Euphoria di Pinggiran Sejarah
Perang Mu’tah telah usai, walaupun umat islam tidak mendapatkan kemenangan di sana. Bahkan, pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid dicaci oleh anak – anak dan warga yang berada di Madinah. Mereka dianggap sebagai pengecut karena telah melarikan diri dari pertempuran. Akan tetapi berbeda dengan sikap yang ditunjukkan Rasulullah, beliau mengganggap itu sebuah strategi perang dan dari situ, Khalid bin Walid dijuluki oleh Nabi gelar Saifullah al – Maslul. Sejenak kita merenungi dengan apa yang telah diperbuat oleh kaum muslimin saat itu. Kekuatan yang tidak sebanding dengan musuh yang waktu itu adalah Romawi yang berkekuatan dua ratus ribu prajurit melawan tiga ribu prajurit dari Muslimin. Maka pantas apa yang dilakukan oleh Khalid bin Walid ini mendapat pujian dari Rasul. Menyelamatkan nyawa yang banyak lebih diutamakan daripada mematikan mereka dalam satu waktu. Tapi apa dampak dari perang Mu’tah tersebut, ya, perang Mu’tah adalah dasar pijakan untuk menaklukan negeri – negeri yang diduduki Romawi. Bukan itu saja, kekuatan Muslim menjadi satu kekuatan yang diperhitungkan. Dan dari keberanian dan kenekadan kaum Muslimin melawan super power Romawi membuat kabilah – kabilah yang sebelumnya menyerang dan memusuhi kaum Muslimin merasa simpati terhadap Islam dan mereka pun masuk Islam. Bani Sulaim, Bani Asyja’, Bani Ghathafan, Bani Fazarah, dan bani – bani yang lain menyatakan masuk Islam karena Perang Mu’tah tersebut. Dan ini adalah awal sejarah kaum Muslimin mengukir sejarah peradaban di dunia. Kaum Muslimin waktu itu bukan menjadi penonton dalam sejarah peradaban. Akan tetapi, perang ini telah mengubah mereka menjadi super power yang ketiga.
Euphoria yang dilakukan Kaum Muslimin bisa dibilang menuai puncak keemasan. Mereka telah masuk kedalam peradaban besar. Dan ketika itu, mereka menjalankan tugas yang terberat yaitu ustadziyatul alam. Menyebarkan kedamaian di seluruh dunia. Mereka sudah tidak takut dengan ancaman – ancaman yang datang dari Romawi ataupun Persia. Dan ketika itu, mereka membuka wawasan yang lebih luas. Setelah perang itu pula, ilmuwan – ilmuwan Muslim lahir. Nama mereka tercatat dalam sejarah peradaban Islam dan Dunia. Kekuatan Islam pun menjadi disegani oleh musuh.
Itu adalah sepenggal kisah dari masa 14 abad silam. Walaupun mereka dengan kita saat ini adalah sama, yaitu sama - sama Muslim dan memiliki dasar motivasi yang sama yaitu keimanan. Akan tetapi ada yang membuat berbeda dari generasi mereka dengan kita. Kekuatan muslim dahulu pun kalah jauh dengan kekuatan muslim sekarang jika melihat dari segi kuantitas. Tapi, mereka mampu menjalankan peradaban di bawah kekuasaan mereka. Mereka mampu mengubah arah layar ke arah kemenangan mereka Mereka mampu menciptakan ledakan – ledakan keilmuan yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka mampu mengisi celah – celah sejarah dengan kemilitansian mereka. Seolah, seluruh penjuru tahu dengan apa itu Islam.
Pun masa kemerdekaan Indonesia, kaum Muslim mampu menggelorakan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Hingga nama mereka harum dicatat oleh peradaban bangsa ini. Mereka tidak terlalu memusingkan apakah sejarah akan menuliskan nama mereka sebagai pahlawan peradaban bangsa. Karena mereka yakin bahwa sejarah akan menuliskannya sendiri. Catatan – catatan yang membanggakan dari pahlawan – pahlawan islam pun kini sudah menjadi santapan kita saat mengaji di surau, atau masjid.
Dan kini, yang bisa diperbuat oleh kaum Muslim sekarang adalah membangga – banggakan kesuksesan dari apa yang pernah diraih oleh nenek moyang kita. Kita terlalu bangga sehingga kita sekarang tidak bisa membangun suatu peradaban sama seperti nenek moyang kita. Kita merasa bahwa apa yang dilakukan oleh nenek moyang kita adalah sudah cukup dan tak perlu ditambah – tambahin lagi. Dan paham ke – euphoria – an ini terus dikembangkan hingga ke cucu kita. Tanpa terasa bahwa islam kini menjadi penonton peradaban. Ketika ada hal yang baru dan bagus dalam peradaban ini kita berkata : “Wuii…h..”. Dan ketika ada hal yang jelek dan sangat tidak mengenakan kita berkata : “Alaa..h“. Sama seperti apa yang dilakukan oleh penonton sepak bola. Hanya bisa mengomentari tanpa bisa berbuat. Itulah yang kini menjadi penyakit kaum Muslim sekarang. Hanya bisa bersenang – senang di pinggiran sejarah.
Kita menikmati euphoria ini, sehingga kita lupa terhadap ayat Allah yang mengatakan bahwa Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan kemudian persiapkan hari esok. Kita terlalu bergembira dengan kesuksesan – kesuksesan yang pernah dilakukan oleh nenek moyang kita, tanpa kita tahu apa yang akan kita persiapkan untuk besok pagi. Sejarah apa yang akan kita ukir untuk kembali menuju zaman keemasan yang dulu pernah dibangun oleh pendahulu kita, pun kita belum tahu. Karena kita belum memahami esensi dari Islam itu sendiri. Kita hanya memahami esensi Islam dari luar. Kita sesungguhnya belum berIslam secara kaffah, maka benar apa yang pernah diucapkan oleh Nurcholis Madjid bahwa umat Islam di Nusantara ini memeluk Islam belumlah sungguh – sungguh. Sudah sepantasnya kita harus memasuki era baru. Dimana kita harus sudah memahami Islam secara menyeluruh. Dan jangan lagi kita menjadi penonton peradaban yang euphoria dengan seluruh kesuksesan – kesuksesan pendahulu kita. Bangga terhadap peradaban Islam terdahulu memang boleh, akan tetapi ketika bangga yang sudah sangat terlalu itulah yang akan membahayakan keselamatan kita. Kita akan senantiasa berkhayal tentang kesuksesan – kesuksesan para pendahulu kita.
Saifullah Robbani
Euphoria yang dilakukan Kaum Muslimin bisa dibilang menuai puncak keemasan. Mereka telah masuk kedalam peradaban besar. Dan ketika itu, mereka menjalankan tugas yang terberat yaitu ustadziyatul alam. Menyebarkan kedamaian di seluruh dunia. Mereka sudah tidak takut dengan ancaman – ancaman yang datang dari Romawi ataupun Persia. Dan ketika itu, mereka membuka wawasan yang lebih luas. Setelah perang itu pula, ilmuwan – ilmuwan Muslim lahir. Nama mereka tercatat dalam sejarah peradaban Islam dan Dunia. Kekuatan Islam pun menjadi disegani oleh musuh.
Itu adalah sepenggal kisah dari masa 14 abad silam. Walaupun mereka dengan kita saat ini adalah sama, yaitu sama - sama Muslim dan memiliki dasar motivasi yang sama yaitu keimanan. Akan tetapi ada yang membuat berbeda dari generasi mereka dengan kita. Kekuatan muslim dahulu pun kalah jauh dengan kekuatan muslim sekarang jika melihat dari segi kuantitas. Tapi, mereka mampu menjalankan peradaban di bawah kekuasaan mereka. Mereka mampu mengubah arah layar ke arah kemenangan mereka Mereka mampu menciptakan ledakan – ledakan keilmuan yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka mampu mengisi celah – celah sejarah dengan kemilitansian mereka. Seolah, seluruh penjuru tahu dengan apa itu Islam.
Pun masa kemerdekaan Indonesia, kaum Muslim mampu menggelorakan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Hingga nama mereka harum dicatat oleh peradaban bangsa ini. Mereka tidak terlalu memusingkan apakah sejarah akan menuliskan nama mereka sebagai pahlawan peradaban bangsa. Karena mereka yakin bahwa sejarah akan menuliskannya sendiri. Catatan – catatan yang membanggakan dari pahlawan – pahlawan islam pun kini sudah menjadi santapan kita saat mengaji di surau, atau masjid.
Dan kini, yang bisa diperbuat oleh kaum Muslim sekarang adalah membangga – banggakan kesuksesan dari apa yang pernah diraih oleh nenek moyang kita. Kita terlalu bangga sehingga kita sekarang tidak bisa membangun suatu peradaban sama seperti nenek moyang kita. Kita merasa bahwa apa yang dilakukan oleh nenek moyang kita adalah sudah cukup dan tak perlu ditambah – tambahin lagi. Dan paham ke – euphoria – an ini terus dikembangkan hingga ke cucu kita. Tanpa terasa bahwa islam kini menjadi penonton peradaban. Ketika ada hal yang baru dan bagus dalam peradaban ini kita berkata : “Wuii…h..”. Dan ketika ada hal yang jelek dan sangat tidak mengenakan kita berkata : “Alaa..h“. Sama seperti apa yang dilakukan oleh penonton sepak bola. Hanya bisa mengomentari tanpa bisa berbuat. Itulah yang kini menjadi penyakit kaum Muslim sekarang. Hanya bisa bersenang – senang di pinggiran sejarah.
Kita menikmati euphoria ini, sehingga kita lupa terhadap ayat Allah yang mengatakan bahwa Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan kemudian persiapkan hari esok. Kita terlalu bergembira dengan kesuksesan – kesuksesan yang pernah dilakukan oleh nenek moyang kita, tanpa kita tahu apa yang akan kita persiapkan untuk besok pagi. Sejarah apa yang akan kita ukir untuk kembali menuju zaman keemasan yang dulu pernah dibangun oleh pendahulu kita, pun kita belum tahu. Karena kita belum memahami esensi dari Islam itu sendiri. Kita hanya memahami esensi Islam dari luar. Kita sesungguhnya belum berIslam secara kaffah, maka benar apa yang pernah diucapkan oleh Nurcholis Madjid bahwa umat Islam di Nusantara ini memeluk Islam belumlah sungguh – sungguh. Sudah sepantasnya kita harus memasuki era baru. Dimana kita harus sudah memahami Islam secara menyeluruh. Dan jangan lagi kita menjadi penonton peradaban yang euphoria dengan seluruh kesuksesan – kesuksesan pendahulu kita. Bangga terhadap peradaban Islam terdahulu memang boleh, akan tetapi ketika bangga yang sudah sangat terlalu itulah yang akan membahayakan keselamatan kita. Kita akan senantiasa berkhayal tentang kesuksesan – kesuksesan para pendahulu kita.
Saifullah Robbani
No comments:
Post a Comment