Soal Papua: Misteri Kapal Karel Doorman Versi Arsip Dinas Intelejen Belanda

1325710386780231994




Terbukanya arsip rahasia kemiliteran Belanda ini semakin menambah pustaka sejarah soal perebutan Papua. Setelah saya cek di buku yang ditulis Profesor P. J Drooglever yang menulis seluruh arsip persitiwa Papua ternyata kasus kapal Karel Doorman tidak diangkat karena batas waktu arsip tersebut baru terbuka tahun 2012 ini. Laporan dinas militer semacam ini merupakan inti dari situasi menjelang perang perebutan Papua antara Belanda dan Indonesia selain proses perundingan damai yang sudah dibahas dalam berbagai buku sejarah yang ada. Terbaru tentang peristiwa ini dilansir radio Belanda versi bahasa Indonesia yang mengutip dari Trouw;



http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/kasus-papua-aksi-militer-belanda-untungkan-indonesia



Dampak aksi militer Belanda di Papua, pada awal tahun 1960-an bertolak-belakang dengan tujuan operasi tersebut. Demikian kesimpulan Trouw, koran pagi yang terbit di Amsterdam. Laporan singkat yang dimuat koran lokal di Belanda versi Harian dari kalangan Protestan Belanda ini, menyimpulkan hal tersebut berdasarkan arsip dinas intelijen angkatan laut Belanda. Tumpukan dokumen ini terbuka bagi publik untuk diteliti, mulai Selasa 3 januari 2012, karena masa waktu untuk merahasiakan sudah habis. Menurut dokumen dinas intelijen, tujuan pengiriman kapal induk tersebut sebenarnya sekedar untuk pamer kekuatan. Namun, ternyata pihak Indonesia memanfaatkan habis-habisan tindakan Belanda itu. Untuk ini Trouw antara lain mengutip berbagai pernyataan Menteri Luar Negeri RI saat itu, Soebandrio.



Trouw menyorot kasus pengiriman kapal induk Karel Doorman, dan dua kapal selam yang menyertainya ke perairan Papua. Sejak saat pengakuan kedaulatan tahun 1949, pihak Indonesia sudah menyatakan bahwa Papua termasuk bagian wilayah RI. Sementara pihak Belanda terus mengupayakan agar tetap bisa menguasai wilayah koloni yang tersisa ini. Sebelumnya, Indonesia harus berjanji pada Amerika, tidak akan menggunakan senjata yang mereka beli dari Amerika, dalam kasus sengketa wilayah Papua. Karena Belanda mengirim kapal induk Karel Doorman, Indonesia merasa tidak lagi terikat pada janji tersebut dan secara terbuka mulai mempersiapkan serangan militer ke Papua. Demikian Trouw mengutip Soebandrio.



Sebenarnya, sejak akhir tahun 1950-an, pihak Indonesia secara diam-diam sudah melancarkan aksi perang gerilya di Papua. Aksi pihak Indonesia ini pula yang mendorong pihak Belanda mengirim satuan militer ke Papua. Selanjutnya, dalam rangka unjuk gigi, pengiriman kapal induk Karel Doorman. Trouw menemukan berbagai dokumen yang menunjukkan kejengkelan dinas intelijen angkatan laut Belanda. Pihak Indonesia tidak pernah memenuhi janji mereka tidak melakukan aksi militer. Pengiriman kapal induk Karel Doorman menjadi alasan untuk membenarkan tindakan mereka, demikian kesimpulan intel Belanda. Selanjutnya Trouw mengemukakan, di kalangan diplomasi internasional, pihak Indonesia menggunakan kasus pengiriman kapal induk ini untuk menyudutkan posisi Belanda. Sehingga akhirnya, Amerika berbalik sikap dan mendukung pengembalian Papua pada Indonesia.



Dalam hal perubahan sikap Amerika ini, mungkin Trouw terlalu Belanda sentris. Berbagai studi mengenai kebijakan politik luar negeri Amerika waktu itu menunjukkan pentingnya aspek Perang Dingin, dan perkembangan persaingan kekuatan politik di Indonesia. Menyusul gagalnya pemberontakan PRRI/Permesta di Indonesia, Amerika mulai menyadari bahwa militer Indonesia, khususnya Angkatan Darat, harus mereka rangkul, dalam menghadapi pengaruh Partai Komunis Indonesia yang makin kuat.




Partai Kristen Konservatif di Belanda ( P V V ) akhir-akhir ini banyak menaruh simpati pada Papua. Namun beberapa kalangan politik di Belanda, meski keliru melihat situasi ini, mengira dapat memanfaatkan momentum tersebut. Wakil Partai Untuk Kebebasan (PVV), yang dikenal sebagai anti-migran dan anti-Islam, dalam sidang dengar pendapat di Parlemen bersuara mendukung kemerdekaan Papua. Mereka beralasan perlu mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Pernah dimuat sikap tersebut oleh radio belanda;



http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/soal-papua-belanda-terjebak-oportunisme-dan-tradisi-kolonial


13257106861509354017



Suara PVV, partai terbesar ketiga di Belanda yang menjadi penunjang kabinet minoritas perdana menteri Mark Rutte, memperlihatkan oportunisme populis. Suara mereka menggantikan kalangan partai Kristen konservatif yang sejak lama menyikapi Papua dengan semangat paternalisme-kolonial. Dulu, Papua menjadi obyek badan yang bernama “Door De Eeuwen Trouw” (Setia Berabad-Abad, Red.). Badan ini tidak aktif lagi, tapi kini PVV menggantikannya. Sikap ini aneh karena PVV justru merupakan partai populisme-kanan yang sekuler dan sangat berorientasi ke dalam.



Keadaan semacam ini tentu akan balance dengan dukungan penyelesaian masalah Papua yang akhir-akhir ini banyak disuarakan oleh komponen agama di tanah air. Bagi partai kristen di Belanda memang lebih vulgar menyuarakan kebebasan di Papua, namun dari Papua sendiri, terutama kelompok agamawan, hal utama di Papua ialah rasa aman dari kekerasan militer bahkan harga diri sebagai orang Papua menjadi perhatian serius selama ini. Dialog merupakan pintu yang bagi tokoh agama Papua sebagai sembatan untuk menyelesaikan masalah. Namun, kadang keinginan damai yang digagas elemen rakyat dan agama di Papua disalah tafsirkan oleh pihak luar. Selain P V V di Belanda yang terus mengangkat isu Papua, didalam negeri sendiri beberapa oknum yang mengatasnamakan ormas agama tertentu menanggapi aspirasi di Papua berbahaya sehingga mereka ingin Jihad mempertahankan Papua.

Arkilaus Baho

No comments: