Kartini ; Pendidikan dan Peradaban*
… Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukan, bukan karena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar, yang baik atau buruk akan berakibat besar bagi kehidupan: bahwa dialah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia…
Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima belajar merasa, berfikir, dan berkata-kata… Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan? (Surat kepada Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, 2 November 1900, dalam Sulastin, 19777:76).
Tergambar jelas dari pesan yang ingin disampaikan oleh seorang Kartini tentang hubungan perempuan, pendidikan, dan peradaban. Seorang tokoh perempuan Indonesia yang mendobrak kebiasaan Jawa yang cenderung mengkerdilkan Perempuan.
Kartini, seorang putri Bupati Jepara Raden Mas Adipati Aria Sosroningrat. Gadis bangsawan yang lahir di Mayong pada tanggal 21 April 1879, sejak berusia 12 tahun harus mengikuti salah satu tradisi Jawa waktu itu, dipingit hingga kelak dipersunting oleh sesama bangsawan untuk dijadikan Raden Ayu.
Hasrat untuk melanjutkan sekolah ke HBS (Hogere Burgerschool) setelah kelas 6 di ELS Jepara akhirnya dikubur oleh Kartini, sebabnya tentu saja karena tradisi Jawa yang sangat kuat melekat pada keluarganya. Seorang gadis Jawa waktu itu tidak diperkenankan menikmati beragam kebebasan seperti anak laki-laki.
Awal ‘pembangkangan’ terhadap tradisi tersebut ketika ia menolak dijadikan R.A. dimasa-masa Kartini menjalani pingitan. Kami mengira, semangat perlawanan itu juga Kartini dapatkan sejak ia dipingit. Ayahnya Bupati Sosroningrat dan Sosrokartono, setiap minggu mendatangkan leestrommel atau kotak bacaan untuk menghibur Kartini.
Selain kemampuan bahasa Belandanya semakin terasah, aktivitas membaca juga membuat wawasannya semakin luas. Ini tergambar dari surat dan nota-nota yang ditulis Kartini, berkarakter dan kaya akan makna. Tentu tak sekedar itu saja, keberanian untuk keluar dari pola pikir kebanyakan orang Jawa waktu itu juga diraihnya dengan aktivitas intelektual tersebut.
Kartini yang dipengaruhi pandangan Liberalisme dan Feminisme Barat lewat buku-buku bacaannya, menyatakan bermusuhan terhadap praktek poligami. Bagaimana tidak, tradisi Jawa mengkonstruk budaya patriarki berlebihan, yang meletakkan figur Bapak sebagai pusat sistem kekerabatan. Kalangan wanita bangsawanpun menerimanya sebagai bentuk kewajaran, karena sejak kecil di’paksa’ untuk mengendalikan diri, nrimo, dan pasrah.
Kartini terus-terusan berupaya memerdekakan dirinya dari tradisi yang membelunggu. Tradisi dianggapnya hanya buatan manusia. Sebagaimana ciptaan manusia, Kartini dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, mengatakan “Bukankah “baik” atau “buruk” ditentukan oleh kata hati pribadi sendiri”
Tampak jelas dari beberapa isi suratnya, Kartini mengkritik sistem kolonial yang menindas dan eksploitatif. Sistem kolonial dianggap cikal bakal terpasungnya kebebasan perempuan serta menekan rakyat, juga sistem kekeluargaan bangsawan Jawa yang formal dan mental individualistis.
Perempuan, pendidikan, dan peradaban
Dari aktivitas membaca, menulis, dan berdiskusi, Kartini dalam suratnya di atas menganggap perempuan, pendidikan, dan peradaban sangat relevan. Ketiganya bertautan saling melengkapi. Perempuan menurut Kartini adalah tempat awal untuk memulai pendidikan oleh anak-anak atau generasi-generasi baru. Mustahil perempuan mendidik tanpa pengetahuan.
Konstruk pembodohan terhadap perempuan yang dilakoni Pemerintah Otonomi Hindia-Belanda dengan tatakrama feodalisme Jawa yang memposisikan perempuan sebagai makhluk yang pasrah dan nrimo. Pengetahuan atau pendidikan yang diberikan terbatas pada pemeliharaan aset yang harus ditingkatkan kualitasnya sebagai obyek pemuas kebutuhan biologis dan sarana prokreasi.
Dalam notanya, Kartini berpendapat ada dua elemen penting masyarakat yang harus dicerdaskan terlebih dahulu, yaitu kaum bangsawan, yang akan membawa rakyat pada kemajuan, dan perempuan bangsawan, yang akan mendidik pula anak perempuannya menjadi pendidik yang baik serta menjadikan anak laki-lakinya pemimpin masyarakat yang handal.
Dari bangunan pendidikan yang dilakoni oleh perempuan terdidik, tentu akan melahirkan generasi-generasi yang beradab sebagai cikal bakal lahirnya peradaban. Kartini menyadari betul ketiganya merupakan sebuah kesatuan.
Dengan pendidikan, ekspektasi Kartini yang menghendaki perempuan yang berani hidup, dapat berkehendak, bermanfaat untuk masyarakat, dan tidak mementingkan diri sendiri, tidak sulit untuk terwujud. Sebagaimana dirinya yang sangat tekun belajar.
Perawatan manusia sejak janin hingga berakal, sangat ditentukan oleh kualitas mendidik ibunya. Benih manusia yang dirawat dengan baik, akan tumbuh dan berkembang juga dengan baik, begitupun sebaliknya. Kemuliaan akan sangat mudah diraih dengan budi pekerti yang sudah disemai sejak dini.
Dalam satu suratnya Kartini menulis, “Banyak pengetahuan bukan ijazah tanda mulia budi pekerti, jiwa dididik dalam pergaulan di rumah, anak bukan untuk dirinya melainkan untuk masyarakat.” (surat kepada Prof.Dr.Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902). Dari untaian kata ini, Kartini berpendapat bahwa peradaban harus diserahkan pada perempuan.
Semangat emansipasinya terhadap setiap orang Jawa terkhusus perempuan terus dikampanyekan dari setiap perilakunya. Jiwa yang terkungkung dalam gelapnya tradisi, terus-terusan dinyalakan dengan pengetahuan lewat pendidikan. Tentunya pendidikan yang berorientasi pada nalar dan akhlak.
Feminisme Kartini yang dibungkus dengan spirit lokal Jawa, ditujukan untuk menuntut kemitraan antara wanita dan lelaki, bukan persamaan dalam bertindak-tanduk, berperilaku, dan berkegiatan sosial yang mengandalkan kekuatan fisik. Feminisme Kartini, dengan demikian, adalah relasi sosial yang merdeka dan memerdekakan laki-laki dan perempuan. Kemerdekaan yang kemudian memunculkan kemitraan.
*Resensi Siswa Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa
M. Arief R H
Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima belajar merasa, berfikir, dan berkata-kata… Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputra dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan? (Surat kepada Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, 2 November 1900, dalam Sulastin, 19777:76).
Tergambar jelas dari pesan yang ingin disampaikan oleh seorang Kartini tentang hubungan perempuan, pendidikan, dan peradaban. Seorang tokoh perempuan Indonesia yang mendobrak kebiasaan Jawa yang cenderung mengkerdilkan Perempuan.
Kartini, seorang putri Bupati Jepara Raden Mas Adipati Aria Sosroningrat. Gadis bangsawan yang lahir di Mayong pada tanggal 21 April 1879, sejak berusia 12 tahun harus mengikuti salah satu tradisi Jawa waktu itu, dipingit hingga kelak dipersunting oleh sesama bangsawan untuk dijadikan Raden Ayu.
Hasrat untuk melanjutkan sekolah ke HBS (Hogere Burgerschool) setelah kelas 6 di ELS Jepara akhirnya dikubur oleh Kartini, sebabnya tentu saja karena tradisi Jawa yang sangat kuat melekat pada keluarganya. Seorang gadis Jawa waktu itu tidak diperkenankan menikmati beragam kebebasan seperti anak laki-laki.
Awal ‘pembangkangan’ terhadap tradisi tersebut ketika ia menolak dijadikan R.A. dimasa-masa Kartini menjalani pingitan. Kami mengira, semangat perlawanan itu juga Kartini dapatkan sejak ia dipingit. Ayahnya Bupati Sosroningrat dan Sosrokartono, setiap minggu mendatangkan leestrommel atau kotak bacaan untuk menghibur Kartini.
Selain kemampuan bahasa Belandanya semakin terasah, aktivitas membaca juga membuat wawasannya semakin luas. Ini tergambar dari surat dan nota-nota yang ditulis Kartini, berkarakter dan kaya akan makna. Tentu tak sekedar itu saja, keberanian untuk keluar dari pola pikir kebanyakan orang Jawa waktu itu juga diraihnya dengan aktivitas intelektual tersebut.
Kartini yang dipengaruhi pandangan Liberalisme dan Feminisme Barat lewat buku-buku bacaannya, menyatakan bermusuhan terhadap praktek poligami. Bagaimana tidak, tradisi Jawa mengkonstruk budaya patriarki berlebihan, yang meletakkan figur Bapak sebagai pusat sistem kekerabatan. Kalangan wanita bangsawanpun menerimanya sebagai bentuk kewajaran, karena sejak kecil di’paksa’ untuk mengendalikan diri, nrimo, dan pasrah.
Kartini terus-terusan berupaya memerdekakan dirinya dari tradisi yang membelunggu. Tradisi dianggapnya hanya buatan manusia. Sebagaimana ciptaan manusia, Kartini dalam buku Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, mengatakan “Bukankah “baik” atau “buruk” ditentukan oleh kata hati pribadi sendiri”
Tampak jelas dari beberapa isi suratnya, Kartini mengkritik sistem kolonial yang menindas dan eksploitatif. Sistem kolonial dianggap cikal bakal terpasungnya kebebasan perempuan serta menekan rakyat, juga sistem kekeluargaan bangsawan Jawa yang formal dan mental individualistis.
Perempuan, pendidikan, dan peradaban
Dari aktivitas membaca, menulis, dan berdiskusi, Kartini dalam suratnya di atas menganggap perempuan, pendidikan, dan peradaban sangat relevan. Ketiganya bertautan saling melengkapi. Perempuan menurut Kartini adalah tempat awal untuk memulai pendidikan oleh anak-anak atau generasi-generasi baru. Mustahil perempuan mendidik tanpa pengetahuan.
Konstruk pembodohan terhadap perempuan yang dilakoni Pemerintah Otonomi Hindia-Belanda dengan tatakrama feodalisme Jawa yang memposisikan perempuan sebagai makhluk yang pasrah dan nrimo. Pengetahuan atau pendidikan yang diberikan terbatas pada pemeliharaan aset yang harus ditingkatkan kualitasnya sebagai obyek pemuas kebutuhan biologis dan sarana prokreasi.
Dalam notanya, Kartini berpendapat ada dua elemen penting masyarakat yang harus dicerdaskan terlebih dahulu, yaitu kaum bangsawan, yang akan membawa rakyat pada kemajuan, dan perempuan bangsawan, yang akan mendidik pula anak perempuannya menjadi pendidik yang baik serta menjadikan anak laki-lakinya pemimpin masyarakat yang handal.
Dari bangunan pendidikan yang dilakoni oleh perempuan terdidik, tentu akan melahirkan generasi-generasi yang beradab sebagai cikal bakal lahirnya peradaban. Kartini menyadari betul ketiganya merupakan sebuah kesatuan.
Dengan pendidikan, ekspektasi Kartini yang menghendaki perempuan yang berani hidup, dapat berkehendak, bermanfaat untuk masyarakat, dan tidak mementingkan diri sendiri, tidak sulit untuk terwujud. Sebagaimana dirinya yang sangat tekun belajar.
Perawatan manusia sejak janin hingga berakal, sangat ditentukan oleh kualitas mendidik ibunya. Benih manusia yang dirawat dengan baik, akan tumbuh dan berkembang juga dengan baik, begitupun sebaliknya. Kemuliaan akan sangat mudah diraih dengan budi pekerti yang sudah disemai sejak dini.
Dalam satu suratnya Kartini menulis, “Banyak pengetahuan bukan ijazah tanda mulia budi pekerti, jiwa dididik dalam pergaulan di rumah, anak bukan untuk dirinya melainkan untuk masyarakat.” (surat kepada Prof.Dr.Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902). Dari untaian kata ini, Kartini berpendapat bahwa peradaban harus diserahkan pada perempuan.
Semangat emansipasinya terhadap setiap orang Jawa terkhusus perempuan terus dikampanyekan dari setiap perilakunya. Jiwa yang terkungkung dalam gelapnya tradisi, terus-terusan dinyalakan dengan pengetahuan lewat pendidikan. Tentunya pendidikan yang berorientasi pada nalar dan akhlak.
Feminisme Kartini yang dibungkus dengan spirit lokal Jawa, ditujukan untuk menuntut kemitraan antara wanita dan lelaki, bukan persamaan dalam bertindak-tanduk, berperilaku, dan berkegiatan sosial yang mengandalkan kekuatan fisik. Feminisme Kartini, dengan demikian, adalah relasi sosial yang merdeka dan memerdekakan laki-laki dan perempuan. Kemerdekaan yang kemudian memunculkan kemitraan.
*Resensi Siswa Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa
M. Arief R H
No comments:
Post a Comment