LINTASAN SEJARAH ISLAM (15) Sastra Arab Pada Zaman Permulaan Islam
Sastra Arab Pada Zaman Permulaan Islam
Penerimaan terhadap agama Islam di kalangan bangsa Arab pada mulanya memang tidak banyak membawa perubahan terhadap perkembangan sastra Arab, juga tidak banyak memberi perubahan terhadap sifat-sifat, watak dan tabiat bangsa Arab. Lagi pula pada masa awal sejarah Islam, kesusastraan berkembang agak lambat. Hal ini disebabkan banyaknya peperangan yang dihadapi kaum Muslimin yang begitu menguras tenaga. Pada awal abad ke-7 M, setelah Rasulullah wafat dan kepemimpinannya diganti oleh khalifah yang empat, satu-satunya bentuk kegiatan penulisan yang berkembang ialah penyusunan dan penulisan mushaf al-Qur’an.
Kendati demikian sebenarnya pada masa ini telah muncul beberapa penyair yang kreatif. Di antaranya ialah penyair-penyair yang disebut golongan mukhdramain, artinya penyair yang hidup dalam dua zaman, zaman Jahiliyah dan zaman Islam. Di antara mereka telah terdapat penyair yang dipengaruhi ajaran dan sejarah perkembangan Islam. Syair-syair tersebut kebanyakannya merupakan rekaman sejarah awal Islam, khususnya perjuangan Nabi Muhammad dan Sahabat. Walaupun sikap hidup mereka secara umum tidak berubah setelah memeluk Islam, namun karangan mereka cukup penting karena nilai sejarahnya. Di antara mereka terdapat orang yang dekat dengan Rasulullah seperti Hasan bin Tsabit, Ka`aab bin Zubair, Ka`ab bin Malik dan Labid bin Rabi`ah. Hasan bin Tsabit misalnya sering mendampingi Nabi dan tampil dalam perdebatan dengan para penyair yang gemar merendahkan dan mengejek Islam. Bersama-sama Labid bin Rabi`ah, Hasan bin Tsabit dianggap sebagai perintis sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad.
Perubahan besar terjadi setelah munculnya penulisan mushaf al-Qur’an, yaitu pada masa khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pengaruh langsung tampak pada berkembangnya kajian terhadap teks kitab suci, terutama dari segi bahasa dan sastra. Semenjak itu orang Arab juga mulai giat mengumpulkan puisi lama dan cerita lisan warisan nenekmoyang mereka. Gaya bahasa dan puitika al-Qur’an kemudian semakin menarik perhatian penyair yang pada gilirannya kelak mempengaruhi corak penulisan dan pola bercerita.
Prosa dan Puisi
Dalam tradisi Arab, puisi disebut manzun, yaitu komposisi (nazm) yang bahasanya terikat pada pola rima dan sajak. Prosa disebut mantsur, yaitu gubahan yang bahasanya longgar, tidak terikat pada pola rima dan aturan persajakan tertentu. Dari segi tema, amanat dan coraknya sastra Arab baru ini pun berbeda dari sastra Arab lama. Pada masa ini para sastrawan mulai mengaitkan sastra dengan adab, bahkan menyebut sastra sebagai adab, yaitu sikap dan perbuatan yang didasarkan pada akhlaq dan sopan santun. Adab juga dihubungkan dengan tingginya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dicapai oleh seorang penulis, serta kedewasaan dan kematangan pandangan hidup mereka. Berdasar pandangan ini maka sastra tidak hanya berisi ungkapan perasaan dan pengalaman hidup biasa sebagaimana kerap diartikan orang, begitu pula sekarang ini. Sastra lebih dari itu. Ia juga merupakan karangan yang menyajikan kearifan dan gagasan-gagasan penting kehidupan termasuk moral, al-hikmah dan spiritualitas.
Perubahan itu juga tampak dalam bahasa yang digunakan. Kaya-karya baru yang dihasilkan oleh penulis Muslim ini lebih halus, sedangkan isinya lebih universal. Puisi karya penyair zaman pra-Islam biasanya kasar dan nadanya sombong. Isinya pun tidak mendalam, sering hanya berkaitan dengan masalah-masalah sensual. Bahkan terdapat syair-syair zaman pra-Islam yang ditulis untuk mengejek kabilah musuh. Biasanya sajak-sajak seperti itu bisa menyulut sengketa dan permusuhan antar kabilah. Beberapa syair sengaja ditulis untuk menghina kabilah musuh. Untuk keperluan itu maka setiap kabilah mesti memiliki penyair andalan, yang setiap diharapkan dapat menulis syair-syair berisi jawaban terhadap syair ejekan dari kabilah lain.
Pada masa sebelumnya prosa tidak berkembang, karena kecintaan pada puisi yang mendalam. Setelah Islam datang, lambat laun prosa mulai bertunas dan tumbuh subur. Tokoh yang dipandang penulis prosa terawal ialah Ali bin Abi Thalib (600-601 M). Dalam sejarah Ali bin Abi Thalib merupakan pemuda Arab pertama yang memeluk agama Islam. Dia adalah menantu Nabi dan terkenal sebagai orang yang berani membela Islam dan terpelajar pula. Ketika Rasulullah masih hidup, dia pernah diberi tugas menjadi pengumpul wahyu yang diterima Nabi. Ali bin Abi Thalib menguasai bahasa Arab dengan baiknya, khususnya dialek Hejaz yang dianggap sebagai dialek bahasa Arab yang terindah pada zaman itu. Karyanya yang masyhur sebagai prosa pertama bernilai sastra dalam bahasa Arab ialah Nahj al-Balaghah (Jalan Terang). Kitab ini merupakan kumpulan khotbah, peribahasa, kata-kata mutiara dan surat-suratnya.
Pada zaman Ali bin Abi Thalib muncul dua penyair wanita terkemuka, yaitu Tumadir bin Amr (lebih dikenal sebagai al-Khansa’) dan Layla al-Akhyali. Keduanya penulis nasarin, yaitu elegi atau sajak-sajak sedih. Kesedihan yang sering mengilhami syairnya biasanya ialah kematian orang yang dekat dengan penyair. Nasarin memang merupakan bentuk syair yang digemari oleh para penyair Arab. Banyaknya peperangan yang terjadi, mendorong lahirnya banyak syair seperti ini.
Jenis syair lain yang berkembang ialah syair-syair zuhudyah, yang kaitannya dengan ajaran Islam lebih jelas dibanding banyak jenis syair Arab yang lain. Syar-syair zuhudiyah ditulis oleh mereka yang menyukai tafakkur, ibadah dan amalan yang menjunjung tinggi akhla serta adab. Penyair-penyair zuhudiyah lebih suka memilih hidup dalam kesalehan dan tafakur sebagai bentuk kekecewaan meeka terhadap meluasnya gejala hidup serba mewah di lingkungan masyarakat Muslim. Di antara penyair zuhudiyah yang awal ialah Abul Aswab al-Du`ali (w. 681 M). Dia adalah seorang ulama besar, pakar Hadis dan hukum Islam. Dia juga orang pertama yang menciptakan tanda-tanda baca dan titik dalam al-Qur’an untuk membedakan harakatnya dan memudahkan pembacaannya. Syair-syairnya kebanyakan mengenai ketawakkalan dan kesalehan. Dia sering menyeru pembacanya agar supaya ingat mati dan akhirat. Ia juga menulis banyak hija’ (satire) dan madah, yaitu syair-syair berirama indah yang dibuat untuk dinyanyikan.
Pada akhir abad ke-7 M muncul pula penyair yang membawa pembaruan cukup berarti, yaitu Umar bin Abi Rabi`ah (643-712). Dia hidup pada zaman kejayaan Umayyah. Umar bin Abi Rabi`ah berasal dari kabilah Quraysh ban Makhzun. Ayahnya pernah diberi tugas oleh Nabi untuk menyebarkan agama Islam di Yaman. Menjelang akhir hayatnya dia banyak menulis syair-syair zuhudiyah. Gaya bahasanya sangat halus dan ekspresif.
Pada awal abad ke-8 M, sebuah tradisi baru muncul, yaitu penulisan syair-syair untuk dinyanyikan, tetapi berbeda dari madah. Jenis syair baru ini disebut al-sy`r al-ghina (syair pelipur lara). Yang digemari oleh para penulis syair al-ghina’ ialah tema-tema erotis dan sensual, serta mujun,yaitu tema-tema yang menyimpang dari ajaran agama dan moral. Pada masa ini pulalah mulai muncul penyair-penyair yang gemar mengembara untuk berdakwah dengan cara membacakan dan menyanyikan syair-syair mereka. Syair yang didakwahkan itu dinyanyikan sehingga menarik perhatian bagi pendengarnya.
Jenis syair lain yang juga digemari dan muncul pada zaman ini ialah al-ghazal al`uzri, yaitu sajak-sajak cinta muni. Penyair yang banyak melahirkan syair semacam ini ialah Qays alias Majnun bin Amir. Kisah cintanya yang mendalam kepada seorang gadis bernama Layla, menarik perhatian masyarakat Arab dan diabadikan dalam kisah yang sangat terkenal Layla wa Majnun. Tema ghazal a-uzri ialah cinta murni yang didasarkan atas ajaran Islam. Cinta seperti itu menuntut ketulusan, pengurbanan dan kesucian. Hija’ (sindiran) juga digemari. Melalui hija’ mereka melontarkan kritik atau kecaman terhadap ketimpangan yang berlaku dalam masyarakat, Misalnya ketidakadilan penguasa, penyelewengan dan korupsi yang dilakukan para pejabat, pemimpin agama dan politisi. Biasanya hija’ ditulis untuk mengecam orang-orang yang perilakunya menyimpang dari ajaran agama. Di antara penulis hija’ yang terkenal ialah Farazdaq (w. 728 M).
Sastra, Politik dan Kritik Sosial
Corak pemerintahan Daulah Umayyah berbeda dari corak pemerintahan Khalifah al-Rasyidin. Selama pemerintahan Khalifah al-Rasyidin – Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib – rakyat mendapat perhatian yang patut. Mereka juga menjalankan pemerintahan dengan adil dan berusaha menjauhkan diri dari korupsi. Para pemimpin nya pun hidup dalam kebersahajaan, tidak pernah memperlihatkan hasrat untuk hidup bergelimang kemewahan atau terbawa oleh arus materialisme yang melampaui batas. Selain itu mereka dikenal sebagai pejuang sejati dalam menegakkan ajaran Islam. Tentu saja tidak berarti tidak terdapat kekurangan selama pemerintahan keempat khalifah itu.
Pada zaman pemerintahan Daulah Umayyah yang berlaku kebanyakan adalah yang sebaliknya. Para pembesar rezim baru ini sedikit sekali yang dikenal sebagai pemimpin yang saleh dan benar-benar mengabdi pada kepentingan rakyat. Pada masa pemerintahan mereka banyak sekali terjadi korupsi, penyelewengan, ketidakadilan dan penyimpangan terhadap ajaran agama. Di lingkungan istana para bangsawan, harem dan pegawai-pegawai mereka hidup bergelimang kemewahan. Kebiasaan minum arak dan berbuat maksiat mulai merajalela. Selama pemerintahan Daulah Umayyah pula para pemimpin disibukkan oleh perluasan wilayah, sehingga peranan militer sangat dominan. Ketidakpuasan dan kekecewaan di kalangan masyarakat semakin berkembang dari waktu ke waktu. Selama pemerintahan mereka pula tidak sedikit tokoh politik,pemimpin agama dimasukkan ke dalam penjara dan mengalami penyiksaan yang berat.
Tidak mengherankan pula apabila banyak muncul gerakan politik yang menentang pemerintahan Daulah Umayyah. Golongan-golongan penentang rezim tersebut terpecah pula ke dalam berbagai kelompok. Yang terbesar di antaranya ialah golongan Khawarij, Syiah dan Zuhudiyah. Kelak muncul pula kelompok Abbasiyah. Selain munculnya serangkaian penentangan dan pembrontakan terhadap pemerintah yang berkuasa, juga terjadi banyak konflik sosial dan politik. Keadaan paling buruk terjadi pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz memegang tampuk pemerintahan.
Pada masa itu terdapat banyak pemimpin oposisi ditangkap dan disiksa. Karena banyak di antara tidak sanggup lagi melakukan perlawanan dan tidak sanggup pula mendukung sebuah rezim yang dhalim, maka lantas muncul sebuah golongan dalam masyarakat yang memilih hidup bebas, mengembara atau menulis buku dan mengembangkan kelompok sosial sendiri, lepas dari kelompok yang lain. Kelompok pemikir bebas ini menamakan diri sebagai Mu`tazila, yang para anggotanya terdiri dari sejumlah ilmuwan, pemikir, sarjana, cendekiawan, budayawan dan sastrawan. Mereka mengembangkan madzab sendiri dalam pemikiran keagamaan. Mereka menjunjung keutamaan akal budi dan pemikiran bebas, serta ikhtiar.
Golongan lain yang juga muncul pada waktu yang hampir bersamaan, namun berbeda haluan dan pandangan keagamaan dari Mu`tazila, ialah kelompok Zuhudiyah. Golongan ini lebih menekankan pada kesalehan dan ibadah dalam melawan arus hedonisme material yang merajalela pada zamannya. Karya para penulis Zuhudiyah dan Sufi merupakan jawaban dan kritik terhadap keadaan sosial dan merosotnya moral disebabkan pendangkalan atas ajaran agama. Mereka tidak lelah menyerukan agar kaum Muslimin, terutama para pemimpinnya, kembali ke jalan Islam yang benar, menjunjung tinggi keadilan dalam memerintah dan menjauhkan diri dari hedonisme material yang menyebabkan kemerosoan moral. Keadaan politik yang buruk ini menyuburkan perkembangan jenis puisi yang disebuthija’, satire atau sindiran yang tidak jarang sangat keras. Yang dikecam oleh para penulis hija’ bukan hanya raja dan bangsawan, tetapi juga pemimpin agama yang karena dekatnya dengan raja dan pejabat tinggi sering juga terpengaruh melakukan berbagai penyelewengan.
Dilatari keadaan masyarakat dan politik pada zaman itu, selain puisi-puisi pujian, banggaan dan sindirian, berkembang subur puisi-puisi politik atau propaganda. Bersebelahan dengan itu berkembang pula puisi-puisi pemujaan terhadap anggur (khamriyah) dan puisi-puisi cinta berahi.
Puisi Politik
Biasanya puisi-puis seperti ini ini ditulis oleh kelompok politik atau aliran keagamaan untuk mempropagandakan ideologi atau fahama keagamaan mereka. Contohnya ialah sajak yang ditulis oleh Qushayr `Azzah, seorang pengikut Syiah, seperti berikut:
Ketahuilah, imam dari suku Quraysh itu
Bilangannya emat, mereka pemimpin menuju kebenaran
Yaitu Ali dan tiga putranya yang masyhur
Mereka cucu Rasulullah, semua orang tahu
Yang satu lambang keimanan dan kebaikan
Yang kedua disembunyikan di tanah Karbala
Yang ketiga tidak merasakan mati
Hingga saatnya datang akhir zaman
Dia akan muncul menunggang kuda
Membawa bendera berkibar megah
Sekarang dia bersembunyi di bukit Radhwa
Dia adalah di antara imam yang tak tampak
Makanannya adalah madu dan air
Yang dimaksud dengan putra Ali ketiga itu ialah Muhammad bin Ali Hanafiyah. Setelah kematian Husein di Karbala, dia menuntut balas dan memimpin pasukan melawan paasukan Yazid. Penguasa kedua Umayyah itu, Yazid akhirnya tewas mengenaskan dalam sebuah pertempuran yang sengit. Tubuhnya terempar ke dalam sumur yang dalam. Menurut legenda kaum Syiah yang awal, Muhammad Hanafiyah tiba-tiba masuk ke dalam sebuah gua ketika pertempuran sengit sedang berlangsung. Dia mengira musuh masuk ke dalam gua dan mengejarnya. Tetapi ketka dia masuk tiba-tiba saja pintu gua tanah di situ longsor dan pasukannya terperangkap tidak bsa keluar bersama sang pamimpin. Muhamma Hanfiyah dipercaya masih hidup. Makanannya madu dan akan muncul kelak untuk melanjutkan perjuangan.
Kaum Khawarij juga memiliki penyair yang tangakas. Imran Ibn Hathan adalah seorang di antara mereka. Usai terbunuhnya Ali bin Abi Thalib di tangan seorang khawarij, Ibn Hathan menulis sajak seperti berikut:
Sebuah pukulan dari orang bertobat
Adalah pukulan telak
Dari orang yang dirdhai Tuhan
Suatu saat kuingat dia,
Dan yakin bahwa tempatnya di sisi Tuhan
Timbangan pahalanya paling berat di akhrat kelak
Seorang penyair Khawarij lain menulis sajak menenai kemenangan pasukan Khawarij melawan pasukan Umayyah dalam sebuah pemberontakan:
Kau membanggakan dua ribu pasukan beriman di pihakmu, bukan?
Tak malu kau, mereka tewas di tangan empat puluh perajurit kami
di Asak
Mereka tak seperti yang kaubanggakan, kau bohong
Yang benar-benar beriman adalah kami golongan Khawarij
Mereka ini tak banyak, itu yang kautahu
Namun mereka menang melawan golongan
Yang bilangannya begitu besar
Adalah relevan bila kita kutip seatu bait puisi Hasan bin Tsabit berupa elegi tentang kematian Usman bin Affan:
Mereka membunuh orang tua yang keningnya memancarkan kesabaran
Yang malam-malamnya dihabiskan dengan shalat dan lantunan doa
Seketika terdengar pula jeritan di sekitar desa mereka,
“Ya Tuhan Yang Maha Besar! Balaskan kematian Usman!”
Selain puisi politik, muncul pula puisi yang mengungkapkan kecintaan penyair kepada ilmu pengetahuan. Khalifah Abdul Malik adalah contohnya. Dia sangat mencintai ilmu. Tatkala beliau membaca kitab suci al-Qur’an, seorang utusan datang memberitahu bahwa dia diangkat menjadi khalifah. Kitab suci ditutup oleh beliau dan menyesali betapa pengabdannya kepada ilmu segera berakhir. Ia lantas tak sadarkan diri. Setelah sadar dia pun menulis sajak :
Sungguh sejenak saja aku hidup dalam waktuDan dunia harus kukusai dengan pedang tajam
Secepat kilat lenyap pula kebanggaan lamaku
Luluh dalam timbunan peristiwa yang silam
Sungguh bahagia andai dapat kucurahkan diriku
Untuk ilmu walaupun hnya sesaat
Tak dimabuk kenikmatan duniawi yang menyenangkan
Hidup sebagai faqir dengan dua helai kain lusuh
Bersahaja dan seadanya tida berlebihan
Begitu selamnya hinga akhirnya masuk ke liang kubur.
Sajak ini mencerminkan betapa beratnya memagang tampuk pemerintahan, sedankan dia lebih mencintai ilmu pengetahuan dibanding kedudukan yang tinggi.
(BERSAMBUNG)Abdul Hadi W. M.
No comments:
Post a Comment