Kisah Liberalisme
Seandainya Karl Marx masih hidup, mungkin dirinya akan mengirimkan pesan singkat kepada Presiden Obama, “Sungguh tak pernah terpikir olehku bahwa ramalan – ramalanku akan meleset tepat di pertengahan abad – 20. Kaulah yang kini harus bertanggung jawab atas banyak kehancuran di Timur Tengah”.
Pendahuluan
Pada akhirnya, sejarah akan dikuasai oleh pihak – pihak yang menang. Pihak yang kalah akan hancur, dan tak tahu kapan dirinya harus bangkit lagi. Ya, seperti itulah isme – isme dewasa ini. Mungkin tak pernah terpikir oleh Karl Marx, Lenin, ataupun Hitler bahwa pada suatu hari cita – citanya akan hancur, dan tak pernah lagi hidup hingga kini. Dengung – dengung isme – isme yang mereka pidatokan di depan umat manusia nyatanya hanya bertahan di abad – 19 hingga abad – 20, sisanya hanyalah kebebasan yang sanggup menjadi merajai dunia. Bahkan Patung Liberty yang ada di Amerika pun kini bisa tersenyum kian lebar saat tahu bahwa negaranya adalah pemenang dari persaingan ketat isme – isme dunia. Seandainya Karl Marx masih hidup, mungkin dirinya akan mengirimkan pesan singkat kepada Presiden Obama, “Sungguh tak pernah terpikir olehku bahwa ramalan – ramalanku akan meleset tepat di pertengahan abad – 20. Kaulah yang kini harus bertanggung jawab atas banyak kehancuran di Timur Tengah”.
Di Timur, Barat tetap berkuasa. Liberalisme tua yang dulu hanya berprinsip pada kebebasan, semata – mata hanya untuk melepaskan diri dari kekuasaan gereja, kini Liberalisme modern berubah menjadi penguasa dunia. Bahkan CIA harus menanggung malu yang luar biasa saat salah satu dokumennya mengalami kebocoran di sebuah situs bernama wikileaks. Sebuah situs yang menyajikan berbagai macam kebobrokan para pemimpin dunia beserta anak asuhnya.
Di dalam dokumen tersebut kalimat pertama tertulis “..no freedom, independent, and glory for the third world. Like a sh*t when we look at you to be a first world..”. Dapat diartikan bahwa hanya sebuah buaian yang menjijikan ketika negara – negara di dunia ketiga (negara – negara berkembang termasuk Indonesia harus melesat hebat sejajar dengan negara – negara maju. Jika sudah begini, lalu apa yang harus diperbuat para sejarawan beserta politikus kita? Haruskah negara – negara itu tetap duduk dalam lingkaran besar persaingan para kapitalis, atau bagaimana jika isme – isme yang lain turut bangkit kembali untuk membendung mereka (kaum kapitalis)?
Latar Belakang
Gagasan liberalisme tak ubahnya sebagai reaksi atas trauma yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Berawal dari gerakan liberalisme pimpinan kaum borjuis di Inggris saat pemerintahan Ratu Victoria. Di Romawi bahkan Martin Luther mengeluarkan kritikan tajamnya kepada pihak gereja, semacam Reformasi Gereja, hingga akhirnya berpengaruh terhadap negara – negara di Eropa, dan Amerika.
Latar Keagamaan
Sekali lagi, tumbuh – kembang liberalism untuk pertama kalinya terjadi akibat kesewenang – wenangan kaum gereja. Ajaran Kristen yang saat itu mengalir begitu derasnya dalam jati diri masyarakat, tiba – tiba harus disambut penuh dengan ke-skeptisan dan kekecewaan. Raja yang dulunya di saat Romawi masih berjaya dirasa sangat adil untuk bisa memberikan kebebasan kepada rakyatnya baik dalam hal berbudaya, seni, pengetahuan, ataupun di bidang keagaaman, kini berbanding terbalik. Raja justru memproklamirkan bahwa dirinya adalah utusan perwakilan Tuhan (son of God), para pejabat gereja memiliki hak istimewa sama halnya dengan para bangsawan, undang – undang dasar yang dulunya dibuat berdasar kesepakatan rakyat, berubah menjadi undang – undang dasar gereja, serta gereja yang seharusnya hanya sebatas keagamaan justru memiliki prajurit layaknya kerajaan. Ditambah lagi, surat pengakuan dosa yang dijual secara serampangan kepada masyarakat menggambarkan betapa penyimpangan besar para kaum gereja. Tak seharusnya lembaga keagamaan yang ada berkembang menjadi sebuah kerajaan sesat bagi rakyatnya. Semua fakta tersebut kemudin menjadi trauma sejarah bagi kebanyakan bangsa Eropa, bahkan seorang Prancis berkata bahwa agar dapat menjalankan kebebasan selayaknya manusia, hendaknya harus membuang pemikiran agama jauh – jauh dari kehidupan manusia. Maka jangan heran jika hingga hari ini gereja – gereja di daratan Eropa dan Amerika hanya dihuni saat ada acara seremonial saja, sisanya akan tampak sepi.
Latar social – ekonomi – politik
Untuk latar social – ekonomi – politik, hal ini memang sengaja digabungkan karena memang tak gampang memilahnya satu per satu dari suatu kejadian sejarah yang saling berhubungan. Kita mulai dari latar politik terlebih dahulu, saat pemerintahan Romawi memutuskan untuk memberi hak – hak istimewa pada kaum gereja dan para bangsawan. Berupa penguasaan terhadap tanah, serta hak untuk mengeluarkan suatu undang – undang, dan gereja diijinkan untuk membuat suatu institusi bernama “inkuisisi” yang didalamnya terdapat paus sebagai raja, pangeran, pejabat – pejabat, serta para prajurit, inilah awal dari kegelapan bangsa Eropa. Secara social – ekonomi, masyarakat Eropa saat itu sebagian masih berkiblat pada system perekonomian agraris, belum ada kemajuan sedikitpun mengenai perkembangan tekhnologi. Mereka pun masih cenderung dipekerjakan sebagai buruh oleh para penguasa tanah (feodal), termasuk para pejabat gereja. Barang siapa yang berbeda dengan gereja maka mereka akan dihukum. Maka dapat disimpulkan, rakyat memberikan rumah untuk para penguasa, dan rakyat mendapatkan gubuk dari penguasa.
Latar Iptek
IPTEK mulai berkembang di abad – 17 – 18, dari sinilah kekuasaan mutlak kaum gereja mulai di skeptiskan. Segala putusan, undang – undang dasar yang didasarkan pada bibble (kitab suci) perlu dibuktikan berdasarkan metoda ilmiah, dan empiris.
Perkembangan
Liberalisme berasal dari kata liber yang artinya kebebasan, dan isme merupakan suatu ideologi. Setelah melalui beberapa latar belakang, akhirnya seorang Marthin Luther memutuskan untuk melakukan koreksi gereja, dirinya mengeluarkan sebuah tulisan berisi kritikan pedas bagi para kaum gereja. Dan dari sinilah tsunami kebebasan mulai mendapatkan angin segar. Koreksi gereja yang dilakukan Martin Luther memberi keberanian para kaum borjuis (kaum kelas tengah) dari beberapa negara untuk maju melawan keabsolutan seorang raja dan otoriter berlebihan sebuah gereja. Sebut saja John Locke dari Prancis dengan pemikiran demokrasinya, Immanuel kant dari Prusia dengan pemikiran besar Negara dan hukum, Thomas Jefferson yang berhasil membawa Amerika kearah kemerdekaan di tahun 1776, serta gerakan Liberalisme di Inggris tahun 1837—an di masa Ratu Victoria. Menjadi bukti bahwa besarnya pengaruh Liberalisme saat ideologi tersebut berusaha lahir dari rahim induknya, dan diperjuangkan atas dasar “kebebasan”. Liberalisme era klasik pun dimulai.
Banyaknya protes yang diajukan oleh rakyat dengan kaum borjuis sebagai pimpinannya, serta dibantu oleh Gerakan Renaissance yang kemudian berkembang pesat di Eropa membuat kekuasaan Gereja secara bertahap hancur. Kini, Liberalisme dengan asas – asas kebebasan dengan meliberalisasi tiga aspek kehidupan yakni agama, hukum, serta perekonomian mulai digalakkan. Kebebasan agama yang nantinya melahirkan sosok atheism, negara sekuler. Kebebasan hukum serta system pemerintahan yang menciptakan sebuah demokrasi untuk pertama kalinya secara modern dikembangkan di Amerika. Kebebasan ekonomi yang jelas menghasilkan sederet perekonomian Kapitalis yang nantinya juga terpecah - pecah dalam produk kapitalisme modern seperti neoliberalisme, serta Keynesian.
Pecahan dari liberalisme ini nantinya akan menorehkan sejarahnya sendiri – sendiri di berbagai negara abad 19 – 20 menggantikan imperialism kuno yang bersifat feodalistik. Di Inggris misalnya, Kapitalisme berkembang hebat, Demokrasi di Amerika yang benar – benar sudah dewasa di satu sisi, serta Turki dengan negara sekulernya sekali sebagai bentuk liberalisasi di bidang agama.
Bahkan di Indonesia pun tak ketinggalan, pengaruh Ideologi Liberalisme begitu besar mempengaruhi sejarah nasional. UUD’s 50 dengan wajah Indonesia yang sempat terbelah – belah menjadi negara federal tampaknya cukup menjadi bukti. Dua perang besar dunia nyatanya, juga membuktikan betapa pertarungan ideologi cukup kuat menancapkan hegemoninya, dan Liberalisme sebagai pemenang tunggal hingga hari ini.
Aryni Ayu
Pendahuluan
Pada akhirnya, sejarah akan dikuasai oleh pihak – pihak yang menang. Pihak yang kalah akan hancur, dan tak tahu kapan dirinya harus bangkit lagi. Ya, seperti itulah isme – isme dewasa ini. Mungkin tak pernah terpikir oleh Karl Marx, Lenin, ataupun Hitler bahwa pada suatu hari cita – citanya akan hancur, dan tak pernah lagi hidup hingga kini. Dengung – dengung isme – isme yang mereka pidatokan di depan umat manusia nyatanya hanya bertahan di abad – 19 hingga abad – 20, sisanya hanyalah kebebasan yang sanggup menjadi merajai dunia. Bahkan Patung Liberty yang ada di Amerika pun kini bisa tersenyum kian lebar saat tahu bahwa negaranya adalah pemenang dari persaingan ketat isme – isme dunia. Seandainya Karl Marx masih hidup, mungkin dirinya akan mengirimkan pesan singkat kepada Presiden Obama, “Sungguh tak pernah terpikir olehku bahwa ramalan – ramalanku akan meleset tepat di pertengahan abad – 20. Kaulah yang kini harus bertanggung jawab atas banyak kehancuran di Timur Tengah”.
Di Timur, Barat tetap berkuasa. Liberalisme tua yang dulu hanya berprinsip pada kebebasan, semata – mata hanya untuk melepaskan diri dari kekuasaan gereja, kini Liberalisme modern berubah menjadi penguasa dunia. Bahkan CIA harus menanggung malu yang luar biasa saat salah satu dokumennya mengalami kebocoran di sebuah situs bernama wikileaks. Sebuah situs yang menyajikan berbagai macam kebobrokan para pemimpin dunia beserta anak asuhnya.
Di dalam dokumen tersebut kalimat pertama tertulis “..no freedom, independent, and glory for the third world. Like a sh*t when we look at you to be a first world..”. Dapat diartikan bahwa hanya sebuah buaian yang menjijikan ketika negara – negara di dunia ketiga (negara – negara berkembang termasuk Indonesia harus melesat hebat sejajar dengan negara – negara maju. Jika sudah begini, lalu apa yang harus diperbuat para sejarawan beserta politikus kita? Haruskah negara – negara itu tetap duduk dalam lingkaran besar persaingan para kapitalis, atau bagaimana jika isme – isme yang lain turut bangkit kembali untuk membendung mereka (kaum kapitalis)?
Latar Belakang
Gagasan liberalisme tak ubahnya sebagai reaksi atas trauma yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Berawal dari gerakan liberalisme pimpinan kaum borjuis di Inggris saat pemerintahan Ratu Victoria. Di Romawi bahkan Martin Luther mengeluarkan kritikan tajamnya kepada pihak gereja, semacam Reformasi Gereja, hingga akhirnya berpengaruh terhadap negara – negara di Eropa, dan Amerika.
Latar Keagamaan
Sekali lagi, tumbuh – kembang liberalism untuk pertama kalinya terjadi akibat kesewenang – wenangan kaum gereja. Ajaran Kristen yang saat itu mengalir begitu derasnya dalam jati diri masyarakat, tiba – tiba harus disambut penuh dengan ke-skeptisan dan kekecewaan. Raja yang dulunya di saat Romawi masih berjaya dirasa sangat adil untuk bisa memberikan kebebasan kepada rakyatnya baik dalam hal berbudaya, seni, pengetahuan, ataupun di bidang keagaaman, kini berbanding terbalik. Raja justru memproklamirkan bahwa dirinya adalah utusan perwakilan Tuhan (son of God), para pejabat gereja memiliki hak istimewa sama halnya dengan para bangsawan, undang – undang dasar yang dulunya dibuat berdasar kesepakatan rakyat, berubah menjadi undang – undang dasar gereja, serta gereja yang seharusnya hanya sebatas keagamaan justru memiliki prajurit layaknya kerajaan. Ditambah lagi, surat pengakuan dosa yang dijual secara serampangan kepada masyarakat menggambarkan betapa penyimpangan besar para kaum gereja. Tak seharusnya lembaga keagamaan yang ada berkembang menjadi sebuah kerajaan sesat bagi rakyatnya. Semua fakta tersebut kemudin menjadi trauma sejarah bagi kebanyakan bangsa Eropa, bahkan seorang Prancis berkata bahwa agar dapat menjalankan kebebasan selayaknya manusia, hendaknya harus membuang pemikiran agama jauh – jauh dari kehidupan manusia. Maka jangan heran jika hingga hari ini gereja – gereja di daratan Eropa dan Amerika hanya dihuni saat ada acara seremonial saja, sisanya akan tampak sepi.
Latar social – ekonomi – politik
Untuk latar social – ekonomi – politik, hal ini memang sengaja digabungkan karena memang tak gampang memilahnya satu per satu dari suatu kejadian sejarah yang saling berhubungan. Kita mulai dari latar politik terlebih dahulu, saat pemerintahan Romawi memutuskan untuk memberi hak – hak istimewa pada kaum gereja dan para bangsawan. Berupa penguasaan terhadap tanah, serta hak untuk mengeluarkan suatu undang – undang, dan gereja diijinkan untuk membuat suatu institusi bernama “inkuisisi” yang didalamnya terdapat paus sebagai raja, pangeran, pejabat – pejabat, serta para prajurit, inilah awal dari kegelapan bangsa Eropa. Secara social – ekonomi, masyarakat Eropa saat itu sebagian masih berkiblat pada system perekonomian agraris, belum ada kemajuan sedikitpun mengenai perkembangan tekhnologi. Mereka pun masih cenderung dipekerjakan sebagai buruh oleh para penguasa tanah (feodal), termasuk para pejabat gereja. Barang siapa yang berbeda dengan gereja maka mereka akan dihukum. Maka dapat disimpulkan, rakyat memberikan rumah untuk para penguasa, dan rakyat mendapatkan gubuk dari penguasa.
Latar Iptek
IPTEK mulai berkembang di abad – 17 – 18, dari sinilah kekuasaan mutlak kaum gereja mulai di skeptiskan. Segala putusan, undang – undang dasar yang didasarkan pada bibble (kitab suci) perlu dibuktikan berdasarkan metoda ilmiah, dan empiris.
Perkembangan
Liberalisme berasal dari kata liber yang artinya kebebasan, dan isme merupakan suatu ideologi. Setelah melalui beberapa latar belakang, akhirnya seorang Marthin Luther memutuskan untuk melakukan koreksi gereja, dirinya mengeluarkan sebuah tulisan berisi kritikan pedas bagi para kaum gereja. Dan dari sinilah tsunami kebebasan mulai mendapatkan angin segar. Koreksi gereja yang dilakukan Martin Luther memberi keberanian para kaum borjuis (kaum kelas tengah) dari beberapa negara untuk maju melawan keabsolutan seorang raja dan otoriter berlebihan sebuah gereja. Sebut saja John Locke dari Prancis dengan pemikiran demokrasinya, Immanuel kant dari Prusia dengan pemikiran besar Negara dan hukum, Thomas Jefferson yang berhasil membawa Amerika kearah kemerdekaan di tahun 1776, serta gerakan Liberalisme di Inggris tahun 1837—an di masa Ratu Victoria. Menjadi bukti bahwa besarnya pengaruh Liberalisme saat ideologi tersebut berusaha lahir dari rahim induknya, dan diperjuangkan atas dasar “kebebasan”. Liberalisme era klasik pun dimulai.
Banyaknya protes yang diajukan oleh rakyat dengan kaum borjuis sebagai pimpinannya, serta dibantu oleh Gerakan Renaissance yang kemudian berkembang pesat di Eropa membuat kekuasaan Gereja secara bertahap hancur. Kini, Liberalisme dengan asas – asas kebebasan dengan meliberalisasi tiga aspek kehidupan yakni agama, hukum, serta perekonomian mulai digalakkan. Kebebasan agama yang nantinya melahirkan sosok atheism, negara sekuler. Kebebasan hukum serta system pemerintahan yang menciptakan sebuah demokrasi untuk pertama kalinya secara modern dikembangkan di Amerika. Kebebasan ekonomi yang jelas menghasilkan sederet perekonomian Kapitalis yang nantinya juga terpecah - pecah dalam produk kapitalisme modern seperti neoliberalisme, serta Keynesian.
Pecahan dari liberalisme ini nantinya akan menorehkan sejarahnya sendiri – sendiri di berbagai negara abad 19 – 20 menggantikan imperialism kuno yang bersifat feodalistik. Di Inggris misalnya, Kapitalisme berkembang hebat, Demokrasi di Amerika yang benar – benar sudah dewasa di satu sisi, serta Turki dengan negara sekulernya sekali sebagai bentuk liberalisasi di bidang agama.
Bahkan di Indonesia pun tak ketinggalan, pengaruh Ideologi Liberalisme begitu besar mempengaruhi sejarah nasional. UUD’s 50 dengan wajah Indonesia yang sempat terbelah – belah menjadi negara federal tampaknya cukup menjadi bukti. Dua perang besar dunia nyatanya, juga membuktikan betapa pertarungan ideologi cukup kuat menancapkan hegemoninya, dan Liberalisme sebagai pemenang tunggal hingga hari ini.
Aryni Ayu
No comments:
Post a Comment