Bandung 1955 (1): Catatan Tentang Konferensi Asia-Afrika 18-24 April 1955

1366637021623469813
Para peserta berjalan kaki ke tempat Konferensi Asia Afrika (Kredit Foto www.republika.co.id)
Pagi hari sekitar pukul 7.45, ratusan wartawan dalam dan luar negeri bersiaga di lapangan Terbang Andir di Kota Bandung. Hari itu Sabtu, 16 April 1955 mereka mengabadikan kedatangan Presiden Sukarno dan isterinya Fatmawati. Seorang cameramen dari Republik Rakyat China (RRT masa itu) bersiap hendak mengambil opname (mengambil stok gambar) tiba-tiba dia didesak oleh seorang cameraman dari Amerika Serikat.
“You know I come from great United States of America,” bentaknya. Ucapan yang mendatangkan kebencian wartawan lain (terutama dari negara-negara Asia dan Afrika). Orang Amerika itu mengaku mewakili National Broadcasting Hongkong. Seorang petugas Information Desk segera berbisik bahwa yang disikut ini bukan sembarang orang China, tetapi juga seorang wartawan. Segera orang Amerika itu meminta maaf kepada cameraman RRC itu.
Insiden kecil ini dimuat dalam harian Pikiran Rakjat edisi 18 April 1955 merupakan cerminan dari semangat anti imperealisme dan kolonialisme sekaligus rasa persatuan di kalangan rakyat Asia dan Afrika terhadap negara-negara Barat yang masih saja tidak rela negara jajahannya merdeka. Presiden Sukarno dalam pembukaan KAA berpidato mencerminkan situasi itu.
Saja ingat beberapa tahun yang lalu saja mendapatkan kesempatan membuat analisa di muka umum tentang kolonialisme bahwa saja di waktu itu minta perhatian pada apa jang saja namakan garis hidup imperealisme. Garis itu terbentang dari Selat Gibraltar melalui Laut Tengah, Terusan Suez, Laut Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan sampai Laut Jepang. Daratan-daratan sebelah menyebelah garis hidup jang panjang sekali itu sebagian besar adalah tanah jajahan, rakjatnja tidak merdeka, hari depannja tergadaikan pada bangsa asing..”
Sebetulnya pada Sabtu 16 April 1955 para wartawan menantikan Chou En- Lai (ada yang menulis Zhou Enlai), Perdana Menteri China. Kesaksian wartawan Indonesian Observer, Charlotte Clayton Maramis menyebutkan bahwa ia menjadi sosok penting karena nyawanya diincar oleh saudara sebangsanya sendiri. Tersebar berita bahwa pesawat yang ditumpangi Perdana Menteri China itu mengalami kecelakaan. Namun kemudian ada kabar bahwa Chou En-Lai tidak ada dalam pesawat itu karena dipindahkan ke pesawat lain. Hingga sore hari orang yang ditunggu tidak datang.
Dalam makalah yang dibagikan kepada mereka yang hadir pada Peringatan Konferensi KAA, 19 April 2011 Charlotte mengungkapkan Susana di bandara. “Personel militer berjaga di mana-mana. Tampang mereka seram. Aku segera mengisi tempatku, berdiri sesuai dengan pengarahan. Di daerah tempat wartawan berdiri memungkinkan untuk mendapatkan foto-foto bagus yang menangkap kedatangan para delegasi sekaligus para pejabat yang menyambutnya. Di daerah kami tidak ada deretan kursi, tetapi di daerah di mana para tamu yang akan disambut sungguh mewah…”
Orang yang ditunggu akhirnya baru datang kira-kira pukul 10 pagi, keesokkan harinya Minggu 17 April 1955. Chou En-Lai datang bersama 28 anggota delegasi RRC. Seorang pelajar pria SMP 2 Cihampelas Bandung mengalungkan karangan bunga ke lehernya. Namanya Leung Sze Mau (kemudian berganti nama menjadi Jackson Leung). “Saya bangga sekali seperti prajurit mau berangkat ke medan perang,” katanya pada hadirin dalam diskusi pada 19 April 2011 yang juga saya hadiri. Menurut cerita Leung, PM Zhou dan PM Indonesia Ali Sastroamidjojo bersalaman dan berpelukan. Mereka saling menyapa dengan semangat.
Selain Chou En-Lai, tokoh lain yang kedatangannya punya cerita adalah Presiden Filipina Charles Romulo. Menurut Pikiran Rakjat edisi 16 April 1955 Carlos Romulo datang bersama Senator Emmanuel Pelaez (kelak menjadi Wakil Presiden Filipina pada 1961 hingga 1965) dan Sekretaris II dari Kementerian Luar Negeri Filipina Raul Manglapus. Yang menyambut selain Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo adalah Gubernur Jawa barat Sanusi Hardjadinata. “Saya girang melihat tuan dan dapat berkunjung ke negeri tuan,” kata Carlos Romulo sewaktu di bandara.
Pasalnya Filipina sempat diberitakan menolak menghadiri KAA. Keanggotaan negeri ini dalam SEATO (Pakta Pertahanan negara-negara Asia Tenggara) yang digagas AS dan isu politik bahwa KAA akan menjelma menjadi blok anti barat dan anti kulit putih. (Pikiran Rakjat, 4, 5 Januari 1955). Hal yang sama juga terjadi pada Thailand yang juga ikut menandatangani SEATO.
Yang menarik di antara 29 negara yang hadir terdapat juga Vietnam Selatan dan Vietnam Utara yang terbagi karena perjanjian Genewa, setelah para pejuang kemerdekaan Vietnam meremukan tentara Kolonial Prancis di Dien Bien Phu pada Mei 1954. Aljazair sekalipun belum menjadi negara merdeka mengirim beberapa tokohnya seperti Hussen Eit-Ahmed dan Muhammad Yazid yang sudah hadir di Jakarta sejak Januari 1955.
“Situasi Aljazair tak aman karena adanya oeprasi-operasi militer dan penindasan polisional setiap hari dilakukan kaum kolonial,” ujar Hussein. (Pikiran Rakjat 4 Januari 1955). Charlotte Clayton Maramis dalam kesaksiannya juga bertemu delegasi Aljazair (tetapi tidak disebutkan namanya) ia memintanya menulis artikel untuk mengimbau dunia agar membantu Aljazair. Sebelumnya dia juga menerima surat dari Hussein Eit-Ahmed dari Karachi, tertanggal 8 Maret 1955 yang isinya meminta dihentikannya tindakan represif di negerinya.
Untuk menyambut KAA Bandung mempersiapkan akomodasi untuk sekitar 1000 orang anggota delegasi, serta para wartawan yang mau meliput. Jumlah wartawan saja yang memerlukan akomodasi ditaksir 400 orang. Bandingkan dengan wartawan yang meliput Konferensi Genewa pada 1954 berjumlah 800 orang. Hotel yang digunakan Hotel Homman, Hotel Preanger, kemudian Hotel Grand Lembang, Verlop Centrum Ciumbeleuit, bahkan sejumlah rumah di sekitar gedung Pension Pondsen (Gedung Dana Pensiun, kemudian menjadi Gedung Dwi Warna?) akan dikosongkan untuk menerima tamu. Hotel Homman disebutkan ditempati para pemimpin delegasi dan para stafnya di Hotel Preanger. (Pikiran Rakjat, 5, 8 dan 25 Januari 1955).
Delegasi Indonesia terdiri dari PM Ali Sastroamidjojo sebagai Ketua dan Wakil Ketua Menteri Luar Negeri Sunario. Di antara anggota delegasi terdapat Menteri Perekonomian Rooseno dan Menteri PPK Mohammad Yamin. Seluruhnya 17 orang delegasi ditambah 16 penasehat (Pikiran Rakjat 13 April 1955).
Pada 18 April pagi rakyat Bandung yang ingin menyaksikan dan melihat wajah para tamu berjejal-jejal di tepi jalan dimuka HotelHomman. Lalu lintas berjalan beres hanya mobil yang mempunyai tanda izin dapat menelusuri Jalan Asia-Afrika, tapi mobil-mobil tidak bisa berlalu lalang sepanjang Gedung Merdeka. Barisan murid dan militer berdiri berjejer di muka Gedung Merdeka membuka jalan bagi wakil- wakil negara.
Rombongan demi rombongan delegasi dari Hotel Homman didampingi polisi ebrsegaram di kanan dan kiri berjalan menuju gedung konferensi. Mereka mengenakan pakaian ansional. Rombongan dari Kamboja mengenakan jas putih dan celana hitam, serta sepatu panjang. Rombongan dari Vietnam mengenakan jubah berwarna kuning. Yang paling menarik perhatian adalah pakaian Hon Kojo Botsio dari Pantai Emas (yang kemudian menjadi Ghana). Dia mengenakan pakaian berwarna kuning bercorak hijau hingga kontras dengan kulitnya yang hitam (Pikiran Rakjat, 18 dan 19 April 1955)
Sumber dari situs www.bandungheritage.org juga menggambarkan keramaian. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berderet disepanjang Jalan Asia Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira. Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama Langkah Bersejarah (The Bandung Walks). Kira-kira pukul 09.00 WIB, semua delegasi masuk ke dalam Gedung Merdeka. Tak lama kemudian rombongan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, tiba di depan Gedung Merdeka dan disambut oleh rakyat dengan sorak-sorai dan pekik “merdeka”.
Di depan pintu gerbang Gedung Merdeka kedua pucuk pimpinan pemerintah Indonesia itu disambut oleh lima Perdana Menteri negara sponsor. Setelah diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia : “Indonesia Raya”, maka Presiden RI Ir. Soekarno mengucapkan pidato pembukaan yang berjudul “LET A NEW ASIA AND NEW AFRICA BE BORN” (Lahirlah Asia Baru dan Afrika Baru) pada pukul 10.20 WIB.
Penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika ini membawa implikasi pada dunia bisnis. Toko Van Dorp di Jalan Braga 77 misalnya menawarkan penjualan peta kota Bandung, Perangko RI 1945-1949 hingga Postcard Indonesia dan Bandung, serta aneka kerajinan kulit. Sementara di Restoran Naga Mas diadakan pameran Mannequin Education Show, pertunjukkan batik dan jamuan minum teh bagi pengunjung Konferensi Asia-Afrika (Pikiran Rakjat 19 April 1955).
Irvan Sjafari

No comments: