Ada Apa dengan Barat???
Hadis sebagaimana diyakini oleh kaum muslim merupakan sumber kedua
setelah al-qur’an. Dimana dalam keyakinan tersebut mempelajarinya
merupakan ibadah. Oleh karena Hadis juga memiliki otoritas dalam keagamaan maka para ulama terdahulu telah memilih serta menyeleksi hadis berdasarkan pada klasifikasi yang sangat ketat. Sehingga dapat diyakini keotentikanya.
Sementara itu para sarjana muslim pengkaji hadis sangat dipengaruhi
oleh peran penting hadis sebagai sumber hukum serta otoritasnya. Namun
dilain sisi, ada perbedaan sudut pandang yang dilakukan oleh Barat
dimana hadis bukan dimaknai sebagi sumber ajaran teologis melainkan hanya untuk kepentingan sejarah. Pengkajian hadis yang dilakukan oleh Barat adalah penekanan pada penanggalan atas sebuah hadis untuk menilai asal-usul atau sumbernya. Sebagai contoh
adalah ketika mereka mempelajari hukum Islam. Mereka memandang bukan
dari sudut pandang bahwa semua itu merupakan sumber pemikiran, bukan
sebagai hak dan kewajiban yang harus dilakukan. Dengan kata lain, mereka
merupakan para pakar budaya, bukan ahli hukum meskipun mereka mengetauhi hukum.
Badrun Lana
Sejak abad ke 19 pengkajian mengenai otentisitas hadis mulai ramai diperbincangkan, baik dari kalangan Muslim ataupun Barat. Sebagaimana Abu Hayyan menyebutkan bahwa originalitas hadis telah rusak karena adanya periwayatan bil ma’na.
Bagi
sarjana Muslim awal, polemik mengenai keotentikan suatu hadis sudah
diyakini dan diketahui lebih awal sebelum Barat mulai melakukan kritik
terhadap keotentikan hadis. Hal ini terlihat dari banyak karya ulama
yang mencoba menelusuri hadis-hadis yang shohih dan yang memiliki
derajat dibawahnya. Dalam melakukan kritik hadis tersebut, para ulama
klasik menggunakan tiga pendekatan yaitu: Pertama: mengkaji riwayat. Yakni menelusuri
kesinambungan antara perowi yang satu dengan perowi yang lainya. Usaha
ini merupakan mencari jalur-jalur sanad yang dapat dipercaya dan
memiliki ketersambungan sanad. Kedua: mengkaji tentang nama-nama perowi. Dalam hal ini yang dilakukan adalah menjelaskan nama-nama perowi baik kelahiranya, guru, murid, sikap, keseharian, serta daya ingat atau kekuatan hafalanya. Ketiga:
mengkaji kandungan hadis. Dimana dalam hal ini yang ditekankan adalah
pengkajian matan hadis. Apakah ia bertentangan denganal-Qur’an atau
tidak, atau juga dengan hadis lain yang lebih tsiqoh.
Dalam kesarjanaan Muslim, jalur tunggal sering disebut sebagai hadis syadz, ghorib atau juga fard.
Dapat dipercayanya seorang rawi merupakan syarat utama suatu hadis.
Apabila perawi merupakan orang yang dipercaya, maka hadisnya pun
dipercaya. Meskipun demikian, apabila suatu hadis dianggap tsiqoh dan bertentangan dengan hadis lain yang lebih tsiqoh maka riiwayat ini tidak tsiqoh. Hal ini tentu banyaknya perawi dalam setiap tingkatan sama sekali tidak mempengaruhi kualitas hadis. Akan tetapi yang mempengaruhinya adalah ketsiqohan rawi.
Metode
yang dilakukan oleh ulama hadis periode awal ini juga sempat
menimbulkan kontroversi. Analisis sanad yang lebih dikedepankan oleh
para ulama, dinilai telah mengabaikan esensi dari makna hadis. Pendapat
seperti ini juga ditolak oleh beberapa pengkaji lain bahwa pada
dasarnya, apa yang dilakukan oleh sarjana di awal penulisan hadis sama
sekali tidak meninggalkan aspek matan. Bahkan pengkajian sanad sendiri
merupakan satu upaya untuk mengetahuai kualitas hadis. Yang pada
akhirnya akan pada satu kesimpulan bahwa apa yang telah dilakukan oleh
para pengkaji hadis di masa awal itu merupakan karya fenomenal bagi masa
sekarang.
Meskipun sanad merupakan kriteria yang paling menentukan
dalam memastikan keotentikan hadis, para sarjana generasi awal
(tradisional) juga tidak mengabaikan matan. Dalam hal ini Muslim
menyatakan dalam muqoddimahnya bahwa kesahihan hadis juga dapat ditinjau
setelah melihat matan hadis
yang lain apakah ia memiliki kontradiksi dengan hadis yang lebih tinggi
derajatnya atau tidak? Jika mayoritas ulama hadis mengungkapkan hadis
tersebut memiliki kelemahan, maka hadis tersebut juga termasuk lemah dan
tidak digunakan.
Bukhori
menjelaskan jalur emas adalah dari ibnu umar adalah jalur malik dari
nafi dan jalur abu huroiroh adalah jalur dari abu az-zinad dari
al-a’roj.
Adapun menurut kaidah yang dilakukan oleh Barat serta analisis cum matan, dalam
periwayatan sesungguhnya, perbedaan varian-varian matan dari para murid
yang meriwayatkan dan para informan yang sama bisa saja terjadi
terutama pada abad pertama dan paruh pertama abad kedua hijriyah.
Pandangan
Barat yang mengatakan bahwa hadis merupakan sumber sejarah telah
menjadi polemik yang sangat panjang. Diantaranya adalah munculnya sikap
skeptis terhadap hadis. Bahkan mereka meragukan separuh hadis yang
dimuat dalam shohih Bukhori. Sikap kritis Barat ini menjadikan hadis
menuai banyak kritik. Sampai
pada puncaknya adalah apa yang dilakukan oleh Ignaz Golziher sebagai
orang yang pertama kali membawa hadis pada ranah kajian kritis. Ia
menganggap bahwa hadis bukan merupakan sumber terpercaya dalam Islam
melainkan sebuah sumber yang mengandung nilai dogmatis.
Tidak
berhenti sampai disitu, pengkajian Barat mulai ramai sebagaimana muncul
pula Josep shcat yang mengatakan bahwa suatu sanad memiliki
kecenderungan membengkak pada masa belakangan dari periwayatan. Dengan
teori common linnk-nya ia mengatakan bahwa sedikit sekali hadis
yang berasal dari nabi. Asumsi ini dilandaskan pada orang yang
meriwayatkan hadis. Suatu hadis dinyatakan historis apabila memiliki
periwayat yang banyak. Lebih lanjut ia juga mengatakan bahwa dimasa awal
islam, periwayat hadis sangatlah sedikit. Baru pada masa belakangan
muncul para periawayat baru yang sangat banyak jumlahnya.
Study Barat atas Islam tidak berhenti disitu. Setelah Shcat memunculkan teorinya, teori tersebut juga diadopsi oleh sarjana Barat yaitu Juynboll. Ada hal penting yang menjadi pertanyaan mendasardalam study Juynboll adalah bahwa historisitas suatu hadis sepatutnya dimunculkan dari pertanyaan “dimana, kapan dan siapa yang bertanggungjawab atas keotentikan suatu hadis.
Baik Shcat ataupun Juynboll, keduanya mengatakan bahwa common link merupakan pemalsu hadis. Juynboll juga mengatakan bahwa hanya riwayat common link yang didukung oleh beberapa parcial common link yang dapat dianggap sebagai jalur periwayatan historis. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Motzki yang cenderung mengatakan bahwa common link
merupakan bukti dari suatu hadis mulai diriwayatkan secara sistematis.
Oleh karenanya dengan kesimpulan ini, berarti apa yang ada diatas common link merupakan periwayat hadis yang asli.
Menurut Cook, common link adalah hasil dari sebuah proses jalur isnad. Oleh karena itu, munculnya seorang common link tidak dapat menyajikan titik sejarah yang pasti tentang periwayatan hadis.
Menurut
Schat penulisan hadis sejak masa nabi merupakan satu hal yang tidak
mungkin. Ia berargumen bahwa pada saat itu nabi sendiri melarangnya. Hal
ini ditolak oleh M. Azami. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya hadis sudah ditulis pada masa awal, bahkan sejak zaman nabi.Badrun Lana
No comments:
Post a Comment