Peristiwa APRA 23 Januari 1950 dan Jejak Kennedy di Kota Bandung

13591093451514137487
Segerombolan tentara yang menamakan dirinya Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) memasuki kota Bandung sekitar jam 9 pagi, Senin, 23 Januari 1950. Mulanya penduduk kota Bandung tidak terlalu curiga karena hal yang biasa tentara hilir mudik masuk kota Bandung masa itu, walau Perang kemerdekaan dianggap sudah berakhir. Tentara itu menggunakan truk, jeep, motorfiets, serta ada yang berjalan kaki dengan seragam dan bersenjata lengkap dan jumlahnya ditaksir antara 500-800 personel.
Namun ketika mereka mengadakan steling di gang-gang di sepanjang jalan Cimahi-Bandung sambil melepas tembakan ke atas. Bahkan ada di antara mereka mengarakan tembakan ke beberapa rumah penduduk. Barulah setelah ada tembakan warga menjadi was-was. Sejumlah polisi yang menjaga pos-pos sepanjang jalan raya Cimindi, Cibereum dilucuti senjatanya. Sesampainya di kota kepanikan rakyat semakin menjadi-jadi, banyak toko dan rumah ditutup dan jalanan pun menjadi sepi.
Di jalan perapatan Banceui, seorang TNI yang mengendarai jip dan tidak bersenjata diberhentikan. Tentara itu disuruh turun dan mengangkat tangan lalu dengan keji ditembak mati. Pasukan APRA bergerak di Jalan Braga, di muka Apotheek Rathkam sebuah mobil sedan juga diberhentikan. Tiga penumpangnya disuruh turun, di antara seorang perwira TNI. Tanda pangkat perwira itu diambil dan kemudian dia dibunuh. Dua orang sipil yang bersama tentara tadi kemudian diangkut dengan truk.
Tentara APRA juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka menyerang sebuah truk berisi tiga orang TNI. Truk terpelanting melanggar tiang sehingga tumbang. Truk itu kemudian terguling. Perlawanan dari TNI baru terjadi di Jalan Merdeka, sekalipun tidak seimbang. Setelah tembak-menembak sekitar 15 menit, 10 orang TNI gugur. Tentara APRA juga menyerang truk yang dikendarai 7 orang serdadu TNI di perempatan Suniaraja-Braga. Truk itu ditembaki dari depan dan belakang.
1359109466811353384
Perlawanan yang cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude Hospitaalweg. Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Letkol (Overste ) Sutoko dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih banyak. Benar-benar pertempuran sampai peluru terakhir. Letkol Sutoko, Letkol Abimanyu dan seorang opsir lainnya dapat menyelamatkan diri. Lainnya tewas. Markas itu diduduki dan tentara APRA merampok brandkas sebesar F150.000.
Perwira TNI lainnya yang gugur ialah Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola. Mereka dihujani peluru ketika hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang ternyata sudah diduki oleh gerombolan APRA. Keseluruhan 79 orang menajdi korban keganasan gerombolan ini. Mereka adalah 61 serdadu TNI dan 18 orang lainnya yang tidak diketahui namanya karena tidak mempunyai tanda-tanda atau surat dalam pakaiannya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja memasuki Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin dan Gubernur Jawa Barat Sewaka pada saat kejadian sedang mengadakan peninjauan ke Kota Subang. Sementara di Jakarta pada pukul 11.00 bertempat di kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan antara Perdana Mentri RIS dan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Terungkap adanya keterlibatan tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300 tentara Belanda berada di antara pasukan APRA) dalam peristiwa di Bandung itu, maka diputuskan tindakan bersama.
Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk kembali ke Batujajar, baik karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari Divisi Siliwangi yang tidak menjamin keselamatan warga Belanda yang berjumlah ribuan di kota Bandung. Pada hari itu juga pasukan APRA meninggalkan Kota Bandung. Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan No.29 Jakarta antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs (anggota tentara yang melarikan diri dari dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25 januari 1950 pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30 pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana dengan Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.
Latar Belakang
Menurut Letjen Punawirawan Mashudi dalam tulisannya berjudul “Algojo Wasterling Menyerbu Siliwangi” dalam Pikiran Rakjat, 24 Januari 2000, peristiwa itu erat kaitannya dengan penyerbuan yang dilakukan Jendral Spoor terhadap Kota Yogyakarta dan menawan Bung karno dan Bung Hatta, serta sejumlah menteri Republik Indonesia. Jendral Spoor yakin dalam tiga bulan Republik Indonesia dapat dilenyapkan dari muka bumi.
Ternyata perhitungan meleset sekali. Dunia internasional, termasuk Pemerintah Amerika Serikat mengutuk penyerbuan itu. Jendral Spoor tidak pernah tahu perintah Siasat No.1 dari Panglima
Besra Sudiman agar semua satuan TNI -bila Belanda menyerbu ibu kota- harus kembali ke daerah masing-masing. Dengan kode “Aloha” Siliwangi dengan kekuatan 14 Batalyon termasuk keluarganya, melakukan longmarch dari Yogya ke Jawa Barat dan kembali berada di daerah basisnya yang sudah ditentukan.
Negara-negara yang diciptakan Van Mook seperti NIT, Pasundan, Sumatera Utara mengutuk Agresi Tentara Belanda itu. Singkatnya, Jendral Spoor akhirnya tidak berdaya sewaktu Belanda terpaksa merehabilitasi Republik Indonesia. Melalui perundingan Roem Royen akhirnya Belanda melalui KMB mengakui kedaulatan RIS dengan Bung Karno dan Bung Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Namun unsur-unsur tentara KL dan KNIL yang reaksioner tidak menerima keadaan dan berusaha untuk tetap memaksakan agar KNIL menjadi inti dari tentara RIS dan ingin mempertahankan Negara Federal bikinan Van Mook.
Di antara mereka Kapten Wasterling, Komandan Baret Belanda yang telah dikenal sebagai “algojo” di Sulawesi Selatan. Rupanya diam-diam dia menyusun pasukan gelap APRA dengan dukungan kaum reaksioner di kalangan KL maupun KNIL. Dia juga berupaya melobi elite politik kaum federal di pusat maupun daerah bahkan dengan DI/TII. Pada 5 Januari 1950 Wasterling mengultimatum Pemerintah RIS agar menyusun polisi federal dan memaksa RIS mengakui APRA.
Menurut Mashudi lagi pada 10 Januari 1950, Wasterling mengadakan pertemuan dengan menteri-menteri Negara Pasundan dan di Jakarta ia melibatkan Sultan Hamid selaku Menteri Negara RIS untuk mengadakan Coupe.
Misteri Kennedy di Kota Bandung
Pada Sabtu, 18 Juli 1953 Pemerintah Kotabesar Bandung membuka secara resmi Tugu Peringatan di atas makam Prof. Raymond Kennedy, seorang sarjana dari Yale University. Upacara dihadiri wakil Kementerian luar Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, serta perwakilan Amerika di Indonesia. Raymond dipandang berjasa bagi Bangsa Indonesia karena serangkaian penelitiannya. Raymond tewas dibunuh secara misterius pada 27 April 1950 di Desa Tomo, perbatasan Kresidenan Cirebon-Priangan. Kennedy tewas bersama seorang wartawan Amerika bernama Robert (Bob) Doyle.
Seperti dilansir Pikiran Rakjat edisi 20 Juli 1953 tugu tersebut dibuat oleh Jawatan gedung-gedung atas pesanan Kementerian Luar Negeri dibaut dari batu-batu yang diambil dari Gunung Misigit Rajamandala. Pembuatan tugu itu memakan waktu delapan bulan. Raymond Kennedy seperti yang diungkapkan Abdul Sidik, dari kementerian luar negri dipandang sarjana yang membangun saling mengerti antara dunia timur dan dunia barat.
Prof.Kennedy ahli etnolog dan sosiologi mengunjungi Indonesia antara 1929 hingga 1932. Dia pandai bahasa melayu dan Belanda. Bagi Indonesia Kennedy memperkenalkan cita-cita bangsa ini kepada dunia internasional lewat bukunya The Ageless Indies dan Island and People of The Indies. Kennedy juga berkampanye mendukung kemerdekaan Indonesia. Wakil dari kedutaan Amerika John Curtiss menyebutkan, Kennedy pernah mengatakan sewaktu Belanda masih menjajah:
Indonesia harus dirubah mendjadi negara jang menentukan nasib sendiri, dengan rakjatnja berpendidikan tjukup. Dengan pendidikan jang tjukup itu rakjat akan mengerti kemerdekaan, memerintah sendiri dan mengambil hasil dari tanah, serta djerih pajahnja sendiri,”
Kennedy lahir pada 6 Desember 1906. Setelah lulus dari Yale pada tahun 1928, ia bekerja di General Motors kawasan Asia sebagai salesman. Ia menjadi tertarik pada budaya dan masyarakat Indonesia saat bekerja di Indonesia. Kennedy mengambil keputusan untuk mempelajari teknologi dan antropologi di Yale. Dia adalah pelopor pusat studi di Yale Asia Tenggara, mengumpulkan semua publikasi tentang Indonesia di sana, serta konsultan untuk pemerintah AS mengenai Hindia Belanda.
Mengenai kematian Kennedy ada versi yang menarik dari seorang wartawan Amerika, Alexander Marschack dalam Unreported War in Indonesia menjelaskan tentang pembunuhan dua warga AS. Setelah aksi APRA 23 Janauri 1950 berhasil ditumpas, munculah gerakan-gerakan subversif lain yang dilakukan orang-orang belanda semacam NIGO, White Eagle. Mereka melakukan kegiatan teror untuk melemahkan negara. Berhubungan dengan kegiatan mereka adalah pembunuhan atas wartawan Time dan Life, yaitu Bob Doyle dan Proffesor Raymond Kennedy dari Universitas Yale.
Menurut wartawan tersebut, pembunuhan dilakukan karena Prof. Kennedy mengetahu banyak mengenai kejahatan Belanda. Sang profesor diketahui baru saja menulis mengenai kritikan pedas terhadap Belanda, sedangkan Bob Doyle baru saja datang. Prof. Kennedy menjadi incaran agen Belanda. Keduanya dibunuh saat mengendarai jeep, badan kedua korban digeledah lalu segala dokumen yang ada dirampas. Tetapi catatan yang berkaitan dengan Bob Doyle tidak ikut dirampas, oleh karenanya Alexander Marschack dapat memakai bahan tersebut untuk investigasi.
Dalam laporan Alexander Marschack yang saya telusuri Doyle dan Kennedy pada hari-hari sebelum terbunuh menginap di Hotel Savoy Homman. Rupanya agen Belanda mengendus kedatangannya. Dalam laporannya itu Marschack menyebutkan bahwa Kennedy dan Doyle dibunuh dengan keji oleh 6 serdadu KNIl berseragam hijau dengan senjata sten. Pembunuhan ke dua orang Amerika itu dilakukan karena mereka mengetahui hal rahasia aksi Wasterling dan APRA-nya. (Alexander Marschack, “Unreported War in Indonesia” dalam The American Mercury 1952, halaman 37-47).
Irvan Sjafari
Sumber Tulisan:
Alexander Marchack, “Unreported War in Indonesia” dalam The American Mercury, 1952
Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi Djawa Barat, 1953
Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto, Sejarah Nasional Indonesia jilid VI, Jakarta: Balai Pustaka, Cetakan 1993
Mashudi “Algojo Wasterling Menyerbu Siliwangi” dalam Pikiran Rakyat, 24 Januari 2000.
Sumber Foto:
Kementerian Penerangan, Republik Indonesia: Propinsi Djawa Barat, 1953
NB: Tulisan ini juga dimuat di Majalah Interview Plus, Januari 2013
Irvan Sjafari






























No comments: