Harmoni Kehidupan Cina di Kota Gudeg
Sejarah
Warga keturunan Tionghoa adalah salah satu contohnya. Mereka merasa sangat nyaman tinggal di Yogyakarta. Banyak dari mereka merasa bahwa Yogyakarta ini berbeda dengan kota lain. Kehidupan warga Tionghoa di Yogyakarta tak lepas dari sejarah Yogyakarta. Pada jaman Oei Tek Biauw yang kemudian dikenal sebagai Kyai Tumenggung Reksonegoro. Ia adalah salah satu Bupati di Semarang, kemudian pindah ke Yogyakarta atas permintaan Sultan HB I. Selain itu Kyai Reksonegoro juga menjadi penasehat sultan dalam bidang kerohaniaan, termasuk mengurusi dan memimpin perayaan adat atau agama seperti Grebeg.
Konon, karena saking harmonisnya hubungan rakyat Yogyakarta dengan warga keturunan Cina dimonumenkan ke dalam sebuah prasasti yang diberi nama Prasasti Kinanti. Prasasti yang terletak di dalam kompleks Kraton Yogyakarta ini awalnya disiapkan sebagai penghargaan atas penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di prasasti itu terukir rangkaian huruf Jawa dan Cina yang terdiri dari lima bait, mulai dari gambaran sebuah kraton yang sejahtera, dipimpin oleh sang raja bijaksana, dan siapapun yang tinggal diwilayahnya pasti tentram dan harmonis, termasuk warga tionghoa sendiri dan ucapan terimakasih.
Kesetaraan hidup
Iwan Yulius, warga keturunan Tionghoa yang juga pemilik klinik perbaikan gigi di Jalan Suryatmajan misalnya, ia mengaku bahwa di Yogyakarta ini hampir tak ada diskriminasi dan pelecehan. Bercanda, saling mengejek dan saling gotong royong sudah menjadi kebiasaan sehari-hari sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu di lingkungan rumahnya. Namun, hal itu justru menjadi bumbu keakraban antar etnis cina dan warga pribumi. Tak seperti kota lain yang bahkan pernah ada gerakan anti Cina hingga terjadi kerusuhan.
Walau di tempat ia tinggal di daerah Purwomartani, Sleman orang Cina Cuma sedikit, namun setiap ada kegiatan di lingkungan kampung mereka selalu dilibatkan. “pokok e aku ki mesti dadi seksi gedung, ngurusi tempat sing meh nggo acara, soale ra ono sing ngganteni aku”, katanya dengan bahasa Jawa sambil bercanda yang artinya, pokoknya, saya selalu menjadi seksi gedung, orang yang mengurus tempat yang akan dipakai untuk acara, karena tak ada yang bisa menggantikannya. Di sekolah tempat anaknya mengenyam pendidikan pun tak pernah ada diskriminasi, semua siswa mendapatkan hak yang sama.
Menurut Iwan, feodalisme yang ada di Yogyakarta tak seperti yang ada di film maupun yang tertulis di banyak tulisan. “Saya hidup dengan rektor, mantan rektor perguruan tinggi ternama di Yogyakarta. Mereka bisa memerintah dengan leluasa di kantornya, tapi begitu berbaur di lingkungan sekitar, tak ada jabatan, tak ada perbedaan. Ronda bareng, seperti kanca nekeran gitu lah” Akunya. Sambil mengenang masa lalu, Ia meceritakan tentang Sultan HB IX, “dulu, dari Bantul ke kota butuh waktu perjalanan kurang lebih 3 jam, padahal sekarang Cuma 15 menit. Nah, waktu itu Ngarsa Dalem (sebutan untuk sultan) sering mruput naik mobil menuju ke daerah terpencil dan tau-tau beliau ditumpangi seseorang yang sadar bahwa yang ditumpanginya adalah rajanya sendiri. Sudah terbayang bukan, bagaimana sang raja mau untuk membaur dengan rakyatnya. Semua itu setara, itu yang membuat Yogyakarta ini nyaman.”
PecinanKalau di Negara-negara lain seperti Amerika dan Malaysia punya China Town, di Indonesia punya pecinan. Di Kota Gudeg ini, pecinan dulunya ada di kawasan Malioboro. Menurut Sunyoto Usman dalam bukunya berjudul Malioboro, Jika dirunut dari sejarahnya, pada awalnya Malioboro memang dibangun perlahan sebagai pusat kegiatan ekonomi. Cikal bakalnya dari kawasan Pecinan di kawasan ini, yang muncul sejak Sultan mengangkat kapiten seorang Cina, Tan Jin Sing, pada tahun 1755. Nama Jawanya, Setjodingrat dan bergelar KRT (Kanjeng Raden Tumenggung), menjabat bupati dan tinggal di ndalem Setjodingratan (kini terletak di sebelah timur Kantor Pos Besar). Sejak sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah selatan dikenal sebagai pemukiman Pecinan, yang ditandai dengan rumah-rumah toko yang menjual barang-barang kelontong, emas dan pakaian.
Kini, semakin bertambahnya penduduk, pecinan tak lagi terpusat pada satu tempat saja yaitu Malioboro, namun kaum Tionghoa di Yogyakarta menempati wilayah sekitar malioboro seperti Ketandan, Beskalan, Pajeksan, sebagai tempat tinggal. Jika di kota-kota lain, tanah pecinan adalah milik prbadi, berbeda di Yogyakarta. Dari sekian luas pecinan itu, ternyata sebagian besar adalah merupakan Sultan Ground atau tanah milik Kasultanan Yogyakarta yang dipakai untuk tempat tinggal rakyatnya. Bukti toleransi sebuah kota untuk setiap warganya. Lahan ini, dibebaskan untuk ditempati demi terwujudnya harmoni dan memperkaya kehidupan di Yogyakarta. Kini Malioboro telah menjadi jantung untuk berdinamika bagi siapa pun di kota budaya sejati ini. Budi Susanto dalam bukunya berjudul Identitas dan Postkolonialitas di Indonesia berpendapat, dari segi kebudayaannya, masyarakat Tionghoa di Yogyakarta tidak terikat secara ketat ada suatu adat istiadat maupun rasa identitas bersama, mereka memiliki orientasi kultural yang beragam. Tak hanya terbatas pada penampilan fisik, seperti kulit kuning langsat atau mata sipit. Secara kultural ke-tionghoa-annya mereka boleh dikatakan telah melebur dengan budaya setempat, kecuali dua buah klenteng dan rumah makan Tio Ciu yang merupakan sisa-sisa identitas lama. Demikian pula dengan bahasa sehari-hari, mereka lebih menggunakan bahasa Jawa ngoko terkadang bercampur krama dan bahasa Indonesia.
Inunk Nastiti
No comments:
Post a Comment