Membangun Pasukan Bhayangkara Kerajaan Majapahit Atasi Pemberontakan Atau Kerusuhan Sebagian Ormas
The Nominee of House of Representative
Council Indonesia Republic From East Java Province 2014-2019
Ecotourism Consultant and Agriculture Land Evaluation
Entrepreneur Fish Shredder Machine (Mesin Abon Ikan) “BONIK”
satriya1998@gmail.com ; satriya1998@yahoo.com
Dalam khazanah geopolitik dan alur sejarah Nusantara nama “Bhayangkara” pernah hadir dalam dua kerajaan yaitu Singasari dan Majapahit. ada penggambaran berbeda 2 sumber tentang Bhayangkara pada masa kerajaan Singasari. Pertama pemberontakan Kalana Bhayangkara pada masa pemerintahan Raja Kertanegara di Singasari yang berakhir dengan kegagalan pada masa Raja Kertanegara berkuasa, seperti yang digambarkan oleh Setyardi Widodo. Sedangkan yang kedua digambarkan bahwa Bhayangkara adalah bagian dari kesalahan strategi Kertanegara.
Kegagalan Kertanagara mempertahankan istana Singasari atas serbuan Jayakatwang dari Gelang-Gelang lebih karena kegagalan Kertanagara menerapkan keamanan dan pertahanan dalam negeri yang seharusnya berada mutlak di bawah tanggungjawab kesatuan Bhayangkara. Penyerangan ke Malayu secara besar-besaran dengan mengirimkan hampir seluruh kekuatan militer Singasari (termasuk kesatuan Bhayangkara) pada tahun antara 1284-1286 memberikan catatan kelam kehancuran Singasari. Kekosongan kekuatan keamanan di dalam negeri telah memberikan peluang pada Jayakatwang untuk menusuk Singasari langsung ke jantung pemerintahan tanpa perlawanan berarti. Kekuatan militer Singasari yang saat itu disegani dan sedang berada di luar negeri terbukti tak mampu menyelamatkan istana.
Bhayangkara pada masa Majapahit
Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta). Vilva adalah Pohon Maja sedangkan Tikta adalah Pahit. Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!.
Sedikitnya catatan sejarah mengenai Bhayangkara pada masa Singasari menjadikan Bhayangkara pada masa Majapahit lebih tersohor, bukan saja karena peranan Gadjah Mada yang menjadi tampuk pimpinan pasukan, tapi juga karena Bhayangkara pada Masa Majapahit tertuang dengan jelas dalam literatur-literatur kuno, seperti Negarakertagama dan Pararaton.
(Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak berbatas. Menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua……Nagarakretagama 9.2). (Sira Gajah Mada ambekel ing bhayangkara…./ Gajah Mada yang menjadi kepala pasukan bhayangkara …Pararaton 26). Kesatuan Bhayangkara sudah ada sejak zaman Singasari, sebelum Wisnuwardhana memerintah (1248-1268 Masehi).
Dalam Nagarakretagama pupuh IX pada 1 dijelaskan, bahwa sehubungan dengan mangkatnya Tohjaya di Katang Lambang pada tahun 1248 di daerah Pasuruan, maka di antara barisan pengawal yang berkewajiban menjaga keamanan kraton adalah Kesatuan Bhayangkara. Di tangan Gajah Mada, Kesatuan Bhayangkara menjadi kekuatan sipil yang sangat berpengaruh pada zamannya.sehingga keselamatan para raja dan keluarganya berada mutlak di bawah kewenangan dan tanggung jawab Kesatuan Bhayangkara. Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil telah memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat. (renny masmada)
Awal ketenaran nama Bhayangkara dimulai ketika munculnya pemberontakan Ra Kunti yang berhasil dipadamkan oleh Gadjah Mada dengan pasukannya yang bernama Bhayangkara. Gajah Mada, yang ketika itu memimpin pengawal raja, membantu Jayanegara melarikan diri dari ibu kota dan menyembunyikannya dari kejaran pemberontak. Cerita rakyat menyatakan dalam pelarian di Desa Badander itu, satu dari anggota Pasukan Bhayangkara menyatakan ingin pulang ke ibu kota. Gajah Mada melarangnya, tetapi prajurit itu ngotot. Akhirnya, prajurit itu dibunuh karena diduga akan membelot. Bhayangkari adalah satuan pasukan elit perempuan dari Kerajaan Majapahit. Bhayangkari memiliki kemampuan khusus dalam pertempuran dan penyusupan ke daerah lawan. Perlu diketahui juag, Lembu Sora diduga terlibat dalam pemberontakan juga. Padahal Lembu Sora adalah pengikut Raden Wijaya (Nararya Sanggramawijaya) yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit. Ia sering dianggap sebagai abdi Raden Wijaya yang paling setia, namun akhirnya mati sebagai “pemberontak” di halaman istana Majapahit. Dalam beberapa karya sastra, Mpu Sora juga disebut dengan nama Lembu Sora, Ken Sora, Andaka Sora, atau kadang disingkat Sora saja.
Kemudian Gajah Mada melancarkan operasi intelijen untuk menyelidiki kondisi ibu kota Majapahit di bawah Kuti. Dia menggelar survei kilat untuk memetakan sikap para bangsawan kerajaan terhadap posisi Jayanegara. Dari sana dia tahu bahwa dukungan publik terhadap Jayanegara masih kuat. Dengan bantuan para bangsawan di pusat kota, Gajah Mada bersama Pasukan Bhayangkara berhasil memukul balik Kuti dan mendudukkan kembali Jayanegara ke istana untuk kedua kalinya. Setelah Jayanegara meninggal, Majapahit dipimpin oleh Tribhuwana Tunggadewi pada tahun 1334. Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari Prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah Dyah Gitarja. Dia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyata dan kakak tiri bernama Jayanagara. Dia yang yang kemudian mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih. Saat itu, kedudukan Maha Patih Gajahmada kira-kira dapat disamakan dengan Perdana Menteri dalam era politik modern.
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. (Kisah ini terkenal di dalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet). Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah.
Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya (Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.
Selain itu. Di wilayah Kamboja Selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. (Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa). Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. (Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu. Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syekh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati.
Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra yaitu putra sulung bernama Sayyid `Ali Murtadlo dan putra bungsu bernama Sayyid `Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa (Indo-china), Sayyid `Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. (Nama Champa dari Sayyid `Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, penulis belum mengetahuinya). Kerajaan Champa di bawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri. Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih.
Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tidak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim. Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampir-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. (Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar).
Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati. Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabh Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula. Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar. Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah! Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberi nama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!
Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian.Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal di pesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha. Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Dengan demikian berdasarkan sejarah tersebut di atas, untuk mencegah terjadinya kerusuhan sebagian organisasi masyarakat (ormas), pemberontakan lebih penting daripada mengalahkannya. Terjadinya kerusuhan massal, pemberontakan sekalipun kemudian dapat dipadamkan, senantiasa membawa berbagai persoalan dan kerugian bagi Negara Indonesia. Contohnya kasus desakan hampir anarkis organisasi massa seperti FPI, ormas Islam lainnya yang melarang Konser Lady Gaga, demo besar-besaran Kenaikan Bahan Bakar Minyak sebelumnya sangatlah merugikan citra Negara Indonesia di mata dunia Internasional. Perpecahan tajam itu akan merembet ke masalah lainnya, memakan waktu lama untuk dipulihkan.
Selain itu, ada dampak sosial yang tidak kalah parahnya. Mereka yang digolongkan pemberontak atau aktor intelektual kerusuhan tidak akan mudah mendapatkan tempat yang nomal dalam kehidupan berbangsa, terutama kalau pemberontakan itu baru dapat dipadamkan setelah waktu panjang. Bahkan, keturunan pemberontak yang sebenarnya tidak ada urusan dengan pemberontakan yang sudah lama selesai turut serta merasakan akibat negatifnya. Ini pun merugikan ekonomi bangsa, dimana banyak sumber daya digunakan untuk mengakhiri konflik, padahal sebenarnya amat diperlukan untuk keperluan memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu, perlu dikembangkan kondisi perekonomian rakyat yang cukup memuaskan mayoritas bangsa Indonesia. Tentu selalu ada ketidakpuasan pada kalangan tertentu, tetapi hal itu tidak boleh berkembang sedemikian kuat sehingga menjadikan orang menganggap pemberontakan atau kerusuhan ormas sebagai satu-satunya alternative bagi perbaikan tingkat pendapatan masyarakat menengah ke bawah.
Melihat kemungkinan itu, Negara harus dapat mewujudkan kondisi masyarakat yang berkembang maju secara adil dalam semua bidang politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan, agama dan pendidikan. Itu berarti adanya pemerintahan sound governance. Mari kita bentuk kelompok masyarakat sipil yang menjadi kekuatan sipil yang melakukan fungsi pemberdayaan masyarakat misalnya berdirinya Kelompok Masyarakat Syariah sebagai embrio lahirnya Koperasi Syariah. Hal ini untuk mengurangi jeratan bank thithil atau rentenir yang sering memberatkan usaha kecil masyarakat menengah ke bawah.
Kelompok Masyarakat Syariah ibarat Kesatuan Bhayangkara. Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota bisa menyalutkan program Bantuan Modal Syariah kepada Kelompok Masyarakat Syariah. Kemudian mereka akan menyalurkan bantuan modal tersebut tanpa bunga, system syariah Islam, kepada peternak, nelayan, petani, usaha kecil, pedagang kaki lima, usaha bidang jasa dan sebagainya. Apabila hal ini menyebar secara perlahan-lahan tidak menutup kemungkinan munculnya wirausaha-wirausaha baru yang membuka lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran di kalangan pemuda dan sarjana muda.
Penulis informasikan lagi bahwa Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil telah memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Penggambaran Bhayangkara dalam Khazanah kesejarahan Nusantara menjadi bukti bahwa pasukan elit ini adalah pasukan berkelas yang memiki cinta tanah air yang luar biasa, menjadi penjaga dari munculnya ekstrimis dan terorisme yang melakukan pemberontakan. walau Bhayangkara dan Gadjah mada adalah pasukan yang bernafsu pada kekuasaan dan anti kritik hingga terkadang justru menghancurkan negara dari dalam, seperti pemberontakan pada masa Singasari hingga kesalahan strategi dalam perang Bubat. Mari kita bangun Kesatuan Bhayangkara yang memiliki keahlian berbagai bidang, meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat menengah ke bawah sehingga tidak akan muncul kerusuhan akibat ormas, pemberontakan dimana-mana di Negara Indonesia tercinta ini.
Satriya Nugraha, SP
Council Indonesia Republic From East Java Province 2014-2019
Ecotourism Consultant and Agriculture Land Evaluation
Entrepreneur Fish Shredder Machine (Mesin Abon Ikan) “BONIK”
satriya1998@gmail.com ; satriya1998@yahoo.com
Dalam khazanah geopolitik dan alur sejarah Nusantara nama “Bhayangkara” pernah hadir dalam dua kerajaan yaitu Singasari dan Majapahit. ada penggambaran berbeda 2 sumber tentang Bhayangkara pada masa kerajaan Singasari. Pertama pemberontakan Kalana Bhayangkara pada masa pemerintahan Raja Kertanegara di Singasari yang berakhir dengan kegagalan pada masa Raja Kertanegara berkuasa, seperti yang digambarkan oleh Setyardi Widodo. Sedangkan yang kedua digambarkan bahwa Bhayangkara adalah bagian dari kesalahan strategi Kertanegara.
Kegagalan Kertanagara mempertahankan istana Singasari atas serbuan Jayakatwang dari Gelang-Gelang lebih karena kegagalan Kertanagara menerapkan keamanan dan pertahanan dalam negeri yang seharusnya berada mutlak di bawah tanggungjawab kesatuan Bhayangkara. Penyerangan ke Malayu secara besar-besaran dengan mengirimkan hampir seluruh kekuatan militer Singasari (termasuk kesatuan Bhayangkara) pada tahun antara 1284-1286 memberikan catatan kelam kehancuran Singasari. Kekosongan kekuatan keamanan di dalam negeri telah memberikan peluang pada Jayakatwang untuk menusuk Singasari langsung ke jantung pemerintahan tanpa perlawanan berarti. Kekuatan militer Singasari yang saat itu disegani dan sedang berada di luar negeri terbukti tak mampu menyelamatkan istana.
Bhayangkara pada masa Majapahit
Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta). Vilva adalah Pohon Maja sedangkan Tikta adalah Pahit. Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!.
Sedikitnya catatan sejarah mengenai Bhayangkara pada masa Singasari menjadikan Bhayangkara pada masa Majapahit lebih tersohor, bukan saja karena peranan Gadjah Mada yang menjadi tampuk pimpinan pasukan, tapi juga karena Bhayangkara pada Masa Majapahit tertuang dengan jelas dalam literatur-literatur kuno, seperti Negarakertagama dan Pararaton.
(Begini keindahan lapang watangan luas bagaikan tak berbatas. Menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua……Nagarakretagama 9.2). (Sira Gajah Mada ambekel ing bhayangkara…./ Gajah Mada yang menjadi kepala pasukan bhayangkara …Pararaton 26). Kesatuan Bhayangkara sudah ada sejak zaman Singasari, sebelum Wisnuwardhana memerintah (1248-1268 Masehi).
Dalam Nagarakretagama pupuh IX pada 1 dijelaskan, bahwa sehubungan dengan mangkatnya Tohjaya di Katang Lambang pada tahun 1248 di daerah Pasuruan, maka di antara barisan pengawal yang berkewajiban menjaga keamanan kraton adalah Kesatuan Bhayangkara. Di tangan Gajah Mada, Kesatuan Bhayangkara menjadi kekuatan sipil yang sangat berpengaruh pada zamannya.sehingga keselamatan para raja dan keluarganya berada mutlak di bawah kewenangan dan tanggung jawab Kesatuan Bhayangkara. Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil telah memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat. (renny masmada)
Awal ketenaran nama Bhayangkara dimulai ketika munculnya pemberontakan Ra Kunti yang berhasil dipadamkan oleh Gadjah Mada dengan pasukannya yang bernama Bhayangkara. Gajah Mada, yang ketika itu memimpin pengawal raja, membantu Jayanegara melarikan diri dari ibu kota dan menyembunyikannya dari kejaran pemberontak. Cerita rakyat menyatakan dalam pelarian di Desa Badander itu, satu dari anggota Pasukan Bhayangkara menyatakan ingin pulang ke ibu kota. Gajah Mada melarangnya, tetapi prajurit itu ngotot. Akhirnya, prajurit itu dibunuh karena diduga akan membelot. Bhayangkari adalah satuan pasukan elit perempuan dari Kerajaan Majapahit. Bhayangkari memiliki kemampuan khusus dalam pertempuran dan penyusupan ke daerah lawan. Perlu diketahui juag, Lembu Sora diduga terlibat dalam pemberontakan juga. Padahal Lembu Sora adalah pengikut Raden Wijaya (Nararya Sanggramawijaya) yang berjasa besar dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit. Ia sering dianggap sebagai abdi Raden Wijaya yang paling setia, namun akhirnya mati sebagai “pemberontak” di halaman istana Majapahit. Dalam beberapa karya sastra, Mpu Sora juga disebut dengan nama Lembu Sora, Ken Sora, Andaka Sora, atau kadang disingkat Sora saja.
Kemudian Gajah Mada melancarkan operasi intelijen untuk menyelidiki kondisi ibu kota Majapahit di bawah Kuti. Dia menggelar survei kilat untuk memetakan sikap para bangsawan kerajaan terhadap posisi Jayanegara. Dari sana dia tahu bahwa dukungan publik terhadap Jayanegara masih kuat. Dengan bantuan para bangsawan di pusat kota, Gajah Mada bersama Pasukan Bhayangkara berhasil memukul balik Kuti dan mendudukkan kembali Jayanegara ke istana untuk kedua kalinya. Setelah Jayanegara meninggal, Majapahit dipimpin oleh Tribhuwana Tunggadewi pada tahun 1334. Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351. Dari Prasasti Singasari (1351) diketahui gelar abhisekanya ialah Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah Dyah Gitarja. Dia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyata dan kakak tiri bernama Jayanagara. Dia yang yang kemudian mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih. Saat itu, kedudukan Maha Patih Gajahmada kira-kira dapat disamakan dengan Perdana Menteri dalam era politik modern.
Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. (Kisah ini terkenal di dalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet). Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah.
Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya (Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.
Selain itu. Di wilayah Kamboja Selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. (Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa). Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. (Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu. Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syekh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati.
Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra yaitu putra sulung bernama Sayyid `Ali Murtadlo dan putra bungsu bernama Sayyid `Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa (Indo-china), Sayyid `Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. (Nama Champa dari Sayyid `Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, penulis belum mengetahuinya). Kerajaan Champa di bawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri. Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih.
Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tidak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim. Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampir-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. (Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar).
Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati. Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabh Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula. Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.
Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar. Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah! Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberi nama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!
Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian.Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal di pesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha. Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.
Dengan demikian berdasarkan sejarah tersebut di atas, untuk mencegah terjadinya kerusuhan sebagian organisasi masyarakat (ormas), pemberontakan lebih penting daripada mengalahkannya. Terjadinya kerusuhan massal, pemberontakan sekalipun kemudian dapat dipadamkan, senantiasa membawa berbagai persoalan dan kerugian bagi Negara Indonesia. Contohnya kasus desakan hampir anarkis organisasi massa seperti FPI, ormas Islam lainnya yang melarang Konser Lady Gaga, demo besar-besaran Kenaikan Bahan Bakar Minyak sebelumnya sangatlah merugikan citra Negara Indonesia di mata dunia Internasional. Perpecahan tajam itu akan merembet ke masalah lainnya, memakan waktu lama untuk dipulihkan.
Selain itu, ada dampak sosial yang tidak kalah parahnya. Mereka yang digolongkan pemberontak atau aktor intelektual kerusuhan tidak akan mudah mendapatkan tempat yang nomal dalam kehidupan berbangsa, terutama kalau pemberontakan itu baru dapat dipadamkan setelah waktu panjang. Bahkan, keturunan pemberontak yang sebenarnya tidak ada urusan dengan pemberontakan yang sudah lama selesai turut serta merasakan akibat negatifnya. Ini pun merugikan ekonomi bangsa, dimana banyak sumber daya digunakan untuk mengakhiri konflik, padahal sebenarnya amat diperlukan untuk keperluan memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu, perlu dikembangkan kondisi perekonomian rakyat yang cukup memuaskan mayoritas bangsa Indonesia. Tentu selalu ada ketidakpuasan pada kalangan tertentu, tetapi hal itu tidak boleh berkembang sedemikian kuat sehingga menjadikan orang menganggap pemberontakan atau kerusuhan ormas sebagai satu-satunya alternative bagi perbaikan tingkat pendapatan masyarakat menengah ke bawah.
Melihat kemungkinan itu, Negara harus dapat mewujudkan kondisi masyarakat yang berkembang maju secara adil dalam semua bidang politik, ekonomi, sosial maupun kebudayaan, agama dan pendidikan. Itu berarti adanya pemerintahan sound governance. Mari kita bentuk kelompok masyarakat sipil yang menjadi kekuatan sipil yang melakukan fungsi pemberdayaan masyarakat misalnya berdirinya Kelompok Masyarakat Syariah sebagai embrio lahirnya Koperasi Syariah. Hal ini untuk mengurangi jeratan bank thithil atau rentenir yang sering memberatkan usaha kecil masyarakat menengah ke bawah.
Kelompok Masyarakat Syariah ibarat Kesatuan Bhayangkara. Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten / Kota bisa menyalutkan program Bantuan Modal Syariah kepada Kelompok Masyarakat Syariah. Kemudian mereka akan menyalurkan bantuan modal tersebut tanpa bunga, system syariah Islam, kepada peternak, nelayan, petani, usaha kecil, pedagang kaki lima, usaha bidang jasa dan sebagainya. Apabila hal ini menyebar secara perlahan-lahan tidak menutup kemungkinan munculnya wirausaha-wirausaha baru yang membuka lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran di kalangan pemuda dan sarjana muda.
Penulis informasikan lagi bahwa Kesatuan Bhayangkara, sebagai kekuatan sipil telah memberikan kepercayaan yang sangat kuat di hati masyarakat, sebagai pengayom dan pelindung rakyat. Penggambaran Bhayangkara dalam Khazanah kesejarahan Nusantara menjadi bukti bahwa pasukan elit ini adalah pasukan berkelas yang memiki cinta tanah air yang luar biasa, menjadi penjaga dari munculnya ekstrimis dan terorisme yang melakukan pemberontakan. walau Bhayangkara dan Gadjah mada adalah pasukan yang bernafsu pada kekuasaan dan anti kritik hingga terkadang justru menghancurkan negara dari dalam, seperti pemberontakan pada masa Singasari hingga kesalahan strategi dalam perang Bubat. Mari kita bangun Kesatuan Bhayangkara yang memiliki keahlian berbagai bidang, meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat menengah ke bawah sehingga tidak akan muncul kerusuhan akibat ormas, pemberontakan dimana-mana di Negara Indonesia tercinta ini.
Satriya Nugraha, SP
No comments:
Post a Comment