Kartini: Revolusi Dimulai dari Pikiran

136651214815490042
R.A. Kartini dan suaminya, Singgih Djodjo Adhiningrat (1903).
Hari ini, 21 April 2013, adalah Hari Kartini. Pada momen peringatan Hari Kartini ke-49 ini beragam pandangan kembali muncul ke permukaan terkait kiprah R.A. Kartini (1879-1904). Beberapa diantaranya mempertanyakan kepantasan Kartini disebut pahlawan, hal ini bila dibandingkan dengan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan Rohana Kudus.
Sebenarnya antar pahlawan demikian tidak mesti dipertentangan. Kepahlawanan yang progresif tidak hanya dimaknai heroisme perjuangan fisik seperti dilakukan Cut Nyak Dien. Perjuangan melalui pemikiran dengan tulisan-tulisan yang mendunia seperti dilakukan R.A. Kartini dan Rohana Kudus, juga aksi heroisme.
Lebih dari itu, R.A. Kartini sebenarnya hanyalah simbol dari peranan wanita dalam mendobrak tradisi yang mengekang demi kemajuan wanita umumnya. Bukan berarti hanya R.A. Kartini saja yang “harum namanya” atau hanya R.A. Kartini saja yang pantas menyandang gelar pahlawan.

Cut Nyak Dien juga harum namanya; Rohana Kudus juga harum namanya; Dewi Sartika pun harum namanya; dan semua wanita yang menghargai dirinya, peduli dengan sesama, dan memperjuangkan nilai-nilai yang lebih besar dibandingkan dirinya, pun adalah harum namanya.
Tentu saja mustahil memakai deretan nama perempuan pahlawan demikian ke dalam satu tanggal peringatan. Cukup ambil salah satu saja sebagai simbol, dalam hal ini R.A. Kartini.
Apa yang dilakukan R.A. Kartini memang fenomenal dan revolusioner di zamannya. Pada saat itu budaya patriaki memang sangat kuat dan sulit ditembus, termasuk dalam tradisi kerajaan-kerajaan Jawa. Seorang wanita tak lebih hanya pendamping kaum lelaki, bekerja di kasur, dapur dan sumur. Dijadikan istri kesekian (dipoligami) atau pengangkatan selir/gundik pun tak perlu minta pendapat istri.
R.A. Kartini mencoba menggugat semua tradisi budaya Jawa yang mengekang kemajuan perempuan pada zamannya, melalui tulisan-tulisan berbobot kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda, salah satunya Rosa Abendanon.
Surat-surat R.A. Kartini tersebut kemudian dibukukan oleh Mr. J.H. Abendanon di bawah judul Door Duisternis tot Lich (1911) hingga kemudian diterbitkan Balai Pustaka dengan terjemahan berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922) dan terjemahan versi Armyn Pane berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang (1938).
Terbukti belakangan, bahwa nilai-nilai kesetaraan gender, persamaan hak, humanisme, dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang ditulis R.A. Kartini menjadi standar perlakuan bermartabat pada wanita. Inilah bukti bahwa revolusi sosial, budaya, dan politik dimulai dari pikiran.

Sutomo Paguci

No comments: