Mendedah Sejarah Syiah di Nusantara

Pada tahun 800, sebuah kapal dagang berlabuh di Bandar Perlak. “Armada dakwah” itu berisikan saudagar-saudagar muslim Arab Quraisy, Persia dan India, yang dipimpin oleh nahkoda Khalifah. Mereka membarter kain, minyak atar, dan perhiasan dengan rempah-rempah. (Lihat majalah Historia No. 6 tahun I/2012).
Sejarawan A. Hasjmy dalam “Syiah dan Ahlu Sunnah” menulis, rombongan misi Islam yang dipimpin oleh nahkoda Khalifah semuanya ialah orang-orang Syiah.
Sejak saat itu orang-orang Islam berdatangan ke Bandar Perlak dengan tujuan utama berdagang, dan lambat laun banyak penduduk sekitar yang memeluk agama Islam.
Pengaruh kedatangan Islam di Bandar Perlak bahkan hingga ke “Meurah” (maharaja) Perlak dan keluarganya. Mereka memutuskan masuk Islam. Lebih dari itu, menurut Teuku Abdullah Muhamad, juru kunci makam Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah (Sultan pertama Perlak), mengatakan bahwa salah satu pedagang yang juga pendakwah bernama Sayyid Ali Muktabar menikah dengan putri kerajaan Perlak, Putri Makhdum Tansuri, yang kemudian melahirkan Sultan Aalidin (Sultan pertama Perlak).
Dengan berpegang kepada apa yang tertulis di atas, maka sejarawan Slamet Muljana dalam buku “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara Islam di Nusantara” berpendapat bahwa Islam yang lebih dahulu sampai di Asia Tenggara ialah Islam aliran Syiah. (Lihat “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa…., Slamet Muljana).
Kesimpulan yang sama juga diambil oleh penulis A. Hasjmy yang menyatakan (kira-kira) bahwa Islam yang pertama menyebar di Indonesia ialah Islam aliran Syiah. Bahkan Hasjmy menulis bahwa Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara. (Sekilas tentang Perlak, lihat artikel “Misteri Pemeluk Islam Pertama di Nusantara”, Dewa Gilang, Kompasiana).
Namun klaim di atas ditolak oleh Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra. Dalam pengantar buku “Syiah dan Politik di Indonesia”, Azyumardi meragukan klaim-klaim mengenai pergumulan dan kekuasaan Syiah di Nusantara.
Ia menyoroti kelemahan pokok dari sisi metodologi dan sumber-sumber sejarahnya. Mengenai klaim Hasjmy, misalnya, Azyumardi mempertanyakan sumber-sumbernya. Jika Hasjmy menggunakan sumber-sumber lokal, lisan atau tulisan, seharusnya diverifikasi, diuji kesahihannya dan dibandingkan dengan sumber-sumber yang ada, baik lokal maupun asing.
Namun, meski demikian apa yang diungkap oleh Azyumardi Azra sama sekali tidak membantah adanya pengaruh Syiah di Nusantara. Hal ini dapat terlihat pada beberapa tradisi keagamaan di Indonesia yang mempunyai akar pengaruh dari Syiah.
Di Pariaman, Sumatera Barat, misalnya, ada tradisi arak-arakkan yang dinamakan “Hayok Tabui” pada setiap Muharram. Tradisi ini sangat kental dipengaruhi oleh Syiah ketimbang Sunni. Arak-arakan semacam itu dikenal di kalangan muslim Syiah sebagai peringatan terhadap tragedi berdarah yang menimpa cucu Nabi Saww, Sayyidina Husain.
Dalam tradisi Jawa “Grebeg Suro” kita juga menemukan adanya pengaruh Syiah. Kebiasaan orang Jawa yang lebih menganggap Muharram sebagai bulan nahas merupakan pengaruh dari Syiah yang juga menganggap Muharram sebagai bulan nahas dengan tewasnya Sayyidina Husain. Karenanya, orang-orang Jawa berpantang menggelar perayaan nikah atau membangun rumah pada bulan “Suro” atau Muharram.
Di tatar Sunda, daerah penulis lahir dan berdiam, pada bulan Muharram dikenal tradisi mengadakan bubur “beureum-bodas” (merah-putih), dan dikenal dengan istilah bibur Suro. Konon, “merah” pada bubur perlambang darah syahid Sayyidina Husain, dan putih perlambang kesucian nurani Sayyidina Husain.
Demikian pula dengan cerita-cerita perihal “Tongkat Ali” (ingat kisah Prabu Kian Santang) dan “rumput Fatimah”, jelas sangat kental pengaruh Syiah ketimbang Sunni.
Rentetan pengaruh Syiah dalam tradisi-tradisi keagamaan di Nusantara akan bertambah panjang dengan bahasan mengenai Marhaba, Shalawatan Diba’, Tahlil Arwah, Haul, Kenduri. Khusus kenduri, sangat nyata dipengaruhi oleh tradisi Syiah. Karena dipungut dari bahasa Persia, “Kanduri”, yang berarti tradisi makan-makan untuk memperingati Fatimah Az-Zahrah, puteri Nabi Muhammad Saww.
Terlepas dari apakah Islam pertama yang menyebar di Indonesia Syiah atau Sunni, yang pasti banyak tradisi keagamaan yang hingga kini masih dijalankan oleh kalangan muslim NU bersumber dari perngaruh ajaran Syiah.
Mungkin sebab ini lah yang menjelaskan mengapa seorang Gus Dur (alm) pernah berujar bahwa NU itu adalah Syiah minus imamah, sebaliknya Syiah itu NU plus imamah. Lebih jauh, Greg Barton, salah satu pemerhati masalah NU, mengutip ucapan Gus Dur, bahwa sarjana-sarjana NU harus memahami Islam Syiah jika mereka hendak memahami tradisionalisme Islam Sunni di Indonesia.
Dewa Gilang

No comments: