LINTASAN SEJARAH ISLAM (3): ISLAM DAN KEBUDAYAAN

Sebelum membahas lebih jauh keadaan bangsa Arab menjelang dan sesudah lahirnya agama Islam, ada baiknya kami jelaskan lebih dahulu pokok-pokok dan dasar-dasar ajaran Islam yang memberikan daya hidup bagi perkembangan kebudayaan bangsa-bangsa dan etnk-etnik yang menerima ajaran agama ini sebagai pelita hidupnya.


Orang Islam percaya bahwa agama yang diridhai Allah s.w.t. ialah Islam (Q 3:19).


Dalam al-Qur’an, yang merupakan kitab suci orang Islam, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Islam sebagai agama ialah semua risalah keyakinan yang diwahyukan oleh Allah s.w.t. kepada rasul-rasul-Nya seperti Nabi Adam a.s., Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s., Daud a.s., Isa Almasih dan Nabi Muhammad s.a.w. Tiang utama ajaran Islam ialah iman dan amal saleh. Iman menunjuk kepada kepersayaan dan kesaksian bahwa Tuhan itu Esa, yaitu Allah dan Dia itu Maha Besar, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Penyayang (al-rahman dan al-rahim), tempat berlindung terakhir seluruh umat manusia, yang meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan kasih sayang-Nya.



Syekh Mahmoud Syaltout memberi takrif kepada Islam sebagai sistem aqidah dan syariah, yang pada hakikatnya sama dengan iman dan amal saleh. Iman atau aqidah ibarat jiwa dan amal saleh atau syariah ibarat badan jasmani. Sedangkan Tauhid, kesaksian bahwa Tuhan itu Esa, ibarat ruhnya yang bersemayam dalam pusat jiwa. Iman atau aqidah tidak berubah, sedangkan amal saleh dan syariatnya berubah dari rasul yang satu kepada rasul yang lain. Namun dengan datangnya rasul terakhir, Nabi Muhammad s.a.w. asas-asas dan bangunan syariah Islam tidak berubah lagi oleh karena, dalam keyakinan orang Islam, tidak ada lagi rasul yang menerima wahyu dari Allah. Yang ada adalah para wali dan ulama yang merupakan juru tafsir ajaran Rasulullah. Di bawah juru tafsir inilah terjadi pengembangan, perluasan dan perpanjangan lebih jauh asas-asas syariah dan keimanan Islam, serta penerapannya dalam berbagai lapangan kehidupan dalam periode-periode sejarah dan tempat yang berbeda-beda.


Dalam kebudayaannya orang Islam mengembangkan pandangan hidup, sistem nilai, gambaran dunia (weltanschauung), sistem ilmu, pemikiran falsafah, cita rasa seni, pola pikir, gaya hidup dan lain sebagainya melalui sarana-sarana tertentu yang dapat dijadikan saluran untuk mengekspresikan dirinya dan mewujudkan pandangan dan cita-cita hidupnya. Ali Hasymi mentakrif kebudayaan Islam sebagai penjelmaan ilam dan samal saleh dari seorang Muslim. Kebudayaan Islam juga dapat dinyatakan sebagai manifestasi keimanan dan kebaktian penganut Islam kepada Tuhannya.


H.R. Gibb mengakui bahwa Islam lebih dari sekadar sistem kepercayaan agama, tetapi juga sebuah peradaban dan kebudayaan. Kebudayaan Islam memiliki penjelmaan yang aneka ragam, tetapi dipertalikan oleh iman atau aqidah yang sama. Ismail Faruqi `berpendapat bahwa kebudayaan Islam ialah segala sesuatu yang merupakan hasil budi nurani orang Islam yang mendasarkan amal ibadah dan segala perbuatannya pada ajaran tauhid. Dengan kata lain, kebudayaan Islam merupakan ungkapan tauhid dan tauhid adalah asas utama ajaran Islam.


Sebagai asas utama ajaran Islam, tauhid pertama-tama adalah ‘cara melihat hakikat dan tatanan kenyataan’; kedua, metode atau kaidah untuk mencapai kebenaran. Sebagai cara melihat hakikat dan tatanan kenyataan dalam kehidupan, tauhid mengandung prinsip-prinsip seperti: (1) Pandangan serba dua tentang kenyataan atau dualisme. Di dunia ini hanya ada dua kenyataan, yaitu Tuhan dan selain Tuhan; (2) Kecitaan atau idealitas, yang dibangun berdasarkan kemampuan rasional, makrifat, imaginasi kreatif dan intuisi (kasyf); (3) Teleologi. Segala sesuatu dicipta untuk tujuan ilahiah dan moral tertentu oleh Sang Pencipta; (4) Taklif atau kewajiban moral. Karena segala sesuatu dicipta berdasarkan tujuan tertentu maka mesti ada kewajiban moral untuk melaksanakannya dalam ibadah dan amal saleh atau perbuatan. Manusia mesti melakukan sesuatu dalam sejarah, mesti membentuk diri dan masyarakat berdasarkan cita-cita dan sistem nilai yang diyakininya; (5) Tanggungjawab. Segala perbuatan manusia mesti didasarkan atas tanggungjawab manusia selaku khalifah-Nya di atas bumi dan hamba-Nya.


Sebagai kaidah untuk mencapai kebenaran, tauhid mengandung hal-hal seperti: (1) Pemersatu semua bentuk kebudayaan dan aktivitas manusia; (2) Toleransi untuk mencegah kejumudan, kemandegan dan kemandulan dalam pemikiran; (3) Petunjuk tentang pentingnya akal budi dan budi nurani dalam memperoleh kebenaran. Adapun kandungan tauhid sebagai kaidah mencapai kebenaran mencakup aspek-aspek seperti berikut: (1) Metafisika, pandangan tentang tatanan wujud; (2) Epistemologi, pedoman memperoleh pengetahuan, yaitu melalui jalan akal, melalui sarana makrifat dan intuisi, dibantu imaginasi kreatif dan persepsi indera. Pengalaman sejarah juga memberikan pengetahuan yang tidak terkira banyaknya bagi manusia; (3) Etika, semua perbuatan manusia harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan, hati nurani dan masyarakat. Etika Islam juga menentapkan bahwa hukum positif mesti dibangun berdasarkan asas-asas moral, bukan sebaliknya; (4) Sosiologi, tauhid merupakan perekat kesatuan pandangan umat dan anggota masyarakat; (5) Estetika. Tuhan adalah maha Indah dan mencintai keindahan.


Dari asas-asas tauhid inilah kebudayaan Islam tumbuh. Falsafah, ilmu-ilmu agama, pengatahuan alam, sosial dan kebudayaan, seni dan sastra, etika dan sistem peribadatan, semua bersumber dari tauhid dalam hal asas-asasnya. Pengaruh faktor-faktor politik dan ekonomi, serta interaksi dengan kebudayaan-kebudayaan pernah berkembang sebelum agama Islam datang, juga tidak kecil peranannya dalam ikut membentuk dan memberi corak kebudayaan orang-orang Islam. Dalam al-Qur’an sendiri terdapat banyak ayat yang menjelaskan betapa perlunya orang Islam mengembangkan kebudayaan sendiri. Misalnya Surat al-Tin (Q 95:4-6); Surat al-Duriyat (Q 51:56); Surat al-Ikhlas; Surat al-Nur (Q 24:55); Surat Ibrahim (Q 14:32-34); Surat Luqman (Q 31:20); Surat al-`Alaq (Q 96:1-4); Syrat al-Baqarah (Q 2:2-3) dan lain-lain.



Dalam bukunya al-Muqadimah Ibn Khaldun (abad ke-15 M) mengatakan bahwa kebudayaan (al-tsaqafah) adalah kondisi-kondisi kehidupan yang melebihi dari apa yang diperlukan. Kelebihan-kelebihan tersebut berbeda-beda sesuai tingkat kesejahteraan yang didapatkan masyarakat. Menurut sejarawan dan sosiolog Muslim terkemuka ini, kehidupan yang maju dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, tidak mungkin berkembang di pedesaan. Kebudayaan hanya bisa berkembang di kota. Agar kebudayaan maju, maka harus ada negara atau kerajaan yang aktif mengembangkan kondisi kehidupan yang memungkinkan kebudayaan berkembang.


Karena sejak awal sejarahnya orang-orang Islam berhasil mendirikan negara atau kekhalifatan, maka kebudayaan Islam dengan sendirinya berkembang.


Madzab Jerman mengartikan kebudayaan sebagai bentuk-bentuk atau ekspresi dari kehidupan batin masyarakat/bangsa. Peradaban adalah perwujudan jasmaninya. Bangunan yang indah sebagai karya arsitektur mengandung dua dimensi: dimensi kebudayaan yaitu seni dan falsafah yang melandasi pembangunannya; dimensi peradaban, yaitu penggunaan material dan penggarapannya dengan tehnologi tertentu. Kebudayaan ialah apa yang kita dambakan dan peradaban ialah apa yang kita pergunakan. Kebudayaan tercermin dalam seni, bahasa, sastra, aliran pemikiran falsafah dan agama, bentuk-bentuk spiritualitas dan moral, falsafah hidup, pemikiran ilmiah dan teori-teori ilmu pengetahuan. Peradaban tercermin dalam politik praktis, ekonomi, teknologi, ilmu terapan, sopan santun pergaula, undang-undang dan hukum.


Bertolak dari pengertian-pengertian yang telah dikemukakan, `Effat al-Syarqawi mengartikan kebudayaan sebagai “Khazanah sejarah suatu bangsa yang tercermin dalam pengakuan terhadap tujuan ideal dan makna ruhaniah kehidupan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan semua itu. Peradadan ialah khazanah pengetahuan terapan yang dimaksudkan untuk mengagkat dan meninggikan manusia agar tidak menyerah terhadap kondisi-kondisi fisik dan material di sekitarnya.” “Kebudayaan ialah struktur intuitif yang mengandung nilai-nilai ruhaniah tertinggi, yang menggerakkan jiwa suatu bangsa melalui falsafah hidup, wawasan moral, citarasa estetis, cara berpikir, gambaran dunia (weltanschauung) dn sistem nilai-nilainya”


A. Fizee dalam bukunya Kebudayaan Islam (1982) memberi batasan pengertian dan cakupan kebudayaan sebagai berikut: (1) Kebudayaan dapat berarti tingkat kecerdasan akal yang setinggi-tingginya yang dihasilkan dalam periode-periode sejarah tertentu suatu bangsa, terutama dalam puncak-puncak perkembangannya; (2) Kebudayaan dapat juga berarti hasil yang diapai suatu bangsa/kaum dalam lapangan sastra, falsafah, ilmu pengetahuan dan seni; (3) Dalam pembicaraan politik, kebudayaan diberi arti sebagai ‘Way of Life’ suatu bangsa, terutama dalam hubungannya dengan adat istiadat, ibadah keagamaan, penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup masyarakat.






Prof. Dr. Abdul Hadi W. M.

No comments: