Masa-masa Suram Si Jenius Stephen Hawking
Siapa yang tak kenal Stephen Hawking? Di dunia ilmu pengetahuan, nama pakar kosmologi ini bak artis. Di usia 70 tahun, Hawking membagi cerita suram dari masa kecilnya.
Hawking mengakui belum lancar baca tulis sampai dia berusia 8 tahun. Bahkan, teman-teman sekelasnya sampai bertaruh, Hawking tak punya masa depan karena tak akan jadi apa-apa.
"Tulisan tangan saya adalah keputusasaan bagi guru-guru. Tapi, teman-teman sekelas memberi julukan Einstein. Jadi mungkin mereka melihat ada tanda-tanda sesuatu yang baik," kata Hawking seperti dikutip dari laman Guardian. Hawking berulang tahun pada 8 Januari lalu.
Saat berusia 12 tahun, Hawking melanjutkan kisah masa kecil, teman-temannya bertaruh sekantong permen. "Mereka bertaruh bahwa saya tidak akan jadi apa-apa. Saya tidak tahu apakah taruhan ini masih berlaku dan kalau iya, seperti apa hasilnya saya tidak tahu," imbuhnya.
Hal ini dia ungkapkan dalam sebuah pidato dalam acara empat hari menandai hari ulang tahunnya yang diselenggarakan kolega di Universitas Cambridge. Hawking tak bisa menghadiri perayaan itu karena sakit. Perayaan dihadiri oleh kosmolog terkemuka dunia, termasuk peraih Nobel Frank Wilczek dan Saul Perlmutter.
Sikap santainya dalam belajar masih berlanjut sampai bangku kuliah di Universitas Oxford jurusan fisika. "Saya mengerjakan satu ujian sebelum naik tingkat. Dan, selama tiga tahun di Oxford, saya hanya mengikuti ujian akhir," katanya. "Saya tidak bangga dengan ini."
Di setengah abad karirnya sebagai peneliti, Hawking ada di barisan terdepan dalam memahami lubang hitam (black holes) dan kosmologi kuantum. Buku pertamanya, A Brief History of Time, terjual jutaan kopi di seluruh dunia. Dia bahkan tampil sebagai bintang tamu di sinema The Simpsons dan Star Trek.
Dalam pidato itu, Hawking menceritakan kehidupannya saat tumbuh besar di St Albans dan menyoroti karirnya di dunia ilmiah. Tapi, pesan utama yang ingin dia sampaikan adalah kita harus tetap punya rasa ingin tahu dan pantang menyerah sesulit apapun keadaan.
"Ingat, lihatlah ke atas, ke arah bintang-bintang. Bukan ke bawah, ke telapak kaki," kata dia. "Cobalah memahami apa yang anda lihat dan apa yang membuat alam semesta ini ada. Sesulit apapun, pasti ada sesuatu yang anda bisa lakukan dan sukses. Jangan lantas menyerah," lanjutnya.
Di usia 21 tahun, Hawking didiagnosa mengidap penyakit syaraf motorik (MND). Gejala awal terdeteksi saat berseluncur es di danau dekat rumahnya di St Albans dan terjatuh. Ada sesuatu yang salah.
"Awalnya, saya tertekan. Badan saya tampak makin buruk dengan cepat. Sepertinya saya tidak mampu menyelesaikan PhD saya karena saya tidak tahu apakah saya akan hidup cukup lama untuk merampungkannya."
Saat pengharapannya sampai di titik nadir, keberanian Hawking mulai naik saat bertemu Jane, wanita yang kemudian menjadi istrinya, di sebuah pesta. "Bertunangan membuat saya semangat lagi dan sadar, jika kami akan menikah, saya harus punya pekerjaan dan menyelesaikan PhD. Saya pun mulai bekerja keras dan saya menikmatinya," kata Hawking.
Di akhir pidatonya, Hawking mengaku hidupnya sebagai peneliti teori fisika sangat menyenangkan. "Gambaran alam semesta kita sudah berubah banyak dalam 40 tahun terakhir dan saya senang punya sumbangan kecil." Menurutnya, kita yang hanya manusia--tak lain dari kumpulan partikel dasar dari alam--sudah sedemikian dekat dalam memahami hukum yang mengatur manusia dan alam. Bagi Hawking, hal itu adalah kemenangan besar.
No comments:
Post a Comment