Islam dan Sejarah Kekuasaan Sunda
Sejarah mengisahkan bahwa Kerajaan Islam Mataram
dan Kerajaan Islam Banten memperluas daerah kekuasaan dengan masuk dan
berupaya melenyapkan Kerajaan Sunda Pajajaran. Konon, pasukan Islam itu
menyebut orang-orang Sunda yang tidak mau masuk Islam dengan sebutan
baduy (badawi) karena lari ke hutan yang kini menyebut dirinya Urang
Kanekes. Orang Sunda Kanekes ini adalah orang Sunda yang paling kuat
memegang ikrar penguasa Sunda bahwa “ turunan pajajaran
anu mikukuhkeun agama sunda wiwitan, ngajauhkeun eslam” [Majalah
Desantara, Edisi 02/ Tahun 01/ 2001, halaman 41].
Prof. Dr. Edi Ekadjati—dalam Majalah (Basa Sunda)
Mangle, No.1928 (28 Agustus - 03 September 2003) dan No. 1929 (04-10
September 2003)—menjelaskan bahwa agama Budha dan Hindu telah masuk ke
Sunda sejak Kerajaan Tarumanegara (sekitar abad empat masehi) buktinya
terdapat pada Candi Cangkuang (Garut), Candi Batujaya (Karawang), Patung
Budha di Talaga (Majalengka), Arca Syiwa di Kendan (Bandung). Namun
pengaruhnya kecil dan hanya terlihat pada tempat-tempat ritus seperti
patilasan, punden berundak, kabuyutan, arcatipe polinesia, dan naskah sanghyang siksa kandang karesian.
Menurut Ekadjati bahwa sebagian masyarakat Sunda,
terutama masyarakat Galuh (Ciamis) menganut agama Jati-Sunda (yaitu
agama hasil sinkretisme antara Arwah-Leluhur, agama Hindu dan Budha)
yang berpijak pada tiga hal : teologis, eskatologis dan moral-humanis.
Agama Jati-Sunda inilah yang saya maksud sebagai keyakinan dan
kepercayaan (atau identitas agama) masyarakat Sunda lama, yang kemudian
dialihkan pada agama Islam.
Prof Ira M Lapidus, penulis buku Sejarah Sosial
Umat Islam, menyimpulkan bahwa Islam di Asia Tenggara telah berhasil
memerankan sebuah peran yang membentuk “institusi” di wilayah pesisir
Nusantara yang diperankan oleh kaum pedagang. Dari institusi itu pula
yang menjadi landasan ideologi sekaligus menjadikan keeratan antar
pedagang yang berasal dari Timur Tengah, India dan Persia. Maka tidak
dapat kita sangkal dalam keberadaannya jika terdapat “idiom atau
istilah” yang dibawa (yang menyertai) dari tempat asalnya untuk
menunjukkan identitas diri pada kawasan yang ditempatinya. Dalam hal ini
kita dapat melihat bukti adanya pengaruh bahasa dari luar seperti adil,
aman, sultan, musyawarah, malik, syah, umat, daulat, siyasat, majelis,
hukum, tahta, diwan (dewan) dll; yang telah merasuk pada bahasa kita.
Prof Azyumardi Azra—dalam buku Renaisans Islam Asia
Tenggara (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1999) bagian pengaruh bahasa
Timur Tengah dalam Nusantara –menerangkan bahwa bahasa politik adalah
keinginan dari adanya pengakuan dan ingin dianggap sebagai bagian
integral dari “sang kuasa” yang menjadi adi kuasa di dunia. Azra
mencontohkan pada abad lima belas sampai enam belas masehi, Kesultanan
Aceh secara resmi menyatakan diri kepada penguasa Turki Utsmani
(Ottoman) sebagai wilayah dari kekuasaan kesultanan Ustmani.
Hal tersebut bukan hanya untuk mendapatkan
perlindungan politik, juga menjadi penegas atau mengukuhkan adanya
pengesahan untuk dikuasai sesuai dengan kehendak yang dijadikan
pelindungnya itu. Inilah kesepakatan antara penguasa dan yang dikuasai,
sehingga ada yang dimunculkan dan ada pula yang dihilang-lenyap-kan atas
nama pengakuan politik. Maka tak heran kalau budaya-budaya di daerah
yang terkena “arus luar” sangat dipengaruhi bahasa, doktrin-doktrin
agama dan konsep-konsepnya yang segera menemukan sekaligus menyatu pada
“wadah-wadah” seperti tradisi, seni, adat, budaya dan bahasa politik
yang berkembang di masyarakat kita.
Itulah sebabnya agama, adat,
kepercayaan dan lainnya yang tadinya merupakan hasil pilihan masyarakat
diubah menjadi yang harus disepakati atas nama kuasa. Yang pada
gilirannya segala sesuatu akan bermkana asing karena diasingkan dengan
konstruksi ketidaksadaran. Inilah yang disebut identitas sebagai sebuah
“kata” yang diperebutkan antar subjek-subjek yang saling mengisi dan
membaur satu sama lain; serta wajar bila tak seorang pun yang tahu bahwa
teks-budaya adalah karya besar yang saling berkomunikasi melalui bahasa
yang dipakai manusia sehingga bahasa adalah sekadar alat untuk
munculnya teks-budaya maupun mitos-mitos yang berkembang di masyarakat.
KANG AHSA
No comments:
Post a Comment