Misteri Pemeluk Islam Pertama di Nusantara
Sejarawan M.C. Ricklefs dalam bukunya “Sejarah Indonesia Modern 1200-2008″ menegaskan bahwa penyebaran Islam merupakan salah satu proses yang yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, tapi juga yang paling tidak jelas.
Ketidakjelasan tersebut mungkin bisa terjadi karena minimnya jejak sejarah yang mencatat, baik berupa catatan atau bukti akrkeologis, yang memberi fakta mengenai siapa pemeluk atau -bahkan- penyebar Islam pertama di Nusantara.
Dalam buku yang sama, M.C. Rickfels dengan berani memastikan bahwa Islam sudah ada di negeri bahari Asia Tenggara sejak awal zaman Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah ke-tiga, Ustman bin Affan (644-656 M).
Hal ini dibuktikan, menurutnya, pada abad ke-9 telah ada ribuan pedagang muslim di Canton. Kontak-kontak antara Cina dan dunia Islam itu terpelihara terutama lewat jalur laut melalui perairan Indonesia.
Antara tahun 904 M dan pertengahan abad ke-12, utusan-utusan Sriwijaya ke istana Cina memiliki nama Arab. Pada tahun 1282, Raja Samudera (?) di Sumatera bagian utara mengirim dua utusan bernama Arab ke Cina.
Sangat memungkinkan apa yang dinyatakan oleh Ricklefs mendekati kebenaran. Prof. Dr. Hamka dalam “Sejarah Umat Islam” menyatakan, pada sekitar tahun 717 M, diberitakan ada sekitar 35 kapal perang dari dinasti Umayyah hadir di perairan Sriwijaya.
Bahkan, seperti dikutip dari situs Wikipedia, tercatat beberapa kali Raja Sriwijaya berkirim surat ke Khalifah Islam di Syria. Bahkan di salah satu naskah surat ditujukan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), dengan permintaan agar khalifah sudi mengirim da’I ke istana Sriwijaya.
Bila benar hal di atas, maka dipastikan bahwa sekitar abad ke-7/8 M telah ada penduduk di wilayah Nusantara yang memeluk agama Islam dan bahkan -mungkin- telah ada raja yang beragama Islam.
Dugaan adanya raja di Nusantara yang telah memeluk agama Islam dilontarkan oleh H. Zainal Abidin Ahmad. Dalam bukunya “Ilmu Politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang”, H. Zainal menyatakan bahwa raja Sriwijaya yang bernama Sri Indravarman masuk Islam pada tahun 718 M. Sehingga sangat dimungkinkan bila pada saat kerajaan Sriwijaya telah ada dua komunitas terbesar, yaitu pemeluk Buddha dan Islam.
Meski demikian, berita-berita di atas itu tidak praktis menunjukkan bukti bahwa kerajaan-kerajaan Islam lokal telah berdiri dan tidak pula menunjukkan bahwa telah terjadi perpindahan agama dari penduduk lokal dalam tingkat yang cukup besar. (Lihat Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto).
Yang pasti, menurut catatan Ma Huan, yang ikut dalam muhibah ketujuh laksamana Cheng Ho ke tanah Jawa Dwipa, antara tahun 1431-1433 M, diketahui bahwa penduduk pribumi masih belum memeluk Islam. (Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto).
Demikian pula dengan historiografi lokal, hanya sebatas mencatat keberadaan tokoh-tokoh beragama Islam pra-Wali Songo secara sepintas dalam kisah-kisah yang (kebanyakkan) bersifat legenda. Namun, belum terdapat sumber-sumber yang menjelaskan adanya sebuah gerakan dakwah Islam yang bersifat masif dan tersistematisasi.
Satu-satunya catatan sejarah yang pasti hanya menunjukkan mengenai keberadaan kerajaan Islam pertama di Nusantara, yakni kerajaan Pereulak (Perlak), yang diprokamirkan pada tahun 840 M. Dan kuat dugaan bahwa kerajaan Perlak ini lebih condong kepada corak Syiah ketimbang Sunni. (Lihat majalah Historia No. 6 tahun 1/2012).
Jika benar apa yang tertulis, maka dipastikan bahwa pemeluk Islam pertama (meski tak diketahui secara individu), adalah kerajaan Perlak dan Syiah lebih dulu dipeluk di Nusantara daripada Sunni. Demikian pula dengan penyebaran Islam di Nusantara, Islam Syiah lebih dominan ketimbang Sunni.
Kembali kepada apa yang dinyatakan oleh M.C. Rickfels, bahwa meski penyebaran Islam di Indonesia memegang peranan penting dalam lembaran sejarah Indonesia, namun ketidak jelasan telah membuat penyebar Islam pertama di Indonesia hingga saat ini tetap menjadi misteri.
Adanya anggapan bahwa Wali Songo adalah figur penyebar Islam pertama sama sekali tak bisa dibenarkan, dan juga tak bisa disalahkan pula. Sebab, catatan yang berasal dari sumber-sumber pasti hanya mengenai Wali Songo. Demikian pula dengan penyebaran Islam secara sistematis dan masve hanya terjadi pada masa Wali Songo. Dalam sudut pandang ini, pendapat awam tak bisa kita salahkan, meski tak pula kita benarkan.
Ketidakjelasan tersebut mungkin bisa terjadi karena minimnya jejak sejarah yang mencatat, baik berupa catatan atau bukti akrkeologis, yang memberi fakta mengenai siapa pemeluk atau -bahkan- penyebar Islam pertama di Nusantara.
Dalam buku yang sama, M.C. Rickfels dengan berani memastikan bahwa Islam sudah ada di negeri bahari Asia Tenggara sejak awal zaman Islam, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah ke-tiga, Ustman bin Affan (644-656 M).
Hal ini dibuktikan, menurutnya, pada abad ke-9 telah ada ribuan pedagang muslim di Canton. Kontak-kontak antara Cina dan dunia Islam itu terpelihara terutama lewat jalur laut melalui perairan Indonesia.
Antara tahun 904 M dan pertengahan abad ke-12, utusan-utusan Sriwijaya ke istana Cina memiliki nama Arab. Pada tahun 1282, Raja Samudera (?) di Sumatera bagian utara mengirim dua utusan bernama Arab ke Cina.
Sangat memungkinkan apa yang dinyatakan oleh Ricklefs mendekati kebenaran. Prof. Dr. Hamka dalam “Sejarah Umat Islam” menyatakan, pada sekitar tahun 717 M, diberitakan ada sekitar 35 kapal perang dari dinasti Umayyah hadir di perairan Sriwijaya.
Bahkan, seperti dikutip dari situs Wikipedia, tercatat beberapa kali Raja Sriwijaya berkirim surat ke Khalifah Islam di Syria. Bahkan di salah satu naskah surat ditujukan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M), dengan permintaan agar khalifah sudi mengirim da’I ke istana Sriwijaya.
Bila benar hal di atas, maka dipastikan bahwa sekitar abad ke-7/8 M telah ada penduduk di wilayah Nusantara yang memeluk agama Islam dan bahkan -mungkin- telah ada raja yang beragama Islam.
Dugaan adanya raja di Nusantara yang telah memeluk agama Islam dilontarkan oleh H. Zainal Abidin Ahmad. Dalam bukunya “Ilmu Politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang”, H. Zainal menyatakan bahwa raja Sriwijaya yang bernama Sri Indravarman masuk Islam pada tahun 718 M. Sehingga sangat dimungkinkan bila pada saat kerajaan Sriwijaya telah ada dua komunitas terbesar, yaitu pemeluk Buddha dan Islam.
Meski demikian, berita-berita di atas itu tidak praktis menunjukkan bukti bahwa kerajaan-kerajaan Islam lokal telah berdiri dan tidak pula menunjukkan bahwa telah terjadi perpindahan agama dari penduduk lokal dalam tingkat yang cukup besar. (Lihat Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto).
Yang pasti, menurut catatan Ma Huan, yang ikut dalam muhibah ketujuh laksamana Cheng Ho ke tanah Jawa Dwipa, antara tahun 1431-1433 M, diketahui bahwa penduduk pribumi masih belum memeluk Islam. (Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto).
Demikian pula dengan historiografi lokal, hanya sebatas mencatat keberadaan tokoh-tokoh beragama Islam pra-Wali Songo secara sepintas dalam kisah-kisah yang (kebanyakkan) bersifat legenda. Namun, belum terdapat sumber-sumber yang menjelaskan adanya sebuah gerakan dakwah Islam yang bersifat masif dan tersistematisasi.
Satu-satunya catatan sejarah yang pasti hanya menunjukkan mengenai keberadaan kerajaan Islam pertama di Nusantara, yakni kerajaan Pereulak (Perlak), yang diprokamirkan pada tahun 840 M. Dan kuat dugaan bahwa kerajaan Perlak ini lebih condong kepada corak Syiah ketimbang Sunni. (Lihat majalah Historia No. 6 tahun 1/2012).
Jika benar apa yang tertulis, maka dipastikan bahwa pemeluk Islam pertama (meski tak diketahui secara individu), adalah kerajaan Perlak dan Syiah lebih dulu dipeluk di Nusantara daripada Sunni. Demikian pula dengan penyebaran Islam di Nusantara, Islam Syiah lebih dominan ketimbang Sunni.
Kembali kepada apa yang dinyatakan oleh M.C. Rickfels, bahwa meski penyebaran Islam di Indonesia memegang peranan penting dalam lembaran sejarah Indonesia, namun ketidak jelasan telah membuat penyebar Islam pertama di Indonesia hingga saat ini tetap menjadi misteri.
Adanya anggapan bahwa Wali Songo adalah figur penyebar Islam pertama sama sekali tak bisa dibenarkan, dan juga tak bisa disalahkan pula. Sebab, catatan yang berasal dari sumber-sumber pasti hanya mengenai Wali Songo. Demikian pula dengan penyebaran Islam secara sistematis dan masve hanya terjadi pada masa Wali Songo. Dalam sudut pandang ini, pendapat awam tak bisa kita salahkan, meski tak pula kita benarkan.
No comments:
Post a Comment