PERLAWANAN METAFISIK DAN ESTETTIK SUTARDJI CALZOUM BACHRI
Dalam seminar ini saya mendapat tugas yang berat, karena topik yang harus saya bahas telah dibahas dengan baiknya oleh Dami N. Toda lebih dari dua dasawarsa yang lalu. Kritikus ini seolah tidak memberi celah untuk melihat beberapa aspek lain dari estetika Sutardji Calzoum Bachri yang bisa saja luput dari perhatian dan tidak kurang relevannya untuk dibahas. Karena itu saya harus menguras tenaga dan dengan susah payah baru bisa memulai pembahasan. Kecuali itu saya sudah lama tidak membaca lagi buku puisinya O, Amuk, Kapak. Dan ketika saya mulai membacanya lagi saya seperti harus memulai dari nol. Untuk itu diperlukan titik tolak dan perspektif yang sesuai dalam upaya memahami sajak-sajaknya.
Membaca sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, terutama yang pendek, senantiasa timbul kesan awal bahwa sajak-sajaknya itu mudah dipahami dan diresapi. Dengan imaji-imaji yang karib dan ungkapan bersahaja, sajak-sajaknya begitu menyentuh hati. Walau cenderung surealistik, sajak-sajak itu bukan sajak gelap. Yang ingin diungkapkan penyair tidak jarang adalah pengalaman trasendental, khususnya pencarian ketuhanan yang harus ditempuh dengan susah payah dan melalui berbagai rintangan yang berat.
Lebih jauh lagi jika kita masuk semakin ke dalam, kita akan semakin sadar bahwa untuk mengorek pesan keruhanian dan moral dari sajak-sajak itu, bukan persoalan gampang. Sajak Sutardji menuntut perenungan yang dalam dan persediaan imaginasi yang kaya, Dunia dari sajak-sajaknya itu begitu kompleks, tidak bisa dirumuskan secara sederhana. Kadang yang hadir kepada kita setelah membacanya ialah sebuah lukisan dengan sosok dan imaji yang ganjil, serta memberikan suasana trance seperti apabila kita membaca sajak Arthur Rimbaud. Kadang yang hadir ialah lukisan kesunyian mistikal seperti dijumpai dalam sajak-sajak Rumi dan Hamzah Fansuri. Kadang tampak pada kita sebuah dunia yang angker. Kadang kita jumpai imaji-imaji ekskatik seperti dalam sajak Li Po dan Hafiz.
Kadang membaca sajak Sutardji seperti menyaksikan gambar ‘alam misal’ nya Ibn `Arabi dan Suhrawardi al-Maqtul. Sebuah alam yang hening dan kudus, dihuni sosok yang angker namun anggun, tetapi tiba-tiba terkoyak oleh hiruk pikuk suara mahluk-mahluk dengan segala tingkahnya yang aneh. Dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri, kita jumpai pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang kerap tidak terduga-duga, namun memukau. Tidak ada penyair Indonesia lain seperti Sutardji yang begitu total melakukan perlawanan metafisik terhadap kondisi kemanusiaan bentukan peradaban materialistik dan positivistik.
Abdul Qahir al-Jurjani, ahli estetika Arab-Persia abad ke-12 M, benar ketika mengatakan bahwa puisi — betapa pun ringkas dan bersahajanya — adalah makna yang menurunkan makna-makna. Ini karena puisi menggunakan bahasa figuratif atau majaz yang dalam kodratnya sarat dengan fiksionalitas dan nuansa. Melalui bahasa figuratif itulah bangunan ruhaniah puisi yang begitu terstruktur itu dibentuk. Bangunan ini, menurut Ibn `Arabi, merupakan kias atau perupaan simbolik dari apa yang disebut Alam Misal (Abdul Hadi W. M. 2004) Membaca ungkapan estetik puisi adalah ibarat melihat manusia. Kita sebaiknya tidak berhenti melihatnya sebagai sebuah sosok lahir, tetapi sebagai badan halus, yaitu representasi pengalaman dan visi keruhanian penyair.
Dalam penelitian saya sementara ini, setidak-tidaknya ada tiga perspektif yang bisa diajukan sebagai pintu untuk memasuki dunia sajak-sajak Sutardji dan memahami pesan keruhaniannya.Pertama, dari perspektif semangat puitik mantra yang dijadikan tempat pijak Sutardji dalam memulai karier kepenyairannya. Kedua, membandingkan perlawanan metafisik Sutardji dengan perlawanan Dyonisus terhadap Apollo sebagaimana dikemukakan Nietzsche dalam The Birth of Tragedy.Perlawanan metafisik Sutardji tidak jauh berbeda dengan perlawanan Dyonisus, dewa ekstase dari Persia yang berdialektik dengan Apollo, dewa rasionalisme Yunani yang tidak memberi tempat kepada spiritualitas dan agama. Ketiga, dalam perkembangan akhir kepenyairannya, tampak pula kecenderungan sufistik yang kuat pada Sutardji. Perspektif ini tidak bisa diabaikan untuk memahami lebih jauh apa yang dimaksud penyair dengan “kembali ke akar kembali ke sumber” dalam kegiatan sastranya.
Jika ditelusuri dengan teliti tiga perspektif ini secara simbolik menggambarkan perjalanan spiritual Sutardji sebagai tokoh terdepan Angkatan 70 dalam sastra Indonesia. Kembali ke mantra adalah perjalanan ke masa lalu dunia Melayu Nusantara sebelum datangnya peradaban Hindu dan Islam. Kemudian dengan bekal mantra, dia merespon masa kini, laiknya Dyonisus melawan Apollo. Kemudian melalui kecenderungan dan nada sufistik sajak-sajaknya, ia kembali lagi ke masa lalu yang lebih dekat jarak waktunya dan sekaligus ke masa kini, karena tasawuf mewakili dunia perenial.
Jiwa Mantra
Mantra adalah ragam tutur yang digolongkan sebagai puisi bebas paling tua di dunia, sebab ia memang tidak terikat pada aturan ketat seperti pantun, gurindam atau syair. Di dalam buku kesusastraan Melayu, ia kerap dimasukkan ke dalam kategori bahasa berirama seperti taromba. Dalam mantra yang ditekankan bukan makna, tetapi pengaruh magis dari kata-katanya yang mampu membangkitkan asosiasi tertentu. Sebagaimana ragam tutur lain yang lahir dari tradisi lisan, unsur improvisasi dan spontanitas sangat kuat dalam mantra.
Dalam mantra, kata-kata bisa hadir sebagai imaji pembentuk suasana magis dan surealis, yang dengan itu pikiran luluh dalam kabut ketakpahaman. Kata-kata di dalamnya sering tanpa makna, tetapi memiliki kekuatan memukau yang luar biasa. Dunia mantra sepenuhnya tidak rasional, tetapi sebagai ragam tutur estetik memiliki logika sendiri. Ia dicipta dengan tujuan mempengaruhi bukan saja jiwa manusia, tetapi juga hewan, tetumbuhan, bahkan mahluk-mahluk halus yang dipercaya bertebaran di sekeliling kita.
Suasana magis yang dibangun dalam sebuah mantra mampu menghubungkan jiwa manusia dengan alam gaib, tempatnya ia berasal dan keberadaannya selalu diawasi oleh para penghuninya yang tidak tampak. Ada beberapa alasan mengapa Sutardji kembali ke mantra sebagai sarana pengucapan pengalaman estetiknya. Pertama, hasrat menggali akar tradisi masyarakatnya. Kedua,melalui mantra sang penyair ingin menyalurkan perlawanan metafisiknya terhadap intalektualisme dan rasionalisme yang mendasari peradaban modern yang menindas. Perlawanannya itu secara simbolik dinyatakan dengan hasratnya untuk melakukan pembebasan kata dari beban idea dan pengertian.
Yang pertama, menandakan kedekatan penyair dengan dan cintanya kepada kebudayaan bangsanya. Ini bertentangan dengan sikap sebagian besar penyair Indonesia yang merasa asing pada tradisi budaya bangsanya dan memilih jadi Si Malin Kundang atau Manusia Perbatasan, yang secara budaya dan spiritual tidak berakar dalam tradisi budaya apa pun. Di hadapan penyair seperti Sutardji, penyair seperti itu telah melepaskan tanggungjawab sipritual dan kultural, yang sebenarnya harus dipikulnya dengan ikhlas. Tetapi disebabkan beban intelektual dan kecintaannya yang berlebihan kepada kebudayaan Barat, tanggungjawab itu dicampakkannya.
Yang kedua, secara simbolik mengisyaratkan bahwa apa yang dilakukan Sutardji merupakan perlawanan terhadap peradaban rasionalistik dan positivistik, yang menjadi faktor utama hancurnya kebudayaan tradisional dan sendi-sendi spiritualitas dari kehidupan masyarakat Nusantara. Peradaban modern tidak mampu menjelaskan apa tujuan sebenarnya kehidupan, kecuali untuk berpikir, bekerja keras, makan, tidur, bersenang-senang, dan bersanggama. Bukan hanya kebudayaan yang dihancurkan, tetapi juga alam dan lingkungan hidup. Semua itu dilakukan demi sebuah idea, demi sebuah pengertian, demi sebuah gagasan yang disebut Kemajuan.
Dalam kredonya Sutardji mengatakan bahwa menulis puisi adalah membebaskan kata dari penjajahan pengertian, dari beban idea, dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu. Apabila itu dilakukan, kata Sutardji, maka kreativitas pun dimungkinkan, sebab kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri dan menentukan kemauannya sendiri, tanpa harus dibelenggu oleh pengertian atau idea tertentu. Dengan demikian timbullah hal-hal yang tidak terduga sebelumnya. Pada mulanya adalah kata. Demikian sang penyair. Dan kata pertama adalah mantra. Maka kembali kepada mantra sebagai ragam tutur estetik adalah mengembalikan kata kepada asalnya, kepada kemurnian bahasa dan jiwa yang menciptakan bahasa (Sutardji Calzoum Bachri 1981).
Untuk memahami apa yang dikatakan penyair, kita harus meneliti mantra dan bentuk-bentuk spritualitas apa yang mendasari suburnya penciptaan mantra. Kita juga harus meneliti unsur-unsur puitik apa dari mantra yang menyebabkan Sutardji Calzoum Bachri memilihnya menjadi titik tolak penciptaan puisinya. Kesan awal yang timbul setelah membaca sajak-sajak Sutardji ialah kedekatan sajak-sajak itu dengan taromba atau prosa berirama. Kemudian, seperti telah dikemukakan, kesan magis, mistis, dan surealistis yang ditimbulkan oleh rangkaian imaji-imajinya yang sering tidak ada kaitan satu dengan yang lain. Kita dibawa ke dalam sebuah dunia laiknya mimpi, ke alam bawah sadar, di mana segala ragam sosok yang ganjil, angker, mengharukan, anggun, penuh ketakacuhan, luka tersayat, penuh borok dan nanah, dapat kita temui. Sosok-sosok itu dihadirkan sedemikian rupa untuk memberi kesan betapa kehidupan ini diliputi chaos dan tak terpahamkan.
Beberapa sajaknya boleh jadi memberi kesan impresionistik, dan menyajikan sebuah jagat yang diliputi keheningan dan kesunyian yang mistikal. Tetapi suasana chaotik lebih menguasai gambaran yang disajikan penyair. Untuk apakah semua itu disuguhkan kepada kita? Untuk mengungkapkan derita spiritual manusia, kondisi kemanusiaan yang memprihatinkan, luluh lantaknya kebudayaan, kesia-siaan manusia mencari yang hakiki dalam sejarahnya yang panjang sejak peradaban pertama muncul di muka bumi, keinginan tahu penyair akan maksud penciptaan alam semesta yang tidak terpenuhi melalui ilmu pengetahuan dan falsafah manapun yang sofistikated.
Sajak pembuka dalam antologi O dimulai dengan “Ah, rasa yang dalam!”. Sajak ini penuh dengan pertanyaan eksistensial yang begitu puitik:
siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit
siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa
burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal siapa
tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau tak aku yang paling rindu?
…
Ah
rasa yang dalam
aku telah tinggalkan puri purapuraMu
(O, Amuk, Kapak hal. 17)
Bahasa mantra yang lebih murni tampak dalam sajak “Mantera”
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
Kau jadi Kau!
Kasihku!
(hal. 20)
Marilah kita bandingkan dengan sebuah mantra pengusir hantu, yang telah dipengaruhi Islam, seperti berikut:
Assalamu`alaikum anak cucu hantu pemburu
Yang diam di rimba sekampung
Yang duduk di ceruk banir
Yang bersandar di pinang burung
Yang berteduh di bawah tukas
Yang berbulukan daun resam
Yang bertilamkan daun lirik
Yang berbuai di medan jelawai
Tali buaya semambu tunggal
Kurnia Tengku Sultan Berimbangan
…
Janganlah engkau mungkir setia padaku
Matilah engkau ditimpa daulat empat penjuru alam
Mati ditimpa malaikat yang empat puluh empat
Mati ditimpa tiang Ka`bah
Mati disula besi kawi
Mati dipanah halilintar
Mati ditimpa kilat senja
Mati ditimpa Qur`an tiga puluh juz
Mati ditimpa kalimah syahadat
(Hooykaas 1981:19)
Pengaruh mantra ternyata sangat kuat terhadap ragam tutur estetik lain dalam kesusastraan Melayu. Perhatikan sebuah taromba yang disisipkan dalam Hikayat Malim Demam berikut ini:
Hari Ahad berjumpa Senin
Dua belas hari bulan
Dua belas tapak bayang-bayang
Menderau-derau hujan panas
Sabung menyabung kilat
Panah memanah halilintar
Berbunyi sekalian bunyi-bunyian
(Abdul Hadi WM 2004:126)
Kesan yang timbul setelah membaca sajak-sajak ini ialah kuatnya kepercayaan terhadap alam gaib. Di belakang mantra dan bahasa berirama itu, sebagaimana juga dalam sajak-sajak Sutardji, tersembunyi bentuk-bentuk spiritualitas dan mistisisme tertentu yang di dunia modern dipandang anti-rasionalisme dan anti-intelektualisme. Melalui perspektif ini kita bisa memahami semangat yang melatari kredo puisi Sutardji.
Dengan kembali ke mantra, ia ingin kembali kepada semangat pawang, ketika manusia belum dikungkung oleh paham-paham falsafah dan keilmuan seperti rationalisme, intelektualisme, scientisme, materialisme, neo-positivisme, darwinisme, proletarianisme, dan lain-lain. Semua itu jika diterapkan secara melampau dalam masyarakat yang sejarah peradabannya berbeda dengan di Barat, hanya akan melahirkan semacam snobisme budaya, pendangkalan, dan segala bentuk kepura-puraan yang tidak terduga. Bahkan akan menciptakan masyarakat yang sakit, bukan saja tatanan sosial politik dan ekonominya, tetapi juga kebudayaan dan spiritualitasnya. Penyair berang, geram dan marah. Dia menjerit dan meraung-raung, mengamuk, membawa kapak, dan dengan berdarah-darah meneruskan penjelajahannya mencari Tuhan yang dengan itu ia harapkan persoalan dan teka-teki keberadaan dapat dipecahkan. Kadang, ketika rasa lelah tidak tertahankan lagi dan segala upaya yang dikerahkan menghasilkan setumpuk kesia-siaan, ia pun tunduk, pasrah, dan kembali tidak acuh pada segala yang ada. Dua sajak Sutardji yang diberi judul “Amuk” dan “Kapak” secara simbolik memberi isyarat bahwa ia memilih jalan radikal dalam melakukan perlawanan metafisiknya.
Ia ingin menjungkir balikkan nilai-nilai, seperti Zarathustra, nabi apokaplitik Persia yang meninggalkan tanah kelahiranya Magian menuju Balkh di Afghanistan sekarang untuk mengumumkan bahwa yang selama ini dianggap Dewa oleh orang Arya sebenarnya adalah setan (asura Sanskerta;ahura Persia Kuna), sedangkan yang lazim dipandang setan sebenarnya adalah Dewa. Karena itu sementara penganut Hindu menyebut Tuhan mereka sebagai Dewa, dan setan sebagai Asura; penganut Zoroaster menyebut Tuhan mereka sebagai Ahura Mazda, sedangkan Kekuatan Jahat sebagai Ahriman, yang setara dengan Brahman dalam agama Hindu (Browne 1976). Atau jangan-jangan apa yang selama ini disebut baik oleh kebanyakan orang, sebenarnya buruk, sebagaimana anggapan orang terhadap kebudayaan modern. Sebaliknya apa yang selama ini dianggap buruk, ternyata baik, sebagaimana kebudayaan tradisional.
Sejak lebih satu dasawarsa yang lalu banyak sarjana sastra di Indonesia memperdebatkan pentingnya teori pasca-kolonial dan relevansi pos-modernisme. Tetapi apabila mau jujur, sebenarnya fenomena itu sudah dijumpai dalam karya sejumlah penulis Angkatan 70 seperti Sutardji Calzoum Bachri dan Danarto, lebih kurang satu dekade sebelum munculnya teori itu. Sajak Sutardji “Amuk” adalah contoh yang representatif. Penyair menulis antara lain:
kucing meraung dalam darah meronta dalam aorta
menderam dalam tiap zarrah marwah
dalam tiap kata diriku
hai kau dengar kucing memanggilMu?
aku lepaskan segala bahasa
agar kucingku bisa memanggilMu
aku biarkan penyair dengan kata-kata
tapi banyak yang meletakkan bertonton purapura
bergerobak kerak filsafat
hingga kata tercekik karenanya
bagaimana penyair bisa sampai tuhan
kalau kata tak sampai?
kambing umpan mati tercekik
sedang rimau tak makan bangkai
Karena tercekik oleh falsafah yang pada dasarnya berorientasi kepada rasionalisme dan materialisme, dengan upaya apa pun penyair Indonesia selama ini tidak akan mampu mengeksplorasi pengalaman religius, spiritual, dan transendental yang sesungguhnya begitu penting dalam upaya pemulihan peradaban modern yang dilanda krisis parah dalam berbagai aspeknya. Di Barat kritik dan protes terhadap peradaban yang lahir dari campuran semangat rasiuonalistik Pencerahan (Aufklarung), positivisme ilmiah, dan liberalisme itu telah lama muncul. Setidak-tidaknya sejak munculnya romantisme, yang memuncak dengan lahirnya eksistensialisme dan pos-modernisme. BERSAMBUNG
Sutardji Calzoum Bachri
SYAMANISME, TAOISME DAN PUISI MANTERA
SUTARDJI CALZOUM BACHRI
(Bagian II Esai “Perlawanan Estetik dan Metafisik
Sutardji Calzoum Bachri”)
Abdul Hadi W. M.
Namun supaya tidak berlarut-larut, kita harus kembali ke mantra. Mantra dicipta dalam masyarakat yang mempercayai adanya kekuatan supernatural yang mempengaruhi kehidupan. Kekuatan ini bisa didayagunakan oleh manusia untuk menyelamatkan dirinya dari bahaya-bahaya yang mengancamnya dan untuk melindungi dirinya dari gangguan mahluk halus serta binatang buas. Di dunia modern monster-monster seperti juga hadir di tengah kita, dan bersembunyi di balik bermacam rekayasa mulai dari rekayasa ilmiah, genetik, ideologi, politik, dan sistem informasi. Ia hadir pula melalui dunia maya, membrondongkan berbagai simulacra ke alam bawah sadar kita.
Untuk dunia seperti itu diperlukan cara pandang yang terbalik, dengan demikian keseimbangan dalam kehidupan kita terjadi. Cara pandang seperti itu telah ada sejak lama dalam kebudayaan umat manusia. Misalnya cara pandang seperti yang dipraktikkan para syaman, nabi-nabi apokaliptik seperti Zarathustra, tokoh-tokoh mistisisme Timur dan Barat, para Vedantin, Yogin dan Tantrik di India, Sufi di dunia Islam, dan lain-lain. Di kepulauan Melayu, sebelum hadirnya Tantrisme dan Sufisme, adalah syamanisme yang memiliki pandangan seperti itu.
Kita tahu bahwa syamanisme merupakan sistem kepercayaan kuna yang paling bertanggung jawab bagi lahirnya tradisi mantra dan jampi-jampi. Ada segi negatif dan segi positifnya dalam sistem kepercayaan ini, sebagaimana dalam banyak aliran kepercayaan lain. Tergantung bagaimana kita mengaktualisasikan mana yang baik, dan menekan segi-segi negatifnya. Syamanisme meletakkan dan menyembunyikan pandangan hidup dan gambaran mereka tentang dunia di dalam mantra. Karena itu untuk mengetahui spirit mantra, kita harus bercermin pada suasana kejiwaan dan alam pikiran syaman.
Menurut Izutzu (1983) kejiwaan syaman terlihat pada gejala mythopoiesis yang selalu terbawa dalam kehidupan seorang dukun atau syaman. Seorang syaman memiliki visi atau penglihatanarchetype yang bersifat ekskatik, yang membuat hidupnya penuh gairah dan dapat mengungkap rahasia alam gaib yang tampak chaotic. Dalam melihat segala sesuatu di dalam kehidupan, seorang yang memiliki penglihatan seperti itu akan memandang kehidupan sangat berbeda bahkan bertentangan dengan orang kebanyakan.
Taoisme di Cina sebagai bentuk mistisisme yang berorientasi kepada alam, menurut Izuzu, berkembang dari syamanisme. Ia melahirkan suatu bentuk kosmologi yang bersifat imaginal, mirip dengan kosmologi Ibn `Arabi yang berteraskan teori Alam Misal atau Alam Imaginal. Dalam kosmologi seperti itu, terpatri keyakinan bahwa jalan untuk mencapai hakikat itu diliputi kegelapan yang begitu pekat, penuh rintangan berbahaya, dan membingungkan. Gambaran sesungguhnya tentang alam tidak dapat dijelaskan secara rasional, kecuali melalui perumpamaan dan tamsil-tamsil (Moore 1967; Izutzu 1983).
Upaya untuk menyingkap misteri yang meliputi dunia ciptaan ini akan selalu dihadapkan pada kegagalan, kesia-siaan, dan kekaburan. Ia benar-benar tak terpahamkan oleh akal, apalagi secara inderawi. Dunia seperti itu juga dijumpai dalam diri manusia yang merupakan jagat kecil atau mikokosmos. Ia merupakan penghuni tetap alam bawah sadar dan supra sadar. Di situ Yang Hakiki menjejakkan kehadirannya sebagai bayang-bayang misterius. Karena tidak terpahamkan Ia hanya bisa digambarkan sebagai sesuatu Yang Tiada, sebagai Yang Tak Dikenal dan Tak Terpahamkan. Tetapi segala obyek yang ada di alam dunia ini berasal dari Yang Tiada. Di dalam Yang Tiada itulah jutaan benih kejadian tersimpan dan menunggu penampakan.
Lukisan-lukisan Cina klasik, yang sebagian besar merupakan hasil karya penganut Taoisme, mencerminkan pandangan seperti itu. Terutama lukisan yang menghadirkan pemandangan. Gunung, lembah, lereng bukit, pepohonan, bentangan langit luas di atasnya, jalan yang berliku-liku dan berputar-putar naik turun, semua tidak luput dari guyuran kabut. Sosok manusia yang sedang mendaki gunung digambar kecil seakan tidak ada artinya di tengah keluasan semesta yang tidak terhingga dan remang-remang.
Lukisan-lukisan itu pada dasarnya menggambarkan bahwa pada hakikatnya realitas itu diliputichaos, mengandung banyak misteri, dan serba nisbi. Berdasarkan kenyataan bahwa realitas itu diliputi chaos dan misteri yang tak terpecahkan, dan serba nisbi, maka lahirlah konsep yang disebut oleh Izuzu sebagai primordial indifferentiation (ketakacuhan primordial). Berdasarkan konsep ini uraian-uraian tentang jalan menuju hakikat tidak disampaikan melalui bahasa diskursif ilmu, melainkan menggunakan bahasa figuratif sastra yang bersifat simbolik dan metaforikal.
Dalam kosmologi Ibn `Arabi konsep primordial indifferentiation direpresentasikan melalui penggunaan tamsil seperti nur muhammad, untuk menjelaskan asas penciptaan. Menurut Ibn `Arabi, ketika dunia mulai dicipta Tuhan turun untuk menerangi kegelapan dengan cahaya-Nya, lantas dari cahaya-Nya itu Dia menciptakan asas awal segala ciptaan yang disebut Nur Muhammad, cahaya berkilauan yang terpuji. Dalam sajaknya “Sudah Waktu” Sutardji menulis: “sudah waktunya/memasukkan kembali/seluruh langit/semua langit/setiap darat/ kedalam dirimu//karena asal tanah itu kau/asal langit itu kau/asal laut itu kau/asal jagad itu kau”. Dia merindukan saat-saat awal penciptaan, ketika ruh manusia masih dekat dengan Tuhannya.
Dalam Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) `Attar menggambarkan hakikat diri atau asal-usul kejadian ini sebagai Simurgh, burung besar yang indah dan berkilauan, merdu suaranya, hidup sendiri di puncak gunung Qaf. Tetapi dalam mitos yang lebih kuna, asal-asul kejadian itu sering digambarkan sebagai monster besar yang menakutkan, wajahnya penuh keriput seperti nenek lampir, tetapi anggun, dan tidak acuh terhadap sekelilingnya. Dalam purana Hindu, Yang Hakiki digambarkan sebagai Dewa Syiwa yang memiliki berbagai manifestasi. Ia kadang hadir sebagai pemburu yang menakutkan, sebagai petapa agung yang mendatangkan rasa hormat, sebagai kesatria yang tangkas dan sakti, atau sebagai lelaki perkasa yang gemar mempertontonkan phallusnya di pintu asrama pelajar wanita, tetapi tidak membuat wanita yang melihatnya merasa jijik dan takut, sebaliknya justru terpesona dan jatuh cinta.
Jika kita baca sajak panjang Sutardji “Amuk”, akan kita jumpai ‘aku lirik’ mewakili kesadaran primordial manusia mencari asal usulnya di alam ketuhanan, yang penuh misteri dan kegelapan. Penyair menghadirkan ‘ketakacuhan primordial’nya melalui imaji simbolik kucing (yang dengan sendirinya arkaik dan tepat) yang mengamuk, meraung-raung, mencakar-cakar, mencari Tuhan. Penjelajahan atau pencariannya dimulai dari alam fisik (alam nasut), kemudian ke alam yang lebih tinggi: pertama, alam kejiwaan (alam malakut, alam misal), kemudian lagi ke alam trasendental (alam jabarut), akhirnya ke alam metafisik (alam lahut).
ngiau! kucing dalam darah dia menderas
lewat dia mengalir ngilu ngiau dia bergegas
lewat dalam aortaku dalam rimba darahku
…
jangan beri daging dia tak mau daging jesus
jangan beri roti dia tak mau roti ngiau
dia tak makan berapa ribu waktu dia tak
kenyang berapa juta lapar kucingku
berapa abad dia mencari mencakar menunggu
…
lebih barah dari barah membarah dalam
darah dalam tiap zarah marwahku dia
makan aku sekarang dialah kucing
mautak mauku dia jadikan aku penggantiMu
dalam rimba diriku dalam dunia
Setelah melontarkan pernyataan-pertanyaan eksistensial seperti “siapa bikin socrates siapa bikin plato” dan memberikan salam kepada gelisah hari dan bibit benci, aku lirik membayangkan dirinya sebagai jiwa yang memiliki banyak tawanan. Setelah itu ia beralih peran sebagai dokter bedah yang kejam, yang mencoba mengiris tubuh membelah benak dan membuka rabu mereka, sebab “siapa tahu ada tuhan sembunyi di sana”. Sia-sia menemukan Tuhan di situ, penyair berkata:
kalian menyimpan tuhan untuk sendiri
sampai kalian bangkai
Yang dijumpai penyair hanya jejak-Nya. Namun jejak itu tak menuju ke mana-mana. Berbagai kenikmatan lahiriah dan kesenangan jasmani telah diperoleh, juga kelezatan ilmu dan falsafah, tetapi jiwa penyair masih meronta-ronta:
susu haru segala perempuan
aku telah ngisap kalian
perigi langit sumur seribu perahu
aku telah meregukmu
malam seribu bulan
aku telah menidurimu
tiang segala lelaki
aku telah sampai puncakmu
aku telah berjuta waktu
mencari menungguMu
(hal. 70)
Kemudian kata sang penyair lagi:
lebih tua dari niniveh lebih tua dari sphinx
lebih tua dari maya lebih tua dari jawa
lebih tua dari babilon
aku telah hidup sebelum musa
ratusan abad ngalir dalam nadi
mengerang meraung menderu
mendesah darah meronta dalam aortaku
yang ada kini yang ada nanti yang ada kapan
setelah sampai venus setelah sampai zaman
maka akulah hidup
dan Kau telah menapakkan berjuta jejakMu dalam hidupku
(hal. 71)
Aku lirik, yang pada mulanya merupakan simbol ‘kesadaran primordial’ manusia, kini berubah menjadi esensi kesadaran primordial pencipta peradaban, yang dalam falsafah Vaishesika India disebutmahat dan buddhi, seperti tampak dalam bait yang sarat dengan pertanyaan:
siapa bikin socrates siapa bikin plato
siapa bikin archimedes siapa bikin zeno
siapa bikin sartre siapa bikin laotze
siapa bikin mpu siapa bikin guru
kalau tak aku
yang membuat banyak bijak
dan belum menjangkauMu
(hal. 61)
Konsep ketakacuhan primordial dalam sajak-sajak Sutardji jelas berakar dalam syamanisme. Melalui konsep itu, penyair ingin membiarkan spiritualitas berjalan sebagaimana adanya spiritualitas seperti halnya alam. Intervensi ilmu dan teknologi dalam memecahkan rahasia hidup tidak diperlukan, sebab malah akan mendatangkan kerusakan yang lebih parah.
Dalam “Sejak” ia mengemukakan beberapa pertanyaan eksistensial: “sejak kapan sungai dipanggil sungai/sejak kapan tanah dipanggil tanah/sejak kapan derai dipanggil derai…dst”, dan penyair tidak merasa perlu memberi jawaban. Ia membiarkan misteri tetap hadir sebagai misteri. Tugas penyair hanya bagaimana merenunginya, dan semakin larut dalam renungan yang dalam, semakin dalam pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab, ia akan merasakan kehadirann Yang Hakiki, yang tak dikenal dan tak terpahamkan oleh akal.
Bandingkan sikap Sutardji dengan Chuang Tze, guru Taois terkemuka, yang mengatakan: “Ada masanya ketika manusia zaman dahulu bersifat sempurna. Bilakah? Ketika mereka belum menyadari adanya benda-benda. Kemudian, mereka mengetahui adanya benda-benda, namun tidak berusaha memilah-milahnya. Kemudian lagi, mereka memilah-milah benda-benda, namun tidak berusaha memberi cap ‘betul’ kepada sebagian dan memberi cap ‘salah’ kepada yang lainnya. Segera setelah diberikan tanggapan-tanggapan semacam itu, maka pecahlah keutuhan Tao, sang Rahasia itu, dan muncullah prasangka (Creel 1957).
Pada bagian lain sukhan atau wacananya Chuang Tze mengatakan, “Aku pernah mendengar agar dunia itu hendaknya dibiarkan menentukan jalannya sendiri, namun tidak pernah kudengar bahwa dunia dapat diperintah secara paksa dengan berhasil.” Gurunya, Lao Tze mengeritik peradaban yang mengingkari kodrat manusia dan menghancurkan asas keselarasan di alam semesta, dengan mengatakan bahwa senjata merupakan pertanda buruk karena dibuat hanya untuk kepentingan peperangan. Kuda-kuda diternakkan hanya untuk negara yang tidak patuh kepada Tao. Hukum dibuat hanya untuk keperluan pemerintahan dan aparat keamanan, dan semakin banyak undang-undang dibuat semakin banyak pula jumlah pencuri dan penjahat bermunculan di seantero negeri. Hukuman mati sebenarnya sia-sia, karena rakyat tidak pernah takut kepada maut yang dihadapi setiap detik dari kehidupannya.
Dalam kisah Penguasa Awan dan Dewa Chaos, Chuang Tze membeberkan betapa sia-sianya mencari jawaban yang pasti dan final tentang misteri yang meliputi alam semesta. Tetapi ini tidak berarti manusia tidak berusaha mencarinya, demi kesenangan dan kepuasan hatinya. Bahkan tanpa berusaha mencarinya, manusia tidak akan tenang dan mencapai kebahagiaan, juga tidak akan tahu cara yang sesuai bagi dirinya untuk menyatukan dengan alam dan kehidupan.
Diceritakan ketika mengadakan perjalanan ke timur Penguasa Awan berjumpa dengan Dewa Chaos. Penguasa Awan terperanjat melihat Dewa Chaos berjalan seraya memukul-mukul bokongnya sendiri dan melompat-lompat seperti burung. Penguasa Awan bertanya, siapa dia dan mengapa berbuat demikian. “Aku sedang bersenang-senang,” jawab Dewa Chaos. Penguasa Awan berkata, “Ether di langit tidak lagi selaras, ether di bumi terlalu banyak bergerak. Keenam kaki mereka berjalan tidak teratur. Saya ingin menyelaraskan kaki mereka agar mahluk-mahluk hidup terpelihara dari ancaman anarki dan kekacauan. Bagaimana caranya?” Dewa Chaos, seperti Sutardji menjawab, “Aku tak tahu. Tak Tahu. Tak tahu.”
Mereka pun berpisah. Tetapi di sebuah rimba belantara dipenuhi kabut, mereka bertemu lagi. Penguasa Awan bertanya, “Apa Anda lupa kepada saya?” Dewa Chaos menjawab, “Aku melayang kesana kemari tanpa tahu apa yang kucari. Aku sekadar bergerak disebabkan dorongan hati sesaat, aku mengembara tanpa tujuan, sambil melihat sesuatu tanpa prasangka dan praduga, tanpa niat buruk. Lantas bagaimana aku bisa mengetahui hakikat sesuatu?” Penguasa Awan berkata, ia sebenarnya juga seperti itu. Tetapi manusia berbondong-bondong mengikuti ketidaktahuan dan pengembaraannya. “Apa yang harus kulakukan?” Dewa Chaos menjawab, “Asas-asas pokok dunia telah dilanggar, susunan benda-benda telah diputarbalik. Gerak rahasia alam telah mengalami kegagalan, kawanan binatang berhamburan ke mana-mana, sekalian burung meratap di malam hari, tetumbuhan dan pepohonan layu pada musim hujan, kerusakan bahkan terjadi pula pada serangga dan kecoa. Semua ini disebabkan kekeliruan penanganan. Manusia yang begitu banyak itu telah menderita dan gagal menjadi manusia karena diperintah oleh segelintir orang yang tidak tahu apa-apa mengenai Jalan sejati.”
Ketakacuhan primordial seperti itu tidak dapat ditafsirkan sebagai sikap anti- dunia. Seandainya timbul kesan penolakan terhadap ‘dunia’ dan ‘peradaban’, atau yang semacam dengan itu dalam pernyataan tersebut, maka yang dimaksud dunia dan peradaban ialah sebagaimana adanya dunia dan peradaban itu. Tetapi sebuah dunia atau peradaban yang tercela, hampa nilai spiritual, membelenggu kreativitas dan mekarnya dimensi transenden dari kehidupan manusia, harus ditolak. Sebuah dunia yang hilang kemurniannya disebabkan korupsi nilai-nilai. Ketakacuhan primordial dengan demikian harus didudukkan pengertiannya sebagai ‘sikap jiwa’ atau ‘sikap hati’ yang tidak mau ditundukkan oleh hal-hal yang serba duniawi dan serba bendawi (Creel 1967).
Jika sikap semacam itu dipandang sebagai eskapisme dan sikap membenci dunia dalam artian harafiah, maka tentu penganut-penganut spiritualisme, mistisisme, taoisme, syamanisme, dan lain-lain tidak akan menyumbangkan apa-apa kepada peradaban dan kebudayaan umat manusia. Kenyataan sejarah menunjukkan hal yang sebaliknya. Justru para mistikus dan sufi, atau mereka yang mempunyai hubungan dengan mistisisme dan tasawuf, yang paling besar kontribusinya bagi perkembangan seni dan sastra.
BERSAMBUNG
WebRepOverall rating Chuang Tze
No comments:
Post a Comment