CARITA PARAHIYANGAN (bagian yang memuat SRI BADUGA MAHARAJA)”
BAGIAN INI menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran.
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 pasukan dikirim dari Pakuan ke Cirebon, namun tidak mengetahui bahwa pasukan Demak telah hadir di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, Jagabaya masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan menyerang Cirebon. Namun pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dimaklumi mengapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur).
Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut. Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah (Jung) 150 ton dan beberapa lancaras untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
- Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
- Ratu Ayu dengan (Pangeran Sabrang Lor).
- Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
- Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias ”’Yunus Abdul Kadir”’ dengan Ratu Ayu terjadi 1511 ia adalah Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor yang untuk sementara ditempatkan di Cirebon.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga dalam hubungan kakek dan cucu. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon.
Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya — Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara — diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam). Permusuhan pun tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, masing masing pihak mengembangkan keadaan dalam negerinya.
Masa Pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (keureuta – Carita Parahiyangan) atau JAMAN KEEAMASAN TATAR SUNDA.
Bahkan Tome Pires mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Waruga Jagat (Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh) dari Ciamis ditulis abad ke-18 dengan menggunkana bahasa Jawa dan aksara Pegon menyebut bahwa pemerintahan Sri Baduga merupakan GEMUH PAKWAN (KEMAKMURAN PAKWAN). Maka itu sangat tidak mengherankan jika SRI BADUGA MAHARAJA DIABADIKAN KEBESARANNYA DAN DIJUNJUNG SEPANJANG HAYAT URANG SUNDA hingga kini sebagai KENANGAN atas PERISTIWA INDAH YANG PERNAH TERJADI DI TATAR SUNDA.
SUSUHUNAN DI PAKWAN PAJAJARAN YANG MEMERINTAH 39 TAHUN (1482-1521)= SANG LUMAH ING (SANG MUKTA ING) RANCAMAYA!
KESEJATERAAN – KEUREUTA – JAMAN KEEMASAN SRI BADUGA itu antara lain dicirikan oleh tindakannya yang selalu mementingkan rakyat, tercermin dalam KEBIJAKAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali.
Pesan ini tercantum dalam salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan:
Tegas disebut “dayeuhan” (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak:
“dasa” (pajak tenaga perorangan),
“calagra” (pajak tenaga kolektif),
“pare dondang” (padi 1 gotongan).
(Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, “upeti”, “panggeureus reuma”.) Koropak 406 menyebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa “kapas sapuluh carangka” (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.“Pare dondang” = “panggeres reuma”.
Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha; reuma adalah bekas ladang, artinya padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan).
Dongdang = alat pikul seperti “tempat tidur” persegi empat diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan maka itu Dondang selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai maka tatkala digotong berayun sehingga disebut “dondang” (berayun). Dondang juga dipakai membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, “pare dongdang” atau “penggeres reuma” ini lebih bersifat barang antaran.Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk “dasa” dan “calagra” (Di Majapahit disebut “walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di “serang ageung” (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).Dalam kropak 630 disebutkan “wwang tani bakti di wado” (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan.
Lalu Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkan untuk “rodi”.Dasa diubah menjadi “Heerendiensten” (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar).Calagara diubah menjadi “Algemeenediensten” (dinas umum) atau “Campongdiesnten” (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jaga dan keamanan.
Jika Dasa dilakukan tanpa imbalan apa-apa, maka Calagara dengan imbalan makan. Inilah strategi liicik Belanda dalam “Preangerstelsel” dan “Cultuurstelsel” merubah total budaya GOTONGROYONG SUNDA menjadi KERJA PAKSA – tiada lain memanfaatkan tradisi pajak tenaga.
Menjelang akhir abad ke-19 dirubah lagi menjadi “lakon gawe” berlaku di tingkat desa. Sifatnya juga tetap pajak disertai sangsi bagi yang melalaikannya. Sejak itu di kalangan MASYARAKAT TATAR SUNDA dikenal peribahasa “puraga tamba kadengda” (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban “gebagan” yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Maka “gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa”, kendati ide dasarnya pajak dalam bentuk tenaga atau karyabhakti yang sudah dikenal sejak masa Tarumanagara. Dalam masyarakat Sunda inti sebenarnya dimaksudkan memelihara lingkungan alam baik bagi raja, bagi sesama lingkungan dan juga alam seluruhnya. Terutama melestarikan TATANAN LINGKUNGAN KEBUDAYAAN KARUHUN SUNDA!
No comments:
Post a Comment