Kartini, Bukan Hanya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’

Terlepas dari pro kontra yang mestinya kedua pihak punya argumentasi, saya ingin mencari sumber-sumber bacaan bagaimana asal usul Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Indonesia. Kebetulan mingguan Tempo edisi 22 – 28 April 2013 tema utamanya “Gelap-Terang Hidup Kartini”. Sejarah hidup Kartini dan keluarganya serta orang-orang di sekitarnya dibahas pada halaman 34 sampai dengan  halaman 97, cukup lama untuk membacanya di sela-sela kesibukan, termasuk kesibukan membaca Kompasiana.
Gugatan atas kepahlawanan Kartini bukan hanya dilakukan oleh beberapa Kompasianer, antara lain yang menggugat hanya curhat dan galau saja kok jadi pahlawan atau mendingan Martha Tiahahu yang berjuang di medan perang atau tokoh buruh masa kini almarhum Marsinah yang dianggap lebih konkrit perjuangannya. Jauh hari sebelumnya sudah banyak yang mempersoalkan kepahlawanan Kartini dengan alasan Kartini diatur Belanda dan pada masa yang sama ada beberapa wanita lain yang lebih baik dari Kartini. Pada tahun 1979 Harsja W. Bachtiar, menulis “Kartini dan Peranan Wanita Dalam Masyarakat Kita”, sebagai sebuah tulisan yang dianggap mewakili kelompok yang mempersoalkan Kartini sebagai pahlawan kaum perempuan.
Home Schooling dan Visi Luar Biasa
Visi yang sangat maju di keluarga Kartini, dimulai dari kakeknya, Tjondronegoro IV, Bupati Demak yang cerdas dan berpikiran maju. Tjondronegoro menyekolahkan anak-anaknya ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar untuk bangsa Belanda dan orang-orang yang disetarakan. Setelah ELS ternyata bangsa pribumi saat itu tak diperkenankan meanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi, Tjondronegoro kemudian mendatangkan guru privat dari Belanda bernama C.S. van Kesteren, untuk mendidik anak-anaknya di rumah.
Ayah Kartini, Bupati Jepara bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, berpikiran maju seperti kakek Kartini. Ia menyekolahkan anak-anaknya baik perumpuan maupun laki-laki ke sekolah Belanda. Disebutkan Kartini dan kedua adik perempuannya Kardinah dan Roekmini bersekolah sampai tamat ELS, lalu dengan berat hati Bupati Jepara mulai memingit anak-anak perempuannya tersebut satu persatu sesuai usianya. Adat saat itu memang mengharuskan wanita saat mulai akil balig dipingit dirumah untuk menanti pinangan dari calon suaminya, yang belum tentu dikenal sebelumnya.
Kartini walaupun dipingit sejak 1892 – 1896, ia tetap diperbolehkan membaca koran, majalah yang dilanggan ayahnya, ia juga membaca buku-buku dan novel yang dibawa kakaknya RM Panji Sosrokartono, yang saat itu sekolah di Hogere Burger School (HBS) di Semarang. Bila kakek Kartini memanggil guru privat bagi anak-anaknya, maka Kartini lebih tepat disebut belajar autodidak dari bacaan-bacaan yang disediakan ayah dan kakaknya. Sosrokartono sendiri kemudian melanjutkan kulaih di Negeri Belanda, sebagai mahasiswa pribumi pertama, semula kuliah teknik di Universitas Delft, kemudian pindah ke jurusan Bahasa dan Kesusateraan Timur di Universitas Leiden. Sosrokartono yang jenius, menguasai 24 bahasa dunia dan 10 bahasa Nusantara, lulus sebagai Doctorandus dengan predikat summa cum laude.
Kartini dan adiknya Roekmini setelah pingitannya dibebaskan oleh ayahnya, pada tahun 1903 sempat hampir berangkat ke negeri Belanda untuk sekolah dengan mendapat bantuan dari Pemerintah Belanda. Hanya saat-saat terakhir rencana pergi ke Nederland tersebut batal, gara-gara nasihat J.H Abendanon, Direktur di Departemen Pendidikan, Agama dan Industri Hindia Belanda. J.H. Abendanon menyarankan agar Kartini dan Roekmini sekolah di Batavia saja, mengingat kondisi kesehatan ayah Kartini yang kurang baik dan di Negeri Belanda mereka mungkin juga menhadapi kesulitan yang belum terbayangkan sekarang, disamping sepulang dari Belanda Kartini dan Roekmini akan dianggap noni Belanda, yang mungkin bila mereka mendirikan sekolah, orangtua pribumi akan enggan melepas anaknya untuk diajar Kartini.
Lebih lanjut Abendanon mengatakan bila ingin mendirikan sekolah, dirikanlah sekarang juga tak perlu menunggu selesai pendidikan lanjutan di Belanda atau Batavia. Kartini mulai mendirikan sekolah di beranda belakang rumah dinas Bupati Jepara bagi gadis pribumi pada Juni 1903, dengan murid satu orang walaupun akhirnya bertambah menjadi beberapa orang lagi.
Peristiwa gagalnya Kartini pergi sekolah ke Belanda akhirnya disesali Kartini, sedangkan rencana sekolah ke Batavia pun gagal karena saat bersamaan ia harus memutuskan akan menyenangkan hati ayahnya yang sedang sakit untuk menerima lamaran Bupati Rembang.
Menggugat Adat Unggah Ungguh Jawa
Apa saja adat yang digugat Kartini, karena tidak sesuai dengan pandangan hidupnya? Kartini sejak usia sekolah dasar suka berjalan cepat, tertawa terbahak yang memperlihatkan gigi, hal yang tabu bagi wanita, apalagi wanita bangsawan saat itu.
Kartini juga tak memperkenankan adiknya menyembah atau berjalan jongkok bila akan bicara dengannya. Bahkan ia minta teman bangsa Belandanya cukup memanggil namanya saja Kartini, suatu hal tak biasa saat itu.
Begitu revolusionernya cara berpikir Kartini, sampai usia 24 tahun beliau masih belum menikah, hal yang menyusahkan ayahnya, mengingat adat Jawa saat itu biasanya seorang gadis menikah tak lama setelah ia menginjak akil balig. Saat akhirnya Kartini menerima lamaran Bupati Rembang, RM Adipati Djojoadiningrat, ia mengajukan beberapa syarat, yang juga tak umum dilakukan pihak wanita, yaitu setelah menikah mereka akan berbicara dalam bahasa Jawa ngoko bukan kromo inggil, sebagai lambing kesamaan derajat. Pada saat prosesi pernikahan Kartini menolak prosesi jongkok, berlutut dan menyembah mempelai pria. Ia juga mengajukan syarat boleh membuka sekolah dan mengajar puteri-puteri pejabat Rembang, seperti yang dilakukannya di Jepara. Kartini juga minta diperbolehkan membawa ahli ukir Jepara ke Rembang untuk mengembangkan kerajinan ukiran kayu secara komersial.
Mengapa Kartini yang dalam surat menyuratnya menunjukkan anti poligami mau diperistri Bupati Rembang, yang ditinggal wafat garwa padmi (permaisuri), tapi masih punya tiga garwa ampil? Situasi dan kondisi mungkin memaksa Kartini menerima lamaran Buapti Rembang, yang ternyata pernah kuliah di Sekolah Tinggi Pertanian (Landbouw Hoge School) Wageningen, walaupun tak tamat. Ayah Kartini menderita tekanan batin akibat banyaknya gosip dari sesama pejabat pamongpraja tentang putrinya yang punya pikiran tak seperti wanita Jawa pada umumnya, itulah salah satu pertimbangan Kartini yang sangat menyayangi ayahnya.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Inilah kumpulan surat menyurat Kartini dengan sahabat-sahabat penanya di negeri Belanda, buku berjudul asli Door Duisternis Tot Licht, yang legendaris dan mengguncang Negeri Belanda yang saat itu juga sedang menjalankan politik etis bagi warga jajahan di Hindia Belanda, diterbitkan di Negeri Belanda pada 1911, setelah Kartini meninggal dunia.
Siapa saja yang berkorespondensi dengan Kartini? Kartini mencari sahabat pena di Negeri Belanda dengan memasang iklan di majalah De Hollandsche Lelie. Estelle Zeehandelaar, yang dipanggil Stella adalah wanita Belanda keturunan Yahudi yang menyambut keinginan Kartini untuk berkorespondensi. Korespondensi dengan Stella berlanjut dengan korespondensi dengan tokoh-tokoh politik etis, termasuk dengan J.H. Abendanon dan isterinya Rosa Manuela Abendanon-Mandri. Surat-menyurat ini mulai tahun 1899 setahun setelah Kartini dibebaskan dari pingitan oleh ayahnya sampai tahun 1903.
Apa saja topik tulisan Kartini? Dalam surat petamanya tertanggal 25 Mei 1899, Kartini menyinggung gerakan Toynbee Work, gerakan yang memperjuangkan pendidikan para buruh, sebuah gerakan yang diilhami sekolah gratis yang didirikan Arnold Toynbee di Inggris untuk para buruh di London Timur dan merintis pendirian serikat pekerja. Kartini juga menulis topik tentang kebudayaan Jawa, kegembiraan lepas dari pingitan hingga perdagangan candu. Kartini menulis budaya Jawa menghambat perempuan untuk maju, Kartini ingin wanita mendapat kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Kartini juga menceritakan keinginannya belajar di Negeri Belanda dan teman-temannya di Belanda , akhirnya berhasil mendapatkan bea siswa bagi Kartini dan Roekmini untuk belajar di Belanda. Sayang cita-citanya justru mendapat halangan dari orang yang justru dihormatinya, J.H. Abendanon. Stella yang memperjuangkan bea siswa untuk Kartini atas bantuan suaminya, menuduh Pemerintah Hindia Belanda menghalangi Kartini untuk belajar di Belanda.
Buah pikiran Kartini serta tindakannya selama ia sekolah di ELS, selama dipingit antara 1902 – 1908, tulisan-tulisannya di Koran-koran Hindia Belanda saat itu, apa yang dilakukankannya untuk melawan adat yang menurut Kartini tidak cocok dengan nuraninya, merupakan gagasan dan aktivitas yang jauh lebih maju dibanding jamannya.
Kontroversi Belum Berakhir
Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879 dan wafat pada 17 September 1904 di Rembang, empat hari setelah melahirkan anak tunggalnya. Penggugat kepahlawanan Kartini , mengusulkan cukup merayakan Hari Ibu pada 22 Desember, agar tidak menimbulkan sangkaan pilih kasih bagi wanita pahlawan lainnya, seperti Tjut Njak Dien, Martha Tiahahu, Dewi Sartika, yang dipandang punya rekam jejak lebih konkrit dibanding R.A. Kartini.
Kartini telah ditetapkan sebagain pahlawan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1964. Pasti almarhumah tak pernah minta dirinya diangkat menjadi pahlawan di sebuah negara bernama Indonesia, beliau saat itu fokus pada perjuangann untuk mendidik kaum perempuan di sekitar dirinya di Jepara dan Rembang. Kita hormati saja kelebihan para wanita pahlawan nasional kita, tak perlu sampai menghapus Hari Kartini, rayakanlah Hari Kartini dan Hari Ibu sewajarnya, seperti kita merayakan kepahlawanan ibunda kita masing-masing, yang bertarung dengan maut saat melahirkan dan susah payah membesarkan dan mendidik anak-anaknya, bersama sang suami, kadang-kadang karena alasan tertentu bahkan hanya membesarkan anak seorang diri.
Sumber bacaan: Majalah Tempo, edisi 22 -28 April 2013 dan Wikipedia.

Hendi Setia

No comments: