Laporan Saresehan “Menguak Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba di Nusantara untuk Memperkuat Karakter dan Ketahanan Nasional

IAGI-netter yang budiman, Mohon maaf baru dapat me-respon email karena sedang mengikuti Int. Conference Kebudayaan yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Kebudayaan UI di Sanur Bali, saya dan ADB diminta untuk bicara bersama Prof. Oppenheimer kemarin.

Saresehan “Menguak Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba di

Nusantara untuk Memperkuat Karakter dan Ketahanan Nasional” Tgl 7 Februari kemarin berlangsung dengan sangat meriah dihadiri oleh sekitar 500-an pengunjung dari berbagai kalangan dan juga bidang keilmuan. Luarbiasanya

lagi, sebagian besar pengunjung setia duduk dari pkl 9 pagi sampai selesai

(pkl 16:00). Sebagian malah sudah datang sejak pkl 7 pagi, dan sebagian

tidak kebagian makan siang tapi rela duduk sambil menahan lapar sampai sore.

Uniknya saresehan ditutup tanpa sesi kesimpulan. Pasalnya panitia lupa


mempersiapkan dan melakukannya, dan mereka juga heran kok bisa sampai

lupa… Mungkin terlalu excited dengan jalannya saresehan yang kata

pengunjung memang seru. Jadi perkenankan saya mencoba membuat resume-nya.




Silahkan bagi rekan-rekan yang kebetulan hadir di saresehan untuk mengoreksi

atau menambah-kurangi resume ini.


Presentasi dimulai dari perkenalan tentang Tim Bencana Katastropik Purba

(apa, siapa, visi, konsep, hipotesa kerja, metoda, dan goals). Kemudian


dilanjutkan dengan presentasi singkat oleh DHN dan ADB tentang hasil

penelitian di Banda Aceh, Batujaya, dan Trowulan. DHN presentasi tentang

temuan dua gempa besar yang terjadi sekitar tahun 1390 dan 1440 M di Aceh

yang diikuti tsunami sebesar yang terjadi pada tahun 2004. Bukti berupa

data pengangkatan dari koral mikroatol di P. Simelue dan lapisan endapan

tsunami yang ditemukan di dekat Kota Banda Aceh. Pada lapisan tsunami

banyak ditemukan artefak-artefak keramik. Dua bencana tsunami ini diduga

berperan besar dalam keruntuhan kerajaan Samudra Pasai yang kemudian diikuti dengan kemunculan Kerajaan Iskandar Muda. Adanya ‘diskontinuitas’ dari peralihan dua kerajaan ini banyak membuat para sejarawan bingung. Baru


mereka mengerti setelah tahu peristiwa bencana tsunami ini. Sebetulnya

‘kenangan’ tentang bencana tsunami ini masih ada dalam masyarakat Aceh

sekarang yaitu dengan adanya istilah IEU-BEUNA (Airbesar) namun sayangnya

mereka sudah tidak paham lagi apa maksud dari kata itu… sampai terjadi

lagi bencana serupa tahun 2004.


Selanjutnya ADB mempresentaskan tentang penelitian di Situs Batujaya,

Krawang. Survey Georadar memperlihatkan bahwa di beberapa situs bangunan


batubata merah yang hanya tersembul beberapa meter saja dipermukaan ternyata di bawahnya ada bangunan yang terkubur sampai 15 meter yang bisa merupakan bagian bangunan dengan umur sama (Abad 4 Masehi) atau peninggalan peradaban yang lebih tua lagi. ADB juga menguraikan bahwa di sekitar situs ditemukan endapan marin (laut). jadi dulunya situs ada di dekat garis pantai.


Kemudian ADB juga memperlihatkan sayatan horizontal dari hasil survey

seismic 3D di utara Jakarta yang memperlihatkan jejak sungai purba dengan

jelas sekali dan mengemukakan pentingnya dunia industri minyak menyumbangkan data seismic hanya sebatas data Pleistosen-Holosen yang tidak ada gunanya untuk ekslorasi minyak tapi akan banyak manfaatnya untuk penelitian pemetaan Patahan Aktif, pemetaan paleogeografi, kebencanaan, dll. Untuk Trowulan, ADB memperlihatkan bahwa dari hasil survey Georadar dan pemboran tangan dangkal juga analisa carbon dating ditemukan bahwa (jejak) kanal besar yang disimpulkan oleh para arkeolog dibuat pada Jaman Majapahit ternyata posisinya ada di bawah “ketidakselarasan” struktur batamerah Majapahit di (dekat) permukaan, atau dengan kata lain kanal itu dibuat oleh peradaban sebelum Majapahit . Hasil carbon dating menunjukan bahwa umur dari lapisan peradaban di bawah Majapahit itu sekitar 600 SM (kelahiran Budha). Dari berbagai singkapan karena penggalian tanah yang diambil untuk industri pembuatan bata ditemukan banyak struktur sisa bangunan dari batamerah di bawah lapisan Majapahit yang tertimbun oleh endapan lumpur mirip LUSI. Di singkapan lain ada juga reruntuhan batamerah (pra-Majapahit) yang tertimbun endapan seperti lahar.


SESI GUNUNG PADANG


Pak Luthfi Yondri, arkeolog yang meneliti Gunung Padang, memaparkan tentang sejarah penemuan situs dan hasil penelitian arkeologi, yaitu sebatas bahwa situs Gunung Padang di Cianjur adalah Situs Megalitikum yang ‘sederhana’ terdiri dari kolom-kolom andesit/basalt yang ditata membentuk teras-teras di atas puncak sebuah bukit. Siapa yang buat, bagaimana buatnya, darimana source kolom-kolom andesit-basaltnya dan kapan dibuatnya belum diketahui, kecuali hanya dikira-kira berdasarkan perbandingan dengan situs-situs megalitik lain dan frame-time arkeologi Indonesia, yaitu sekitar 2500 tahun SM. (Pak Lutfi sebetulnya punya data actual yang cukup menarik dari


trenching yang pernah dilakukannya tahun 2000-an. Dari trenching sedalam

sekitar 2 meter di Teras pertama dia menemukan bahwa setiap kolom andesit

yang ditumpuk-tumpuk terbungkus oleh satu lapisan seperti tanah. Katanya

dia sudah tanya ke teman-teman geologi tentang bungkus tanah itu tapi tidak

mendapat jawaban yang memuaskan. Kami menduga itu adalah semacam semen

purba. Semen antar kolom andesit itu malah masih bisa dilihat pada

dinding-ramp antara Teras satu ke Teras dua. Entah kenapa Pak Lutfi tidak hasil trenching dan kolom andesit yang seperti dibungkus tanah itu di

saresehan padahal sudah saya bilang itu hal yang sangat menarik).


Pak Pon Purajatnika, mantan Ikatan Ahli Arsitektur JABAR, mempresentasikan


penelitiannya di Gunung Padang yang sudah dilakukan sejak tahun 2008.

Menurut Beliau konstruksi tumpukan batu G. Padang bukan pekerjaan

sembarangan tapi hasil olah arsitektur yang luar biasa. Setelah dilakukan

studi banding ke Michu-Pichu (bangunan Piramid Maya di Peru) beliau

berkesimpulan bahwa arsitektur G.Padang persis sama dengan Michu Pichu.

Beliau juga sudah membuat rekonstruksi Situs Gunung Padang di atas bukit.

(saya tahu Beliau malah sudah membuat sketsa imajiner arsitektur G.Padang

dari puncak sampai dasar Sungai Cimanggu ~200m – Yaitu sebuah Piramid – ala


Maya – yang sangat besar, tapi entah kenapa tidak beliau perlihatkan di

seminar). Luarbiasa kreatif dan sangat inspiratif.


DHN presentasi tentang analisis morfologi G. Padang yang jelas

memperlihatkan G.Padang seperti sebuah tumor besar di kaki sebuah punggungan dari Gunung Karuhun (perbukitan tinggi di Selatan G.Padang). Artinya, interpretasi geologi yang paling mungkin adalah Gunung api purba atau

intrusi batuan beku. Tapi apakah demikian? Hasil survey lintasan

Geolistrik (memakai SuperSting R8) tidak mendukung interpretasi geologi ini.

Ada beberapa lintasan geolistrik yang dibuat: 2 lintasan dengan spasing

elektroda 3m dan 8m untuk penampang Utara-Selatan, 3 Lintasan dengan spasing elektroda 1m, 4m, 10 meter untuk penampang Barat-Timur (catatan: spasing elektroda 3m dengan jumlah electrode 112 depth of penetrationnya ~60m, yang 8m sampai 200 m-an). Singkatnya, data geolistrik tidak memperlihatkan struktur intrusi magma, volcanic plug ataupun gunung purba, melainkan satu geometri yang sangat unik dan sepertinya tidak alamiah. Inti gambaran subsurface Gunung Padang. Dari atas 0 – ~20m adalah lapisan horizontal dengan resistivity ratusan Ohm-meters. Di bawah itu ada lapisan dengan resistivity ribuan Ohm-meters (warna merah) dengan tebal sekitar 20-30meter, miring ke Utara tapi anehnya bagian atas lapisan miring ini seperti


TERPANCUNG RATA (di kedalaman 20 meteran itu) dan membaji pas di ujung

selatan Situs. Ini mengindikasikan bahwa dari depth 20 meter ke atas adalah

man-made structures. Lapisan merah diduga adalah batuan keras massif -

batuan andesit-basalt. Di bawah lapisan merah adalah lapisan batuan yang

low-resistivity – kemungkinan berpori dan ber-air. Tapi yang unik adalah

adanya bentukan biru besar membulat di bawah situs yang sangat rendah

resistivitasnya (mendekati 1 atau true conductor). Keunikan tidak berhenti

di situ, di bawah si biru bulat itu ada lapisan dengan resistivitas tinggi


(merah) – batuan keras yang berbentuk seperti cekungan atau “cawan raksasa”

yang posisinya kira-kira sekitar 100 meter dari puncak atau sedikit di bawah

level tempat parkir di permulaan tangga untuk naik ke situs. Penampakan

cawan ini sangat konsisten terlihat di lintasan Utara-Selatan dan

Barat-Timur. Sama sekali tidak terlihat ada indikasi “feeding dukes” atau

leher intrusi di Penampang geolistrik.



Dugaan lapisan 20 meter ke bawah dari atas situs adalah man-made structures

ditunjang oleh Survey GPR di atas Situs. Survey GPR dilakukan berbagai

lintasan di semua Teras 1-5 dengan memakai antenna MLF 40 MHz dari SIR-20

GSSI yang dapat menembus kedalaman sampai sekitar 25-30 meteran. Dari survey GPR terlihat ada bidang very high reflector di kedalaman sekitar 3-5 meter dari permukaan di semua teras. Bidang ini sangat horizontal dan juga

membentuk undak-undak seperti situs di atasnya. Dibawah bidang ini struktur

lapisan tidak kalah unik. Ada lapisan melintang yang memotong

lapisan-lapisan horizontal - tidak mungkin ada struktur geologi seperti ini

apalagi di bukit ‘vulkanik’. Singkatnya, penampang georadar sangat


mendukung interpretasi struktur bangunan sampai kedalaman 20 m. Struktur di bawah situs ini berundak juga mengikuti struktur teras situs yang terlihat

di permukaan. Dari berbagai lintasan geolistrik 2D sangat mungkin bahwa

sampai ke kedalaman sekitar 100 meter, yaitu sampai ke struktur batuan keras

berbentuk Cawan adalah bangunan atau paling tidak tubuh batuan alamiah yang

sudah dipermak manusia. Lebih lanjut lagi, DHN juga mempresentasikan hasil

survey geolistrik 3-D pada situs di atas puncak yang dimaksudkan untuk

mendapatkan sub-surface structure yang lebih detil. Survey 3-D ini mencakup

hamper seluruh luas situs (memakai spacing 5m dibuat 4 lines Utara Selatan

dengan electrode 112 buah – atau setiap line ada 28 electroda). Depth of


dari survey 3-D ini mencapai kedalaman 25 meteran. Hasil 3-D dapat

meng-iluminasi struktur di bawah situs dengan baik. Yang membuat kami semua

terkesima adalah kenampakan tiga tubuh very-high resistivity (lebih dari

50.000 ohm.m) di bawah Teras 1, 2, dan 5. Dengan nilai resistivitas

setinggi ini kemungkinannya ada dua: tubuh sangat solid/pejal atau merupakan

ruang (“CHAMBER”). Yang paling mungkin adalah Ruang hampa udara (“The

Chamber of secret”). Dimensi chamber tersebut kelihatannya sangat besar!


DHN juga memperlihatkan hasil survey geomagnet yang dilakukan dengan

peralatan GEM Overhauser yang sangat sensitive yang biasa dipakai untuk

survey arkeologi.


ADB kemudian mempresentasikan hasil pemboran di Gunung Padang. Ada dua

titik yang kami pilih: Bor satu di ujung Selatan Teras 3, Bor ke dua di

samping Selatan Teras 5. Sebenarnya dua lokasi bor yang dipilih bukan titik

“Jack-pot” yang seharusnya di-bor, misalnya persis di atas Chamber atau

anomaly high magnetic-nya. Hal ini dikarenakan lokasi-lokasi ini di atasnya


dipenuhi tumpukan kolom andesit situs yang TIDAK BOLEH DIPINDAHKAN. Kami mendapat ijin bor dari pihak berwenang tapi belum diperbolehkan untuk

memindahkan bebatuan situs. Walaupun demikian, hasil pemboran sudah cukup untuk membuktikan dugaan struktur bangunan dan juga sukses dalam

mengkalibrasi hasil survey georadar dan geolistrik. Pada Lubang Bor 1:

dari permukaan sampai kedalaman kira-kira 3 meter terdapat perlapisan

susunan kolom andesit 10-40 cm (yang dibaringkan) diselingi lapisan tanah.

Setiap kolom andesit ini dilumuri oleh semacam semen (sama seperti yang

ditemukan oleh Arkelog Lutfi Yondri sewaktu melakukan trenching tahun 2000

sampai kedalaman 1.8 meter). Sewaktu menembus 3m kami mendapat surprise

karena tiba-tiba drilling loss circulation dan bor terjepit. Yang dijumpai


adalah lapisan pasir-kerakal SUNGAI (epiklastik) yang berbutir very well

rounded setebal 1 meteran (Note: Rupanya bidang tegas yang terlihat pada GPR

itu di kedalaman 3-5 meter di semua Teras adalah batas dengan permukaan

hamparan pasir ini). Menurut Pak Pon yang ahli arsitek, boleh jadi hamparan

pasir ini dimaksudkan sebagai peredam guncangan gempa. Kalau benar

demikian, alangkah hebatnya para leluhur pembuat bangunan ini. Kelihatannya

mereka sudah punya ahli gempa :-) Bagian dibawah kedalaman 4m yang ditembus bor ditemukan berupa selang seling antara lapisan kolom andesit yang ditata dan lapisan tanah-lanau. Lapisan kolom andesit yang ditata itu aebagian

ditata horizontal dan sebagian lagi miring (catatan: ini sesuai dengan


survey GPR yang memperlihatkan bahwa perlapisan ada yang horizontal dan ada yang miring). Baru dikedalaman sekitar 19 meter bor menembus tubuh andesit yang kelihatannya massif tapi penuh dengan fractures sampai kedalaman

sekitar 25 meter (note: sesuai dengan penampang geolistrik bahwa

kelihatannya bor sudah menembus lapisan merah yang terpancung itu). Banyak

ditemukan serpihan karbon, diantaranya ditemukan di kedalaman sekitar 18m

yang lebih menguatkan bahwa lapisan batuan dan tanah yang ditembus bukan

endapan gunung api alamiah tapi struktur bangunan.


Bor ke-dua yang dilakukan persis di sebelah selatan Teras 5 menembus tanah

(yang seperti tanah urugan sampai kedalaman sekitar 7 meter. Kemudian ketemu batuan andesit keras. Di kedalaman 8 m terjadi hal mengejutkan – Total


Loss, 40% air di drum langsung tersedot habis. Hal ini berlangsung sampai

kedalaman 10 m (Note: BINGO! Inilah target utama-nya – tubuh very high

resistivity yang terlihat jelas di Geolistrik 3-D). Kelihatannya bor

menembus rongga yang diisi pasir (kering) yang luarbiasa keseragamannya

seperti hasil ayakan manusia. Di bawahnya ketemu lagi dua rongga yang juga

terisi pasir ‘ayakan’ itu diselingi oleh ‘tembok’ andesit yang sepertinya


lapuk. Pemboran berhenti di kedalaman 15m.


Hasil preliminary dari analisis carbon radiometric dating dari banyak

serpihan arang yang ditemukan dikedalaman sekitar 3.5m. menunjukkan umur

Carbon Dating sekitar 5500 tahun yang kalau dikonversikan ke umur kalender

adalah sekitar 6700 tahun BP atau sekitar 4700 SM, jauh lebih tua dari umur

Pyramid Giza yangsekitar 2800 SM !


Tidak lupa ADB mengingatkan bahwa kali ini adalah presentasi “preliminary

results” (sampai Hari Minggu tgl 5, ADB masih di lapangan, nge-bor). Masih


banyak analisis yang sedang dilakukan untuk mencapai hasil yang lebih solid

lagi, termasuk penentuan umur carbon dating dibeberapa horizon stratigrafi.

…………….

SINOPSIS BOR:


Berhasil melakukan kalibrasi survey Georadar dan Geolistrik.

Satu diantaranya yang penting bahwa tubuh high resistivity yang terlihat di

geolistrik adalah rongga yang di lokasi Bor-2 rongga ini sebagian terisi

oleh pasir ‘ayakan’ yang sangat kering. (perlu diketahui juga bahwa sudah


dilakukan kalibrasi geolistrik di atas gua Jepang. Gua-gua ini terlihat

sebagai tubuh dengan nilai resistivitas sangat tinggi (30.000 – 50.000

Ohm.m)


SESI SADAHURIP


Setelah makan siang saresehan dilanjutkan dengan Topik yang paling

diramaikan orang, yaitu: Sadahurip. Pembicaranya: Pak Sujatmiko, Pak Awang,

dan DHN.


Pak Sujatmiko menyampaikan hasil penelitian kilatnya, yaitu pengamatan


singkapan di sekitar Gunung Sadahurip. Singkat kata menurut keyakinan

beliau, dari jenis batuan yang tersingkap dan morfologi bukit serta posisi

geografisnya, disimpulkan tanpa ada keraguan bahwa Bukit Sadahurip adalah

bentukan biasa di komplek gunung api. Kemungkinannya dapat merupakan lava

dome, atau tubuh gunung api purba. Beliau juga menambahkan adalah sangat

sia-sia memakai peralatan survey macam-macam karena dengan prinsip geologi

dasar saja sudah cukup untuk tahu isi bukit, percuma kuliah geologi katanya

kalau tidak dapat menyimpulkan fenomena begitu saja.


Pak Awang dalam presentasinya menyatakan tidak sependapat. Menurut beliau


fenomena Bukit Sadahurip bukan perkara mudah. Kalau dikatakan bukit itu

adalah gunung api purba, lalu mana kawah (“crater”) nya. Kalau dibilang itu

adalah intrusi magma atau volcanic plug, mana “plug”nya; lalu kok bentuknya

aneh begitu. Pak Awang memperlihatkan 3-D Topografi dari bukit sadahurip dan sekitarnya yang dibuat dari DEM. Kemudian, menurut Pak Awang yang lebih aneh dan barangkali malah harus menjadi perhatian menjadi adalah Lembah Rahong yang berada di sebelah timur Sadahurip. Lembah Rahong adalah dataran di bawah tebing andesit berbentuk U menghadap ke Timur (ke punggungan bukit lain di lereng barat Gunung Talaga Bodas). Bentuk dan posisinya aneh dan lebih aneh lagi material/massa yang hilang (“longsor”) di tengah-tengah tebing “U” tsb sepertinya hilang ditelan bumi, entah kemana. Menurut penduduk setempat tidak pernah ada cerita tentang penambangan di masa lalu dari orangtua-kakek-buyut mereka. Jadi kemana massa andesit Tebing Rahong yang hilang itu? Kemudian. DHN memperlihatkan peta DEM – IFSAR yang beresolusi 5-m spacing. Image IFSAR ini lebih mempertegas keunikan dari Lembah Rahong.



Pak Sutikno Bronto memberikan ulasan bahwa struktur kawah tidak selalu

kelihatan, demikian juga magma plug bisa tidak terlihat… (Komentar: jadi

gimana ya Pak? Apakah kalau tandanya tidak terlihat kemudian bisa

disimpulkan barangnya ada gitu?… )


DHN mempresentasikan hasil-hasil survey geolistrik di Gunung Sadahurip.

Sebelumnya dikatakan bahwa presentasi kali ini dimaksudkan utamanya untuk

memperlihatkan data-fata hasil penelitian yang sudah dilakukan, bukan


presentasi hasil karena penelitian di Sadahurip masih on-going. Pertama

diperlihatkan dua lintasan geolistrik Utara-Selatan dan Barat-Timur dari

tebing andesit di Lembah Rahong. Lintasan ini adalah untuk mengkalibrasi

alat. Hasilnya, survey geolistrik dapat meng-iluminasi struktur bawah

permukaan dari lapisan lava andesit itu dengan baik. Yang menarik, di bawah

lapisan lava andesit-basalt itu ada lehernya (= badan intrusi/”vent”),

artinya itu bukan hasil aliran lava dari atas (Gunung Talaga bodas) tapi

lelehan di permukaan dari intrusi magma (tanpa pencitraan subsurface hal ini


sukar untuk diketahui). Lintasan geolistrik di Rahong ini lebih menegaskan

bahwa massa dari tebing U yang disinyalir hilang oleh Pak Awang itu juga

memang tidak terlihat di bawah permukaan Lembah Rahong. Kemudian di Bukit

Sadahurip ada banyak lines 2-D yang sudah dibuat: Untuk penampang geolistrik

Timur ke Barat ada .. Lines: 1 Line dengan electrode spacing 3m (56

electroda)), 2 line dengan e spacing 5m (56e + 112e), 1 line dengan e

spacing 10m, dan 1 line dengan e spacing 20m yang menembus sampai kedalaman sekitar 350m dari puncak. Untuk penampang geolistrik Utara- Selatan ada … lines: 1 Line dengan spacing 3m (56e), 1 line dengan spacing 5m (56e),1 line dengan spacing 10m (56e), dan satu line dengan spacing 5m (112e).


Dari penampang geolistrik ini struktur yang paling jelas terlihat dan stabil


(selalu ada dan konsisten di semua lintasan dan juga dengan berbagai

pemodelan yang di-running puluhan kali) adalah bahwa di bawah Gunung

sadahurip ada satu tubuh dengan resistivitas sangat tinggi yang kemungkinan

besar adalah batuan intrusi. Uniknya, tubuh batuan ini TERPANCUNG di level

sekitar 100-120 meter dari puncak bukit. Lebih uniknya lagi bidang

terpancung ini ditengahnya cekung, seperti sebuah kolam/cawan raksasa…

mirip dengan yang ada di Gunung Padang. Struktur resistivity di atas bidang

pancung ini garis besarnya adalah tubuh dengan resistivitas rendah

ditengahnya, kemudian di atasnya kembali ada bentukan-bentukan dari tubuh


dengan resistivitas tinggi (merah). Ada beberapa keunikan yang bisa dilihat

dari kenampakan struktur resistivitas di dekat puncak sampai kedalaman

puluhan meter. Singkatnya, ada kesamaaan pola struktur umum antara

Sadahurip dan Gunung Padang, yaitu: bagian atasnya ‘bertopi merah”, di

bawahnya si biru yang di alasi oleh cawan merah. Meskipun demikian detil

struktur Sadahurip di atas cawannya belum sejelas yang di Gunung Padang.

Eksplorasi lebih lanjut, termasuk pengujian/kalibrasi dengan sumur bor masih

diperlukan untuk memastikan apa sebenarnya Bukit Sadahurip itu. (Seperti


saran Pak RPK, walaupun nanti hipotesis Sadahurip sebagai Piramida tidak

terbukti, tetap hasil penelitian ini akan menambah khasanah ilmu geologi

tentang bentukan tubuh produk gunung api dsb).


Di bagian akhir Saresehan, Pak Sutikno Bronto kembali memberikan ulasannya.

Intinya dia berpesan agar hati-hati dalam mentafsirkan geologi/stratigrafi

di komplek gunung api karena sangat komplek. Beliau tidak merinci tentang

apa struktur komplek yang ditakutkan bisa di-salahtafsirkan itu. Pokoknya

komplek gitu lho.

(Saya mulai mengerti kenapa di banyak peta-peta geologi sering sekali ketemu


yang namanya “Satuan Gunung Api yang Tidak Teruraikan” – termasuk Komplek Sadahurip ini – barangkali yang melakukan pemetaan-nya takut ‘kualat’ semua; Oleh karena itu Mang Okim memang luarbiasa, beliau berhasil menguraikan kekomplekan batuan gunung api ini dengan sangat meyakinkan, “without reasonable doubt”, dengan pemetaan singkapan batuan atau Metoda

Geo-Singkapan hanya dalam satu hari saja. Prestasi ini kelihatannya jauh

lebih hebat dari Metoda Geo-Pacul yang pernah diterapkan oleh Kelompok TS


yang walaupun sudah dibantu oleh metoda Geo-Menyan-nya tetap saja harus rela memacul sampai berhari-hari… maap becanda – Pisss)


HIGHLIGHTS dari HASIL SARESEHAN:


1. Hasil penelitian di Banda Aceh, Batujaya, dan Trowulan memperlihatkan

keterkaitan antara sejarah peradaban dan bencana alam. Apabila masyarakat

tahu tentang bencana masa lalu yang pernah menghancurkan negerinya seperti

kasus tsunami Aceh pada Abad 14 dan 15 maka tidak akan terjadi banyak korban pada tahun 2004 yang banyak disebabkan oleh ketidaktahuan ini.

2. Situs sejarah yang dianggap banyak arkeologi penelitiannya sudah


‘selesai’ seperti Trowulan ternyata masih menyimpan banyak misteri sejarah

yang terpendam di bawahnya. Hal itu hanya dapat terkuak oleh metoda

“arkeo-geologi”. Demikian juga banyak situs yang terlihat menyembul hanya

beberapa meter dipermukaan dan oleh para ahli arkeologi hanya di trenching

1-2 meter saja ternyata menyimpan tubuh bangunan sampai kedalaman 15 meter

bahkan lebih – kemungkinan menyimpan misteri sejarah peradaban kuno yang


berlapis-lapis.


3. Hasil survey Geolistrik, Georadar, Geomagnet dan pemboran menunjukan

bahwa situs Megalitik Gunung Padang tidak sesederhana seperti yang sudah

diketahui orang tapi sangat luarbiasa. Di bawah situs yang terlihat

dipuncak bukit ternyata ada struktur bangunan, paling tidak, sampai

kedalaman 20 meteran dari puncak seperti yang terlihat dari geolistrik dan

georadar dan sudah diverivikasi oleh data pemboran. Dari data geolistrik

diduga kuat bahwa struktur bangunan ini sampai memenuhi seluruh bukit dari

puncak hingga level tempat parker, atau kurang lebih 100 meteran tingginya


4. Hasil penelitian di Gunung Padang menunjukkan bahwa peradaban Indonesia

pada masa 4700 SM sudah demikian tinggi. Ini adalah bukti nyata yang

pertamakalinya ditemukan di Indonesia. Hal ini diharapkan menjadi pioneer

untuk menguak masa Pra-Sejarah Indonesia yang masih gelap tapi sepertinya

sudah divonis primitive itu oleh banyak orang termasuk para ahli arkeologi.


5. Temuan Gunung Padang ini sejalan dengan hasil riset Oppenheimer bahwa

Bangsa Nusantara sejak sebelum 10.000 tahun lalu merupakan pusat teknologi

pertanian, peternakan, dan pelayaran untuk wilayah Asia-Pasific, dan bahkan

Dunia.



5. Dari aspek mitigasi bencana, temuan adanya hamparan pasir dikedalaman 3-5

meter dibawah Situs bagian atas boleh jadi merupakan warisan ‘kearifan masa

lalu’ dalam mengantisipasi bencana akibat goncangan gempa (dari Patahan

Cimandiri).


6. Ada kesamaan karakter dan geometri dari struktur resistivity Gunung

Sadahurip dan Gunung Padang, selain banyak fenomena unik di Sadahurip yang

(masih) sukar untuk dijelaskan oleh proses dan bentukan geologi. Oleh


karena itu penelitian di sana perlu dilanjutkan untuk memperoleh hasil yang

lebih terang.


Demikian Resume Saresehan ini saya sampaikan. Mohon maaf apabila ada

kata-kata atau informasi yang sekiranya menggangu hati dan pikiran dari

rekan-rekan semua.


Sebagai tambahan informasi, pada tanggal 9 kemarin, Saya dan ADB diundang

oleh panitia-nya Fak-Kebudayaan UI untuk menjadi pembicara mendampingi Prof Sthephen Oppenheimer pada Konferensi Internasional Kebudayaan di Sanur Bali yang dihadiri oleh banyak kalangan dan ahli diberbagai bidang termasuk arkeologi dari d alam negeri dan manca Negara. Setelah Oppenheimer

memberikan Keynote Speaker-nya, DHN dan ADB juga memberikan presentasi

tentang hasil-hasil penelitian Tim Studi Bencana Katastropik Purba dengan


materi yang sama seperti di tgl 7. Yang menjadi moderator adalah Arkeologi

Kondang Dr. Agus Arismunandar. Hadir juga Dr. Ali Akbar, ahli arkeologi

kondang yang spesialis Jaman Pra Sejarah. Kami mendapat dukungan dan banyak masukan berharga dari Pak Agus dan Pak Ali ini. Sambutannya hadirin

luarbiasa. Di akhir presentasi Dekan Fak Kebudayaan UI menyatakan

kegembiraannya bahwa katanya penemuan-penemuan ini,khususnya di Gunung

Padang, adalah sangat fenomenal. Diharapkan hal ini akan menjadi pemicu

untuk studi-studi baru menguak masa silam Indonesia. Beliau juga secara

spontan mengatakan idenya untuk mengembangkan Program Pasca dan Lab

Arkeologi dengan tambahan metoda Arkeo-geologi seperti yang diterapkan oleh


tim Katastropik. Rencana Pak Dekan ini langsung mendapat sambutan positif

dari Pak Gumilar, Rektor UI, yang juga hadir mengikuti seminar dengan

antusias. Pak Oppenheimer yang diminta komentarnya oleh moderator

menyatakan kagum dan sangat menikmati presentasi hasil penelitian Gunung

Padang. Beliau bilang: ” I am really impressed that you have done all the

geological-geophysical surveys so thouroughly and carefully with an amazing

result. I would love to hear the next progress In my next visit to

Indonesia, I would certainly will come to visit Gunung Padang.” Cerminan


kerendahan hati seorang ilmuwan, setelah sebelumnya di Jakarta beliau

menyatakan “skeptical” tentang penemuan ini kalau belum melihat data dan

analisanya.


Wassalam.

Danny Hilman Natawidjaja


—-Original Message—–

From: koesoema@melsa.net.id [mailto:koesoema@melsa.net.id]


Sent: Tuesday, February 07, 2012 6:31 PM

To: iagi-net@iagi.or.id

Subject: Re: [iagi-net-l] KUNJUNGAN STEPHEN OPPENHEIMER KE PR5ESIDEN SBY


Kelihatannya dibahas juga Sadahurip di Sarasehan Peradaban dan Katastrofik

Purba Selasa ini, entah seru entah tidak, tetapi usul saya di milist ini

beberapa waktu yg lalu utk dibor saja (mungkin juga usul pemboran itu sdh

ada yg mengusulkan terlebih dulu) kelihatannya diterima, cuman terlalu

banyak sampai 4, padahal 1 saja cukup. Namun jika piramid (maaf), bangunan


tua itu tdk diketemukan, core samplesnya tetap bermanfaat dapat dianalisa

petrografi dan petrokimia, isotope dsb digunakan disertasi doktor mengenai

bagaimana terjadinya bentuk2 volkanik seperti kerucut piramid ini. The 150

million rupiah doktor!

Namun saya masih penasaran sebetulnya bagaimana gambaran penampang

geolistrik secara detail sehingga ditafsirkan adanya piramid (uup’s)

bangunan di dalamnya serta dihubungkan dg katastropik purba? Di Blog yg

dirujuk mengenai hal ini gambarnya sangat kecil dan tidak jelas. RPK

Danny Hilman Natawidjaja

No comments: