Memahami “Watak” Orang Aceh


Beranjak dari penelitian disertasi, “Memahami Orang Aceh” menjadi sebuah buku yang sangat kuat mengangkat karakteristik dan tipologi masyarakat Aceh. Apalagi, penelitian dititikberatkan pada hadih maja yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh. Oleh karena itu, buku setebal 304 halaman ini sangat patut dijadikan cermin dari kehidupan masyarakat Aceh: tempoe doeloe dan kini.

Bukan hanya itu, latar belakang si penulis yang menyandang predikat doktor bidang pendidikan dan bergelut sebagai pengajar sastra, adat dan budaya di Universitas Syiah Kuala dalam kesehariannya, semakin mengokohkan bahwa disertasi ini murni hasil penelitian lapangan. Tentunya ia memiliki landasan yang sangat kuat sebagai sumber acuan para peneliti berikutnya, yakni penelitian tentang karakteristik masyarakat Aceh.

Membaca buku mantan wartawan ini, kita semakin menyadari bahwa masyarakat Aceh sesungguhnya memiliki hati yang lembut dan kasih sayang. Adapun timbulnya sikap atau sifat iri hati, itu disebutkan bukan sifat mutlak ureueng  Aceh, melainkan timbul kemudian hari karena sebab sesuatu semisal dikhianati, dicerca, dimaki, ditipu, dan sebagainya.

Padahal, orang Aceh memiliki sifat lembut dan selalu mengalah. Hal itu terungkap dalam hadih maja pada buku ini, yang dikutip pula oleh Rektor Unsyiah, Darni M. Daud, pada pengantarnya. Hadih maja tersebut adalah; "

Surôt lhèe langkah meureundah diri, mangat jituri nyang bijaksana".
(Surut tiga langkah merendah diri, agar mereka bisa mengenali arti Bijaksana)

Secara umum, buku ini mengkaji struktur, fungsi, dan nilai hadih maja sebagai sastra lisan dalam masyarakat Aceh. Hadih maja dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan peribahasa, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut proverb, bahasa Arab matsal, bahasa Belanda Spreekword.

Dua Karakter Utama Orang Aceh

Bukan tanpa alasan jika penulis buku menyebutkan dua hal di atas sebagai dua karakter yang paling menonjol dari orang Aceh. Yakni adalah sikap militansi dan loyal atau patuh kepada pemimpin.

Pertama, Sikap militansi masyarakat atau orang Aceh sudah ditempa sejak ratusan tahun lalu, sejak pendudukan Belanda sampai konflik bersenjata antara GAM-RI. Semangat rela berkorban, berjuang dan berperang sampai titik darah penghabisan yang ditempa sekian lama itu lantas mengental, mengkristal jadi sebuah budaya yang melekat erat dalam setiap karakter masyarakat Aceh.

Hal ini bisa dibaca melalui syair-syair do daidi, senandung penina bobo bayi yang mengajarkan dan mengajak sang bayi agar setelah besar nanti pergilah ke medan perang untuk berjuang membela bangsa (nanggroe).

Kedua, selain sikap militansi, sikap yang lain yang menonjol adalah loyal dan patuh pada pemimpin. Loyalitas dan kepatuhan bagi orang Aceh sebenarnya sebuah nilai dengan harga mahal. Sebab, agar orang Aceh menjadi loyal dan patuh, sang pemimpin haruslah jujur, setia kepada rakyatnya, tidak ingkar janji, bijak dalam pelayanan serta percaya kepada rakyat.

Hal ini dapat dilihat, Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan orang Aceh rela memberikan segala harta bendanya kepada Indonesia lewat sebuah pesawat bernama RI 01 yang kita tahu sekarang dimuseumkan di Taman Mini Indonesia Indah. Inilah bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap Soekarno karena beliau menjanjikan penetapan syariat Islam di Aceh. Janji itu disampaikan Soekarno kepada Tengku Daud Beureuh pada 16 Juni 1948.

Aceh memberikan kemenangan telak kepada partai Demokrat dan secara khusus kepada SBY dalam pilpres 2009. Tercatat 93% masyarakat Aceh memilih SBY. Ini juga bukti kepatuhan dan loyalitas orang Aceh terhadap SBY, karena dalam masa pemerintahannya SBY telah memberikan sesuatu yang berharga untuk Aceh yakni Perdamaian.

Belajar dari fakta sejarah masa lulu, SBY yang sekarang dipercayakan oleh mayoritas masyarakat Aceh hendaknya membangun silaturahmi yang baik dengan masyarakat Aceh. Sebab bisa saja terjadi, jika kepercayaan itu tidak dihargai, maka Aceh akan bergejolak kembali.

Lima Watak (prototipe) orang Aceh

Gambaran singkat masyarakat Aceh, Menurut Dr. Mohd Harun lewat ‘Memahami orang Aceh’ Kajiannya atas masyarakat Aceh dari penggalan syair hadih maja.

Melalui hadih maja-hadih maja yang sudah dikumpulnya bertahun-tahun, Harun mencoba memberikan pengetahuan baru kepada kita.

Bahwa hadih maja yang selama ini terkesan sekedar jadi penambah pemanis kata bagi orang tua-orang tua ternyata memiliki nilai filosofis yang sangat dalam, yang dapat menunjukkan karakteristik masyarakat pemakainya: tentunya hal ini berdasarkan zaman pula.

Menurut sang penulis ada lima (5) prototipe watak orang Aceh.

MILITAN
Artinya memiliki semangat juang yang tinggi, bukan hanya dalam memperjuangkan makna hidup tetapi juga dalam mempertahankan harga diri atau eksistensinya. 

Rencong peudeueng pusaka ayah, rudoh siwah kreh peunulang, 
Nibak udep dalam susah, bah manoe darah teungoh padang’ 
____
(Rencong, pedang pusaka ayah, rudoh, siwah keris warisan. 
Daripada hidup di dalam susah, biar bermandikan padang di tengah padang)

REAKTIF
Artinya sebagai sebuah sikap awas atas harga diri yang keberadaanya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang Aceh sangat peka terhadap situasi sosial di sekitarnya. Orang Aceh tidak suka diusik, sebab jika tersinggung dan menanggung malu reaksi yang timbul adalah akan dibenci dan bahkan menimbulkan dendam.

Ureueng Aceh hanjeut teupèh,  Meunyo ka teupèh, bu leubèh han geu peutaba, 
Meunyo hana teupèh, boh krèh jeut taraba...
____
"Orang Aceh tak boleh tersinggung perasaannya, jika sudah tersinggung nasi lebih pun untuk kita takkan ditawarkannya. Namun sebaliknya, apapun akan mereka berikan jika tak menyinggung perasaan mereka)

KONSISTEN
Hal ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin plan, tegas, taat asas apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran.

‘Siploh pinto teutob, na saboh nyang teuhah’ 
____
Sepuluh pintu tertutup, ada satu yang terbuka.

OPTIMIS
Hal tersebut tampak dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Orang Aceh beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus dicoba dan dilalui.

Cab di batee labang di papeuen, lagee ka lon kheun han jeut metuka’ 
____
Cap dibatu paku dipapan, seperti yg sudah saya katakan tak boleh tertukarkan

LOYAL
Hal ini amat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang, lebih-lebih pemimpin, menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai orang Aceh maka mereka akan mebaktikan diri sepenuhnya kepada sang pemimpin.‘

Adak lam prang pih lon srang-brang. Bah matee di blang ngon sabab gata’ 
____
Walau dalam perang pun saya akan berkorban, biarlah mati dalam perang itu demi Anda

***

Kendati tidak semua hadih maja dapat berlaku secara harfiah di segala zaman, nilai filosofis di dalamnya tetap menggambarkan tipologi masyarakat Aceh secara keseluruhan. Filosofis yang diemban hadih maja tersebut masih terlihat dalam masyarakat Aceh hingga saat ini. Oleh karena itu, upaya pendokumentasian hadih maja apalagi dalam bentuk penelitian ilmiah seperti yang dilakukan Harun patut mendapatkan apresiasi tinggi.

Lebih rinci, Harun membagi beberapa konsep pemikiran dan watak orang Aceh melalui perspektif hadih maja: konsep nilai filosofis orang Aceh; konsep nilai etis orang Aceh; dan konsep nilai estetis orang Aceh. Ia mengakui bahwa ada satu konsep lagi yang tidak dimasukkan di sini, konsep religius orang Aceh, atas pertimbangan masih belum sempurnanya hasil penelitian tentang religius dalam masyarakat Aceh. Namun demikian, konsep dasar religius orang Aceh dapat dilihat pada disertasi Harun, yang dikeluarkan oleh Universitas Negeri Malang, 2006.

Akhirnya, membaca buku bersampul gambar orang tua bertopi ke belakang, hasil lukisan Mahdi Abdullah, ini membuat saya seperti semakin kenal ke-Aceh-an dalam diri dan masyarakat tempat saya tinggal. Gambar sampul buku itu pun seperti khas gambar salah seorang masyarakat Aceh, yang gemar telanjang dada dan memakai topi yang arahnya ke belakang. Pantas pula Rektor Unsyiah menyebutkan pada pengantarnya bahwa “Memahami Orang Aceh” adalah buku yang memuat berbagai aspek kehidupan masyarakat Aceh secara rinci.

Hemat saya, akan lebih rinci lagi manakala buku ini juga memuat pandangan orang Aceh dari sisi religius, sebab persoalan agama bagi masyarakat Aceh sudah seperti rapatnya kulit dengan ari. Namun demikian, buku ini tetap dapat menjadi landasan bagi para peneliti yang hendak mengkaji seluk beluk masyarakat Aceh, dulu dan sekarang.

Judul Buku: Memahami Orang Aceh
Penulis: Dr. Mohd. Harun, M.Pd.
Penerbit: Citapustaka Media Perintis
Cetakan I: April 2009
Isi: xvi + 304

Disadur dari Buletin Tuhoe Edisi XI, Desember 2009 |  Herman RN 

No comments: