinkan kami untuk singgah disini?”
Kemudian Haajar menjawab, “Ya, akan tetapi kalian tidak memiliki air ini.”
Kabilah itu menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas رضي الله عنه berkata, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Haajar menyukai keadaan itu.”
Akhirnya kabilah itu pun singgah di sana, dan memberitahukan kepada keluarga mereka sehingga akhirnya mereka semua pun singgah di tempat itu pula. Dan diantara mereka pun bermukim disekitar Baitulllah. Ismail عليه السلام pun tumbuh menjadi pemuda. Belajar bahasa Arab dari mereka dan membuat mereka (kabilah itu) kagum padanya. Sehingga ketika Ismail عليه السلام menginjak usia pemuda, maka mereka pun menikahkannya dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Lalu meninggallah Ummu Ismail. Kemudian setelah Ismail عليه السلام menikah, datanglah Ibrahim عليه السلام untuk melihat keadaan keluarganya, namun tidak sempat menemui Ismail عليه السلام.
Maka bertanyalah Ibrahim عليه السلام pada istri Ismail عليه السلام tentang keadaan Ismail عليه السلام. Kemudian istri Ismail عليه السلام menjawab, “Ismail sedang keluar mencari sesuatu untuk kami.”
Kemudian Ibrahim عليه السلام bertanya lagi, “Bagaimana kehidupan kalian?”
Istri Ismail عليه السلام menjawab, “Kami dalam keadaan buruk, kami dalam keadaan sempit, kesulitan.”
Dan ia pun berkeluh kesah pada Ibrahim عليه السلام.
Maka Ibrahim عليه السلام berkata, “Sampaikan pada suamimu jika ia datang, salamku untuknya dan katakanlah olehmu padanya agar dia merubah posisi pintu rumahnya.”
Ketika Ismail عليه السلام pulang ke rumahnya, seolah dia merindukan sesuatu, kemudian bertanya lah ia pada istrinya, “Apakah ada seseorang yang datang pada kalian?”
Istrinya menjawab, “Ya. Telah datang pada kita seorang kakek, begini dan begitu, menanyakan pada kami tentang engkau. Maka aku beritakan padanya. Kemudian kakek itu bertanya padaku bagaimana kehidupan kita, maka aku pun beritakan padanya bahwa kita dalam keadaan kesulitan.”
Ismail عليه السلام bertanya lagi, “Apakah dia berwasiat padamu sesuatu?” Istrinya menjawab, “Ya. Dia memerintahkanku untuk menyampaikan salam darinya untukmu dan mengatakan, ‘Ubahlah posisi pintu rumahmu’.”
Ismail عليه السلام berkata, “Itu adalah ayahku dan memerintahkanku untuk menceraikanmu. Maka pulanglah engkau pada keluargamu.”
Maka ia pun menceraikannya, kemudian ia menikah dengan wanita yang lain.
Selang beberapa waktu Ibrahim عليه السلام kembali mengunjungi mereka, akan tetapi kembali ia tidak bertemu Ismail عليه السلام. Kemudian ditemuinya istri Ismail عليه السلام dan bertanya tentang Ismail عليه السلام. Maka istri Ismail عليه السلام (– yang baru – pent.) menjawab, “Ia sedang keluar mencari sesuatu untuk kami.”
Kemudian Ibrahim عليه السلام bertanya lagi, “Bagaimanakah kalian dan kehidupan kalian?”
Maka istri Ismail عليه السلام menjawab, “Alhamdulillah kami baik-baik saja dan dalam keadaan lapang.”
Dan ia pun memuji Allah سبحانه وتعالى.
Kemudian Ibrahim عليه السلام bertanya, “Bagaimana makanan kalian?”
Istri Ismail عليه السلام menjawab, “Daging.”
Kemudian Ibrahim عليه السلام bertanya, “Apa minuman kalian?”
Istri Ismail عليه السلام menjawab, “Air.”
Maka Nabi Ibrahim عليه السلام berdoa, “Ya Allah, berkahilah daging dan air mereka.”
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Pada saat itu mereka tidak memiliki tepung. Seandainya Ibrahim عليه السلام berdoa agar mereka diberi tepung, niscaya Allah سبحانه وتعالى akan mengabulkannya.”
Kemudian Ibrahim عليه السلام berkata kepada istri Ismail عليه السلام ini, “Jika suamimu pulang, sampaikan padanya salam dariku dan perintahkan padanya agar mengokohkan posisi pintu rumahnya.”
Ketika Ismail عليه السلام pulang ke rumahnya, kemudian ia bertanya pada istrinya, “Apakah ada seseorang yang datang pada kalian?”
Istrinya menjawab, “Ya. Telah datang pada kita seorang kakek, penampilannya baik.”
Dan istrinya pun memuji ayah Ismail عليه السلام.
Kemudian istri Ismail عليه السلام berkata, “Lalu ia menanyakan padaku tentang engkau. Maka aku beritakan padanya. Kemudian kakek itu bertanya padaku bagaimana kehidupan kita, maka aku pun beritakan padanya bahwa kita dalam keadaan baik.”
Ismail عليه السلام bertanya lagi, “Apakah dia berwasiat padamu sesuatu?”
Istrinya menjawab, “Ya. Dia memerintahkanku untuk menyampaikan salam darinya untukmu dan memerintahkan agar engkau ‘mengokohkan posisi pintu rumahmu’.”
Ismail عليه السلام berkata, “Itu adalah ayahku dan engkau adalah posisi pintu rumah. Dia memerintahkanku agar aku mempertahankanmu.”
Kemudian selang beberapa lama Ibrahim عليه السلام datang kembali untuk ketiga kalinya. Sedangkan Ismail عليه السلام sedang mempersiapkan tombaknya dibawah bukit, didekat Zam-Zam. Maka ketika melihatnya, Ismail عليه السلام pun menyambutnya. Maka mereka melakukan apa yang dilakukan seorang ayah terhadap anaknya dan melakukan apa yang dilakukan seorang anak terhadap ayahnya.
Kemudian Ibrahim عليه السلام berkata, “Wahai Ismail, sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى memerintahkanku dengan suatu perintah.”
Dan Ismail عليه السلام pun menjawab, “Lakukan apa yang Allah سبحانه وتعالى perintahkan padamu.”
Ibrahim عليه السلام berkata, “Maukah engkau menolongku?”
Ismail عليه السلام menjawab, “Aku akan menolongmu.”
Ibrahim عليه السلام berkata, “Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى memerintahkanku untuk membangun disini rumah (Baitullah), sembari menunjuk ke tempat yang tinggi (Ka’bah).”
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Pada saat itulah mereka berdua meninggikan pancangan-pancangan Baitullah dimana Ismail عليه السلام membawa batu dan Ibrahim عليه السلام membangunnya sehingga bangunan pun menjadi tinggi. Dan kemudian datang dengan membawa batu ini serta meletakkannya dan kemudian berdiri diatasnya dan membangunnya. Sedangkan Ismail عليه السلام yang membawa batu. Kemudian keduanya berdoa, “Ya Allah, Rabb kami, terimalah ini dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Keduanya membangun hingga mengelilingi seputar Ka’bah, sembari keduanya berdoa, “Ya Allah, Rabb kami, terimalah ini dari kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (HR Imaam Al Bukhari no: 3364)
Jadi kembali kepada bahasan kita semula, jelaslah bahwa Nabi Ismail عليه السلام itu lahir terlebih dahulu daripada Nabi Ishaq عليه السلام. Karena Sarah merasa iri dengan lahirnya seorang anak bagi Nabi Ibrahim عليه السلام dari Haajar, maka ia pun meminta Nabi Ibrahim عليه السلام untuk membawa Haajar yang telah memiliki anak yakni Nabi Ismail عليه السلام untuk pergi menjauh. Artinya, dikala itu Sarah belum memiliki anak.
Setelah ditinggal pergi jauh dengan membawa Haajar dan anaknya (Ismail عليه السلام) ke Mekkah, maka Nabi Ibrahim عليه السلام pun pulang kembali ke Palestina kepada Sarah, dan setelahnya Sarah pun dikaruniai seorang putera yang bernama Ishaq عليه السلام. Dengan demikian, jelaslah bahwa urutan yang terlebih dahulu lahir adalah Nabi Ismail عليه السلام, barulah kemudian Nabi Ishaq عليه السلام.
Namun, berita ini diputarbalikkan oleh kaum Yahudi dengan melakukan Tahriif (pemutarbalikan fakta) sehingga dalam Kitab Perjanjian Lama (Taurat) mereka maka tidak disebutkan seperti diatas kejadiannya. Melainkan yang diunggulkan dalam Kitab itu adalah bahwa anak yang dilihat oleh Nabi Ibrahim عليه السلام dalam mimpinya untuk disembelih itu adalah Ishaq عليه السلام, dan bukannya Ismail عليه السلام. Padahal didalam Al Qur’an dijelaskan bahwa putera yang hendak disembelih oleh Nabi Ibrahim عليه السلام (atas perintah Allah سبحانه وتعالى), sebagaimana dalam mimpinya itu, adalah Nabi Ismail عليه السلام.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Maryam 19:54
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang Rasul dan nabi.”
Kemudian dalam QS. Shad 38:48, Allah سبحانه وتعالى berfirman:
“Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa’ dan Zulkifli. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.”
Dan dalam QS. Al Anbiyaa 21:85, Allah سبحانه وتعالى berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.”
Juga dalam QS. Al An’aam 6:86, dimana Allah سبحانه وتعالى berfirman:
“dan Ismail, Ilyasa`, Yunus dan Luth. Masing-masingnya Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).”
Dari ayat-ayat diatas dijelaskan bahwa Nabi Ismail عليه السلام, Nabi Ilyasa عليه السلام, Nabi Yunus عليه السلام, Nabi Nuh عليه السلام, Nabi Idris عليه السلام, Nabi Dzulkifli عليه السلام dan Nabi Luth عليه السلام; mereka itu masing-masing memiliki keunggulan di alam semesta ini diantara ummat manusia karena mereka para nabi itu adalah orang-orang yang baik, tepat janji dan orang-orang yang sabar.
Berikutnya kita ketahui dari firman Allah سبحانه وتعالى bahwa Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام adalah menyeru kepada Islam; dan bukan menyeru agar menjadi Yahudi ataupun Nashrani.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqarah 2:135-136
Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nashrani, niscaya kamu mendapat petunjuk”. Katakanlah: “Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik”. Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan ‘Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya (Muslimun)“.
Jadi, semua nabi dan Rasul adalah Muslimun (Islam). Dan kita (Muslim) tidak membeda-bedakan diantara Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام karena mereka adalah dalam posisi yang sama yakni hanya berserah diri kepada Allah سبحانه وتعالى dan hanya beriman kepada apa yang Allah سبحانه وتعالى firmankan dalam ayat tersebut.
Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام adalah meneruskan millah Ibrahim; dan mereka bukanlah menjadi Yahudi ataupun Nashrani !
Kemudian dalam QS. Al Baqarah 2:140, Allah سبحانه وتعالى berfirman:
“Ataukah kamu (hai orang-orang Yahudi dan Nashrani) mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, adalah penganut agama Yahudi atau Nashrani? Katakanlah: “Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang menyembunyikan syahadah* dari Allah yang ada padanya?” Dan Allah sekali-kali tiada lengah dari apa yang kamu kerjakan.”
*] Syahadah dari Allah سبحانه وتعالى adalah persaksian Allah سبحانه وتعالى yang tertera dalam Taurat dan Injil bahwa Ibrahim عليه السلام dan anak cucunya bukanlah penganut agama Yahudi ataupun Nashrani dan bahwa Allah سبحانه وتعالى akan mengutus Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم.
Allah سبحانه وتعالى tahu benar bahwa mereka (Yahudi dan Nashrani) memalsukan ayat-ayat Taurat dan Injil, sehingga bahwa seolah-olah Nabi Ibrahim عليه السلام, Nabi Ismail عليه السلام dan Nabi Ishaq عليه السلام adalah Yahudi atau Nashrani. Padahal yang benar adalah bahwa mereka (Ibrahim عليه السلام, Ismail عليه السلام, Ishaq عليه السلام) adalah Muslimun (Islam), satu millah, satu ajaran sebagaimana ajaran yang dibawakan oleh Nabi Ibrahim عليه السلام.
Juga dalam QS. An Nisaa’ 4:163, Allah سبحانه وتعالى berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, `Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.”
Ayat tersebut menunjukkan bahwa semua nabi-nabi yang Allah سبحانه وتعالى beritakan itu adalah diberi wahyu oleh Allah سبحانه وتعالى, dan mereka semua berdakwah dengan dakwah yang satu yakni Dienul Islam; dan bukan Yahudi atau Nashrani.
Lalu didalam Al Qur’an, Allah سبحانه وتعالى pun menjelaskan kepada kita bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام dan puteranya bernama Ismail عليه السلام lah yang membangun (merenovasi) Ka’bah. Jadi jelaslah bahwa tidak ada dari Yahudi ataupun Nashrani yang membangun Ka’bah, karena Yahudi itu berasal dari putera Ishaq عليه السلام. Dan Ishaq عليه السلام bertempat tinggal di wilayah sekitar Palestina, sehingga para nabi-nabi yang merupakan anak keturunannya pun juga bertempat tinggal di sekitar wilayah Palestina. Sementara Nabi Isma’il عليه السلام lah yang bertempat tinggal di Mekkah yakni di Jazirah ‘Arob.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqarah 2:125-129
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam* Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i`tikaaf, yang ruku` dan yang sujud“. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: “Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rizqi dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): “Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “. Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami ummat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Ya Rabb kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
*] Maqam adalah tempat berdiri Nabi Ibrahim عليه السلام diwaktu membangun Ka’bah.
Dalam ayat 129 QS. Al Baqarah diatas, jelaslah bahwa Allah سبحانه وتعالى mengabulkan do’a Nabi Ibrahim عليه السلام dan Nabi Ismail عليه السلام yang memohon untuk didatangkan seorang Rasul yakni Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, dari kalangan mereka (bangsa ‘Arab, keturunan dari Ismail عليه السلام) yang kemudian akan membacakan ayat-ayat Allah سبحانه وتعالى dan mengajarkan Al Qur’an, As Sunnah serta mensucikan mereka.
Adapun penjelasan Allah سبحانه وتعالى di dalam Al Qur’an bahwa yang diperintahkan untuk disembelih (dikurbankan) oleh Nabi Ibrahim عليه السلام adalah puteranya yang bernama Ismail عليه السلام; dan bukannya Ishaq عليه السلام sebagaimana yang telah diputarbalikkan faktanya oleh kaum Yahudi dalam Kitab mereka; maka perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Ash Shaffat 37:101-113
Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.*] Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”**], sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih. Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang dzalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.
*] Yang dimaksud adalah Nabi Ismail عليه السلام.
**] Yang dimaksud dengan membenarkan mimpi itu adalah mempercayai bahwa mimpi itu benar berasal dari Allah سبحانه وتعالى dan wajib untuk melaksanakannya
***] Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim عليه السلام dan Ismail عليه السلام, maka Allah pun melarang Ibrahim عليه السلام untuk menyembelih Ismail عليه السلام dan menyuruhnya untuk menggantinya denga berkurban seekor sembelihan (kambing). Peristiwan inilah yang menjadi dasar disyari’atkannya Ibadah Qurban untuk dilakukan pada Hari Raya Haji (Iedul Adha).
Sebagaimana didalam penjelasan Tafsir Imaam Ibnu Katsiir رحمه الله, bahwa yang dimaksud sebagai anak yang sabar (halus) tersebut adalah Ismail عليه السلام, yang merupakan anak pertama yang diberikan oleh Allah سبحانه وتعالى kepada Nabi Ibrahim عليه السلام sebagai kegembiraan baginya.
Terdapat secara redaksional dalam Kitab mereka bahwa Ismail عليه السلام adalah anak dari Nabi Ibrahim عليه السلام yang ketika itu umur Nabi Ibrahim عليه السلام adalah 86 tahun. Dan ketika Ishaq عليه السلام lahir, umur Nabi Ibrahim عليه السلام adalah 99 tahun. Jadi selisihnya adalah tidak kurang dari 15 tahun dimana Nabi Ismail عليه السلام adalah lebih tua daripada Nabi Ishaq عليه السلام.
Lalu sesuai dengan ayat 102 QS. Ash Shaffaat diatas, Qurban itu diperintahkan oleh Allah سبحانه وتعالى kepada Nabi Ibrahim عليه السلام untuk melakukan penyembelihan terhadap puteranya yang bernama Ismail عليه السلام, dan bukannya Ishaq عليه السلام. Kemudian setelah Nabi Ibrahim عليه السلام berhasil melalui ujian itu maka di ayat 112 QS. Ash Shaffaat diatas, barulah Allah سبحانه وتعالى memberitakan tentang kelahiran Nabi Ishaq عليه السلام. Artinya, bahwa Nabi Ishaq عليه السلام adalah terlahir belakangan, sesudah Nabi Ismail عليه السلام. Sungguh berita ini sangatlah jelas!
Adapun adanya berita-berita syubhat yang dihembus-hembuskan oleh kaum Yahudi dalam Kitab Perjanjian Lama, bahwa yang diperintahkan untuk disembelih itu adalah Nabi Ishaq عليه السلام yang merupakan anak tunggal (satu-satunya) dari Nabi Ibrahim عليه السلام; maka ini adalah Tahriif (manipulasi fakta) yang terjadi akibat kedengkian, atau rasa hasad (iri) terhadap orang-orang Arab, yang merupakan keturunan dari Ismail عليه السلام.
Orang Arab mengatakan bahwa Mesir adalah Ummul ‘Arab, karena Haajar, ibu daripada Ismail عليه السلام adalah wanita yang berasal dari Mesir. Adapun Ismail عليه السلام menikah dengan wanita dari Bani Jurhum (orang Yaman); sehingga Ismail عليه السلام disebut sebagai Abul ‘Arab.
Demikianlah, oleh karena itu dapatlah kita ketahui asal-usul dari kebencian kaum Yahudi terhadap orang-orang Islam yang berlangsung terus sampai hari ini.
Bahkan bila anda membuka internet, dapat ditemukan Website atau Blog “Anti Arabisasi”, yang isinya adalah menyiarkan paham Pluralisme. Syubhat-syubhat itulah yang mereka katakan dalam Kitab-Kitab mereka (Yahudi ataupun Nashrani), karena kedengkian mereka terhadap Nabi Ismail عليه السلام dan keturunannya orang-orang ‘Arab yang daripadanya muncul Nabi Penutup yakni Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم serta terhadap orang-orang Islam; sehingga mereka pun bertekad untuk berpisah dari ajaran Nabi Ibrahim عليه السلام yang sejak semula senantiasa menyerukan Islam kepada ummat manusia.
Dari sinilah sesungguhnya Yahudi itu mulai menjauh dari kebenaran dan mulai berani untuk memalsukan dan mengubah-ubah Kitab mereka ataupun memutar balikkan fakta-fakta. Jadi asal muasal Yahudi itu terlahir antara lain atas dasar kedengkian (hasad), sehingga mereka pun mengubah-ubah Kitab mereka sesuai selera mereka, serta melakukan manipulasi dan penggelapan demi penggelapan sejarah. Hal ini akan terus berlangsung dalam berbagai tahapannya. Perjuangan dan kiprah kaum Yahudi akan nampak jelas dalam perkara ini. Bukan saja sekedar “gen”-nya Yahudi, namun memang segala upaya Yahudi tidaklah terlepas dari bibit karakter yang demikian. Benarlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam ayat 113 QS. Ash Shaffat diatas, bahwa diantara anak cucu keturunan Nabi Ishaq عليه السلام ada yang berbuat kedzaliman dengan kedzaliman yang nyata.
Selanjutnya didalam sejarah, Nabi Ishaq عليه السلام memiliki putera yang bernama Ya’qub عليه السلام. Dalam QS. Huud 11:71, Allah سبحانه وتعالى berfirman:
“Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir puteranya) Ya`qub.”
Kemudian dari Nabi Ya’qub عليه السلام akan terlahir keturunannya yang bernama Yusuf عليه السلام, sebagaimana difirmankan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Yusuf 12:4-6
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku*], sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”Dan demikianlah Rabb-mu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta`bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya ni`mat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya`qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan ni`mat-Nya kepada dua orang bapakmu**] sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
*] Bapak Yusuf عليه السلام adalah Ya’qub عليه السلام, putera dari Ishaq عليه السلام, dimana Ishaq عليه السلام adalah putera dari Ibrahim عليه السلام.
**] Yang dimaksud dengan “dua orang bapak” disini, adalah kakek dan ayah dari kakek.
Perhatikanlah betapa terhadap Yusuf عليه السلام pun Yahudi hendak berbuat makar yang diakibatkan oleh rasa dengki (hasad) mereka.
Demikianlah, tentang Nabi Ya’qub عليه السلام dan Nabi Yusuf عليه السلام; kemudian Nabi Musa عليه السلام dan Nabi Harun عليه السلام; dan berikutnya adalah Nabi Sulaiman عليه السلام dan Nabi Daawud عليه السلام akan kita bahas lebih lanjut dalam kajian-kajian mendatang; agar lebih jelas bagaimana kaitannya dengan Bani Israil, Fir’aun dan berbagai kerusakan yang terjadi hingga zaman kita sekarang ini. Pada intinya, makar-makar Yahudi yang merupakan karakter mereka akan senantiasa terlihat dalam berbagai tahapannya. Dan hendaknya kita sebagai kaum Muslimin mewaspadai hal ini, agar janganlah kita menjadi korban mereka; karena kaum Yahudi telah berketetapan bahwa selain Yahudi akan dijadikan sebagai korban oleh mereka.
TANYA JAWAB
Pertanyaan:
Dalam kisah perjalanan Nabi Ibrahim عليه السلام dan Nabi Luth عليه السلام ke Mesir, beliau singgah di suatu tempat dimana kaum Sabi’in hidup. Mohon dijelaskan bagaimana tentang ‘Aqidah kaum Sabi’in tersebut. Dan bagaimanakah dakwah Nabi Luth عليه السلام?
Jawaban:
Tentang kaum Sabi’in atau Saba’iyyah yang ada di Mesir, erat kaitannya dengan ‘aqidah yang memanjang dan mata-rantainya tidak terputus dengan Yahudi hari ini, yaitu penyembah berhala. Misalnya piramida-piramida di Mesir adalah bagian kisah yang tidak terpisahkan dengan kaum Sabi’in ini. Insya Allah nanti dalam kajian-kajian berikutnya akan kita amati dan kita bahas bahwa semua yang berkaitan dengan segitiga 60 derajat (logo segitiga piramid bersudut 60 derajat) adalah perpanjangan dari misi dan ideologi Yahudi, yang sebenarnya hal ini tidak boleh ada dalam jiwa kaum Muslimin. Bahkan kalau kita cermati di internet, maka kode internet adalah selalu diawali dengan WWW.
Bintang David
Kalau kita rangkaikan ketiga huruf “W” tersebut, maka akan membentuk enam bintang yang merupakan simbol dari Bintang David (Bintang Daud) yang merupakan simbol dari bendera Yahudi (Israel). Seolah kalau kita memasuki internet maka kita sudah masuk kedalam dunia Yahudi.
Nabi Yusuf dan Bani Israil
Kita perlu mengetahui tentang akar dari karakter dan watak Yahudi, sehingga kita sebagai kaum Muslimin dapat menyadari berbagai pergolakan di dunia yang terjadi bahkan hingga saat ini, serta menyikapinya dengan cermat dan benar.
Pada zaman Nabi Ibrahim عليه السلام, dimana beliau عليه السلام disebut sebagai Bapak Para Nabi; sebelum beliau عليه السلام diutus oleh Allah سبحانه وتعالى maka ketika itu ada 3 kelompok manusia, yaitu:
- Sekelompok manusia yang menyembah berhala (patung-patung yang terbuat dari batu dan kayu),
- Sekelompok manusia lain yang menyembah matahari, bulan dan bintang,
- Sekelompok manusia lainnya yang menyembah raja dan penguasa.
Tiga bentuk peribadatan kepada tuhan yang berbeda-beda itu ternyata masih berlanjut pada masa Yahudi kedepannya.
Nabi Yusuf adalah “Orang yang mulia, anak dari orang yang mulia, anak dari orang yang mulia, anak dari orang yang mulia”.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم menamakannya “Al Kariim, Ibnul Kariim, Ibnul Kariim, Ibnul Kariim”. Mereka adalah 4 (empat) generasi yang terpuji, mulia dan dermawan.
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhari no: 3382 dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar رضي الله عنه, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Al Kariim, Ibnul Kariim, Ibnul Kariim, Ibnul Kariim, dialah Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim.”
Yang dimaksud oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah Yusuf bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim عليهم السلام. Semuanya itu adalah Nabi, dan mereka semuanya adalah orang-orang yang mulia.
Juga didalam Hadits yang lain, diriwayatkan oleh Imaam Al Bukhari no: 3353, dari Shahabat Abu Hurairah رضي الله عنه, bahwa ditanyakan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم tentang siapakah manusia yang paling mulia, maka beliau صلى الله عليه وسلم menjawab:
“Manusia yang paling mulia dari kalian adalah manusia yang paling bertaqwa kepada Allah سبحانه وتعالى.” Para Shahabat berkata, “Bukan itu yang kami maksudkan, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab, “Dia adalah Yusuf Nabiyullah, Ibni Nabiyyillah, Ibni Nabiyyillah, Ibni Khaliilillah.” Para Shahabat bertanya lagi, “Bukan itu yang kami maksudkan, ya Rasulullah.” Rasulullah صلى الله عليه وسلم pun menjawab, “Tentang sesuatu yang berharga di kalangan bangsa A’rab adalah terbaik dari mereka dimasa Jahiliyyah, tetapi terbaik dari mereka dimasa Islam, jika mereka paham.”
( — Yang dimaksudkan dalam Hadits diatas adalah Yusuf Nabiyyullah, putra Nabiyyullah (Ya’qub), cucu Nabiyyullah (Ishaq), cicit Khaliilillah (Ibrahim) – pent.)
( — Yang dimaksudkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam Hadits diatas adalah ‘Umar bin Khaththab رضي الله عنه – pent.)
Dari Hadits diatas, dapatlah diambil pelajaran bahwa Nabi Yusuf عليه السلام ternyata disebut oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebagai manusia yang paling mulia. Oleh karena itu, berikut ini kita akan membahas tentang Nabi Yusuf عليه السلام. Dan bahasan kita adalah berdasarkan kepada berita yang datang dari Al Qur’an, karena apabila berbicara tentang sejarah haruslah berlandaskan kepada Wahyu, yakni Al Qur’an Surat Yusuf.
Sebagaimana diberitakan dalam Hadits Riwayat Imaam Al Hakim no: 8196, dan Imaam Al Hakim berkata Hadits ini Shahiih sesuai dengan syarat Al Imaam Muslim hanya saja beliau tidak mengeluarkannya; dari Shahabat Jabir bin ‘Abdillah رضي الله عنه:
Jabir bin ‘Abdillahرَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا berkata, “Telah datang seorang Yahudi bernama Syaibaan (– “Syaibaan”, artinya adalah “Orang yang sudah sepuh/tua” – pent.) kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, lalu berkata: “Ya Muhammad, tahukah engkau tentang bintang yang dilihat oleh Yusuf bersujud kepadanya?” Kemudian Rasulullah صلى الله عليه وسلم terdiam sejenak. Lalu datanglah Malaikat Jibril untuk memberitakan tentang apa yang ditanyakan oleh Yahudi tadi. Setelah itu Rasulullah صلى الله عليه وسلم menemui Yahudi tadi dan bersabda, “Wahai Yahudi, demi Allah, kalau aku beritahukan padamu tentang pertanyaanmu, apakah engkau akan menjadi Muslim?” Syaibaan pun menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “Yang dimaksud dengan bintang yang bersujud kepada Yusuf adalah Hadatsaan, Thaariq, Dzabbaal, Qobbis, ‘Uudaan, Faliiq, Nush-hu, Qoruuh, Dzuul Kanafaan, Dzuul Fara’i dan Watsaab. Itulah yang dilihat oleh Yusuf mengelilingi langit bersujud padanya, yang kemudian dikisahkannya kepada bapaknya.Lalu berkatalah bapaknya padanya, “Ini adalah perkara besar, maka sembunyikanlah dan Allah akan mengumpulkannya setelahnya jika Allah kehendaki.”
Hal ini pun adalah sebagaimana difirmankan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam QS Yusuf 12:4
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”
Sebelas bintang itulah yang ditanyakan oleh Yahudi tadi kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم untuk menguji beliau صلى الله عليه وسلم. Adapun Hadatsaan, Thaariq, Dzabbaal, Qobbis, ‘Uudaan, Faliiq, Nush-hu, Qoruuh, Dzuul Kanafaan, Dzuul Fara’i dan Watsaab adalah nama bintang-bintang yang melambangkan saudara-saudara Nabi Yusuf عليه السلام yang sebelas orang, anak-anak dari Nabi Ya’qub عليه السلام.
Didalam sejarah, Nabi Ishaq عليه السلام (putra Nabi Ibrahim عليه السلام), memiliki seorang istri bernama Rifqo. Rifqo memiliki saudara laki-laki bernama Laabaan. Dari Rifqo, terlahir dua orang anak bernama ‘Iesh dan Ya’qub. Kelak Nabi Ya’qub عليه السلام lah yang dikenal dengan nama Isra’iil.
Nabi Ishaq عليه السلام yang telah tua dan buta pada suatu hari menginginkan makan daging buruan. Maka disuruhlah putranya yang bernama ‘Iesh (– ‘Iesh adalah putra kesayangan bapaknya, sementara Ya’qub adalah putra kesayangan ibunya –) untuk berburu.
Mendengar akan hal ini, maka Rifqo (istri Nabi Ishaq عليه السلام) kemudian menyuruh Ya’qub عليه السلام, putra kesayangannya, untuk segera menyembelih kambing. Lalu dikuliti lah kambing tersebut, dan kulitnya dipakaikan sebagai baju oleh Ya’qub عليه السلام. Kemudian daging kambingnya pun disuguhkan kepada bapaknya (Nabi Ishaq عليه السلام) yang telah buta; dengan maksud agar Ya’qub عليه السلام pun disayang oleh bapaknya sebagaimana kasih sayang Nabi Ishaq عليه السلام terhadap ‘Iesh. Hal ini dilakukan oleh karena didalam riwayat diberitakan bahwa ‘Iesh badannya adalah berbulu.
Dengan Ya’qub عليه السلام memakai baju kulit kambing tersebut, ibunya berharap apabila Nabi Ishaq عليه السلام merabanya, maka ia akan mengira bahwa itulah ‘Iesh yang datang membawa daging buruan. Dengan demikian diharapkan Ya’qub عليه السلام akan semakin disayangi pula oleh Nabi Ishaq عليه السلام.
Ketika Ya’qub عليه السلام menghadap kepada bapaknya dengan menghidangkan daging kambing tersebut, maka Nabi Ishaq عليه السلام bertanya sambil mencium Ya’qub عليه السلام, “Siapakah ini?”
Ya’qub عليه السلام menjawab, “Anakmu !”
Bapaknya (Nabi Ishaq عليه السلام) berkata, “Baumu seperti Ya’qub, tetapi badanmu mirip ‘Iesh.”
Kemudian Nabi Ishaq عليه السلام pun mendo’akan Ya’qub عليه السلام (– yang dikiranya sebagai ‘Iesh –), dan diperintahkan putaranya tersebut pergi ke tempat pamannya, saudara dari ibunya, yang bernama Laabaan. Laabaan memiliki dua orang putri.
Putri yang pertama bernama Liyaa, sedangkan putri yang kedua bernama Rokhiil.
Maksud kedatangan Ya’qub عليه السلام ke tempat Laabaan tersebut, adalah untuk meminang putri Laabaan. Laabaan membolehkan putrinya untuk dinikahi oleh Ya’qub عليه السلام dengan syarat Ya’qub عليه السلام menggembalakan kambing Laabaan selama 7 (tujuh) tahun. Laabaan memang memiliki kambing yang cukup banyak. Syarat itupun kemudian diterima oleh Ya’qub عليه السلام.
Setelah 7 (tujuh) tahun berlalu, maka Ya’qub عليه السلام pun dinikahkan dengan putri Laabaan yang bernama Liyaa. Pada malam pertama pernikahannya, barulah Ya’qub عليه السلام sadar bahwa yang dinikahinya adalah Liyaa. Bukan Rokhiil. Padahal putri Laabaan yang ingin dinikahi oleh Ya’qub عليه السلام adalah Rokhiil. Didalam riwayat, diberitakan bahwa Liyaa memang berwajah tidak cantik, sementara adiknya Rokhiil lah yang berwajah cantik. Alangkah kecewanya Ya’qub عليه السلام, tetapi akad nikah telah terjadi.
Maka Ya’qub عليه السلام pun kembali menanyakan perihal tersebut kepada Laabaan.
Laabaan pun memberikan penjelasan, bahwa dalam adat yang ada dikalangan mereka dikala itu, putri tertua lah yang harus dinikahkan terlebih dahulu. Oleh karena itu Laabaan memberikan Liyaa kepada Ya’qub عليه السلام, dan bukannya Rokhiil.
Ya’qub عليه السلام kembali mengajukan keinginannya untuk menikahi Rokhiil kepada Laabaan. Maka mertuanya, Laabaan, pun menjawab, “Kalau engkau ingin menikahi adiknya (Rokhiil) maka engkau harus menggembalakan kambingku lagi selama 7 tahun.”
Maka disanggupinya lah hal itu oleh Ya’qub عليه السلام, dan beliau عليه السلام kembali menggembala kambing di tempat mertuanya Laabaan selama 7 tahun lagi.
Setelah 7 tahun berlalu, maka Ya’qub عليه السلام pun dinikahkan dengan Rokhiil. Jadi, Ya’qub عليه السلام memiliki 2 orang istri, yaitu kakak-beradik Liyaa dan Rokhiil.
Menurut syari’at yang ada di zaman tersebut, memang diperbolehkan untuk menikahi sekaligus dua orang perempuan kakak beradik. Namun di masa Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم, maka syari’at ini telah dihapus dan telah dinyatakan terlarang untuk menikahi dua orang perempuan kakak beradik bagi ummat Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagaimana Allah سبحانه وتعالى firmankan dalam QS. An Nisa’ 4:22-23 berikut ini:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
Dari istri bernama Liyaa, terlahir empat orang anak bernama Ruubiil, Syam’uun, Laawi dan Yahuudzaa.
Sementara dari istri yang bernama Rokhiil belumlah dikaruniai putra.
Laabaan pun memberikan kepada masing-masing putrinya seorang budak. Budak perempuan bagi Liyaa adalah bernama Balhaa. Sementara budak perempuan bagi Rokhiil, adalah bernama Zulfaa.
Karena adanya kecemburuan diantara Liyaa dan Rokhill, maka didalam riwayat diberitakan Rokhiil “menghadiahkan” budaknya Zulfaa untuk dinikahi oleh Ya’qub عليه السلام, sehingga kemudian terlahirlah dari Zulfaa dua orang anak bernama Jaad dan Asyiir.
Liyaa pun tidak mau kalah, dan selanjutnya ia “menghadiahkan” budaknya yang bernama Balhaa kepada suaminya Ya’qub عليه السلام, agar budak tersebut dinikahi pula oleh Ya’qub عليه السلام. Maka terlahirlah dari Balhaa dua orang anak lagi yang bernama Daani dan Niftalii.
Selanjutnya dari Liyaa, Ya’qub عليه السلام memiliki anak-anak lagi bernama Iisakhir, seorang putra bernama Zaabiluun dan seorang putri bernama Dun-ya.
Jadi anak Ya’qub عليه السلام pun menjadi 11 orang. Tujuh orang anak dari Liyaa, yaitu: Ruubiil, Syam’uun, Laawi, Yahuudzaa, Iisakhir, Zaabiluun dan Dun-ya.
Serta dua orang anak lagi dari budak perempuannya (Zulfaa), yakni: Jaad dan Asyiir.
Ditambah dua orang anak dari budak perempuannya (Balhaa), yakni: Daani dan Niftalii.
Maka jumlah keseluruhannya adalah 11 (sebelas) orang. Inilah yang dimaksud sebagai 11 orang saudara Yusuf عليه السلام, sebagaimana difirmankan Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Yusuf 12:4 diatas.
Pada suatu ketika Nabi Ya’qub عليه السلام mengajak istri-istri dan anak-anaknya untuk pulang ke negeri asalnya yaitu daerah Kana’an; yang merupakan negeri asal Nabi Ishaq عليه السلام.
Dalam perjalanan, ditengah malam yang gelap gulita, diberitakan bahwa Ya’qub عليه السلام bertemu dengan seseorang (– yang sebenarnya ia adalah merupakan Malaikat –).
Nabi Ya’qub عليه السلام menyangka Malaikat itu adalah seorang perampok dan dikarenakan kekhawatirannya atas keselamatan keluarganya, maka terjadilah perkelahian (pergulatan) antara Nabi Ya’qub عليه السلام dengan orang tak dikenal (Malaikat) tadi. Perkelahian tersebut berlangsung sampai terbit matahari, dan ketika hari mulai siang perkelahian pun berhenti.
Akibat perkelahian tersebut, Nabi Ya’qub عليه السلام menjadi terluka dan pincang. Akan tetapi lawannya, yang sebenarnya merupakan Malaikat tadi, adalah kalah didalam pertarungan tersebut. Ketika matahari terbit dan suasana telah menjadi terang, maka mereka pun saling melihat satu sama lainnya.
Maka berkatalah Malaikat itu, “Siapakah engkau?”
Maka Nabi Ya’qub عليه السلام pun menjawab, “Aku adalah Ya’qub.”
Berkatalah Malaikat itu kembali, “Kamu bukan Ya’qub. Sejak hari ini engkau bernama Isra’iil.”
(– Didalam bahasa Ibrani, “Isra’iil” artinya adalah “Hamba Allah”, yang pada hakekatnya adalah sama dengan ‘Abdullah –)\
Nabi Ya’qub عليه السلام memang merupakan seorang yang diberkahi; memiliki banyak anak dan menjadi orang kaya. Dan ternyata istrinya yang kedua (Rokhiil) pada akhirnya pun hamil dan melahirkan seorang putra yang sangat tampan bernama Yusuf عليه السلام. Nabi Yusuf عليه السلام terkenal dengan ketampanan wajahnya, karena ia terlahir dari ibunya Rokhiil yang juga berwajah cantik.
Demikianlah, Nabi Ya’qub عليه السلام yang terlah beranak-pinak didaerah Haaroon (– daerah tempat mertuanya, Laabaan, berada –) yang berjarak sekitar 500 Km dari Kana’an; pada akhirnya membawa seluruh istri-istri dan anak-anaknya kembali ke negeri asalnya yakni Kana’an. Setibanya di Kana’an, Nabi Ya’qub عليه السلام beserta keluarga besarnya pun disambut oleh kakak laki-lakinya, yaitu ‘Iesh.
Pada suatu waktu, Nabi Yusuf عليه السلام yang ketika itu berusia sekitar 11 tahun, kemudian bermimpi bahwa sebelas bintang bersujud kepadanya, sebagaimana dalam QS. Yusuf 12:4 diatas. Ketika mimpinya itu diberitakannya kepada bapaknya (Nabi Ya’qub عليه السلام), dan terdengarlah pula hal ini oleh ibu tirinya (Liyaa). Maka Nabi Ya’qub عليه السلام melarang Nabi Yusuf عليه السلام serta istrinya Liyaa (ibu tiri Nabi Yusuf عليه السلام) agar mereka tidak memberitakan mimpi tersebut kepada kakak-kakak Nabi Yusuf عليه السلام.
Namun terjadi ketidak –jujuran dimana Liyaa membocorkan berita tersebut kepada kakak-kakak Nabi Yusuf عليه السلام yang berjumlah 11 orang tersebut. Akibat berita tersebut, maka muncullah rasa iri di hati kakak-kakak Nabi Yusuf عليه السلام, terutama anak tertua yang bernama Ruubiil.
Didalam riwayat, memang Nabi Ya’qub عليه السلام lebih menyayangi Nabi Yusuf عليه السلام dibandingkan kakak-kakaknya. Hal ini dikarenakan ibu Nabi Yusuf عليه السلام (Rokhiil) yang kemudian meninggal setelah melahirkan anak terakhir yakni Bunyamin.
Karena Nabi Yusuf عليه السلام serta adiknya Bunyamin, tidak memiliki ibu lagi sedari kecil, maka wajarlah apabila kasih sayang Nabi Ya’qub عليه السلام adalah lebih besar tercurahkan kepada Nabi Yusuf عليه السلام dan Bunyamin daripada terhadap kakak-kakaknya yang sudah dewasa. Hal ini tidaklah dimaklumi oleh saudara-saudara dari Nabi Yusuf عليه السلام dan Bunyamin. Bahkan mereka menyebutkan bahwa bapak mereka berada dalam kesesatan. Tampaknya, bibit sifat iri inilah yang menjadi bibit watak Bani Isra’iil.
(Kisah ini disarikan antara lain dari Kitab “Al Kaamil” karya Al Imaam Ibnul ‘Atsiir رحمه الله)
Kisah Nabi Yusuf عليه السلام yang didalam mimpinya melihat sebelas bintang bersujud kepadanya itulah yang didalam Hadits ditanyakan oleh seorang Yahudi bernama Syaibaan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebagaimana telah diuraikan diatas. Sehingga Allah سبحانه وتعالى pun menurunkan firman-Nya sebagaimana dalam QS. Yusuf 12:4. Sedangkan Hadits diatas adalah menjadi Asbaabun Nuzuul dari sebab diturunkannya firman Allah سبحانه وتعالى tersebut.
Kemudian Allah سبحانه وتعالى berfirman didalam QS Yusuf 12:5-7 sebagai berikut:
Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” Dan demikianlah Rabb-mu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi) dan diajarkan-Nya kepadamu sebahagian dari ta`bir mimpi-mimpi dan disempurnakan-Nya ni`mat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya`qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan ni`mat-Nya kepada dua orang bapakmu*] sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Rabb-mu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya ada beberapa tanda-tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.
*] Yang dimaksudkan dengan “dua orang bapak” adalah kakek (Ishaq عليه السلام) dan bapak dari kakek (Ibrahim عليه السلام)
Dari QS. Yusuf 12:7, yang dimaksud dengan “bagi orang-orang yang bertanya” adalah sebagaimana diberitakan dalam Hadits diatas yakni Syaibaan, seorang Yahudi yang bertanya kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dan Surat Yusuf menjadi jawaban bagi pertanyaan orang Yahudi tersebut.
Adapun kakak-kakak Nabi Yusuf عليه السلام yang merasa iri terhadapnya ketika mereka mendengar berita tentang mimpi tersebut dan kemudian mereka mulai merencanakan makar terhadap Nabi Yusuf عليه السلام dikala Nabi Yusuf عليه السلام berusia 17 tahun, maka hal ini adalah sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Yusuf 12:8-10 berikut ini:
“(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata. Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayah tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik.” Seseorang di antara mereka berkata: “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.”
Yang mengusulkan agar Nabi Yusuf عليه السلام dibunuh adalah kakak tertua yang bernama Ruubiil. Adapun yang menyatakan agar Nabi Yusuf عليه السلام jangan dibunuh melainkan dimasukkan kedalam sumur saja adalah kakak laki-lakinya yang bernama Yahuudzaa.
Dengan demikian kakak-kakak Nabi Yusuf عليه السلام pun berdusta terhadap bapak mereka, yakni Nabi Ya’qub عليه السلام, dengan menyembelih seekor domba yang darahnya kemudian ditorehkan kepada baju Nabi Yusuf عليه السلام. Kemudian di malam harinya, mereka datang menghadap bapak mereka (Nabi Ya’qub عليه السلام) dengan membawa baju Nabi Yusuf عليه السلام yang telah diberi darah domba tersebut. Ditunjukkanlah baju tersebut kepada bapaknya sambil mengatakan bahwa Nabi Yusuf عليه السلام telah mati diterkam dan dimakan oleh serigala. Sesungguhnya Nabi Ya’qub عليه السلام meragukan cerita anak-anaknya itu, karena mereka mengatakan bahwa Nabi Yusuf عليه السلام diterkam serigala namun mengapakah bajunya masih tampak utuh, tidaklah robek.
Beberapa hari setelahnya Yahuudzaa melihat kedalam sumur dimana Nabi Yusuf عليه السلام dibuang, ternyata Nabi Yusuf عليه السلام sudah tidak ada lagi didalam sumur tersebut, karena ia telah diangkat oleh seorang musafir yang kemudian dibeli oleh orang Mesir seharga 40 dirham.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Yusuf 12 ayat 11-21 berikut ini:
“Mereka berkata: “Wahai ayah kami, apa sebabnya engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami adalah orang-orang yang menginginkan kebaikan baginya. Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan sesungguhnya kami pasti menjaganya.” Berkata Ya`qub; “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau dia dimakan serigala, sedang kamu lengah daripadanya.” Mereka berkata: “Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat), sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.” Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya engkau kelak akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di petang harinya sambil menangis. Mereka berkata: “Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala, dan engkau sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar.” Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya`qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka hanya bersabar itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah sajalah (aku) memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” Kemudian datanglah sekelompok orang-orang musafir, lalu mereka menyuruh seorang pengambil air, maka dia menurunkan timbanya. Dia berkata: “Oh, kabar gembira, ini seorang anak muda!” Kemudian mereka menyembunyikan dia sebagai barang dagangan. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan. Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, sebab mereka tidak tertarik padanya. Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya: “Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikian pulalah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya ta`bir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya”.
Nabi Yusuf عليه السلام kemudian dipelihara oleh seorang Raja Mesir, yang konon istri raja itu sangatlah cantik dan ia tertarik dengan ketampanan Nabi Yusuf عليه السلام. Akhirnya istri raja itu pun membujuk kepada Nabi Yusuf عليه السلام, mengajaknya untuk berbuat yang tidak baik, namun dengan pertolongan Allah سبحانه وتعالى, Nabi Yusuf عليه السلام pun dapat terhindar dari perbuatan buruk tersebut dan beliau عليه السلام lebih memilih untuk dipenjara daripada terjatuh kepada ke-ma’shiyatan.
Allah سبحانه وتعالى memberitakan tentang keteguhan dan sifat mulia Nabi Yusuf عليه السلام ini di dalam firman-Nya dalam Surat Yusuf 12:23-34 berikut ini :
“Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya). Dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang dzalim tiada akan beruntung. Dan sungguh, wanita iu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Rabb-nya. Demikianlah, Kami palingkan daripadanya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan keduanya mendapati suami wanita itu di depan pintu. Wanita itu pun berkata: “Apakah balasan terhadap orang yang bermaksud buruk terhadap istrimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan siksa yang pedih?” Yusuf berkata: “Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)”. Seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: “Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.” Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, berkatalah dia: “Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu dayamu, sesungguhnya tipu dayamu adalah benar-benar hebat.” (Hai) Yusuf: “Lupakanlah ini dan (kamu hai istriku) mohon ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat salah.” Dan wanita-wanita di kota berkata: “Isteri Al-‘Aziz menggoda pelayannya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), dan sesungguhnya cintanya kepada pelayannya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami memandangnya dalam kesesatan yang nyata.” Maka tatkala wanita itu mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf): “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)-nya dan mereka (tanpa sadar) melukai (jari) tangannya sendiri seraya berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.”Wanita itu (istri Al-‘Aziz) berkata: “Itulah dia orang yang kamu cela aku karena (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya (kepadaku) akan tetapi dia menolak. Dan sesungguhnya jika dia tidak mentaati apa yang aku perintahkan kepadanya, niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina.” Yusuf berkata: “Wahai Rabb-ku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan diriku dari tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” Maka Rabb-nya memperkenankan do`a Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Demikianlah, Nabi Yusuf عليه السلام dengan keteguhan imannya, lebih memilih untuk dipenjara daripada terjatuh kepada kema’shiyatan.
Berdasarkan riwayat, Raja Mesir yang memenjarakan Nabi Yusuf عليه السلام itu bernama Ar Royyaan bin Al Waliid bin Al Harowaan bin Ar Roosyih bin Faaroon bin ‘Amr bin ‘Amlaaq bin Laawidz bin Saam bin Nuuh (keturunan dari Nabi Nuh عليه السلام) yang memang merupakan seorang yang lemah syahwatnya terhadap wanita. Sehingga ketika peristiwa itu terjadi, Nabi Yusuf عليه السلام adalah berusia sekitar 35 tahun, usia dimana seorang pemuda sedang dalam puncak kegagahan fisiknya. Adapun wanita istri Raja Mesir tersebut, yang bernama Roo’iil, usianya adalah sebanding dengan Nabi Yusuf عليه السلام, maka wajarlah bila istri Raja Mesir (istri Al-‘Aziz) tersebut kemudian tertarik kepada Nabi Yusuf عليه السلام. Hal ini dikarenakan suaminya sendiri (Raja Mesir yang bernama Ar Royyaan) tersebut adalah seorang yang lemah syahwatnya. Didalam riwayat, setelah Nabi Yusuf عليه السلام keluar dari penjara dan pada akhirnya diangkat menjadi Menteri Keuangan (Bendaharawan) negeri Mesir, maka Raja Mesir itupun didakwahinya sehingga akhirnya Raja Mesir itu masuk kedalam Islam, dan tidak lama setelahnya ia pun meninggal dunia. Setelah Raja Mesir (Ar Royyaan) tersebut meninggal dunia, maka pada akhirnya bekas istri Raja Mesir, yakni Roo’iil (– yang menggoda Nabi Yusuf عليه السلام –) tersebut pun menikah dengan Nabi Yusuf عليه السلام. Dan ketika ia menikah dengan Nabi Yusuf عليه السلام adalah masih dalam keadaan perawan, karena selama menjadi istri Al’Aziz tersebut, ia belum lah “disentuh” oleh suaminya.
Sepeninggal Raja Mesir yang bernama Ar Royyaan tersebut, maka penggantinya yakni Raja Mesir berikutnya bernama Qoobuus bin Mush’ab bin Mu’aawiyah bin Numair bin As Salwaas bin Faaroon bin ‘Amr bin ‘Amlaaq, yang masih merupakan saudara dari Ar Royyaan; maka ia pun juga didakwahi oleh Nabi Yusuf عليه السلام tetapi ia tetap tidak mau masuk kedalam Islam.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى yang memberitakan tentang kemuliaan Nabi Yusuf عليه السلام di dalam Al Qur’an Surat Yusuf 12:35-57 berikut ini:
“Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu. Dan bersama dengan dia masuk pula kedalam penjara dua orang pemuda. Berkatalah salah seorang di antara keduanya: “Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur.” Dan yang lainnya berkata: “Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan burung.” Berikanlah kepada kami ta`birnya; sesungguhnya kami memandangmu termasuk orang-orang yang pandai (mena`birkan mimpi).” Yusuf berkata: “Tidaklah disampaikan kepada kamu berdua makanan apa yang akan diberikan kepadamu, melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai kepadamu. Yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadaku oleh Rabb-ku. Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian. Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia itu tidak mensyukuri-(Nya). Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Apa yang kamu sembah selain Dia, hanyalah nama-nama yang kamu buat-buat, baik olehmu sendiri maupun oleh nenek moyangmu. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Hai kedua penghuni penjara, “Adapun salah seorang di antara kamu berdua, akan memberi minum tuannya dengan khamr; adapun yang seorang lagi maka ia akan disalib, lalu burung memakan sebagian dari kepalanya. Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).” Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat di antara mereka berdua: “Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.” Maka setan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Karena itu tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya. Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering.” Hai orang-orang yang terkemuka: “Terangkanlah kepadaku tentang ta`bir mimpiku itu jika kamu dapat mena`birkan mimpi.” Mereka menjawab: “(Itu) adalah mimpi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu menta`birkan mimpi itu.” Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) sesudah beberapa waktu lamanya: “Aku akan memberitakan kepadamu tentang (orang yang pandai) menta`birkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya).” (Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya.” Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur.”Raja berkata: “Bawalah dia kepadaku.” Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: “Kembalilah kepada tuanmu dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Mengetahui tipu daya mereka.” Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): “Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?” Mereka berkata: Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan daripadanya. Berkata isteri Al-‘Aziz: “Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf berkata): “Yang demikian itu agar dia (Al-‘Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhoi tipu daya orang-orang yang berkhianat. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dan Raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang dekat kepadaku”. Maka tatkala Raja telah bercakap-cakap dengannya, maka dia (Raja) pun berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju ke mana saja yang ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. Dan sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa.”
Selanjutnya Allah سبحانه وتعالى memberitakan tentang pertemuan kembali Nabi Yusuf عليه السلام dengan saudara-saudaranya yang dikala itu berada di Palestina, yang datang kepadanya (ke Mesir) berjumlah 10 orang, untuk meminta bantuan pangan, sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Yusuf 12:58-68 berikut ini:
“Dan saudara-saudara Yusuf datang (ke Mesir) lalu mereka masuk ke (tempat)-nya. Maka Yusuf mengenal mereka, sedang mereka tidak kenal (lagi) kepadanya. Dan tatkala Yusuf menyiapkan untuk mereka bahan makanannya, ia berkata: “Bawalah kepadaku saudaramu yang sebapak denganmu (Bunyamin), tidakkah kamu melihat bahwa aku menyempurnakan takaran dan aku adalah sebaik-baik penerima tamu? Jika kamu tidak membawanya kepadaku, maka kamu tidak akan mendapatkan jatah (gandum) lagi daripadaku dan janganlah kamu mendekatiku”. Mereka berkata: “Kami akan membujuk bapaknya untuk membawanya (ke sini) dan sesungguhnya kami benar-benar akan melaksanakannya”. Yusuf berkata kepada pelayan-pelayannya: “Masukkanlah barang-barang (penukar kepunyaan mereka) ke dalam karung-karung mereka, supaya mereka mengetahuinya apabila mereka telah kembali kepada keluarganya, mudah-mudahan mereka kembali lagi”. Maka tatkala mereka telah kembali kepada bapak mereka (Ya`qub) mereka berkata: “Wahai bapak kami, kami tidak akan mendapat jatah (gandum) lagi, (jika tidak membawa saudara kami), sebab itu biarkanlah saudara kami pergi bersama-sama kami supaya kami mendapatkan jatah, dan sesungguhnya kami benar-benar akan menjaganya”. Berkatalah Ya`qub: “Bagaimana aku akan mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu?”. Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. Tatkala mereka membuka barang-barangnya, mereka menemukan kembali barang-barang (penukaran) mereka, dikembalikan kepada mereka. Mereka berkata: “Wahai bapak kami, apa lagi yang kita inginkan. Ini barang-barang kita, dikembalikan kepada kita, dan kami akan dapat memberi makan keluarga kami, dan kami akan dapat memelihara saudara kami, dan kami akan mendapat tambahan jatah (gandum) seberat beban seekor unta. Itu adalah hal yang mudah (bagi Raja Mesir)”. Ya`qub berkata: “Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi) bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh”. Tatkala mereka memberikan janji mereka, maka Ya`qub berkata: “Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)”. Dan Ya`qub berkata: “Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berbeda; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun daripada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkul dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkul berserah diri”. Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan bapak mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu hanya suatu keinginan pada diri Ya`qub yang telah ditetapkannya. Dan sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”
Kemudian Allah سبحانه وتعالى memberitakan tentang pertemuan Nabi Yusuf عليه السلام dengan adiknya Bunyamin dan pada akhirnya dengan bapaknya yakni Nabi Ya’qub عليه السلام.
Nabi Yusuf عليه السلام membuat siasat agar adiknya Bunyamin tetap tinggal bersamanya di Mesir. Oleh karena itu ketika kesebelas orang saudara-saudaranya dan adiknya Bunyamin hendak pulang kembali kenegeri Kana’an setelah mereka mendapatkan jatah gandumnya; maka diam-diam (secara rahasia) dimasukkanlah piala Kerajaan (mangkuk untuk minum) kedalam karung makanan Bunyamin. Ketika saudara-saudaranya dan Bunyamin hendak berangkat pulang, maka diumumkanlah bahwa ada piala kerajaan Mesir yang hilang, maka diperiksalah karung-karung makanan mereka. Dan ditemukannya lah piala tersebut di karung Bunyamin. Maka diumumkanlah bahwa Bunyamin harus ditahan di Mesir dengan dalih telah mencuri barang.
Pulanglah saudara-saudara Nabi Yusuf عليه السلام ke Kana’an kepada bapak mereka, tanpa membawa Bunyamin. Nabi Ya’qub عليه السلام pun kemudian diminta untuk datang ke Mesir.
Sebelum datang ke Mesir, maka Nabi Ya’qub عليه السلام menulis sebuah surat kepada Penguasa Mesir, meminta agar janganlah keluarga Ya’qub عليه السلام dipersulit karena mereka memang sedang membutuhkan pertolongan.
Diawal suratnya, Nabi Ya’qub عليه السلام memberitakan perihal dirinya, dengan pernyataannya sebagai berikut:
“Dari Ya’qub, Isra’iil (‘Abdullah) bin Ishaq, kepada Penguasa Mesir.
Kami banyak bala’, banyak kekurangan pangan, kelaparan…..” dan seterusnya.
Dalam surat tersebut Nabi Ya’qub عليه السلام menyebut dirinya dengan sebutan “Isra’iil bin Ishaq”.
Peristiwa diatas diberitakan oleh Allah سبحانه وتعالى sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Yusuf 12:69-101 berikut ini:
“Dan tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf, Yusuf membawa saudaranya (Bunyamin) ke tempatnya, Yusuf berkata: “Sesungguhnya aku (ini) adalah saudaramu, maka janganlah kamu berdukacita terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. Maka tatkala telah disiapkan untuk mereka bahan makanan mereka, Yusuf memasukkan piala (tempat minum) ke dalam karung saudaranya. Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan: “Hai kafilah, sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri”. Mereka menjawab, sambil menghadap kepada penyeru-penyeru itu: “Barang apakah yang hilang darimu?” Penyeru-penyeru itu berkata: “Kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya”. Saudara-saudara Yusuf menjawab: “Demi Allah sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri”. Mereka berkata: “Tetapi apa balasannya jikalau kamu betul-betul pendusta?”. Mereka menjawab: “Balasannya, ialah pada siapa diketemukan (barang yang hilang) dalam karungnya, maka dia sendirilah balasannya (tebusannya). Demikianlah kami memberi hukuman kepada orang-orang yang dzalim.” Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka, sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala Raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah Kami mengatur rencana untuk (mencapai maksud) Yusuf. Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki: dan diatas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi Yang Maha Mengetahui. Mereka berkata: “Jika ia mencuri, maka sesungguhnya telah pernah mencuri pula saudaranya sebelum itu”. Maka Yusuf menyembunyikan kejengkelan itu pada dirinya dan tidak menampakkannya kepada mereka. Dia berkata (dalam hatinya): “Kamu lebih buruk kedudukanmu (sifat-sifatmu) dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu terangkan itu”. Mereka berkata: “Wahai Al-‘Aziz, sesungguhnya ia mempunyai bapak yang sudah lanjut usianya, lantaran itu ambillah salah seorang diantara kami sebagai gantinya, sesungguhnya kami melihat kamu termasuk orang-orang yang berbuat baik”. Berkata Yusuf: “Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang, kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat demikian, maka benar-benarlah kami orang-orang yang dzalim”. Maka tatkala mereka berputus asa daripada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. Berkatalah yang tertua di antara mereka: “Tidakkah kamu ketahui bahwa sesungguhnya bapakmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. Sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai bapakku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya”. Kembalilah kepada bapakmu dan katakanlah: “Wahai bapak kami! Sesungguhnya anakmu telah mencuri; dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui, dan sekali-kali kami tidak dapat menjaga (mengetahui) barang yang ghaib. Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar”. Ya`qub berkata: “Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf”, dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya). Mereka berkata: “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati Yusuf, sehingga kamu mengidapkan penyakit yang berat atau termasuk orang-orang yang binasa”. Ya`qub menjawab: “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.” Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. Maka ketika mereka masuk ke (tempat) Yusuf, mereka berkata: “Hai Al-‘Aziz, kami dan keluarga kami telah ditimpa kesengsaraan dan kami datang membawa barang-barang yang tak berharga, maka sempurnakanlah jatah untuk kami, dan bershodaqohlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bershodaqoh.” Yusuf berkata: “Apakah kamu mengetahui (kejelekan) apa yang telah kamu lakukan terhadap Yusuf dan saudaranya ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatanmu itu?”. Mereka berkata: “Apakah kamu ini benar-benar Yusuf?” Yusuf menjawab: “Akulah Yusuf dan ini saudaraku. Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami”. Sesungguhnya barangsiapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. Mereka berkata: “Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadapmu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia ke wajah bapakku, nanti ia akan melihat kembali; dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku”. Tatkala kafilah itu telah keluar (dari negeri Mesir) berkatalah bapak mereka: “Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)”. Keluarganya berkata: “Demi Allah, sesungguhnya kamu masih dalam kekeliruanmu yang dahulu”. Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya`qub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Ya`qub: “Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya”. Mereka berkata: “Wahai bapak kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Ya`qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabb-ku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Maka tatkala mereka masuk ke (tempat) Yusuf: Yusuf merangkul ibu bapaknya dan dia berkata: “Masuklah kamu ke negeri Mesir, insya Allah dalam keadaan aman”. Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf. Dan berkatalah Yusuf: “Wahai bapakku inilah ta`bir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Rabb-ku telah menjadikannya suatu kenyataan. Dan sesungguhnya Rabb-ku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari rumah penjara dan ketika membawamu dari dusun padang pasir, setelah setan merusakkan (hubungan) antaraku dan saudara-saudaraku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Lembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Ya Rabb-ku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta`bir mimpi. (Ya Rabb), Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang shalih.”
Demikianlah berita dari Wahyu (Al Qur’an) yang berkaitan dengan Nabi Yusuf عليه السلام. Didalam riwayat diberitakan bahwa Nabi Yusuf عليه السلام memiliki dua orang putra. Yang pertama bernama Afro’iim, dan yang kedua bernama Mansyaa.
Afro’iim memiliki anak bernama Nuun, sedangkan Mansyaa memiliki anak bernama Muusaa (Sebagian ‘Ulama mengatakan bahwa Muusaa ini adalah Muusaa bin ‘Imran, dan sebagian ‘Ulama lain mengatakan bahwa ia adalah Musa Al Khidr).
Adapun Nuun memiliki anak bernama Yuusya’, dan Muusaa memiliki anak bernama Rohmah yang menjadi istri Nabi Ayyub عليه السلام.
Dengan demikian dapatlah kita mengambil pelajaran bahwa tercatat lima watak buruk dari Bani (keturunan) Isra’iil, yang hendaknya kita kaum Muslimin berlindung kepada Allah سبحانه وتعالى dari watak ini, yaitu:
- Su’udzon. Hal ini terjadi ketika Liyaa (istri Nabi Ya’qub عليه السلام) dilarang oleh Nabi Ya’qub عليه السلام untuk menceritakan mimpi Yusuf عليه السلام, tetapi hal tersebut dilanggarnya sehingga berita tentang mimpi Nabi Yusuf عليه السلام tersebut menimbulkan su’udzon (buruk sangka) bahwa Nabi Ya’qub عليه السلام tidak sayang kepada anak-anaknya yang lain yakni saudara-saudara Yusuf عليه السلام .
- Hasad, artinya: sifat iri.
- Dengki, sifat ini muncul akibat adanya Hasad (iri hati).
- Makar, yaitu rencana pembunuhan yang dilakukan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf عليه السلام terhadap Nabi Yusuf عليه السلام, yang berakhir dengan dimasukkannya ia kedalam sumur.
- Dusta, yaitu mereka melaporkan berita dusta terhadap bapak mereka yakni Nabi Ya’qub عليه السلام dengan menyatakan bahwa Nabi Yusuf عليه السلام telah meninggal dimakan serigala.
Lima watak buruk yang merupakan “penyakit” hati ini, akan muncul dalam berbagai kiprah Yahudi bahkan hingga zaman kita sekarang ini. Sifat dengki dan iri hati ini pula yang menyebabkan Yahudi enggan menerima keputusan Allah سبحانه وتعالى bahwa Nabi Penutup yakni Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم adalah datang dari keturunan Nabi Ismail عليه السلام, dan bukan muncul dari keturunan Nabi Ishaq عليه السلام. Sifat dengki dan iri hati ini pula lah yang menyebabkan Yahudi berani men-tahriif (mengubah-ubah) ayat dalam Taurat dengan menyatakan bahwa yang dikurbankan adalah Nabi Ishaq عليه السلام, dan bukannya Nabi Ismail عليه السلام, sebagaimana telah kita bahas dalam kajian kita yang lalu.
Dan dalam kajian mendatang, kita akan membahas tentang Nabi Musa عليه السلام, Nabi Daud عليه السلام dan Nabi Sulaiman عليه السلام sehingga diharapkan kita akan semakin memahami tentang akar Yahudi di awalnya; sebelum kita insya Allah akan membahas antara lain tentang Zionisme, Freemasonry serta berbagai kerusakan lain yang ada hingga zaman kita ini.
Hendaknya kita kaum Muslimin berlindung kepada Allah سبحانه وتعالى agar tidak terjangkiti penyakit su’udzon, hasad (iri), dengki, dusta dan makar yang merupakan watak buruk yang berkembang dikalangan Yahudi Bani Israil; dan hendaknya kita memperhatikan pesan Nabiyyullah Ya’qub عليه السلام yang diabadikan oleh Allah سبحانه وتعالى didalam Al Qur’an Surat Yusuf 12:5, “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
TANYA JAWAB
Pertanyaan:
Mohon penjelasan kelanjutan Hadits yang disampaikan diatas. Apakah Syaibaan (seorang Yahudi) yang bertanya kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم itu pada akhirnya masuk Islam ataukah tidak?
Jawaban:
Dalam keterangan Hadits, Yahudi yang bertanya kepada Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tersebut tidak dijelaskan apakah ia pada akhirnya masuk Islam ataukah tidak. Hadits tersebut merupakan Asbaabun Nuzuul (sebab dari turunnya) Surat Yusuf dalam Al Qur’an. Maksud Yahudi tadi bertanya sebenarnya adalah untuk menguji Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tentang Nabi-Nabi dari keturunan Nabi Ibrahim عليه السلام.
Pertanyaan:
- Sifat orang Bani Israil yang iri dan dengki itu bukankah juga sudah ditunjukkan oleh putra Nabi Adam عليه السلام yang bernama Qobil yang membunuh saudaranya?
- Apakah Nabi Yusuf عليه السلام yang menjadi penguasa Mesir akhirnya menurunkan keturunan Bani Isra’iil di Mesir termasuk Nabi Musa عليه السلام?
- Apakah nama “Yahudi” diambil dari nama salah seorang putra Nabi Ya’qub عليه السلام yang bernama Yahudza?
Jawaban:
- Sifat dengki dan iri yang ada pada orang Yahudi memang sudah ada pada sifat-sifat manusia sebelumnya, dan ini memang benar. Namun pada hakekatnya, kita sedang membahas tentang akar Yahudi di awal dan di akhir, agar kaum Muslimin memahami dengan benar apakah yang menjadi penyebab segala kebencian kaum Yahudi terhadap Muslimin bahkan hingga saat ini. Dan dari bahasan kita kali ini, kita dapat mempelajari dari manakah asal muasal munculnya nama Isra’iil.
- Benar, memang awalnya Nabi Ya’qub عليه السلام dan putra-putranya termasuk Nabi Yusuf عليه السلام berasal dari daerah Kana’an. Kemudian saudara-saudara Nabi Yusuf عليه السلام dibawa oleh Nabi Yusuf عليه السلام ke Mesir, beranak-pinak di Mesir dan pada akhirnya mereka mengalami penindasan oleh Fir’aun. Kata “Fir’aun” pada zaman Mesir Kuno sebenarnya berarti “Raja”. Dan didalam perjalanan sejarah selanjutnya, Raja-Raja (Fir’aun) Mesir itu ada yang masuk kedalam Islam seperti Raja Mesir pada masa Nabi Yusuf عليه السلام yang bernama Ar Royyaan. Namun sesudahnya, yang menjadi Raja-Raja Mesir bukanlah Islam lagi, dan berkelanjutan hingga zaman Nabi Musa عليه السلام.
- Tentang nama “Yahudi”, ada 4 kemungkinan asal-usul katanya. Ada yang menyatakan bahwa sebenarnya kata “Yahudi” berasal dari kata “At Tahawwud” atau “Al-Hawada”. Dan ada pula yang menyatakan berasal dari kata “Yahuudzaa”, salah seorang putra Nabi Ya’qub عليه السلام. Lebih lengkapnya insya Allah akan kita bahas pada kajian mendatang.
Pertanyaan:
- Ada Hadits yang menyatakan bahwa dunia ini tidak akan Kiamat sebelum Yahudi lenyap dari muka bumi. Benarkah hal ini?
- Ada keterangan yang menyatakan bahwa Nabi Yusuf عليه السلام menikah dengan istri Raja yang bernama Zulaikha. Tetapi ada pula keterangan lain yang menyatakan bahwa istri Nabi Yusuf عليه السلام bukanlah bernama Zulaikha, sehingga apabila ada orang membaca do’a dalam pernikahan dengan menyebut-nyebut: “Semoga pengantin ini adalah seperti pasangan Yusuf عليه السلام dan Zulaikha”, maka bukankah do’a yang demikian itu tidak benar? Mohon penjelasannya.
Jawaban:
- Memang benar, sebagaimana dalam Hadits dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم, diberitakan bahwa Yahudi akan lenyap dari muka bumi, akan kalah dan itulah akhir dari bahasan kita tentang Yahudi. Insya Allah kajian-kajian kita akan sampai pula pada akhirnya membahas tentang hal ini.
Bahkan dalam Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 2292 dari Shahabat Abu Hurairah رضي الله عنه, beliau berkata bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Tidak akan terjadi Hari Kiamat sehingga Muslimin memerangi Yahudi, sehingga Muslimin membunuh mereka dan ketika Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, maka pohon dan batu pun berkata, “Wahai Muslim, wahai hamba Allah, ini Yahudi di belakangku. Kemarilah dan bunuhlah dia.”, kecuali pohon Ghorqod, sesungguhnya dia adalah pohon Yahudi.”
Oleh karena itu, bahkan di media massa (antara lain di internet, silakan buka Jewish National Fund: www.jnf.org yang merupakan website kaum Yahudi atau silakan klik http://www.youtube.com/watch?v=anjsDjPvsN8 yang merupakan rekaman video Yahudi berjudul “Ancient Trees Throughout Israel”), dimana diberitakan bahwa orang-orang Yahudi saat ini telah menanam sebanyak 240 juta pohon Ghorqod (Lycium ferocissimum atau Boxthorn) di tanah Palestina, yakni satu-satunya jenis pohon yang dikala Yahudi nanti akan kalah dan ditumpas habis, maka pohon Ghorqod lah yang tidak mau melaporkan keberadaan kaum Yahudi kepada Muslimin.
Pohom Ghorqod
Benar, sebagaimana dalam bahasan kita diatas, telah dijelaskan bahwa bekas istri Raja Mesir Ar Royyaan, yang kemudian dinikahi oleh Nabi Yusuf عليه السلام adalah bernama Roo’iil. Bukan bernama Zulaikha. Sehingga apabila ada yang berdo’a dengan do’a demikian tentulah tidak tepat.
Pertanyaan:
Apa maknanya sampai Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم diingkari sebagai bukan dari keturunan Nabi Ismail عليه السلام oleh orang Yahudi?
Jawaban:
Sebenarnya bagi kita kaum Muslimin adalah meyakini bahwa itu adalah Hak Mutlak Allah سبحانه وتعالى untuk memilih siapa yang akan diangkat menjadi Nabi atau Rasul. Dari kalangan mana saja adalah terserah pada kehendak Allah سبحانه وتعالى. Dari Nabi-Nabi kalangan Bani Isra’iil silakan, atau dari mana saja adalah tidak ada masalah. Kita kaum Muslimin menerimanya dengan ikhlas. Tetapi tidak demikian dengan Bani Isra’ill, mereka hanya mau menerima Nabi dan Rasul dari kalangan mereka saja.
Hal ini adalah sebagaimana yang Allah سبحانه وتعالى firmankan dalam QS. Ash Shaffat 37:113 bahwa diantara anak cucu Nabi Ishaq عليه السلام ada yang berbuat dzalim terhadap dirinya dengan kedzaliman yang nyata:
“Kami limpahkan keberkahan atasnya (Ibrahim) dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang dzalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.”
Hal ini disebabkan karena mereka telah berbuat melampaui batas, dimana Allah سبحانه وتعالى telah mendatangkan sekian banyak Nabi dan Rasul dari kalangan Bani Isra’iil, tetapi banyak diantara para Nabi tersebut yang mereka bunuh. Sebagaimana hal ini difirmankan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqarah 2:61,
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Rabb-mu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu: sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya dan bawang merahnya”. Musa berkata: “Maukah kamu mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta”. Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.”
Juga dalam QS. Al Baqarah 2:87 berikut ini:
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan Rasul-Rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mu`jizat) kepada `Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruhul-Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu bersikap angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?”
Dan juga dalam QS. Al Baqarah 2:90-91 berikut ini:
“Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan. Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Qur’an yang diturunkan Allah”, mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Qur’an itu adalah (Kitab) yang haq; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?“
Bagi kita kaum Muslimin, tidak menjadi masalah bila Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم berasal dari keturunan Nabi Ismail عليه السلام sebagaimana yang Allah سبحانه وتعالى kehendaki, ataukah berasal dari keturunan Nabi lainnya. Kita kaum Muslimin menerima apa pun yang menjadi keputusan Allah سبحانه وتعالى. Yang bermasalah adalah justru kaum Yahudi, karena mereka hanya mau menerima apabila Nabi dan Rasul itu diangkat dan dipilih dari kalangan mereka (Bani Isra’iil). Namun, bila bukan dari kalangan mereka, maka mereka tidak mau menerimanya.
Justru masalah menjadi muncul ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم terlahir bukan dari keturunan Nabi Ishaq عليه السلام. Padahal didalam Taurat (Kitab orang-orang Yahudi), sebenarnya telah diberitakan bahwa mereka (Yahudi) itu mengetahui tentang akan munculnya Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم sebagai Nabi akhir zaman, sebagaimana pengetahuan seorang bapak terhadap anaknya.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqarah 2:146 berikut ini:
“Orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.”
Jadi mereka paham dan tahu betul atas kenabian Muhammad صلى الله عليه وسلم. Tetapi karena Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم tidak berasal dari keturunan Nabi Ishaq عليه السلام, maka muncullah hasad (iri) dan dengki yang menyebabkan mereka tidak mau menerima dan mengingkari kedatangan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Itulah yang Allah سبحانه وتعالى beritakan di dalam QS. Al Baqarah 2:90 diatas.
Bagi kita, kalau garis Wahyu-nya benar, maka kita akan beriman, dan kita tidak membenci Nabi dari kalangan Bani Israil atau siapa pun. Karena semua itu adalah sesuai dengan firman Allah سبحانه وتعالى. Yang menjadi masalah adalah, kita beriman kepada Nabi-Nabi dari Bani Israil; tetapi orang Bani Israil (Yahudi) tidak percaya dan tidak mau menerima Nabi dari kalangan Bani Ismail. Padahal semua itu adalah hendaknya kita kembalikan kepada Wahyu, firman Allah سبحانه وتعالى dan kehendak Allah سبحانه وتعالى semata-mata.
Kita kaum Muslimin adalah sebagaimana firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqarah (2) ayat 136:
“Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan ‘Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb-nya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya (Muslimun)“.
Kita kaum Muslimin beriman kepada Nabi-Nabi, Kitab-Kitab Wahyu Allah سبحانه وتعالى sebelum Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan kita pun meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah khatamul ‘anbiya wal mursaliin (Penutup seluruh Nabi dan Rasul).
Nabi Musa dan Bani Israil
Kalau kita sedikit menengok ke belakang dan mencermati tentang apa yang disebut Yahudi dan kaitannya dengan Nabi Ibrahim عليه السلام, maka akan kita temukan bahwa Yahudi membuat suatu klaim yang baathil (tidak benar) terhadap Nabi Ibrahim عليه السلام; yang kemudian oleh Allah سبحانه وتعالى klaim tersebut dinetralisir dan diklarifikasi serta ditetapkan berita yang sebenarnya.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Aali ‘Imran 3:67 dimana Allah سبحانه وتعالى menepis keyakinan baathil orang-orang Yahudi tersebut:
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nashrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus*] lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.”
*] “Lurus” berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah سبحانه وتعالى) dan jauh dari kesesatan.
Allah سبحانه وتعالى menegaskan bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام bukan seorang Yahudi, dan bukan pula seorang Nashrani, dan beliau عليه السلام bukanlah tergolong orang-orang Musyrik. Tetapi Nabi Ibrahim عليه السلام adalah Muslim dan beliau عليه السلام adalah seorang Muwahhid. Muwahhid artinya adalah orang Ahli Tauhid, orang yang meng-Esakan Allah سبحانه وتعالى, serta tidak menyekutukan Allah سبحانه وتعالى dengan sesuatu apa pun. Tidak menyekutukan Allah سبحانه وتعالى dengan berhala, tidak dengan patung, tidak dengan bulan-matahari-bintang dan sejenisnya. Nabi Ibrahim عليه السلام hanya beribadah kepada yang satu yakni Allah سبحانه وتعالى.
Itulah ajaran dan keyakinan Nabi Ibrahim عليه السلام. Oleh karena itu, jangan ada sedikitpun keyakinan bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام adalah Yahudi, ataupun Nashrani.
Karena didalam sejarah dapatlah kita ketahui bahwa antara Yahudi dan Nabi Ibrahim عليه السلام, maka zaman Nabi Ibrahim عليه السلام itu adalah lebih dahulu. Nabi Ibrahim عليه السلام memiliki putera bernama Ismail dan Ishaq عليهم السلام. Dari Nabi Ishaq عليه السلام terlahir putera yang bernama Ya’qub عليه السلام; kemudian dari Nabi Ya’qub عليه السلام terlahirlah banyak anak keturunannya yang bernama Ruubiil, Syam’uun, Laawi, Yahuudzaa, Jaad, Asyiir, Daani, Niftalii, Iisakhir, Zaabiluun, Dun-ya, Yusuf dan Bunyamin; sebagaimana hal ini telah kita bahas dalam kajian kita yang lalu. Dan salah satu sumber menyatakan bahwa munculnya sebutan Yahudi itu adalah dari keturunan Yahuudzaa. Oleh karena itu jelaslah bahwa zaman Nabi Ibrahim عليه السلام itu adalah sangat jauh kurun waktunya dari sebelum munculnya sebutan Yahudi, sehingga sangatlah tidak mungkin bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام adalah seorang Yahudi sebagaimana yang diklaim oleh orang-orang Yahudi, dan yang kemudian klaim itu dibantah oleh Allahسبحانه وتعالى dalam QS Ali ‘Imran 3):67 diatas.
Dan sangatlah tidak mungkin pula bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام adalah Nashrani. Karena sebutan Nashrani baru munculnya di zaman Nabi ‘Isa عليه السلام yang bahkan lebih jauh lagi terpautnya dengan zaman Nabi Ibrahim عليه السلام, karena Nabi ‘Isa عليه السلام adalah nabi terakhir dari kalangan Bani Isra’iil. Oleh karena itu, sangatlah mustahil bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام adalah seorang Yahudi ataupun Nashrani. Yang benar adalah bahwa Nabi Ibrahim عليه السلام adalah Muslim sebagaimana yang Allah سبحانه وتعالى beritakan dalam Wahyu-Nya.
Hendaknya kita telusuri berdasarkan penelitian para ‘Ulama Ahlus Sunnah tentang asal-usul nama Yahudi kemudian menjadi terkenal. Dalam bahasa Arab, nama Yahudi atau Bani Isra’iil dikenal sebagai kaum Nabi Musa عليه السلام; atau disebut juga sebagai Muusawiyyuun.
Salah seorang ‘Ulama ‘Aqiidah bernama Syaikh Dr. Mahmud ‘Abdurrohmaan Kedah, seorang Guru Besar di Universitas Islam Madinah, yang mana beliau adalah orang Malaysia yang sudah menjadi warga negara Arab Saudi. Beliau menulis Kitab berjudul “Muujaz Tarikh Al Yahuud War rod ‘ala Ba’di Mazaa’amihim Al Baathilah” (Ringkasan Sejarah Yahudi dan Bantahan terhadap Klaim Mereka yang Baathil); dimana didalam Kitab tersebut terdapat pembahasan mengenai adanya perselisihan tentang kronologis dan asal-usul sebutan “Yahudi”. Didalam Kitab tersebut dijelaskan tentang 4 kemungkinan asal-muasal dari nama “Yahudi”, sehingga dapatlah dikatakan bahwa sebutan “Yahudi” itu saja tidaklah jelas asal-usulnya.
Adapun kaum Muslimin mendapatkan secara jelas penyebutan “Muslim” itu langsung dari Allah سبحانه وتعالى. Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Hajj 22:78 sebagai berikut:
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam dien (agama) suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”
Bahkan didalam ayat lain yakni QS. Ali ‘Imran 3:102, Allah سبحانه وتعالى berfirman dalam bentuk suatu perintah sebagai berikut :
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”
Jadi Allah سبحانه وتعالى lah yang memberikan nama “Muslim” kepada kaum Muslimin dan memerintahkan kaum Muslimin agar janganlah mati kecuali dalam keadaan sebagai Muslim. Orang yang ber-Islam disebut sebagai Muslim. Orang yang menjadikan Islam sebagai dien dan sebagai ‘aqiidah bagi dirinya, serta sebagai pedoman didalam hidupnya maka ia adalah Muslim. (– Silakan baca kembali ceramah berjudul “Ma’na Al Islaam” dalam Blog ini –)
Sedangkan penyebutan “Yahudi” itu tidaklah jelas asal-usulnya, dan sebagaimana dibahas di dalam Kitab Syaikh Dr. Mahmud ‘Abdurrohmaan Kedah yang berjudul “Muujaz Tarikh Al Yahuud War rod ‘ala Ba’di Mazaa’amihim Al Baathilah” (Ringkasan Sejarah Yahudi dan Bantahan terhadap Klaim Mereka yang Baathil), maka dijelaskan bahwa terdapat 4 kemungkinan dari asal-muasal penyebutan “Yahudi”, yakni sebagaimana berikut ini:
1. Disebut “Yahuud”, karena berasal dari kata Al-Hawada, yang bermakna Mawaddah (cinta) karena diantara sesama mereka Yahudi satu sama lain saling mencintai.
2. “Yahudi” berasal dari kata At Tahawwud, yang maknanya adalah At Taubah (bertaubat), berasal dari firman Allah سبحانه وتعالى dalam Surat Al A’raf 7:156,
“Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: “Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami”.
3. Menurut Abu ‘Aamr Ibnu Al ‘Ala, mereka disebut “Yahudi” karena bila mereka membaca Kitab mereka maka badannya bergoyang-goyang. (– Oleh karena itu, janganlah kaum Muslimin membaca Al Qur’an atau berdzikir sambil menggoyang-goyangkan kepala ataupun badan, karena yang demikian itu adalah merupakan Tasyabbuh (meniru/menyerupai) kaum Yahudi –)
4. “Yahudi” berasal dari kata “Yahuudzaa”, dimana Yahuudzaa adalah merupakan salah seorang putera Nabi Ya’qub عليه السلام; dimana anak keturunan Yahuudzaa kemudian mendirikan suatu “Kerajaan kecil” di wilayah Selatan Palestina yang disebut sebagai Kerajaan Yahuudzaa. Disebut demikian sebagai pembeda terhadap kerajaan yang ada di wilayah Utara Palestina. Kata “Yahuudzaa” kemudian lambat laun berubah menjadi “Yahuda”, dan pada akhirnya berubah menjadi “Yahudi”.
Demikianlah sekilas pembahasan mengenai asal-usul sebutan “Yahudi”, dan berikut ini akan kita kaji mengenai “Nabi Musa عليه السلام dan Bani Israil”.
Sebagaimana telah kita bahas dalam kajian lalu mengenai “Nabi Yusuf عليه السلام dan Bani Israil”; maka dapatlah diketahui bahwa pada zaman Nabi Yusuf عليه السلام, semua anak keturunan Nabi Ya’qub عليه السلام kemudian dibawa ke Mesir. Ketika itu Mesir adalah merupakan Kerajaan yang berada dibawah kekuasaan Fir’aun.
Nabi Musa عليه السلام adalah putera dari ‘Imran, dan ‘Imron adalah putera dari Qoohits, dan Qoohits adalah putera dari ‘Aazir, dan ‘Aazir adalah putera dari Laawi; yang mana Laawi adalah salah seorang putera dari Nabi Ya’qub عليه السلام. Dengan demikian nasab Nabi Musa عليه السلام adalah Musa bin ‘Imron bin Fahis bin ‘Azir bin Laawi bin Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim عليهم السلام. Dan dapatlah dipastikan bahwa Nabi Musa عليه السلام terlahir di daerah Mesir.
Ibu Nabi Musa عليه السلام adalah bernama Ayaarikho. Di Mesir ini, Bani Israil mengalami penindasan dimana mereka diperbudak oleh Raja Mesir atau Fir’aun (– Sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa Fir’aun pada zaman Nabi Musa عليه السلام adalah Raja Merenptah yang merupakan putra ke-13 dari Ramses II dan memerintah Dinasti ke-19 Mesir antara tahun1213-1203 SM karena mumi Raja Merenptah ini adalah satu-satunya mumi yang mengandung banyak garam – WAllahu a’lam).
Menurut riwayat Shahabat ‘Abdullah bin Mas’uud dari ayahnya رضي الله عنهما, bahwa Fir’aun bermimpi, yang mana didalam mimpinya tersebut ia melihat api yang datangnya dari arah Baitul Maqdis. Api itu membakar rumah-rumah penduduk Mesir dan seluruh kabilah Qibty. Namun didalam mimpinya terlihat bahwa rumah-rumah orang-orang Bani Israil tidaklah terbakar. Ketika Fir’aun terbangun maka ia pun menjadi sangat ketakutan. Maka dikumpulkannyalah para penasehatnya yang terdiri dari para dukun dan tukang sihir. Lalu ditanyakanlah olehnya tentang arti mimpi tersebut. Para dukun dan tukang sihir Fir’aun mengatakan bahwa itulah pertanda akan terlahir seorang anak laki-laki dari Bani Israil yang akan menjadikan penyebab binasanya dan runtuhnya kekuasaan Fir’aun (Lihat Tafsir Imaam Al Baghawy رحمه الله Jilid 1 halaman 91).
Fir’aun pun kemudian membuat keputusan agar semua bayi laki-laki yang terlahir dari kalangan Bani Israil di Mesir harus dibunuh.
Didalam Kitab “Al Atsaar Al Waaridah Annis Salafi al Yahuud fi Tafsiir Ath Thabariy” Jilid I halaman 38 karya Yusuf bin Hamuud Al Husyaan, dijelaskan bahwa keputusan Fir’aun itu kemudian diubah setelah adanya usulan dari orang-orang Bani Israil; karena apabila keputusan Fir’aun itu dilaksanakan maka orang-orang Bani Israil akan semakin musnah, sementara orang-orang Mesir masih membutuhkan tenaga-tenaga mereka (Bani Israil) sebagai budak. Oleh karena itu Bani Israil meminta agar janganlah seluruh bayi laki-laki Bani Israil dibunuh. Dengan demikian diubahlah keputusan Fir’aun tersebut menjadi selama setahun pertama bayi laki-laki Bani Israil yang terlahir harus dibunuh dan pada tahun berikutnya adalah tidak dibunuh, kemudian pada tahun ketiganya harus dibunuh dan pada tahun keempatnya tidak dibunuh dan demikian seterusnya silih berganti setiap tahunnya.
Harun (saudara Musa) terlahir pada tahun dimana diperbolehkan bayi laki-laki Bani Israil untuk tidak dibunuh; sementara Musa عليه السلام terlahir pada tahun dimana bayi laki-laki Bani Israil harus dibunuh. Sehingga Musa عليه السلام adalah yang termasuk dicari-cari untuk dibunuh. Namun Allah سبحانه وتعالى menyelamatkan Musa عليه السلام, sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an Surat Al Qashash 28:3-13, sebagai bagian dari rencana Allah سبحانه وتعالى untuk memberikan karunia dan pertolongan kepada orang-orang yang dilemahkan, diperbudak dan ditindas oleh Fir’aun:
“Kami (Allah) membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir`aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Fir`aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir`aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir`aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para Rasul. Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir`aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir`aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan berkatalah isteri Fir`aun: “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfa`at kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedang mereka tiada menyadari. Dan menjadi kosonglah hati ibu Musa. Sesungguhnya hampir saja ia menyatakan rahasia tentang Musa, seandainya tidak Kami teguhkan hatinya, supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah). Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan: “Ikutilah dia” Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak mengetahuinya, dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui (nya) sebelum itu; maka berkatalah saudara Musa: “Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?”. Maka Kami kembalikan Musa kepada ibunya, supaya senang hatinya dan tidak berduka cita dan supaya ia mengetahui bahwa janji Allah itu adalah benar, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”
Sungai Nil
Demikianlah, dari ayat diatas dapatlah diketahui bahwa Nabi Musa عليه السلام yang dikala itu dicari-cari sebagai bayi laki-laki yang harus dibunuh, kemudian dihanyutkanlah ke Sungai Nil oleh orangtuanya agar terlepas dari pembunuhan Fir’aun. Kemudian Musa عليه السلام pun ditemukan oleh ‘Asiyah, istri Fir’aun, yang membawanya ke istana untuk diasuhnya sebagai anak dikarenakan ia sendiri belumlah memiliki anak keturunan. Ketika istri Fir’aun mencari seorang pengasuh untuk menyusui Musa عليه السلام, maka Allah سبحانه وتعالى mengatur agar ibu Musa lah yang menjadi pengasuh baginya di istana Fir’aun. Demikianlah bentuk kasih sayang Allah سبحانه وتعالى terhadap Nabi Musa عليه السلام dan ibunya.
Apakah Peran Nabi Musa عليه السلام?
Diantara tugas Nabi Musa عليه السلام adalah:
- Mendakwahi Fir’aun agar ia masuk Islam.
- Mendakwahi kaumnya (Bani Israil) agar mereka beriman kepada Allah سبحانه وتعالى..
- Menyelamatkan Bani Israil dari perbudakan dan penindasan Fir’aun.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Asy-Syu’ara’ 26:10-19 berikut ini:
“Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu menyeru Musa (dengan firman-Nya): “Datangilah kaum yang dzalim itu, (yaitu) kaum Fir`aun. Mengapa mereka tidak bertaqwa?” Berkata Musa: “Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku”. Allah berfirman: “Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mu`jizat-mu`jizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan), Maka datanglah kamu berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: “Sesungguhnya kami adalah Rasul Rabb semesta alam, lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami”. Fir`aun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang kafir (tidak membalas guna)“.
Perhatikanlah betapa didalam QS.Asy-Syu’ara’ 26:19 diatas, Nabi Musa عليه السلام dikatakan kafir oleh Fir’aun; dikarenakan Fir’aun menganggap dirinya sebagai Tuhan. Padahal Nabi Musa عليه السلام adalah Rasul utusan Allah سبحانه وتعالى, tetapi Fir’aun menganggap bahwa Nabi Musa عليه السلام justru telah kafir terhadap Fir’aun.
Hendaknya ayat ini menjadi pelajaran bagi kaum Muslimin. Di zaman sekarang pun juga terjadi anggapan sedemikian itu. Menurut versi orang-orang Yahudi dan Nashrani serta orang-orang yang tidak suka kepada Islam; maka mereka menganggap bahwa orang-orang Islam itu adalah teroris, perampok dan pembunuh. Hal ini dikarenakan didalam setiap peperangan antara kaum Muslimin dengan mereka, dikala kaum Muslimin yang memperoleh kemenangan maka harta mereka pun menjadi “harta rampasan” (ghoniimah) bagi kaum Muslimin yang akan dibagikan kepada seluruh tentara Muslim yang ikut berperang. Jika yang demikian itu dikatakan “perampasan”, maka hal itu adalah wajar, karena ditinjau dari versi pandangan orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin. Kalau dikatakan bahwa kaum Muslimin didalam peperangan sebagai pembunuh, maka itu pun wajar karena itu ditinjau dari versi pandangan orang-orang kafir terhadap kaum Muslimin. Sementara menurut versi pandangan kaum Muslimin, membunuh didalam suatu peperangan untuk menegakkan Laa Ilaaha IlAllah adalah sebagai Jihad fisabiilillah.
Oleh karena itu, sebagaimana Nabi Musa عليه السلام dikatakan kafir oleh Fir’aun; padahal justru Nabi Musa عليه السلام itu tidak hanya ia seorang Muslim, melainkan juga adalah seorang Rasul utusan Allah سبحانه وتعالى (dan yang kafir sesungguhnya adalah Fir’aun, karena ia kafir terhadap Allah سبحانه وتعالى); maka sebagaimana itu pula kaum Muslimin di zaman sekarang dituduh dengan julukan yang seram-seram seperti “teroris” dan sebagainya. Padahal apabila diperhatikan didalam kenyataannya justru betapa banyak kaum Muslimin di berbagai belahan dunia seperti Palestina dan sebagainya yang diteror, diusir dari tempat-tempat tinggalnya dan dibunuh oleh orang-orang kafir.
Hendaknya hal ini dicamkan oleh kaum Muslimin agar jangan mudah terprovokasi oleh berbagai berita yang beredar di media massa. Hendaklah dicermati dengan seksama, siapakah yang menjadi sumber berita tersebut.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam Al Qur’an Surat Al Hujurat 49:6,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dari ayat diatas dapatlah diambil pelajaran bahwa apabila yang membawa berita itu adalah orang fasiq maka harus diperiksa terlebih dahulu kebenaran beritanya. Apalagi kalau berita itu datang dari orang kafir, tentulah lebih perlu untuk dicek kebenaran beritanya. Kaum Muslimin di tengah-tengah masyarakat, terkadang tidak bisa memilah-milah kabar (berita) itu datangnya dari pihak siapa. Semestinya, kalaulah berita itu datang dari Muslimun atau Mustaqiim (orang yang ber-‘aqidah Islam serta orang-orang yang berpihak pada Islam), maka barulah pemberitaan itu bisa diterima atau dibenarkan. Tetapi apabila berita itu datang dari orang Munaafiq, orang Fasiq (orang-orang yang menjadi mata-mata bagi orang-orang Kafir dengan mencari-cari berita dari pihak kaum Muslimin untuk kemudian informasi itu diberikan kepada orang-orang kafir agar mereka memerangi kaum Muslimin), apalagi apabila berita itu datang langsung dari orang kafir maka hendaklah kaum Muslimin berhati-hati.
Berita dari orang fasiq saja tidak bisa dibenarkan, apalagi bila datangnya jelas-jelas langsung dari orang kafir. Hanya ironisnya kaum Muslimin hampir tidaklah sebanding sumber pemberitaannya, karena kaum Muslimin hampir tidak (atau sangat sedikit) memiliki sumber pemberitaan yang “valid” dalam skala internasional. Selalu saja sumber berita itu adalah datangnya dari Yahudi maupun Nashrani, seperti CNN, BBC, UPI, Reuter, dan lain-lain; atau juga bila diperhatikan maka media-media massa lokal (baik televisi, radio, internet dan sebagainya) yang berskala jaringan yang luas maka kebanyakan pemegang saham mereka adalah bersumber dari pihak Yahudi maupun Nashrani. Oleh karena itu wajar saja apabila datangnya berita kepada kaum Muslimin itu adalah persis seperti julukan Fir’aun terhadap Nabi Musa عليه السلام, dimana kaum Muslimin lah yang dituduh sebagai “teroris” dan sebagainya.
Hendaknya kaum Muslimin harus bisa meng-counter dan mem-filter dirinya sendiri, sehingga janganlah menjadi korban dari pemberitaan yang merupakan suatu syubhat yang pada akhirnya adalah bertujuan agar kaum Muslimin itu menjauh dari dienul Islam dan terkena virus Islamophobia.
Kembali kepada bahasan kita mengenai Nabi Musa عليه السلام dan Fir’aun, maka dapatlah dipelajari bahwa dewan penasehat Fir’aun yang sangat besar pengaruhnya di Mesir saat itu adalah para ahli sihir Fir’aun. Oleh karena itu Allah سبحانه وتعالى membekali Nabi Musa dengan mu’jizat-mu’jizat yang dapat mengalahkan para ahli sihir Fir’aun.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Qashash 28:30-35 berikut ini:
“Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Rabb semesta alam, dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru): “Hai Musa, datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman.Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia ke luar putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada)-mu bila ketakutan, maka yang demikian itu adalah dua mu`jizat dari Rabb-mu (yang akan kamu hadapkan kepada Fir`aun dan pembesar-pembesarnya). Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasiq”.Musa berkata: “Ya Rabbku sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku.Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)-ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”.Allah berfirman: “Kami akan membantumu dengan saudaramu, dan Kami berikan kepadamu berdua kekuasaan yang besar, maka mereka tidak dapat mencapaimu; (berangkatlah kamu berdua) dengan membawa mu`jizat Kami, kamu berdua dan orang yang mengikuti kamulah yang menang“.
Mesir Kuno dan para Fir’aunnya adalah salah satu peradaban tertua di dunia dan juga yang paling penindas. Betapa banyak nyawa ratusan ribu budak dikorbankan untuk membangun monumen-monumen mereka yang megah seperti piramid, sphinx dan obelisk. Hal itu dikarenakan Fir’aun ingin direpresentasikan sebagai dewa atau tuhan yang disembah oleh manusia.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Qashash 28:36-39 berikut ini:
“Maka tatkala Musa datang kepada mereka dengan (membawa) mu`jizat-mu`jizat Kami yang nyata, mereka berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang dibuat-buat dan kami belum pernah mendengar (seruan yang seperti) ini pada nenek moyang kami dahulu”.Musa menjawab: “Rabb-ku lebih mengetahui orang yang (patut) membawa petunjuk dari sisi-Nya dan siapa yang akan mendapat kesudahan (yang baik) di negeri akhirat. Sesungguhnya tidaklah akan mendapat kemenangan orang-orang yang dzalim”.Dan berkata Fir`aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”. Dan berlaku angkuhlah Fir`aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.
Juga perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Asy-Syu’ara’ 26:23-51 berikut ini:
“Fir`aun bertanya: “Siapa Rabb semesta alam itu?”Musa menjawab: “Rabb Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya. (Itulah Rabb-mu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya”. Berkata Fir`aun kepada orang-orang sekelilingnya: “Apakah kamu tidak mendengarkan?” Musa berkata (pula): “Rabb kamu dan Rabb nenek-nenek moyang kamu yang dahulu”. Fir`aun berkata: “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang gila”. Musa berkata: “Rabb yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada di antara keduanya: (Itulah Rabb-mu) jika kamu mempergunakan akal”.Fir`aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”.Musa berkata: “Dan apakah (kamu akan melakukan itu) kendatipun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?”Fir`aun berkata: “Datangkanlah sesuatu (keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar”.Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata. Dan ia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya.Fir`aun berkata kepada pembesar-pembesar yang berada di sekelilingnya: Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai, ia hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya; maka karena itu apakah yang kamu anjurkan?”Mereka menjawab: “Tundalah (urusan) dia dan saudaranya dan kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan mengumpulkan (ahli sihir), niscaya mereka akan mendatangkan semua ahli sihir yang pandai kepadamu’.Lalu dikumpulkanlah ahli-ahli sihir pada waktu yang ditetapkan di hari yang ma`lum, dan dikatakan kepada orang banyak: “Berkumpullah kamu sekalian. semoga kita mengikuti ahli-ahli sihir jika mereka adalah orang-orang yang menang”Maka tatkala ahli-ahli sihir datang, mereka bertanya kepada Fir`aun: “Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?” Fir`aun menjawab: “Ya, kalau demikian, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)”.Berkatalah Musa kepada mereka: “Lemparkanlah apa yang hendak kamu Lemparkan”. Lalu mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka dan berkata: “Demi kekuasaan Fir`aun, sesungguhnya kami benar-benar akan menang”. Kemudian Musa melemparkan tongkatnya maka tiba-tiba ia menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu. Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah). mereka berkata: “Kami beriman kepada Rabb semesta alam, (yaitu) Rabb Musa dan Harun”. Fir`aun berkata: “Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu); sesungguhnya aku akan memotong tanganmu dan kakimu dengan bersilangan dan aku akan menyalibmu semuanya”. Mereka berkata: “Tidak ada kemudharatan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami, sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Rabb kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman”.
Namun karena kesombongannya, Fir’aun tetap menolak dakwah Nabi Musa عليه السلام; bahkan Fir’aun dengan murkanya menghukum dan membunuh diantara kalangan para ahli sihir bahkan istrinya sendiri (‘Asiyah) yang mereka itu menjadi beriman kepada Allah سبحانه وتعالى setelah menyaksikan mu’jizat yang Allah سبحانه وتعالى berikan kepada Nabi Musa عليه السلام. Oleh karena itu, Allah سبحانه وتعالى pun menurunkan hukuman-Nya terhadap Fir’aun dengan menenggelamkannya beserta bala tentaranya di Laut Merah dan mengabadikan jasad Fir’aun sebagai pelajaran bagi orang-orang sesudahnya.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Thaha 20:77-79 berikut ini:
“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)”. Maka Fir`aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka. Dan Fir`aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk.”
Juga firman-Nya dalam QS. Yunus 10:90-92,
“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir`aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir`aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badan (jasad)-mu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”
Saat ini mumi Fir’aun disimpan di Museum Nasional Tahrir di Kairo, Mesir. Bahkan seorang Arkeolog bernama Ron Wyatt pada ahir tahun 1988 silam mengklaim bahwa dirinya telah menemukan beberapa bangkai roda kereta tempur kuno didasar Laut Merah. Menurutnya, mungkin ini merupakan bangkai kereta tempur Fir’aun yang tenggelam dilautan tersebut saat digunakan untuk mengejar Nabi Musa عليه السلام bersama para pengikutnya.
Peta eksodus Nabi Musa عليه السلام di Laut Merah
Wadi Watir yang merupakan satu-satunya jalan masuk menuju ke pantai Laut Merah
Roda kereta tempur kuno ditemukan di dasar Laut Merah
Sikap Bani Israil Setelah Diselamatkan oleh Allah سبحانه وتعالى dari Penindasan Fir’aun
Semestinya Bani Israil bersyukur kepada Allah سبحانه وتعالى, setelah diselamatkan oleh Allah سبحانه وتعالى dari penindasan Fir’aun; namun ternyata yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka (Bani Israil) bahkan menyelisihi ajaran Tauhid yang dibawa Nabi Musa عليه السلام.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al A’raf 7:128-140 berikut ini:
“Musa berkata kepada kaumnya: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”. Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Fir`aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang”. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi (Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu. Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir`aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran. Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Mereka berkata: “Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu”. Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa. Dan ketika mereka ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) merekapun berkata: “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Rabb-mu dengan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan adzab itu daripada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu”. Maka setelah kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka mengingkarinya. Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Rabb-mu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka. Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata: “Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh (tidak mengetahui sifat-sifat Allah)”. Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan. Musa menjawab: “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat.
Sesungguhnya apabila Bani Israil mengikuti ajaran Tauhid yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub dan Nabi Musa عليهم السلام, tentunya mereka hanya akan beribadah kepada Allah سبحانه وتعالى semata. Namun sayangnya, ketika mereka berpindah ke Mesir dan dikala itu orang-orang Mesir adalah penyembah berhala (Paganisme), maka paganisme itu pun mempengaruhi keyakinan mereka dan menyebabkan lunturnya keimanan mereka.
Perhatikanlah apa yang dikatakan oleh Bani Israil terhadap Nabi Musa عليه السلام, sebagaimana hal ini diberitakan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam firman-Nya pada QS. Al Baqarah 2:55 berikut ini:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang“, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.”
Jadi Bani Israil dikala itu telah terpengaruh oleh kebudayaan Mesir sehingga memiliki kecenderungan untuk menyembah benda nyata yang dapat mereka lihat, sebagaimana yang terdapat pada penyembahan berhala (paganisme) bangsa Mesir.
Walau telah diperingatkan oleh Nabi Musa عليه السلام, Bani Israil tetap berada dalam penentangan mereka terhadap ajaran Tauhid yang didakwahkan Nabi Musa عليه السلام. Dan ketika Nabi Musa عليه السلام meninggalkan mereka untuk mendaki Gunung Sinai seorang diri, maka dengan memanfaatkan ketiadaan Nabi Musa عليه السلام, muncullah seorang bernama Samiri yang semakin mempengaruhi Bani Israil dengan kecenderungan mereka terhadap keberhalaan (paganisme), dan bahkan membujuk mereka untuk membuat patung seekor anak sapi serta menyembahnya.
Gunung Sinai
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Thaha 20:80-98 berikut ini:
“Hai Bani Israil, sesungguhnya Kami telah menyelamatkan kamu sekalian dari musuhmu, dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu sekalian (untuk munajat) di sebelah kanan gunung itu (Gunung Sinai) dan Kami telah menurunkan kepada kamu sekalian manna dan salwa. Makanlah di antara rizqi yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia. Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar. Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa? Berkata Musa: “Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabb-ku, agar supaya Engkau ridho (kepadaku)”. Allah berfirman: “Maka sesungguhnya kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri. Kemudian Musa kembali kepada kaumnya dengan marah dan bersedih hati. Berkata Musa: “Hai kaumku, bukankah Rabb-mu telah menjanjikan kepadamu suatu janji yang baik? Maka apakah terasa lama masa yang berlalu itu bagimu atau kamu menghendaki agar kemurkaan dari Rabb-mu menimpamu, lalu kamu melanggar perjanjianmu dengan aku?” Mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak melanggar perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu, maka kami telah melemparkannya, dan demikian pula Samiri melemparkannya”, kemudian Samiri mengeluarkan untuk mereka (dari lobang itu) anak lembu yang bertubuh dan bersuara, maka mereka berkata: “Inilah Tuhanmu dan Tuhan Musa, tetapi Musa telah lupa”. Maka apakah mereka tidak memperhatikan bahwa patung anak lembu itu tidak dapat memberi jawaban kepada mereka, dan tidak dapat memberi kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan? Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Rabb-mu ialah (Allah) Yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan ta`atilah perintahku”. Mereka menjawab: “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami. Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” Harun menjawab: “Hai putera ibuku janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku”. Berkata Musa: “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?” Samiri menjawab: “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku”. Berkata Musa: “Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: “Janganlah menyentuh (aku)”. Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). Sesungguhnya Rabb-mu hanyalah Allah, yang tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu”.
Patung anak sapi emas yang disembah Bani Israil dikala Musa berada di Gunung Sinai, sebenarnya adalah tiruan dari berhala Mesir, yakni Hathor dan Apis.
Berhala Mesir Kuno: Hathor
Berhala Mesir Kuno : Apis
Demikianlah, sesungguhnya apabila Bani Israil beriman kepada Allah سبحانه وتعالى, maka mereka berhak mendapatkan pahala dari-Nya serta tiadalah mereka akan ditimpa rasa takut dan rasa sedih, sebagaimana hal ini difirmankan oleh Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Baqarah 2:62-66 berikut ini:
“Sesungguhnya orang-orang mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nashrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertaqwa”. Kemudian kamu berpaling setelah (adanya perjanjian) itu, maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi. Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”. Maka Kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang di masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.”
Namun sayangnya, ajaran Tauhid Nabi Musa عليه السلام dalam fase-fase berikutnya semakin banyak diselewengkan oleh Bani Israil yang terpengaruh dengan ajaran Mesir Kuno, sehingga berakibat terbentuknya orang-orang Yahudi dengan karakter semakin menyimpang dari Tauhid; dan ini terus berkembang hingga terbentuknya Ordo-Ordo Templar, Freemasonry, Zionisme dan sebagainya di zaman kita sekarang ini. Bahkan Taurat yang diturunkan oleh Allah سبحانه وتعالى kepada Nabi Musa عليه السلام pun telah banyak dicampur adukkan dengan kebaathilan, sehingga tidaklah sesuai lagi dengan yang aslinya. Muncullah ajaran Kaballa, Talmud dan sebagainya yang insya Allah akan kita bahas satu per satu dalam kajian-kajian mendatang.
Mudah-mudahan kaum Muslimin dapat mengambil pelajaran agar senantiasa berpedoman pada Al Qur’an dan As Sunnah yang shahiihah, dan menjauhkan diri daripada Bid’ah yang merupakan bentuk penyelisihan terhadap tuntunan Rasulullah صلى الله عليه وسلم; agar janganlah kaum Muslimin mengalami keadaan sebagaimana yang dialami oleh Bani Israil yang mendapatkan petaka dan kemurkaan Allah سبحانه وتعالى akibat meninggalkan tuntunan para nabinya serta menyelisihi ajaran-Nya. Sesungguhnya Allah سبحانه وتعالى adalah Maha Berkuasa.
TANYA JAWAB
Pertanyaan:
1. Disebutkan didalam Hadits bahwa hancurnya suatu kaum adalah karena mereka banyak bertanya yang sifatnya “ngeyel” (untuk berbantah-bantahan semata). Bagaimanakah membedakan antara bertanya yang memang dalam rangka untuk mendapatkan penjelasan dengan bertanya yang bersifat “ngeyel” tersebut?
2. Saya pernah mendengar dalam suatu ceramah bahwa ada orang ‘alim yang bermimpi melihat Allah سبحانه وتعالى. Dan mimpinya itu terjadi bahkan sampai dengan 99 (sembilan puluh sembilah) kali. Benarkah mimpi yang demikian itu?
Jawaban:
1. Pertanyaan itu ada 2 (dua) macam, yakni:
a) Pertanyaan yang bermakna mempersulit, menguji, membuat fitnah; maka pertanyaan yang demikian itu adalah dilarang oleh Allah سبحانه وتعالى dan juga oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Maidah 5:101-102,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema`afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.) Sesungguhnya telah ada segolongan manusia sebelum kamu menanyakan hal-hal yang serupa itu (kepada Nabi mereka), kemudian mereka tidak percaya kepadanya.
Dan dalam Hadits Riwayat Imaam Ahmad no: 10260, diShahiihkan oleh Syaikh Syuaib Al Arnaa’uth, dari Shahabat Abu Hurairah رضي الله عنه, Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarangnya dengan sabdanya:
“Biarkanlah apa yang kutinggalkan pada kalian, sungguh binasanya orang-orang sebelum kalian adalah karena banyak bertanya dan menyelisihi nabi mereka….”
b) Pertanyaan yang bermakna membuat paham, dimana seseorang yang bertanya itu dapat menjadi jelas dan paham; maka pertanyaan yang demikian itu justru dianjurkan bahkan diperintahkan oleh Allah سبحانه وتعالى.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. An Nahl 16:43,
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”
Dalam Hadits banyak sekali kita temukan dimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم memberikan transformasi ilmu dan pendidikan kepada para Shahabatnya melalui proses tanya jawab. Sebagaimana contohnya dalam Hadits Riwayat Imaam Muslim no: 39, dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash رضي الله عنه bahwa:
Salah Seorang Shahabat bertanya pada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, “Islam manakah yang paling baik?”. Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjawab, “Engkau memberi makan pada orang, engkau memberi salam pada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal.”
2. Yang benar adalah Allah سبحانه وتعالى tidak bisa dilihat di dunia, tetapi akan bisa dilihat di Akhirat kelak bagi orang-orang yang beriman. Demikian yang menjadi ‘Aqiidah Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Bahkan merupakan kenikmatan paling tinggi bagi seorang mu’min adalah melihat Allah سبحانه وتعالى kelak di Akhirat. Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 2235, dan Imaam At Turmudzy mengatakan bahwa Hadits ini Hasaanun Shahiih dan Hadits ini juga dishahiihkan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albaany, dari Shahabat ‘Amr bin Tsabit رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda berkenaan dengan Fitnah Dajjal yang Rasulullah صلى الله عليه وسلم memperingatkan ummatnya agar berlindung daripadanya:
“Sesungguhnya seorang dari kalian tidak akan melihat tuhannya (Allah) sehingga dia mati…..”
Adapun orang yang menyatakan melihat Allah سبحانه وتعالى sampai dengan 99 kali didalam mimpinya, maka hendaklah hal tersebut tidak perlu kita percayai.
Nabi Daud, Nabi Sulaiman dan Bani Israil
Dalam kajian yang lalu telah dibahas bahwa pada abad 17 SM (Sebelum Masehi), Nabi Yusuf عليه السلام membawa seluruh keluarganya (Nabi Ya’qub عليه السلام, kakak-kakaknya maupun adiknya Bunyamin) untuk pindah ke Mesir dari negeri mereka Kan’aan.
Kemudian pada abad 14 atau 13 SM, ketika Bani Israil mengalami penindasan Fir’aun di Mesir, maka Allah سبحانه وتعالى pun mengutus Nabi Musa عليه السلام untuk menyelamatkan Bani Israil dari perbudakan Fir’aun tersebut dan pada akhirmnya membawa mereka kembali ke negeri Kan’aan.
Kemudian pada sekitar abad 11 SM, Allah سبحانه وتعالى mengutus salah seorang Rasul-Nya lagi yakni Nabi Daud عليه السلام terhadap Bani Israil. Dan setelah Nabi Daud عليه السلام wafat pada abad 10 SM, maka dakwah terhadap Bani Israil dilanjutkan oleh putra Nabi Daawud عليه السلام yang bernama Nabi Sulaiman عليه السلام.
Masa inilah yang akan kita telaah dalam kajian kita kali ini, berdasarkan tinjauan Wahyu Al Qur’an yang telah Allah سبحانه وتعالى berikan kepada kita melalui firman-firman-Nya.
Nabi Daud عليه السلام adalah seorang Nabi dan sekaligus seorang Penguasa (Raja) yang Allah سبحانه وتعالى pilih untuk terus menyampaikan dakwah tauhid terhadap kaum Bani Israil. Wilayah kekuasaan pada masa Nabi Daud عليه السلام adalah berukuran sekitar 120 mil (panjang) dan 60 mil (lebar) (– yang sebetulnya tidaklah terlalu luas wilayah kerajaannya –), terbentang dari Sungai Eufrat (dalam bahasa Arab disebut: Furot (الفرات) di kawasan Babylonia (Iraq), hingga ke Sungai Nil di Mesir.
Sungai Eufrat di kawasan Babylonia (sekarang adalah Iraq)
Terhadap hamba-Nya yang shalih, Nabi Daud عليه السلام, Allah سبحانه وتعالى memberikan kepadanya berbagai keutamaan antara lain adalah menurunkan Kitab Zabuur kepadanya, memberinya kebijaksanaan untuk memutuskan perkara dengan keadilan, memiliki suara tasbih (yang merdu) yang menjadikan gunung-gunung dan burung-burung tunduk turut bertasbih bersamanya, dan mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk mematahkan, membengkokkan besi serta kemampuan membuat baju-baju besi untuk berperang.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS Shad 38:17-20 sebagai berikut:
“ …dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan; sesungguhnya dia amat taat (kepada Rabb-nya). Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersama dia (Daud) di waktu petang dan pagi, dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat ta`at kepada Allah. Dan Kami kuatkan kerajaannya dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.
Juga firman-Nya dalam QS. Saba’ 34:10-11 berikut ini:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman): “Hai gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud”, dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang shalih. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.
Nabi Daud عليه السلام banyak menyertai tentara Bani Israil di bawah pimpinan Thalut melawan seorang raja yang bengis yang bernama Jalut (Goliath). Nabi Daud عليه السلامlah yang berhasil membunuh Jalut.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS Al Baqarah 2:246-251,
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?”
Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?” (Nabi mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui. Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Rabb-mu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman. Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menciduk seciduk tangan, maka ia adalah pengikutku.”Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: “Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”(250) Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: “Ya Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir”. Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.
Dan setelah mendapatkan kemenangan, maka Nabi Daud عليه السلام dinikahkan dengan putri Thalut, yang dari pernikahan tersebut akan terlahir Nabi Sulaiman عليه السلام.
Jasa Nabi Daud عليه السلام, selain daripada membantu Thalut mengalahkan Jalut; adalah beliau عليه السلام membangun Baitul Maqdis. Tetapi karena Nabi Daud عليه السلام sibuk dalam peperangan, maka beliau عليه السلام wafat sebelum Baitul Maqdis tuntas dibangun, sehingga penyelesaiannya pun diwariskan kepada putranya yakni Nabi Sulaiman عليه السلام.
Pada masa Nabi Sulaiman عليه السلام (sekitar abad 10 SM), diselesaikanlah pembangunan Baitul Maqdis yang kemudian dikenal dengan sebutan Haikal Sulaiman.
Sebagaimana telah kita bahas dalam kajian lalu tentang “Nabi Musa عليه السلام dan Bani Israil”, maka diantara kaum Bani Israil, mereka itu ada yang telah terpengaruh oleh paganisme (penyembahan berhala) di Mesir, sehingga mereka berpaling dari ajaran tauhid yang diserukan oleh para Nabi yakni Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub dan Nabi Musa عليهم السلام. Bahkan ketika mereka berada di kawasan Babylonia ini, mereka pun tak lepas bahkan bertambah-tambah kekufurannya dengan berbagai penyembahan berhala terhadap bintang-bintang dan juga berbagai ajaran sihir di negeri ini. Babylonia adalah negeri yang subur dan hijau serta makmur wilayahnya, tetapi disisi lain negeri ini pun adalah negeri yang subur, sangat rentan, dan mahir pula dalam dunia sihirnya.
Bagan Nasab Sihir Bani Israil di Babylonia
Di Babylonia, kaum Bani Israil menyembah bintang-bintang, dimana bintang-bintang tersebut dirumuskan dalam bentuk berhala-berhala. Apabila seorang Pengikut Tukang Sihir memiliki suatu keperluan, maka ia akan datang memintanya kepada Tukang Sihir; lalu si Tukang Sihir pun akan meneruskan permintaan tersebut kepada bintang-bintang melalui berhala mereka dengan memberikan suatu sesembahan (sesajen, wadal ataupun korban).
Dikala itu mereka mempercayai adanya Dewa Zahl (Zuhal) (– atau Saturnus –) yakni dewa mereka tempat meminta berbagai keperluan yang berkaitan dengan peperangan, kematian, ataupun perlindungan terhadap kejahatan. Sedangkan menurut keyakinan mereka, apabila mereka memiliki kebutuhan berkaitan dengan kilat, petir, penyakit ataupun perkara-perkara yang luar biasa; maka mereka mengadukannya kepada Dewa Al Maarikh (– atau Mars –).
Demikianlah kaum Bani Israil berpaling dari ajaran tauhid (monotheisme) kepada penyembahan berhala (polytheisme). Amatlah buruk sikap mereka itu meninggalkan seruan tauhid para Nabi mereka. Padahal sesungguhnya, bintang-bintang itu hanyalah makhluk ciptaan Allah سبحانه وتعالى.
Dan Allah سبحانه وتعالى telah menjadikan Setan dari kalangan Jin (– yang merupakan sekutu dari Tukang Sihir tersebut –) yang apabila mereka hendak mencuri berita dari langit maka mereka akan dilempari oleh bintang-bintang; sebagaimana difirmankan-Nya dalam QS Al Jinn 72:8-9 berikut ini:
“dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api (bintang) yang mengintai (untuk membakarnya).”
Pelajaran yang dapat diambil dari QS. Al Jinn 72:9 diatas adalah bahwa sungguh merupakan suatu kejahilan (kebodohan) dan kesyirikan apabila manusia menyembah bintang-bintang, menjadikan bintang-bintang tersebut sebagai dewa-dewa dan tuhan-tuhan mereka, meminta ramalan nasib kepada bintang-bintang sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian manusia dengan berbagai media kesyirikan seperti: Zodiak, Shio, Kartu-kartu Tarot, Primbon dan sebagainya; padahal bintang-bintang tersebut hanyalah makhluk ciptaan Allah سبحانه وتعالى, yang Allah سبحانه وتعالى jadikan sebagai alat pelempar untuk membakar Setan dari kalangan Jin yang hendak mencuri berita dari langit. Mengapa manusia meninggalkan penyembahan kepada Allah سبحانه وتعالى? Allah سبحانه وتعالى lah pemilik bintang-bintang tersebut. Mintalah pertolongan kepada Allah سبحانه وتعالى, dan berlindunglah dari berbagai keburukan kepada-Nya pula. Itulah tauhid.
Kartu Tarot
Shio
Zodiak
Kaitan bahasan kita tentang Nabi Daud عليه السلام dan Bani Israil ini adalah perlunya kita ketahui bahwa orang Yahudi Bani Israil membuat suatu klaim yang dusta terhadap Nabi Daud عليه السلام. Orang Yahudi menggunakan lambang Bintang David (Bintang Daud), sebagai simbol dalam berbagai praktek sihir, okultis ataupun ritual pemanggilan roh halus yang kerap mereka lakukan dan mereka menisbatkan simbol tersebut kepada Nabi Daud عليه السلام.
Padahal Nabi Daud عليه السلام adalah penyeru ajaran Tauhid dan dia adalah seorang Nabi yang shalih yang taat pada Allah سبحانه وتعالى, dan bukanlah seorang yang mengerjakan sihir (kafir). Dan apabila ditelusuri dalam sejarah, sesungguhnya Bintang Hexagram ini adalah merupakan simbol yang digunakan oleh para Tukang Sihir, penghitung bintang di langit dan para “astronom” kuno yang berasal dari kebudayaan paganisme di Mesir maupun Babylonia.
Dan ada diantara kalangan orang Yahudi yang mencoba mengkaitkan hubungan antara Yahudi dengan Nabi Daud عليه السلام dengan penggunaan simbol Bintang Daud dimana Bintang Hexagram tersebut mengisyaratkan tentang 12 orang turunan Nabi Ya’qub عليه السلام.
Adapun kaitan antara Nabi Sulaiman عليه السلام dan Bani Israil, adalah perlunya kita ketahui bahwa orang Yahudi Bani Israil beranggapan bahwa Nabi Sulaiman عليه السلام adalah penyihir yang sangat ulung pada masa jayanya, dikarenakan Nabi Sulaiman عليه السلام tidak hanya dapat berkuasa atas manusia, dan hewan tetapi juga dapat menundukkan jin-jin. Padahal anggapan tersebut sangatlah keliru. Nabi Sulaiman عليه السلام adalah seorang Nabi pengemban dakwah tauhid, sangatlah jauh beliau عليه السلام dari dunia sihir. Semua ini Allah سبحانه وتعالى jelaskan dalam berbagai firman-Nya berikut ini.
Perhatikanlah QS. An Naml 27:15-16 ini, dimana Allah سبحانه وتعالى menjelaskan bahwa kemampuan Nabi Sulaiman عليه السلام berbicara dan memahami bahasa hewan itu tidak lain adalah karunia Allah سبحانه وتعالى semata-mata:
“Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman”. Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata.”
Adapun kemampuan menaklukkan manusia, hewan dan jin itu pun adalah atas anugrah dan izin Allah سبحانه وتعالى semata-mata terhadap Nabi Sulaiman عليه السلام, sebagaimana dijelaskan-Nya dalam QS. Saba’ 34:12-13:
“Dan Kami (Allah) (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Rabb-nya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya azab neraka yang apinya menyala-nyala.” Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”
Dan juga firman-Nya dalam QS. An Naml 27:16-19 berikut ini:
“Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan dia berkata: “Hai Manusia, kami telah diberi pengertian tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini benar-benar suatu karunia yang nyata“. Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”; maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdo`a: “Ya Rabb-ku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni`mat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal shalih yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih“.
Bahkan Allah سبحانه وتعالى pun menganugrahkan ilmu, hikmah dan kebijaksanaan kepada Nabi Sulaiman عليه السلام, sebagaimana hal itu telah Allah سبحانه وتعالى berikan pula kepada bapaknya yakni Nabi Daud عليه السلام.
Perhatikanlah firman Allah سبحانه وتعالى dalam QS. Al Anbiyaa 21:78-79 berikut ini:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya”.
Lalu secara lebih tegas Allah سبحانه وتعالى membantah klaim dusta orang Yahudi (Bani Israil) yang mengkaitkan Nabi Sulaiman عليه السلام dengan dunia sihir dan pernyataan mereka bahwa Nabi Sulaiman عليه السلام adalah penyihir yang ulung, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Baqarah 2:101-102 berikut ini:
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung)-nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.”
Pelajaran yang dapat kita ambil dari QS. Al Baqarah 2:101 diatas adalah bahwa Bani Israil itu memiliki sifat berpaling dari perintah Allah سبحانه وتعالى. Padahal mereka telah diberi Kitab Taurat dan diperintahkan untuk bertauhid dan hanya menyembah Allah سبحانه وتعالى, tetapi mereka bahkan membelakangi dan tidak mengacuhkan Kitab Taurat itu dan justru mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh Allah سبحانه وتعالى, antara lain adalah perkara sihir.
Oleh karena itu dalam menafsirkan Surat Al Faatihah, perhatikanlah QS. Al Faatihah 1:5-7 berikut ini:
“Hanya kepada Engkau (Allah) lah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Para ‘Ulama Ahlus Sunnah menafsirkan “Maghduubi ‘alaihim (المَغضُوبِ عَلَيهِمْ) (orang-orang yang dimurkai atas mereka)” itu yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi (Bani Israil) karena mereka telah diberi ilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmunya.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Waladhdhoolliin” (وَلاَ الضَّالِّينَ) (orang-orang yang sesat) adalah orang-orang Nashrani, karena mereka itu beramal tanpa ilmu.
Dengan demikian hendaknya kaum Muslimin dapat memetik hikmah ini dengan menjauhi berbagai Bid’ah, dan berpedoman hanya pada Al Qur’an dan As Sunnah yang Shahiihah. Janganlah menjadi orang yang beramal tanpa ilmu sebagaimana orang-orang Nashrani, dan jangan pula menjadi seperti orang-orang Yahudi yang telah dianugrahi ilmu (dien) tetapi lalu tidak mengamalkan ilmu (dien)-nya, bahkan malah berpaling dari tuntunan Allah سبحانه وتعالى dan Rasul-Nya. Yang demikian itu adalah kekeliruan dan ketersesatan.
Kemudian dari QS. Al Baqarah 2:102 diatas, dapat kita ambil pelajaran bahwa Nabi Sulaiman عليه السلام itu tidak kafir, beliau عليه السلام tidak mengajarkan sihir. Yang kafir itu adalah setan, karena setan lah yang mengajarkan perkara sihir kepada manusia.
Oleh karena itu hendaknya kaum Muslimin memahami ayat ini dengan sebenar-benarnya bahwa menurut Allah سبحانه وتعالى, Sihir itu sama dengan Kufur. Dan Tukang Sihir itu adalah Kafir dan Murtad (keluar) dari Islam.
Mereka itu kafir dan murtad karena tidak meyakini bahwa manfaat dan madhorot (bahaya) itu hanya bisa terjadi atas izin Allah سبحانه وتعالى. Tukang Sihir (– atau di zaman sekarang dikenal dengan berbagai sebutan antara lain: Paranormal, Tukang Ramal, “Orang Pintar” dan sebagainya –) dan manusia yang terpedaya oleh Tukang Sihir menganggap bahwa keberuntungan ataupun perlindungan terhadap bahaya itu adalah berasal dari jin, dari setan dari dewa-dewi, ataupun dari matahari, bintang-bintang dan sebagainya; sehingga mereka menanyakan perihal perjodohan, perihal pekerjaan atau bisnisnya kepada dukun-dukun dan tukang-tukang sihirnya, ataupun mereka menganggap adanya hari baik dan hari sial dalam melaksanakan suatu acara ini dan itu kepada tukang ramal-tukang ramal mereka. Sesungguhnya hal itu dilakukan karena mereka tidak beriman kepada Allah سبحانه وتعالى. Sihir itu nyata adanya, tetapi Sihir itu tidaklah bisa memberikan manfaat ataupun mendatangkan madhorot (bahaya) terhadap seseorang kecuali atas izin Allah سبحانه وتعالى, dimana dengan hal itu Allah سبحانه وتعالى menguji adakah seseorang itu beriman pada-Nya ataukah tidak.
Dalam Hadits Riwayat Al Imaam At Turmudzy no: 2516, dan beliau berkata bahwa Hadits ini Hasanun Shahiih, juga Syaikh Nashiruddin Al Albaany رحمه الله men-Shahiihkannya, dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbaas رضي الله عنه, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajarkan kepada ‘Abdullah bin Abbas رضي الله عنه dengan sabdanya sebagaimana berikut ini:
“Wahai anak kecil sesungguhnya aku ajarkan padamu beberapa kalimat …. Dan ketahuilah olehmu bahwa jika ummat ini bersepakat untuk memberimu manfaat, maka mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali sesuai dengan apa yang Allah telah takdirkan untukmu. Dan seandainya mereka bersepakat untuk memberimu bahaya, maka sungguh hal itu tidak bisa kecuali sesuai dengan apa yang Allah takdirkan.”
Oleh karena itu hendaknya kaum Muslimin bergantung semata-mata kepada Allah سبحانه وتعالى yang menguasai jin dan setan itu sendiri, yang menetapkan qadha dan qadar, yang menguasai seluruh alam semesta ini, karena Dia lah Allah سبحانه وتعالى, satu-satunya Penolong dan Pelindung bagi kita.
Tidaklah Allah سبحانه وتعالى menurunkan dua malaikat di Babylonia bernama Haarut dan Maarut (*) melainkan dua malaikat itu adalah untuk menjelaskan bahwa “Sesungguhnya (ini adalah sihir) dan kami hanyalah ujian bagi kalian. Karena itu jangan kalian kafir.”
Hikmahnya adalah agar manusia dapat membedakan bahwa apa yang Allah سبحانه وتعالى turunkan kepada Nabi Sulaiman عليه السلام itu adalah mu’jizat dari-Nya kepada hamba-Nya yang shalih tersebut, dan apa yang Allah سبحانه وتعالى turunkan kepada malaikat Haarut dan Maarut itu adalah Sihir yang Allah سبحانه وتعالى larang; dan agar manusia jangan mempelajari Sihir agar jangan menjadi orang-orang yang kafir.
(*) Asal-usul penamaan Kartu Tarot itu antara lain dikatakan berasal dari nama malaikat Haarut dan Maarut ini.
Penjelasan ‘Ulama Ahlus Sunnah terhadap ayat 102 QS. Al Baqarah
Dalam Tafsir Al Imaam Al Baghowy (– beliau رحمه الله adalah seorang ‘Ulama madzab Syaafi’iy –) berkaitan dengan ayat 102 QS. Al Baqarah ini beliau menukil pendapat pertama yakni dari Al Kalby sebagaimana berikut:
“Kisah ayat ini adalah bahwa setan menuliskan sihir dan mantra-mantranya melalui mulut Aashif bin Barkhiya, dimana dia (Aashif) ini dikala itu tidak mengetahui bahwa Nabi Sulaiman adalah sebagai raja. Kemudian mereka memendam tulisan tersebut dibawah tempat ibadah Nabi Sulaiman عليه السلام, hingga Allah سبحانه وتعالى mencabut kerajaan dan nyawa Nabi Sulaiman عليه السلام namun Nabi Sulaiman عليه السلام tidak mengetahui tentang hal ini.
Ketika Nabi Sulaiman عليه السلام meninggal, maka mereka mengeluarkan Kitab Sihir tersebut, dan mengatakan kepada manusia, “Sesungguhnya Sulaiman, dengan Kitab Sihir ini lah Sulaiman itu merajai atau menguasai kalian. Maka ketahuilah hal tersebut.”
Adapun para ‘Ulama dari kalangan Bani Israil dan orang-orang shalih diantara mereka, maka mereka itu mengatakan, “Kami berlindung kepada Allah bahwa (Kitab Sihir) yang demikian itu adalah bagian dari ilmu Allah.”
Sedangkan orang-orang jahil (bodoh) di kalangan Bani Israil, mereka itu mengatakan, “Inilah ilmunya Sulaiman.”
Sehingga kemudian mereka pun mempelajarinya dan menolak Kitab para Nabi mereka, lalu tersebarlah ketercelaan (– kedustaan –) atas Nabi Sulaiman عليه السلام.
Demikianlah hal ini berlangsung terus-menerus keadaan dan perbuatan mereka itu sampai akhirnya Allah سبحانه وتعالى mengutus Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dan kepadanya Allah سبحانه وتعالى jelaskan bahwa Nabi Sulaiman عليه السلام terbebas dari semua fitnah tersebut. Inilah yang dikatakan oleh Al Kalby.” (“Tafsir Al Imaam Al Baghowy” Jilid I/126-127)
Jadi hendaknya kaum Muslimin memahami bahwa seluruh pemikiran dan konsep global orang-orang Yahudi (Bani Israil) yang ingin merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin itu sebenarnya adalah bertitik-tolak dari kisah tersebut. Mereka beranggapan bahwa yang membangun Baitul Maqdis dan Haikal Sulaiman itu adalah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman عليهم السلام, dan mereka menganggap bahwa kejayaan Bani Israil dikala itu adalah karena Sihir yang dimiliki oleh Nabi Daud dan Nabi Sulaiman عليهم السلام. Sehingga orang-orang Yahudi berkeras untuk memberikan kesan kepada dunia bahwa Yahudi (Bani Israil) ingin kembali ke Palestina itu adalah dalam rangka mengembalikan kejayaan Nabi Sulaiman عليه السلام. Oleh karena itu, bahkan pada zaman kita sekarang pun kaum Muslimin dapat menyaksikan betapa ganasnya orang-orang Yahudi tersebut bekerja keras untuk meruntuhkan Masjidil Aqsha dan menggantinya dengan Haikal Sulaiman. Dan proyek mereka dalam hal ini adalah proyek mega besar. (– Silakan anda klik atau tonton video youtube berjudul “3rd Temple Model Going Up” pada http://www.youtube.com/watch?v=EEqQMuTh_BE&feature=related, yang merupakan suatu situs Yahudi yang menjelaskan tentang proyek besar-besaran pembangunan Haikal Sulaiman oleh mereka saat ini –)
Jadi orang-orang Yahudi tersebut terus berusaha secara serius merebut Palestina, karena mereka beranggapan bahwa disanalah tanah kelahiran Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman عليهم السلام.
Mereka (kaum Yahudi) itu tidak sadar bahwa mereka sebenarnya tidak memiliki kebangsaan dan negara yang tetap. Bahkan sampai ketika di Babylonia (setelah wafatnya Nabi Sulaimanعليه السلام) pun, wilayah mereka terpecah menjadi dua yaitu Kerajaan Yahuudzaa dan Kerajaan Saamiroh. Dan mereka terus berada dalam keadaan kisruh dan tidak menetap serta bahkan akhirnya diusir dan diperbudak oleh Babylonia. Dan ini terjadi pada sekitar abad ke-6 SM.
Kemudian dalam Tafsir Al Imaam Al Baghowy selanjutnya beliau رحمه الله menjelaskan pendapat yang kedua yakni pendapat Al Imaam As Suddy رحمه الله sebagai berikut:
“Adapun Al Imaam As Suddy رحمه الله mengatakan bahwa setan itu naik ke langit untuk mencuri-curi dengar perkataan malaikat tentang apa yang akan terjadi di bumi, baik berupa kematian ataupun selainnya. Kemudian setan itu mendatangi pada dukun, sembari mencampur-adukkan apa yang mereka dengar tadi dari setiap perkataan dengan 70 (tujuh puluh) kedustaan. Kemudian mereka memberitakannya kepada para dukun tersebut, sehingga setelah tertulis maka tersebarlah ditengah-tengah Bani Israil itu bahwa Jin adalah mengetahui perkara yang ghaib.
Oleh karena itu, maka Nabi Sulaiman عليه السلام pun mengutus pada orang-orang kemudian mengumpulkan Kitab-Kitab tersebut dan menjadikannya didalam kotak serta memendamnya dibawah kursinya, seraya mengatakan, “Aku tidak ingin mendengar seorang pun mengatakan bahwa setan mengetahui perkara yang ghaib, kecuali akan aku penggal lehernya.”
Dan ketika Nabi Sulaiman عليه السلام meninggal dan para ‘Ulama Bani Israil yang mengetahui tentang perkara Nabi Sulaiman عليه السلام dan pemendaman Kitab-Kitab (Sihir dan Mantra) ini meninggal; lalu datanglah setelah mereka itu generasi dimana setan menyerupai sebagai seorang manusia dan mendatangi sekelompok kaum Bani Israil seraya berkata, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian pendaman yang berharga yang kalian belum pernah menikmatinya selama ini?”
Mereka (Bani Israil) menjawab, “Ya.”
Maka pergilah setan bersama mereka dan diperlihatkannyalah tempat dibawah kursi Nabi Sulaiman عليه السلام tersebut, lalu mereka pun menggalinya dan Bani Israil pun berkata kepada setan, “Mendekatlah engkau (kemari).”
Tetapi setan menjawab, “Aku tidak akan datang (kesitu), akan tetapi jika kalian tidak menemuinya (tidak menemukan Kitab tersebut), maka bunuhlah aku.”
(Hal ini dikatakan setan demikian), karena tidak ada satu setan pun yang mendekat pada kursi Nabi Sulaiman عليه السلام, melainkan dia akan terbakar.
Akhirnya kaum Bani Israil menggali dan mengeluarkan Kitab-Kitab itu, dan setan pun berkata kembali, “Sesungguhnya Sulaiman menguasai jin, manusia, setan dan burung adalah dengan (Kitab) ini.”
Kemudian menghilang (berlalu) lah setan itu dari mereka, dan tersebar lah pada Bani Israil bahwa Nabi Sulaiman عليه السلام adalah seorang penyihir; kemudian mereka mengambil Kitab-Kitab (Sihir dan Mantra) tersebut serta menggunakannya.
Kebanyakan sihir ditemukan di kalangan Yahudi dan ketika Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم datang, maka Allah سبحانه وتعالى membersihkan fitnah ini dari Nabi Sulaiman عليه السلام.”
(“Tafsir Al Imaam Al Baghowy” Jilid I/128)
Jadi demikianlah, sesungguhnya Iblis lah yang menurunkan ajaran Sihir dan Mantra-Mantra itu kepada setan dan kemudian setan menurunkannya kepada Bani Israil, mula-mula melalui Kitab (catatan) yang ditulis oleh Aashif bin Barkhiya, lalu pada akhirnya sampai kepada Bani Israil. Dan setan memfitnah Nabi Sulaiman عليه السلام dengan menyatakan bahwa dengan Kitab Sihir itu lah Nabi Sulaiman عليه السلام menguasai manusia, burung, jin dan setan. Fitnah ini berlangsung terus-menerus hingga diturunkannya Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم untuk membersihkan keyakinan yang keliru tersebut dari jiwa-jiwa manusia, dan menjelaskan bahwa Nabi Sulaiman عليه السلام berlepas diri dari hal tersebut dan beliau عليه السلام tidak lah kafir (tidak mempelajari ilmu Sihir), melainkan setan lah yang menyebarkan kebathilan tersebut.
Bagan Nasab Sihir Yahudi (Bani Israil)
Apakah Setan Mengetahui Perkara yang Ghaib?
Allah سبحانه وتعالى menjelaskan dalam QS. Saba’ 34:14 berikut ini, bahwa Jin itu tidak mengetahui perkara yang ghaib:
“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.”
Jadi Jin itu sebenarnya tidak mengetahui perkara yang ghaib, karena Jin tersebut bahkan terus-menerus bekerja akibat tidak mengetahui bahwa Nabi Sulaiman عليه السلام telah meninggal, dan barulah menyadarinya ketika jenazah Nabi Sulaiman عليه السلام jatuh tersungkur dari atas kursi singgasananya akibat tongkat yang menyanggah tubuhnya rapuh dimakan rayap.
Maka sungguh sangatlah mengherankan apabila ada diantara kalangan manusia yang meminta bantuan Jin berkaitan dengan (ramalan) perkara-perkara nasibnya di masa yang akan datang, baik dalam perkara perjodohan, pekerjaan dan berbagai urusan kehidupannya; sementara Jin itu sendiri bahkan tidak mengetahui tentang meninggalnya Nabi Sulaiman عليه السلام sehingga ia berada dalam kehinaan dengan terus menerus bekerja bagi Nabi Sulaiman عليه السلام padahal Nabi Sulaiman عليه السلام telah meninggal.
Dengan demikian orang-orang yang meyakini bahwa setan dan jin itu bisa mengetahui perkara-perkara yang ghaib, hanyalah merupakan kebodohan dan kedustaan belaka. Bahkan kalaupun ada diantara Jin yang berhasil mencuri-curi dengar berita di langit, maka tatkala ia membawa berita tersebut kepada Dukun-dukun atau Tukang-Tukang Sihir sekutunya, berita itu telah dicampurnya dengan 70 kedustaan, sehingga kebenarannya hanyalah 1 berbanding 70 kedustaan. Sebagaimana hal ini pun telah diberitakan dalam Hadits Riwayat Al Imaam Al Hakim no: 3050, dan di-Shahiihkan oleh Al Imaam Adz Dzahaby رحمه الله sebagaimana dalam Kitab beliau bernama “At Talkhiish”, dari ‘Imran bin Al Haarits bahwa Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbaas رضي الله عنه berkata kepadanya:
“… Aku akan menyampaikan padamu: ‘Sesungguhnya setan mencuri-curi pendengaran dan satu diantara mereka (setan) membawa kebenaran yang sudah didengar orang kemudian dia menggabungkannya dengan 70 (tujuh puluh) kedustaan’...”
Oleh karena itu hendaknya seseorang mencukupkan diri dengan beriman kepada Allah سبحانه وتعالى, karena hanya Allah سبحانه وتعالى lah tempat kita berlindung dari berbagai bahaya dan kesulitan dan hanya pada-Nya lah seorang hamba meminta pertolongan; juga hanya Dia-lah, Allah سبحانه وتعالى, yang mengetahui perkara yang ghaib itu.
Perhatikanlah firman-Nya dalam QS. Al An’aam 6:59,
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
Yahudi dan Kaitannya dengan “Kabbala”
Kitab Sihir dan Mantra yang asal-muasalnya sebenarnya adalah dari catatan Aashif bin Barkhiya tersebut kemudian berkembang di kalangan Yahudi, yang kemudian disebut Kabbala. Berasal dari bahasa Arab “Kabbala (كابلة)”, yang artinya adalah “Menerima” (Menerima riwayat secara lisan).
Kitab Taurat yang mereka sebut sebagai “Zuhaar” (“Cahaya”) pun kemudian bercampur dengan sihir dan jampi-jampi, dimana mereka (orang-orang Yahudi) menyisipkan mizmar (seruling), kidung (nyanyian) kedalamnya, lalu ditambahkan pula berbagai rumus-rumus atau simbol-simbol yang mereka katakan bahwa itulah landasan untuk menjelaskan Kitab Taurat. Bahkan Bintang Daud (Bintang David) yang merupakan bintang berbentuk hexagram dan Stempel Sulaiman mereka itu sebenarnya juga adalah merupakan simbol-simbol dan rumus-rumus sihir yang ulung, yang mereka gunakan untuk menyembah pada tuhan mereka, yakni Setan. Bahkan apabila diteliti lebih lanjut, Bintang Hexagram (Bintang David) tersebut sudah digunakan pula oleh kaum Hindu, pengikut Fir’aun dan oleh tukang-tukang sihir di Mesir Kuno ataupun Babylonia.
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh orang Barat sendiri, yakni oleh Texe Marrs, yang berjudul “Demons, Magic And Mysticism In The Cabala”; dikatakannya bahwa:
“Kabalisme adalah murni paham “Illuminati”, karena mengajarkan doktrin rahasia yang menyesatkan dan berbelit-belit (twisted and perverted secret doctrine) – yang akhirnya dipegang kuat-kuat oleh ahli yang tingkatannya lebih tinggi (The Holy Serpent) yang merupakan tuhan mereka yang sebenarnya. Semua yang dilakukan itu adalah perbuatan setan, melalui alkemia, dengan sihir yang ditransformasikan seakan kebajikan; dan mereka meyakini Lucifer (Setan) sebagai Tuhan. Hanya Setan tuhan (mereka) yang sebenarnya. Itulah doktrin penting Kabalisme. Itulah, sahabat-sahabatku, horor dan yang memalukan dari Yahudi Kabala.”
Ilmu sihir merupakan hal yang biasa dalam ritus agama Yahudi Kabbalistis yang menyesatkan. Dalam gambar di atas nampak seorang rabbi (pendeta Yahudi) membawa seekor ayam mati untuk dikorbankan dengan membacakan guna-guna / voodoo / jenis ritual Santeria sewaktu pesta Yom Kippur Yahudi. (Photo: Israel, A Photobiography, by Micha Bar-Am, New York: Simon & Schuster, 1998)
Di bawah ini beberapa komentar orang yang mempunyai otoritas keilmuan mengenai Kabbala Yahudi:
Kabbala berisi pengajaran dan kekuatan jahat/setan, dan lebih dari cukup untuk memberikan ideologi dan sebagai daya penggerak yang diperlukan untuk memimpin dunia sesat, serta untuk tetap menghidupkan konspirasi jahat yang telah berlangsung selama berabad-abad. Kabbala adalah merupakan sebuah sumber pengajaran Freemasons, juga kelompok-kelompok lainnya. – (John Torrell, Publisher, The Dove).
Kabbala: Buku Sihir Hitam yang disucikan oleh kelompok agama Yahudi Orthodox yang membentuk sebagian besar dasar-dasar masyarakat rahasia Barat, dari Rosicrucianisme sampai ke Freemasonry dan OTO. Kabbalisme sendiri berasal dari ilmu sihir dari zaman Babylonia dan …Fir’aun Mesir – (Craig Heimbichner, Blood On The Altar).
Kabbala Ibrani itu adalah serangkaian tulisan okultis yang sama dengan mantera yang dirapalkan dalam ilmu sihir. Kamus Webster mengatakan kepada kita (Cabala kadang-kadang dieja Kabbala) adalah “sebuah filsafat keagamaan okult yang dikembangkan oleh rabbi-rabbi Yahudi tertentu …” – (James Lloyd, The Apocalypse Chronicles, Vol VII, No.1, 2005).”
Demikianlah yang ditulis oleh orang Barat sendiri terhadap Kabbala kaum Yahudi. Pada intinya, bahwa orang-orang Yahudi itu meyakini bahwa keajaiban Nabi Sulaiman عليه السلام itu adalah Sihir (– dimana ini adalah keyakinan yang sangat keliru, sebagaimana telah kita bahas diatas –), dan Sihir itulah yang kemudian mereka sebut sebagai Kabbala.
Upaya Yahudi meruntuhkan Masjid Al Aqsha dan menggantinya dengan Haikal Sulaiman
Masjid Al Aqsha
Masjid Al Aqsha (المسجد الاقصى) adalah salah satu bangunan yang menjadi bagian dari kompleks bangunan suci di Kota Lama Yerusalem (Yerusalem Timur) yang dikenal dengan nama Al-Harom asy-Syariif.
Masjid Al-Aqsha yang dahulunya dikenal sebagai Baitul Maqdis, merupakan kiblat sholat ummat Islam yang pertama sebelum dipindahkan ke Ka’bah di dalam Masjidil Harom. Ummat Muslim berkiblat ke Baitul Maqdis selama Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم mengajarkan Islam di Makkah (13 tahun) hingga 17 bulan setelah hijrah ke Madinah. Setelah itu kiblat sholat adalah Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah hingga sekarang.
Dalam kisah Isra’ Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم ke Baitul Maqdis, maka beliauصلى الله عليه وسلم menjadi Imaam Sholat di Masjid Al Aqsha terlebih dahulu. Kemudian beliau صلى الله عليه وسلم naik ke langit (Al Mi’raj), yang dimulai dari atas sebuah batu besar (Ash Shokhrokh), lalu keatas langit bersama Malaikat Jibril. Karena momentum itu lah maka pada masa-masa berikutnya diatas batu besar tersebut, dibangun suatu Masjid yang bernama Masjid Ash Shokhroh (مسجد قبة الصخرة) atau “The Dome of The Rock”.
Masjid Ash Shokhroh atau "The Dome of The Rock"
Sebagaimana telah kita bahas diatas, orang-orang Yahudi mempunyai anggapan yang keliru terhadap Nabi Sulaiman عليه السلام, bahwa Nabi Sulaiman عليه السلام adalah seorang penyihir ulung yang dapat menguasai manusia, hewan, jin dan setan dengan keampuhan sihirnya. Oleh karena itu mereka (orang-orang Yahudi) berupaya untuk membangun Haikal Sulaiman untuk mengembalikan masa kejayaan Nabi Sulaiman عليه السلام, yang mereka klaim sebagai milik kaum Yahudi. (– Padahal perlu dicatat, bahwa Nabi Adam عليه السلام lah yang pertama kali membangunnya, dan ribuan tahun sesudahnya Nabi Sulaiman عليه السلام hanyalah membangun kembali Masjid tersebut, sebagaimana Nabi Ibrahim عليه السلام membangun kembali Ka’bah di Makkah –)
Orang-orang Yahudi berencana membangun kembali Haikal Sulaiman tersebut dengan cara meruntuhkan Masjid Al Aqsha di Yerusalem. Berbagai upaya telah mereka lakukan saat ini, antara lain upaya untuk menghapus ingatan kaum Muslimin terhadap Masjid Al Aqsha dengan cara menampilkan gambar atau foto Masjid Ash Shokhrokh (The Dome of The Rock) pada berbagai bingkisan hadiah (souvenir), buku-buku, majalah dan sebagainya; bukannya gambar atau foto Masjid Al Aqsha yang sebenarnya. Sehingga Masjid Al Aqsha yang sebenarnya semakin lama akan semakin tidak dikenal dan dilupakan oleh generasi muda kaum Muslimin.
Berbagai fakta tentang penggalian dibawah Masjid Al Aqsha
Retaknya pilar, dinding dan lantai halaman Masjid Al Aqsha akibat dari penggalian yang dilakukan dibawahnya
Maket struktur Haikal Sulaiman telah mulai dibangun oleh Zionis Yahudi
Demikianlah, hendaknya kaum Muslimin menyadari hal ini, dan melakukan berbagai upaya pembelaan terhadap masjid sucinya, yakni Masjid Al Aqsha dari keganasan kaum Yahudi dan Zionis-nya. Dan sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, hendaknya kaum Muslimin mencamkan dalam dirinya bahwa Sihir adalah bagian dari kekufuran; sebagaimana menurut penjelasan Al Imaam Al Baghowy رحمه الله bahwa, “Sihir merupakan penipuan/tipu-daya. Adanya sihir memang dibenarkan menurut Ahlus Sunnah, tetapi mengamalkan dan menggunakan sihir adalah Kufur.”
TANYA JAWAB
Pertanyaan:
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Iblis (termasuk Sihir) itu tidak berdaya ketika berhadapan dengan orang beriman yang bertawakkul kepada Allah سبحانه وتعالى. Bentuk tawakkul seperti apakah yang harus kita lakukan agar Sihir, termasuk Hipnotis tidak bisa mengenai diri kita?
Jawaban:
Setan memiliki kemampuan untuk menjadi fitnah (ujian) dan bala’ bagi manusia. Manusia itu sendiri diuji keimanannya oleh Allah سبحانه وتعالى, dimana ujian tersebut adalah berupa setan yang menggoda dan berusaha untuk menjerumuskannya ataupun membuat tipu daya padanya agar manusia itu terjerumus kedalam Jahannam.
Bahkan sebagaimana yang telah Allah سبحانه وتعالى firmankan dalam QS. Shad 38:82-83, maka Iblis telah bersumpah dihadapan Allah سبحانه وتعالى dahulu ketika Nabi Adam عليه السلام diciptakan, bahwa ia akan menggoda seluruh manusia agar dapat dijerumuskannya kedalam api neraka:
“Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka.”
Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa ter-imunisasi dari godaan setan? Ternyata Iblis (Setan) itu sangat lemah tipu dayanya, sebagaimana yang Allah سبحانه وتعالى firmankan dalam QS. An Nisaa’ 4:76 berikut ini:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu, karena sesungguhnya tipu daya setan itu adalah lemah.”
Dan firman Allah سبحانه وتعالى itu pastilah benar.
Bahkan Hadits Riwayat Al Imaam Muslim no: 389, dari Shahabat Abu Hurairoh رضي الله عنه, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Setan berpaling sampai terkentut-kentut sehingga dia tidak lagi mendengar adzan, dan ketika adzan selesai maka dia kembali lagi…..”
Dari Hadits diatas dapatlah kita pelajari bahwa mendengar suara adzan saja, setan itu ketakutan dan lari menjauh.
Ada pula berbagai cara lain agar terhindar dari godaan setan antara lain adalah membaca do’a ketika hendak masuk Kamar Mandi/WC. Atau bisa juga dengan membaca Surat Al Ikhlaas, Surat Al Falaq dan Surat An Naas. Bahkan dengan membaca “Bismillaahit tawakkaltu ‘alAllah” saja setan sudah lari menghindar. Artinya, setan itu sebenarnya lemah.
Oleh karena itu, agar kita selalu terhindar dari godaan dan tipu daya setan tersebut, maka hendaknya kita selalu meminta perlindungan, berdo’a dan berdzikir kepada Allah سبحانه وتعالى dengan hati yang yakin. Kalau hati kita ragu-ragu atau tidak yakin kepada Allah سبحانه وتعالى, maka tentunya do’a yang merupakan senjata kita itu tidak akan membawa hasil.
Agar senjata do’a kita itu tajam, maka perbanyaklah sujud, taat dan berdzikir kepada Allah سبحانه وتعالى; serta menjauhkan diri dari perkara ma’shiyat, Bid’ah dan terutama adalah Syirik. Karena Syirik, Bid’ah dan ma’shiyat itu dapat menumpulkan senjata do’a kita.
Alhamdulillah, kiranya cukup sekian dulu bahasan kita kali ini, mudah-mudahan bermanfaat. Kita akhiri dengan Do’a Kafaratul Majlis :
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Ust. Achmad Rofi’i, Lc.M.Mpd.
No comments:
Post a Comment