Marco Kartodikromo : Tokoh Pergerakan yang Dihilangkan*
Nama Marco Kartodikromo tentu tidak se-awam Soekarno, Hatta, Sjahrir, bahkan Tan Malaka yang juga sempat hilang dalam sejarah Indonesia. Marco Kartodikromo adalah tokoh pergerakan di masa awal dengan pemikiran dan praktek politik yang menyerempet ke radikal juga masih orisinil.
Sejarah sebagai objektifikasi kebenaran masa lalu dibredel di masa Orde Baru. Sejarah kemudian dijelaskan ulang, dimana sejarah tersebut tergantung kepentingan penguasa. Mengubur segala potensi yang diramalkan bakal mengganggu jalan lenggang rezim penguasa tersebut.
Marco Kartodikromo seketika hilang dalam sejarah Indonesia dengan asumsi bahwa Marco sangat radikal dan anti-kolonial. Marco, sedikit dari banyak tokoh pergerakan yang melihat sebab masalah ketidakadilan pada kolonialisme. Orde Baru yang masih mengekor kebijakan kolonial tentu merasa terganggu dengan peran-peran Marco yang senantiasa di garis terdepan menyuarakan pemberontakan.
Sejarah yang dibangun pemerintah kolonial (dan Orde Baru) adalah sejarah yang jauh dari kesan adil. Menghilangkan sisi revolusioner tentang perlawanan juga pemberontakan rakyat seperti kaum tani dan gerakan buruh kereta api terhadap eksploitasi kapitalis lewat pemerintah kolonial.
Riwayat dan Pemikiran Marco
Marco Kartodikromo lahir di Cepu pada 25 maret 1890, berasal dari keluarga priyayi rendahan. Meski Marco hanya lulus sekolah menengah tapi tekadnya dalam belajar tak pernah layu. Ia kemudian belajar bahasa Belanda sejak tahun 1905. Ketika itu ia bekerja di Nederlandsc-Indische Spoorweg (NIS) Semarang, sebuah perusahaan jasa angkutan kereta api.
Enam tahun mengabdi di Nederlandsc-Indische Spoorweg (NIS) Semarang sebagai juru tulis, semangat nasionalismenya berkobar. Marco melihat banyak kesewenang-wenangan di perusahaan Eropa tersebut, misalnya terhadap pembedaan golongan jabatan dan gaji yang indikator penilaiannya adalah ras.
Setelah keluar dari NIS Semarang, Marco Kartodikromo memilih untuk pindah ke Bandung dan bekerja sebagai jurnalis. Pilihan jurnalis dianggap sebagai jalan untuk mengekspresikan dan membakar semangat kebangsaan agar segala bentuk kesewenang-wenangan oleh pemerintah kolonial dan usaha eksploitasi kapitalisnya.
Marco bergabung menjadi wartawan di suratkabar Medan Prijaji yang dipimpin oleh Tirto Adhi Soerjo, seorang jurnalis dan pemimpin pergerakan di masa awal, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula. Di sana Marco terbentuk menjadi wartawan sekaligus politikus dan sastrawan, juga untuk pertama kalinya ia berjumpa dengan Suwardi Surjaningrat yang kelak dikenal dengan Ki Hajar Dewantara.
Namun sangat disayangkan, suratkabar Medan Prijaji berhenti beredar disebabkan karena larangan beredar oleh Pemerintah Belanda sehingga akhirnya suratkabar tersebut krisis dan bangkrut, juga pimpinannya Tirto Adhi Soerjo dibuang ke Maluku, Ambon.
Masalah yang dihadapi oleh suratkabar Medan Prijaji tidak menyurutkan langkahnya untuk senantiasa berekspresi dan membakar semangat bangsa dengan tulisan-tulisannya. Marco kemudian bergabung dan akhirnya memimpin suratkabar Sarotomo, suratkabarnya Sarekat Islam di Solo. Lewat suratkabar Sarotomo, Ia banyak membuka polemik tentang berbagai masalah dengan penguasa setempat dan lawan politiknya di kalangan pergerakan. Beberapa kali ia terlibat perdebatan dengan Tjokroaminoto yang waktu itu juga memimpin Oetoesan Hindia di Surabaya.
Di masa itu, Marco bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Darnakoesoemo mendirikan perhimpunan jurnalis pertama, Indlandsche Journalisten Bond (IJB) di Solo. Ia juga menerbitkan Doenia Bergerak sebagai medium pergerakan IJB. Di Doenia Bergerak, Marco menjadikan kritik sosial sebagai ‘garis utama’, yang sebelumnya di medan Prijaji masih menjadi kecenderungan saja.
Gaya menulis yang khas dengan sindiran dan permainan kata berbahasa Melayu menjadi senjata di tangan Marco untuk menyerang kekuasaan kolonial. Itulah sebabnya Marco beberapakali keluar masuk penjara karena mekanisme persdelict (delik Pers) oleh Pemerintah, meski akhirnya peristiwa itu memunculkan reaksi perlawanan dari kalangan pergerakan yang segera membentuk sebuah komite aksi untuk menentang pasal-pasal delik pers.
Artikel “Sama Rata Sama Rasa” dan beberapa tulisannya di suratkabar senantiasa mengkampanyekan perlawanan terhadap Indie Weerbaar, yakni rencana penguasa kolonial untuk mengerahkan orang pribumi sebagai serdadu kolonial menghadapi ancaman dari luar. Meski akhirnya diberangus kembali ke dalam penjara.
Di luar atau di dalam penjara, baginya sama saja. Pekerjaannya sebagai jurnalis yang memiliki dimensi intelektual untuk mencerdaskan dan membantu pergerakan rakyat. Karena jika tidak maka penguasa kolonial dan kapital akan memanfaatkan kepandaian mereka untuk menindas rakyat. Marco sadar betul bahwa ilmu pengetahuan tidak bersifat netral tapi selalu terkait dengan kekuasaan.
Menurut Hilmar Farid (Sejarawan UI), Marco adalah sosok pergerakan yang istimewa. Ia tidak mulai dari ideologi atau gagasan besar melainkan dari tanggapan langsung terhadap ketidakadilan yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Marco menulis tentang apa yang didengar dan dilihatnya di jalan raya. Tulisan Marco juga yang antara lain mendorong penguasa kolonial membentuk Balai Pustaka untuk menyediakan bacaan yang ‘baik dan benar’, dan juga memperkenalkan konsep kesoesastraan – dalam pengertian sastra modern yang adiluhung – untuk mengimbangi karya fiksi Marco yang subversif.
Pemikirannya tentang sistem kapitalis yang menjajah bangsa juga sampai hari ini masih relevan dengan kondisi kebangsaan kita. Misalnya ia menyindir tentang kapital itu bisa menyewa tanah murah dari petani karena ada permainan elite desa dan polisi yang sudah dibayar oleh pemilik kapital. Sistem kapitalis yang berkuasa itu hidup dari menghisap darah dan makan daging rakyat jelata. Ia melihat korelasi antara kemakmuran dengan kemiskinan. Ia melihat dunia terbagi karena sistem yang tidak adil dan bukan karena vis a vis orang rajin (kaya) dan orang malas (miskin), dan dalam semangat yang sama, Marco membantah dongeng dari penguasa dan kapital tentang kebodohan/kemalasan sebagai penyebab kemiskinan!
*Tugas Resensi Siswa Sekolah Pendiri Pemikir Bangsa
Muhammad Arief R H
Sejarah sebagai objektifikasi kebenaran masa lalu dibredel di masa Orde Baru. Sejarah kemudian dijelaskan ulang, dimana sejarah tersebut tergantung kepentingan penguasa. Mengubur segala potensi yang diramalkan bakal mengganggu jalan lenggang rezim penguasa tersebut.
Marco Kartodikromo seketika hilang dalam sejarah Indonesia dengan asumsi bahwa Marco sangat radikal dan anti-kolonial. Marco, sedikit dari banyak tokoh pergerakan yang melihat sebab masalah ketidakadilan pada kolonialisme. Orde Baru yang masih mengekor kebijakan kolonial tentu merasa terganggu dengan peran-peran Marco yang senantiasa di garis terdepan menyuarakan pemberontakan.
Sejarah yang dibangun pemerintah kolonial (dan Orde Baru) adalah sejarah yang jauh dari kesan adil. Menghilangkan sisi revolusioner tentang perlawanan juga pemberontakan rakyat seperti kaum tani dan gerakan buruh kereta api terhadap eksploitasi kapitalis lewat pemerintah kolonial.
Riwayat dan Pemikiran Marco
Marco Kartodikromo lahir di Cepu pada 25 maret 1890, berasal dari keluarga priyayi rendahan. Meski Marco hanya lulus sekolah menengah tapi tekadnya dalam belajar tak pernah layu. Ia kemudian belajar bahasa Belanda sejak tahun 1905. Ketika itu ia bekerja di Nederlandsc-Indische Spoorweg (NIS) Semarang, sebuah perusahaan jasa angkutan kereta api.
Enam tahun mengabdi di Nederlandsc-Indische Spoorweg (NIS) Semarang sebagai juru tulis, semangat nasionalismenya berkobar. Marco melihat banyak kesewenang-wenangan di perusahaan Eropa tersebut, misalnya terhadap pembedaan golongan jabatan dan gaji yang indikator penilaiannya adalah ras.
Setelah keluar dari NIS Semarang, Marco Kartodikromo memilih untuk pindah ke Bandung dan bekerja sebagai jurnalis. Pilihan jurnalis dianggap sebagai jalan untuk mengekspresikan dan membakar semangat kebangsaan agar segala bentuk kesewenang-wenangan oleh pemerintah kolonial dan usaha eksploitasi kapitalisnya.
Marco bergabung menjadi wartawan di suratkabar Medan Prijaji yang dipimpin oleh Tirto Adhi Soerjo, seorang jurnalis dan pemimpin pergerakan di masa awal, meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula. Di sana Marco terbentuk menjadi wartawan sekaligus politikus dan sastrawan, juga untuk pertama kalinya ia berjumpa dengan Suwardi Surjaningrat yang kelak dikenal dengan Ki Hajar Dewantara.
Namun sangat disayangkan, suratkabar Medan Prijaji berhenti beredar disebabkan karena larangan beredar oleh Pemerintah Belanda sehingga akhirnya suratkabar tersebut krisis dan bangkrut, juga pimpinannya Tirto Adhi Soerjo dibuang ke Maluku, Ambon.
Masalah yang dihadapi oleh suratkabar Medan Prijaji tidak menyurutkan langkahnya untuk senantiasa berekspresi dan membakar semangat bangsa dengan tulisan-tulisannya. Marco kemudian bergabung dan akhirnya memimpin suratkabar Sarotomo, suratkabarnya Sarekat Islam di Solo. Lewat suratkabar Sarotomo, Ia banyak membuka polemik tentang berbagai masalah dengan penguasa setempat dan lawan politiknya di kalangan pergerakan. Beberapa kali ia terlibat perdebatan dengan Tjokroaminoto yang waktu itu juga memimpin Oetoesan Hindia di Surabaya.
Di masa itu, Marco bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Darnakoesoemo mendirikan perhimpunan jurnalis pertama, Indlandsche Journalisten Bond (IJB) di Solo. Ia juga menerbitkan Doenia Bergerak sebagai medium pergerakan IJB. Di Doenia Bergerak, Marco menjadikan kritik sosial sebagai ‘garis utama’, yang sebelumnya di medan Prijaji masih menjadi kecenderungan saja.
Gaya menulis yang khas dengan sindiran dan permainan kata berbahasa Melayu menjadi senjata di tangan Marco untuk menyerang kekuasaan kolonial. Itulah sebabnya Marco beberapakali keluar masuk penjara karena mekanisme persdelict (delik Pers) oleh Pemerintah, meski akhirnya peristiwa itu memunculkan reaksi perlawanan dari kalangan pergerakan yang segera membentuk sebuah komite aksi untuk menentang pasal-pasal delik pers.
Artikel “Sama Rata Sama Rasa” dan beberapa tulisannya di suratkabar senantiasa mengkampanyekan perlawanan terhadap Indie Weerbaar, yakni rencana penguasa kolonial untuk mengerahkan orang pribumi sebagai serdadu kolonial menghadapi ancaman dari luar. Meski akhirnya diberangus kembali ke dalam penjara.
Di luar atau di dalam penjara, baginya sama saja. Pekerjaannya sebagai jurnalis yang memiliki dimensi intelektual untuk mencerdaskan dan membantu pergerakan rakyat. Karena jika tidak maka penguasa kolonial dan kapital akan memanfaatkan kepandaian mereka untuk menindas rakyat. Marco sadar betul bahwa ilmu pengetahuan tidak bersifat netral tapi selalu terkait dengan kekuasaan.
Menurut Hilmar Farid (Sejarawan UI), Marco adalah sosok pergerakan yang istimewa. Ia tidak mulai dari ideologi atau gagasan besar melainkan dari tanggapan langsung terhadap ketidakadilan yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Marco menulis tentang apa yang didengar dan dilihatnya di jalan raya. Tulisan Marco juga yang antara lain mendorong penguasa kolonial membentuk Balai Pustaka untuk menyediakan bacaan yang ‘baik dan benar’, dan juga memperkenalkan konsep kesoesastraan – dalam pengertian sastra modern yang adiluhung – untuk mengimbangi karya fiksi Marco yang subversif.
Pemikirannya tentang sistem kapitalis yang menjajah bangsa juga sampai hari ini masih relevan dengan kondisi kebangsaan kita. Misalnya ia menyindir tentang kapital itu bisa menyewa tanah murah dari petani karena ada permainan elite desa dan polisi yang sudah dibayar oleh pemilik kapital. Sistem kapitalis yang berkuasa itu hidup dari menghisap darah dan makan daging rakyat jelata. Ia melihat korelasi antara kemakmuran dengan kemiskinan. Ia melihat dunia terbagi karena sistem yang tidak adil dan bukan karena vis a vis orang rajin (kaya) dan orang malas (miskin), dan dalam semangat yang sama, Marco membantah dongeng dari penguasa dan kapital tentang kebodohan/kemalasan sebagai penyebab kemiskinan!
*Tugas Resensi Siswa Sekolah Pendiri Pemikir Bangsa
Muhammad Arief R H
No comments:
Post a Comment