Kejelian Rahib Buhaira
Panas matahari menyinari hamparan pasir tak berair. Dari kejauhan, tampaklah iring-iringan kafilah dagang. Mereka rupanya pengelana dari negeri yang jauh di selatan. Unta yang mereka tunggangi berjalan pelan seakan berat menanggung beban bekal di atas tubuhnya. Di atas iring-iringan, awan teduh memayungi kemana unta itu melangkah. Hadza min fadhlillah.
Rombongan kafilah, lalu berhenti sejenak melepas lelah. Satu per satu orang, mencoba mampir ke sebuah rumah. Rumah sederhana yang mereka hampiri, milik seorang pendeta Nasrani, Buhaira namanya. Usianya sudah sepuh. Garis keriput berkelok, terlihat di kulitnya. Tetapi, rona wajah tegas masih terpancar jelas.
Mengetahui ada serombongan kafilah yang mampir, Buhaira merasa senang. Dia punya kepribadian suka menjamu tamu dari luar. Kepribadian yang amat tulus dan bersahabat. Tak lama, Buhaira mempersilakan anggota rombongan memasuki rumahnya. Jamuan makanan maupun minuman segera ia siapkan. Salah seorang dari anggota kafilah dagang, yaitu Muhammad kecil.
Buhaira lalu mendekati Abu Thalib. Ia pun bertanya, “Anda datang dari mana?”
Dengan sesungging senyum bersahabat, Abu Thalib menjawabnya, “Kami rombongan dagang dari Mekah, dan Kota Syam ini, menjadi tujuan dagang kami.”
“Baiklah, selamat datang di kota ini. Akan tetapi, ada keanehan yang dari tadi saya amati pada perjalanan Tuan.” Kata Buhaira mencoba membuka perbincangan lebih dalam.
“Keanehan apa yang Anda maksud Tuan?” Tanya Abu Thalib mencari tahu alasan pernyataan Buhaira.
“Setiap langkah rombongan Anda, selalu ada awan yang menaunginya. Ini hal aneh. Dan keanehan datang dari anak kecil itu. Inilah tanda-tanda akan adanya kenabian pada dirinya kelak. Berhati-hatilah Tuan! Jaga dan rawat anak kecil itu baik-baik. Sebab, jika orang Yahudi mengetahui ini, mereka akan senantiasa mencarinya, dan bahkan membunuhnya,” urai Buhaira panjang menyikapi fenomena tak biasa saat itu.
Buhaira, bertahun-tahun mencari kebenaran bakal adanya tanda kenabian setelah Nabi Isa. Dan tanda-tanda yang ia cari, kali ini telah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Abu Thalib memandangnya seraya mengernyitkan dahi. Sejurus kemudian, keyakinan terhadap lontaran pendapat Buhaira makin mendalam. Ia yakin, keponakannya, Muhammad, adalah seorang rasul akhir zaman.
Ahmad Junaedi
No comments:
Post a Comment