Fadli Zon dan Album Foto Imam DI/NII Kartosoewiryo
Membaca buku Fadli Zon tentang Album Foto Kronologi Eksekusi Mati Kartosoewiryo—pendiri dan Imam DI/NII—saya penasaran. Apa keterkaitan Fadli Zon, Sekjend Partai Gerindra, dengan Kartosoewiryo? Fadli Zon memang dulu simpatisan Partai Bulan Bintang dan punya kedekatan dengan tokoh-tokoh Islam kanan. Tapi, kini ia menjadi tokoh penting di Gerindra dan merupakan tangan kanan Prabowo Subianto. Gerindra seperti diketahui adalah partai nasionalis yang terbuka pada agama apa pun dan suku apa pun dalam arti par excellence. Ia tak memiliki basis Islam kultural maupun modernis sebagaimana PKB dan PAN atau PKS. Meski begitu, Prabowo dulu dikenal sebagai ABRI hijau dan ini benang merah mengapa Fadli Zon begitu dekatnya dengan Prabowo.
Tapi jangan salah. Fadli Zon ternyata orang yang menemukan foto-foto kronologi eksekusi mati Kartosoewiryo dari seseorang yang namanya tak disebutkan. Album foto ini semula akan dijual kepada warga Jerman, tapi dengan argumentasi akhirnya koleksi foto itu jatuh ke tangan Fadli Zon. Ia sekarang menjadi miliknya dan disimpan di Fadli Zon Library. Masyarakat bisa membacanya dan bahkan dalam bentuk buku sudah dipasarkan.
Apa yang mengesankan dari album foto itu bagi saya? Gambar-gambar itu berbicara sendiri begitu hidupnya. Ada sekitar 81 foto yang menggambarkan saat-saat terakhir Kartosoewiryo dieksekusi. Saya melihat foto pertemuan terakhirnya dengan keluarga (isteri dan anak-anaknya), foto ketika dia diperiksa oleh dokter tentara dan mengancingkan bajunya. Juga ketika Kartosoewiryo diborgol dan dibawa ke pulau ubi di kepulauan seribu dengan memakai baju putih-putih. Semua foto itu membuat saya mengeryitkan dahi dengan diam seribu bahasa. Inikah ongkos yang harus dibayar Kartosoewiryo atas ideologi tekstualnya atas Syari’ah?
Foto-foto lain tak kalah menariknya. Saat-saat Kartosoewiryo diikat di sebatang kayu dengan wajah ditutup dan tangan diikat ke belakang untuk persiapan eksekusi merupakan foto yang menakutkan. Kemudian puncaknya adalah ketika 11 tentara bersiap melepaskan peluru ke arah Kartosoewiryo yang telah pasrah dengan penuh khidmat. Foto lainnya menampakkan lima lubang di dada yang berwarna merah merembes ke baju putihnya. Sebelum peluru bersarang di tubuhnya, ia berdiri tegak menghadap lurus dengan wajah tertutup ke arah pasukan penembak. Saya lihat dari wajahnya tak ada gentar. Nampaknya, ia sadar bahwa takdirnya telah menyeretnya ke kematian “konyol”? Atau mungkin “syahid”? Bukan urusan kita untuk menjawabnya.
Pelajaran apa yang dipetik? Saya tak pernah melihat foto-foto itu sebelumnya, meski saya suka buku-buku sejarah. Bahkan sekedar membayangkan cara eksekusi mati dilakukan, saya susah menggambarkannya. Ada tiga pelajaran utama yang dapat saya reguk. Pertama, manusia sebaiknya mengerem pemaksaan ideologinya bila ia tidak diterima oleh masyarakat bangsa. Betapa pun menurut dirinya sendiri ‘paling benar’, hendaknya ia ditahan dan didialogkan dengan ideologi-ideologi serta konteks kemasyarakatan lain. Mendasarkan negara pada Syari’ah ketika ia sudah disepakati warga bangsa untuk mendasarkannya pada Pancasila adalah sebuah penyimpangan asas konsensus. Kartosoewiryo jelas menentang kesepakatan-kesepakatan para founding father yang dengan susah payah mencapai kesepatan-kesepatan alot antar warga bangsa yang berasal dari berbagai agama, suku, bahasa, dan adat-istiadat untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara. Maka pemberontakan-pemberontan Karsoewiryo menjadi bukti pemaksaan kehendak dan kesalahannya.
Pelajaran kedua, eksekusi mati adalah simbol akhir dari sebuah kehidupan yang tidak diperhitungkan. Detik-detik kematian yang diketahui dan disadari dengan penuh takut melambangkan sebuah siksaan. Mungkin bagi mereka yang yakin, eksekusi itu adalah kesyahidan dan balasannya adalah surga. Surganya siapa? Mungkinkah Surga tidak dimengerti oleh logika manusia normal? Mati syahid tidak sedangkal itu penafsirannya. Ketiga, masyarakat yang melihatnya menjadi sadar bahwa hidup itu sementara. Karena itu, manusia harus benar-benar melakukan tindakan-tindakan yang positif bagi negara dan masyarakat dengan cara yang logis, strategis, dan berpegang pada prinsip-prinsip kemanfaatan, kemanusiaan, dan nilai-nilai universal.
Para pengikut Kartosoewiryo, saya kira, juga telah berpikir realistis bahwa merongrong negara adalah sebuah tindakan nekat dan makar. Bahkan mungkin sebagian besar telah meninggalkan paham DI/NII akibat informasi-informasi pembanding yang lebih masuk akal dan lebih kaya. Pesan ini mungkin tidak seketika dimengerti kecuali jika buku ini dibaca dengan perbandingan-perbandingan yang luas dan setelah direnungkan.
Dengan demikian, meski diakui sendiri oleh Fadli Zon, buku ini ingin menyajikan fakta-fakta sejarah yang tidak banyak ditemukan dalam buku-buku sejarah umumnya. Album foto yang dibukukan ini adalah dokumentasi milik seseorang (kemungkinan tentara) yang selama ini belum pernah beredar. Pilihan Fadli Zon menyebarkannya ke masyarakat luas bertujuan untuk berbagi informasi dan sama sekali tidak bertujuan politis atau ideologis. Namun bila ditarik ke ranah politis, bisa saja album foto eksekusi mati Kartosoewiryo ini bermakna ‘menyegarkan kembali ingatan massa’ pada Fadli Zon yang dikesankan sebagai sangat peduli pada sejarah nasional. Fadli Zonlah yang berjasa membeli album foto ini dan menyimpannya di Fadli Zon Library. Ia dengan demikian ingin menyumbangkan kecintaannya pada buku sejarah di mana masa-masa formasi dan revolusi seringkali memakan anaknya sendiri.
Boleh jadi, apa yang dilakukan Kartosoewiryo hanyalah karena konflik antar tokoh di masa-masa pergerakan sebagaimana Tan Malaka, Syahrir, dan lain-lain. Para tokoh pergerakan tidak semua sepakat dengan garis politik pemerintah yang syah. Tetapi para tokoh yang tidak memberontak dan melakukan tindakan makar tentu saja bisa diampuni. Nah, Kartosoewiryo adalah tokoh yang melalui peradilan militer terbukti salah. Presiden Soekarno sendiri ketika menandatangani penolakan grasi Kartosoewiryo menyatakan bahwa ia tak punya argumen hukum untuk mengampuni. Atas pertimbangan inilah Kartosoewiryo dieksekusi di Pulau Ubi pada 12 September 1962 di usia 57 tahun.
Mudhofir Abdullah
No comments:
Post a Comment