Metode Historis “al-Atsar wa al-Taatstsur”
Pada dasarnya seseorang merupakan individu-sosialistik yang tidak akan lepas dari entitas-entitas kehidupan yang berada di sekelilingnya, baik itu budaya, sosial, ekonomi maupun paradigma pemikiran. Entitas-entitas ini kemudian akan mempengaruhi pemikiran seseorang, walaupun pada akhirnya akan ada rasionalisasi pada pemikirannya terhadap hal-hal tersebut di manapun ia berada, dan di zaman apa pun dia hidup. Dengan demikian, hal-hal yang mempengaruhi individu lebih banyak berada dalam entitas lingkungan, atau eksternal, sedangkan pengaruh yang berada dalam internal seseorang merupakan hasil dari penyaringan kognitif seseorang terhadap pengaruh eksternal.
Sikap pengaruh dan terpengerahui adalah inti dari metode historis dalam melihat bagaimana sejarah itu muncul, kenapa ia menjadi ia, bukan kamu. Metode ini sangat penting, karena metode ini akan memunculkan sikap yang kritis evaluatif terhadap fenomena masa lalu, yang tidak bisa dijangkau oleh orang masa sekarang kecuali dengan menggunakan literatur-literatur sejarah yang bersangkutan dengan tema tersebut. Sejarah muncul bukan karena ia tiba-tiba muncul, Indonesia merdeka bukan karena ia telah telah ditakdirkan merdeka, adanya zaman revolusi dengan serta penjatuhan rezim orde baru bukan atas keinginan rakyat Indonesia. Baghdad, simbol kejayaan peradaban Islam, hancur oleh Bani Tartar merupakan fakta terpecahnya Bani Abbasyiah disamping kemajuan keilmuawan pada perdaban ini tidak terbantahkan, Namun semua ini merupakan satu-kesatuan peristiwa yang tidak bisa lepas dari apa yang namanya, sosial, budaya, pemikiran, politik, dan ekonomi. Dan entitas-entitas ini saling mempengaruhi.
Kritis-evaluatif, sebagai titik tekan metode ini diharapkan dapat membantu seseorang untuk membuka backrgound yang berada dalam setiap kejadian. Dalam kajian al-Qur’an, ada suatu fenomena keilmuwan yang menjawab alasan turunnya ayat, fenomena ini biasa disebut sebagai asbab al-Nuzul. Asbab al-Nuzul bukan hanya menjawab apa yang terjadi di belakang turunnya ayat tetapi karenya seseorang dapat memahami lebih luas makna ayat itu sendiri secara kontekstual. Jika dibayangkan seseorang tidak memahami latar belakang turunnya suatu ayat, tentunya yang dapat ia pahami adalah apa yang ada kalimat itu secara dzahir, tekstual. Bagitu pun dalam kajian Hadis, ada asbab al-wurud, asbab al-Nuzulnya Hadis, yang cara kerjanya tidak berbeda dengan asbab al-Nuzul. Bukti otentik ini akan menguatkan argumentasi bahwa metode historis yang menyatakn sikap saling keterpengaruhan sebagai sesuatu yang paling penting dalam memahami kejadian atau fenomena adalah valid.
Jika ada suatu tesis yang menyatakan bahwa metode ini sudah tidak diperlukan lagi pada saat ini, kontemporer, dengan alasan bahwa lebih baik seseorang memahami suatu kejadian itu dari dalam bukan dari pengaruh eksternal. Contohnya dalam keilmuwan ushul fiqh, seorang guru pernah menyatakan bahwa tertulisnya “kitab al-Muwafaqat” karya al-Syatibi yang bercorak ‘amali merupakan hasil pure dari kepribadian dirinya, dan bukan karena ada entitas yang berada di luar dirinya yang mempengaruhinya. Padahal, jika kita perhatikan, apakah benar al-Syatibi dalam kehidupannya tidak bergaul dengan orang sekitarnya, sehingga apa yang ada dalam kepribadiannya muncul dari diri sendiri? Apakah pengalaman yang ia dapatkan hanya pure sebagai hasil individu? Lalu bagaimanakah ia bisa menulis dengan corak yang berbeda dengan karya Ghazali “al-Musthafa” dan “al-Risalah” karya Syafi’i? Apakah ia benar tidak melihat kerya dua agung itu? Jika ia melihat, dari siapa ia melihat? Dari gurukah? Apakah guru yang mengajarinya hanya diam tanpa berkata sepatah kata pun pada al-Syatibi?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaa ini tentunya diperlukan bukti historis dan dengan adanya data historis ini kemudian ia harus disaring terlebih dahulu dengan “metode historis”. Karena sejarah bukanlah suatu dogma yang hanya ditelan tanpa dikritisi, maka “metode historis” ini akan membukan wacana pemikiran kita untuk selalu bersikap kritis evaluatif pada data historis, bukan didiamkan dan dibisukan sehingga yang hasil hanyalah apa adanya dan muncul suatu kebenaran sesaat tanpa adanya pembenaran.
Karena pada dasarnya sejarah bukanlah entitas tunggal, ia memiliki berbagai unsur dan peran yang memungkinkan melahirkan interpretatif yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, terkadang orang yang berada dalam satu sejarah pun belum tentu memiliki perspektif dan pandangna yang sama dalam memahami kejadian yang mereka alami. Apa yang disebut oleh Islahi dengan ‘amud (baca: pilar), dan Sayiid Quthb dengan mikhwar (baca: poros) dalam memahami keragaman teks al-Qur’an bisa membantu kita pula untuk memahami berbagai entitas yang ada dalam sejarah. Dengan menggunakan paradigma tersebut, maka tentunya ada poros atau pilar tertentu dalam sejarah yang mungkin bisa menjadi kunci untuk memahaminya.
Adon Permana
Sikap pengaruh dan terpengerahui adalah inti dari metode historis dalam melihat bagaimana sejarah itu muncul, kenapa ia menjadi ia, bukan kamu. Metode ini sangat penting, karena metode ini akan memunculkan sikap yang kritis evaluatif terhadap fenomena masa lalu, yang tidak bisa dijangkau oleh orang masa sekarang kecuali dengan menggunakan literatur-literatur sejarah yang bersangkutan dengan tema tersebut. Sejarah muncul bukan karena ia tiba-tiba muncul, Indonesia merdeka bukan karena ia telah telah ditakdirkan merdeka, adanya zaman revolusi dengan serta penjatuhan rezim orde baru bukan atas keinginan rakyat Indonesia. Baghdad, simbol kejayaan peradaban Islam, hancur oleh Bani Tartar merupakan fakta terpecahnya Bani Abbasyiah disamping kemajuan keilmuawan pada perdaban ini tidak terbantahkan, Namun semua ini merupakan satu-kesatuan peristiwa yang tidak bisa lepas dari apa yang namanya, sosial, budaya, pemikiran, politik, dan ekonomi. Dan entitas-entitas ini saling mempengaruhi.
Kritis-evaluatif, sebagai titik tekan metode ini diharapkan dapat membantu seseorang untuk membuka backrgound yang berada dalam setiap kejadian. Dalam kajian al-Qur’an, ada suatu fenomena keilmuwan yang menjawab alasan turunnya ayat, fenomena ini biasa disebut sebagai asbab al-Nuzul. Asbab al-Nuzul bukan hanya menjawab apa yang terjadi di belakang turunnya ayat tetapi karenya seseorang dapat memahami lebih luas makna ayat itu sendiri secara kontekstual. Jika dibayangkan seseorang tidak memahami latar belakang turunnya suatu ayat, tentunya yang dapat ia pahami adalah apa yang ada kalimat itu secara dzahir, tekstual. Bagitu pun dalam kajian Hadis, ada asbab al-wurud, asbab al-Nuzulnya Hadis, yang cara kerjanya tidak berbeda dengan asbab al-Nuzul. Bukti otentik ini akan menguatkan argumentasi bahwa metode historis yang menyatakn sikap saling keterpengaruhan sebagai sesuatu yang paling penting dalam memahami kejadian atau fenomena adalah valid.
Jika ada suatu tesis yang menyatakan bahwa metode ini sudah tidak diperlukan lagi pada saat ini, kontemporer, dengan alasan bahwa lebih baik seseorang memahami suatu kejadian itu dari dalam bukan dari pengaruh eksternal. Contohnya dalam keilmuwan ushul fiqh, seorang guru pernah menyatakan bahwa tertulisnya “kitab al-Muwafaqat” karya al-Syatibi yang bercorak ‘amali merupakan hasil pure dari kepribadian dirinya, dan bukan karena ada entitas yang berada di luar dirinya yang mempengaruhinya. Padahal, jika kita perhatikan, apakah benar al-Syatibi dalam kehidupannya tidak bergaul dengan orang sekitarnya, sehingga apa yang ada dalam kepribadiannya muncul dari diri sendiri? Apakah pengalaman yang ia dapatkan hanya pure sebagai hasil individu? Lalu bagaimanakah ia bisa menulis dengan corak yang berbeda dengan karya Ghazali “al-Musthafa” dan “al-Risalah” karya Syafi’i? Apakah ia benar tidak melihat kerya dua agung itu? Jika ia melihat, dari siapa ia melihat? Dari gurukah? Apakah guru yang mengajarinya hanya diam tanpa berkata sepatah kata pun pada al-Syatibi?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaa ini tentunya diperlukan bukti historis dan dengan adanya data historis ini kemudian ia harus disaring terlebih dahulu dengan “metode historis”. Karena sejarah bukanlah suatu dogma yang hanya ditelan tanpa dikritisi, maka “metode historis” ini akan membukan wacana pemikiran kita untuk selalu bersikap kritis evaluatif pada data historis, bukan didiamkan dan dibisukan sehingga yang hasil hanyalah apa adanya dan muncul suatu kebenaran sesaat tanpa adanya pembenaran.
Karena pada dasarnya sejarah bukanlah entitas tunggal, ia memiliki berbagai unsur dan peran yang memungkinkan melahirkan interpretatif yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, terkadang orang yang berada dalam satu sejarah pun belum tentu memiliki perspektif dan pandangna yang sama dalam memahami kejadian yang mereka alami. Apa yang disebut oleh Islahi dengan ‘amud (baca: pilar), dan Sayiid Quthb dengan mikhwar (baca: poros) dalam memahami keragaman teks al-Qur’an bisa membantu kita pula untuk memahami berbagai entitas yang ada dalam sejarah. Dengan menggunakan paradigma tersebut, maka tentunya ada poros atau pilar tertentu dalam sejarah yang mungkin bisa menjadi kunci untuk memahaminya.
Adon Permana
No comments:
Post a Comment