Rumah Sejarah,” Saksi Bisu Belanda Tancep Kayon!
350 tahun Belanda bercokol di bumi Nusantara, siapa sangka bisa lepas dalam hitungan menit. Pada tanggal 8 maret 1942, Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Jepang, peristiwa yang sekaligus menandai dimulainya penjajahan Jepang di bumi Nusantara. Peristiwa itu terjadi hanya delapan hari setelah pasukan bala tentara Jepang berhasil melakukan pendaratan mendadak.
Peristiwa bersejarah yang menentukan berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara setelah berkuasa selama tiga setengah abad itu, berlangsung di sebuah rumah perwira penerbang di sana. Kini, bangunan tersebut dinamakan “Rumah Sejarah”, terletak di tengah-tengah Pangkalan Udara TNI-AU Suryadarma, Kalijati. Halamannya luas, ruangan depan penuh dengan foto-foto dokumentasi yang menginformasikan peristiwa perundingan. Ruang tersebut dihubungkan dengan kamar utama, di dalamnya terdapat ranjang besi yang sudah tua.
Beberapa koleksi lainnya antara lain sepeda ontel, pedang, jam dinding, dan prasasti dari marmer sebagai peringatan pendaratan pasukan Jepang. Prasasti tersebut bertuliskan:” Peringatan 1 Sangatsu Taoen 2602 Mendaratnya Balatentara Dai Nippon di Eretan, 8 Sangatsu Roentoehnya Pemerintahan Belanda pada Dai Nippon”.
Konon, tempat perundingan itu berada di ruang tengah yang tempatnya lebih luas. Di ruang itu terdapat sebuah meja ukuran lebar kurang lebih 1,20 meter dan panjang 2 meter dengan delapan kursi di sisi-sisinya. Dua kursi letaknya saling berhadapan di ujung meja. Tiga kursi lainnya, letaknya saling berhadap-hadapan, masing-masing tiga menghadap ke arah barat dan tiga kursi lainnya menghadap ke arah timur.
Drama 10 Menit.
Dikisahkan, perundingan penyerahan kekuasaan berlangsung amat singkat. Dalam transkrip perundingan terungkap, pada saat itu Jenderal Jepang Immamura to the point bertanya pada lawannya:” Apakah Gubernur Jenderal dan Panglima tentara mempunyai wewenang untuk mengadakan perundingan ini?”
” Saya tidak memiliki wewenang bicara sebagai Panglima Tentara,” jawab Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg.
” Bila Tuan tidak bicara sebagai panglima, mengapa Tuan datang?” desak Immamura.
” Tuan minta saya datang, dan saya datang memenuhi dengan harapan dapat bicara dengan Tuan tentang pemerintahan sipil di Jawa…”, katanya. Setelah itu, sembari melirik ke pintu tengah, Tjarda van Starkenborg berujar,” Maaf, kalau boleh, orang yang berdiri di pintu itu, apakah ia juru potret atau juru pelapor, saya ingin melihat agar Tuan mengusirnya,” pintanya kepada Jenderal Immamura.
Tetapi permintaan itu tak digubris. Immamura justru malah menoleh kepada Panglima KNIL Ter Porten. Lalu bertanya langsung pada inti perundingan:” Apakah Tuan menyerah tanpa syarat.”
” Saya hanya dapat menyampaikan kapitulasi Bandung,” jawabnya.
” Kapitulasi Bandung?” itu tidak menarik perhatian kami,” timpal Immamura.
Setelah berkali-kali Immamura menanyakan tentang penyerahan Hindia Belanda, tetapi berkali-kali pula Panglima Ter Porten hanya bicara tentang kapitulasi Bandung, hingga Jenderal Immamura habis kesabaran.
Akhirnya ia berkata:” Tidak ada gunanya mengajukan pertanyaan itu lagi. Tuan dapat segera kembali ke Bandung. Saya akan perintahkan pengawal Tuan sampai ke pertahanan terdepan, dan pada saat Tuan melewati pertahanan itu, Bandung akan dihujani bom oleh kapal-kapal terbang ini. Namun, saya masih memberi kesempatan terakhir untuk mempertimbangkan permintaan saya, dan untuk itu saya beri waktu 10 menit,” kata Immamura bernada mengancam. Setelah itu ia keluar, memberi kesempatan kepada lawannya.
Setelah batas waktu habis, Jenderal Immamura kembali dan terjadilah dialog berikutnya dengan Gubernur Jenderal Tjarda van Stakenborg. ” Saya tidak akan membicarakan pemerintahan sipil, karena nyatanya Tuan tidak memiliki wewenang tertinggi untuk menjawab pertanyaan saya. Sejak ini saya larang Tuan bicara dan akan saya tujukan pada Panglima Tentara,” katanya. Setelah itu untuk kesekian kalinya Immamura mendesak Ter Poorten:” Kembali pada pertanyaan semula, apakah Tuan bersedia menyerah tanpa syarat,” katanya.
” Saya menerima untuk seluruh wilayah Hindia Belanda,” akhirnya Ter Poorten memutuskan.
Begitu selesai diucapkan, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg menyela:” Oleh karena saya tidak mempunyyai wewenang mengambil keputusan, saya pergi,” katanya. Lantas ia berdiri meninggalkan meja perundingan. Namun sebelumnya, ia masih sempat mengeluarkan rasa jengkelnya dengan mengucapkan :” Saya harap Tuan mengusir juru potret itu,” katanya.
Ter Poorten kemudian menandatangani penyerahan Hindia Belanda tanpa syarat kepada Jepang dengan naskah yang sudah disiapkan oleh Jepang. 4 hari kemudian, tanggal 12 Maret, seluruh Komandan Kesatuan Belanda, Inggris, dan Australia secara resmi menandatangani penyerahan pasukan kepada Komandan Tentara Jepang di sekitar Bandung, Letjen Maruyama.
Demikian dikisahkan adegan dramatis penyerahan tanpa syarat Belanda kepada Jepang di “Rumah Sejarah” kalijati. Rumah itu hingga sekarang masih sering dikunjungi, terutama oleh para siswa. Namun tidak jarang juga oleh wisatawan asing, utamanya Jepang dan Belanda.
Bagi orang-orang Belanda, tempat tersebut mungkin mengingatkan pengalaman bangsanya yang pahit. Namun, bagi bangsa Indonesia pengalaman bangsanya yang pahit tidak berarti berakhir dengan tancep kayon-nya Belanda. Karena konon, Jepang pun tidak kalah kejam, bahkan perlakuan yang dialami jauh lebih kejam lagi.
Betapapun dan sampai kapanpun, penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan, karena bertentangan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan yang beradab. Sebagai bangsa besar kita harus selalu ingat pesan Bung Karno:” JAS MERAH”. Jangan Sekali-kali Melupakan SejaRah! Salam.
Bembeng Je Susilo
No comments:
Post a Comment