Supersemar, Kudeta Khas Indonesia
Benarkah itu? Sepertinya, orang Amerika tidak berpendapat begitu.
Hari ini tepat tanggal 11 Maret, hari diperingatinya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966) yang historikal itu. Di buku-buku pelajaran Sejarah Indonesia saya sejak SD tak pernah ada kata ‘kudeta’ untuk menyebut Supersemar.
Tapi sesaat setelah kejadian, orang Amerika telah mengenalinya sebagai kudeta. Berikut isi telegram dari Kedubes Amerika (Jakarta) untuk Dept. Luar Negeri (Washington), 12 Maret 1966 [2]:
“Indonesia baru saja melancarkan sebuah kudeta militer [military coup] yang khas negeri tersebut. Setelah lama ditunggu-tunggu kini Sukarno telah mempertaruhkan nasibnya terlalu jauh. Rencana dia untuk menyingkirkan jajaran kepemimpinan militer dan memasukkan seseorang yang dikenal sebagai Pro-Komunis sebagai Meneri Pertahanan telah mendorong militer untuk memotong kekuasaannya.“
Mengapa disebut kudeta ‘khas Indonesia’? saya tak paham dengan pasti. Tapi barangkali itu karena proses pengambilan kekuasaan (dari Sukarno ke Soeharto (AD)) berjalan lambat –setidaknya dalam pandangan pemerintah AS. Mereka sudah sejak berbulan-bulan sebelumnya menonton dan menyimak setiap langkah yang dibuat tokoh-tokoh penting di Indonesia. Terutama setelah peristiwa G30S yang disusul pembantaian massal terkejam yang pernah terjadi negeri kita ini. Tahun 1965, setidaknya lima ratus ribu orang dibunuh pada bulan Oktober di Jawa Tengah, bulan November di Jawa Timur, dan bulan Desember di Bali.
Pemerintah AS terkesan tak sabar dan geregetan menunggu saat-saat Sukarno disingkirkan. Hal ini dengan apik dijabarkan oleh Baskara T. Wardaya, SJ dalam bukunya yang memuat telegram-telegram Kedubes AS di Jakarta, Dept. Luar Negeri AS, dan dokumen-dokumen rahasia CIA yang berisi laporan-laporan perkembangan terakhir Indonesia [3].
Sampai akhirnya pada 11 Maret 1966, terjadi juga hal yang mereka harapkan. Majalah Time edisi 15 Juli 1966 bahkan menyebut apa yang terjadi di Indonesia pada periode ini sebagai “The West’s best news for years in Asia.”
Pada pertemuan selanjutnya antara Soeharto dan Dubes AS, Marshall Green, nama Sukarno tak satu kali pun disebut. Soeharto menekankan bahwa pemersatu Indonesia itu adalah Pancasila. Artinya, bukan Sukarnolah yang seharusnya menjadi kekuatan pemersatu di Indonesia. [4] Padahal saat itu, Sukarno masih menjabat sebagai Presiden. Jelas bahwa pengaruh dan kekuasaan Bung Karno sudah jauh merosot.
Kembali ke sebutan ‘khas Indonesia’ itu, tentu tak lepas dari peran mistisisme Jawa dalam politik yang rupanya tak pernah bisa dipahami oleh orang Amerika. Satu hal yang mereka pahami adalah bahwa Soeharto itu orang Jawa. Oleh karena itu ia bisa memahami Sukarno, sedangkan Nasution tidak. [5] Barangkali itulah salah satu unsur keberhasilan ‘kudeta khas Indonesia’ berlabel Supersemar ini.
Seperti halnya Nasution, rupanya Mochtar Lubis yang sama-sama orang Sumatra, juga tak bisa memahami pentingnya mistisisme Jawa dalam politik Indonesia. Mochtar Lubis, wartawan senior yang dalam catatan hariannya semasa di penjara tanpa pengadilan oleh rezim Sukarno, menulis sebagai berikut:
“Jika Jenderal Soeharto dan kawan-kawan sungguh-sungguh dapat bekerja secara rasional, maka Indonesia masih dapat diselamatkan dari keruntuhan. Tapi mistik Jawa kelihatan mulai lagi –sudah ada yang membandingkan Soeharto dengan Rama, istrinya adalah Shinta, dan anak-anak KAMI, KAPPI, adalah tetara Hanuman. Ini namanya main-main!
…Jika diperlukan mistik Jawa menyamakan Soeharto dengan Rama, dan KAMI DAN KAPPI adlah pasukan-pasukan beruk Hanuman yang akhirnya mengalahkan Rahwana (Soekarno) diteruskan, maka seluruh pemikiran akan jatuh lagi ke dalam alam tak rasional. Dan Indonesia akan kacau terus.
Moga-moga tenaga-tenaga rasional di luar akan cukup kuat menolak mistik-mistik serupa ini.” [6]
Berlawanan dengan pendapat Mochtar Lubis, Dubes AS, Marshall Green, rupanya justru menganggap penting peran mistisisme Jawa ini. Ia paham betapa peka dan erat terkaitnya politisi dan politik Indonesia dengan pertunjukan wayang. Ia bahkan memasukkan perihal ini dalam laporannya kepada Dept. Luar Negeri AS.
Isi laporan Green menceritakan ini [7]:
Sempat ada lakon petunjukan wayang di Indonesia yang dibatalkan karena tidak mendapat izin dari kepolisian. Lakon itu adalah “Kresna Duta” yang menceritakan tentang usaha diplomatik terakhir Pandawa dalam rangka mencapai penyelesaian secara damai dalam pembagian Kerajaan Ngastina dengan Raja Sujudana dari pihak Kurawa. Tapi berakhir dengan percobaan pembunuhan terhadap Kresna atas hasutan Perdana Menteri Sengkuni dan Menteri Luar Negeri Durna. Akhirnya terjadilah perang Baratayudha di mana semua Kurawa terbunuh.Lakon ini tidak diizinkan untuk dipertunjukkan karena dapat mengundang berbagai macam kritikan terhadap perjalanan Adam Malik ke Bangkok untuk menyelesaikan perselisihan dengan Malaysia. Akhirnya lakonnya diganti dengan “Lahirnya Wisanggeni” yang secara politis identik dengan ‘kelahiran ‘ gerakan pelajar dan mahasiswa KAMI dan KAPPI.
Referensi:
[1] Wiranto: Tidak Ada yang Ingin Makar - Kompas.com
[2]* Telegram dari Kedubes AS (Jakarta) untuk Departemen Luar Negeri (Washington), 12 Maret 1966.
[3] Baskara T. Wardaya, SJ. Membongkar Supersemar: Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno. Yogyakarta: Galang Press, 2007.
[4]* Telegram dari Kedubes AS (Jakarta) untuk Departemen Luar Negeri (Washington), 27 Mei 1966.
[5]* Memorandum dari D.W. Ropa untuk W.W. Rostow, “Pentingnya Mistisisme Jawa dalam Politik Indonesia sekarang”, 29 Juli 1966.
[6] Mochtar Lubis. Catatan Subversif. Jakarta: Sinar Harapan, 1980. Hal. 452-453.
[7]* Telegram dari Kedubes AS (Jakarta) untuk Departemen Luar Negeri (Washington), 20 Juli 1966.
Rina Nazriana
No comments:
Post a Comment