Kisah 3 Butir Kurma-2
Betapa sedihnya sang raja mendengar pertimbangan
patihnya tersebut. Tetapi, bagaimanakah yang harus ditempuh karema Sunan
sudah terlanjur memberitahu pemerintah kolonial soal suksesi itu?
Tetapi Sasradiningrat sanggup pasang badan bahwa dia yang akan berbicara
dengan pihak Belanda. Suatu hal yang mengejutkan bahwa Belanda
menyetujui permohonan patih itu. Tentu saja perubahan kebijakan itu
disampaikan ke Pangeran Puruboyo. Sekalpun sedih, tetapi Pangeran
Purboyo menerima putusan itu dengan kesadaran bahwa segala sesuatu yang
terjadi di alam ini sudah menjadi kehendak Tuhan.
Akhirnya pada 5 September 1823, hanya 3 tahun sesudah memerintah, Sunan Pakubuwoo V meninggal dunia. Dan kemudian tanggal 15 September 1823, raden Mas Sapardan, putra terua almarhum, diankat menjadi raja dan bergelar Sunan Pakubuwono VI.Dalam kedudukannya sebagai raja di Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono VI masih terikat perjanjian-perjanjian yang dibuat para pendahulunya, yakni tahun 1677, 1702, serta 1749, sehingga masih memberikan bantuan prajurit kepada Belanda. Adapun usaha yang dilakukan di antaranya adalah; Pertama, Surakarta jangan sampai terpecah belah; Kedua, berusaha agar wilayah Keraton Kasunanan tidak bertambah sempit karena rongrongan penguasa kolonial Belanda; Ketiga, berusaha untuk membatalkan ketiga perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh Belanda; Keempat, mengusahakan bersatunya kerajaan-kerajaan sepertu dahulu; dan Kelima, mengusir Belanda dari Pulau Jawa.
Sejarah kemudian mencatat bahwa Sunan Pakubuwono VI adalah pendukung perjuangan Panegran Diponegoro, yang memberontak terhadap pemerintah Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terikat perjanjian dengan Belanda Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu.
Akhirnya pada 5 September 1823, hanya 3 tahun sesudah memerintah, Sunan Pakubuwoo V meninggal dunia. Dan kemudian tanggal 15 September 1823, raden Mas Sapardan, putra terua almarhum, diankat menjadi raja dan bergelar Sunan Pakubuwono VI.Dalam kedudukannya sebagai raja di Keraton Kasunanan Surakarta, Paku Buwono VI masih terikat perjanjian-perjanjian yang dibuat para pendahulunya, yakni tahun 1677, 1702, serta 1749, sehingga masih memberikan bantuan prajurit kepada Belanda. Adapun usaha yang dilakukan di antaranya adalah; Pertama, Surakarta jangan sampai terpecah belah; Kedua, berusaha agar wilayah Keraton Kasunanan tidak bertambah sempit karena rongrongan penguasa kolonial Belanda; Ketiga, berusaha untuk membatalkan ketiga perjanjian yang dibuat secara sepihak oleh Belanda; Keempat, mengusahakan bersatunya kerajaan-kerajaan sepertu dahulu; dan Kelima, mengusir Belanda dari Pulau Jawa.
Sejarah kemudian mencatat bahwa Sunan Pakubuwono VI adalah pendukung perjuangan Panegran Diponegoro, yang memberontak terhadap pemerintah Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terikat perjanjian dengan Belanda Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu.
Penulis
naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Sunan
dengan Pangeran Diponegoro bahasa simbolis. Misalnya, Sunan dikisahkan
pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana.
Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara
diam-diam.
Pangeran
Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam Kasunanan Surakarta untuk
berunding dengan Sunan seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika
Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon,
kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera ditanam di dalam
keraton oleh Pakubuwana VI.
Dalam
perang melawan Panegran Diponegoro, Sunan menjalankan aksi ganda. Di
samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk
pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa
muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Belanda
akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret
1830. Sasaran berikutnya ialah Raja Surakarta, Sunan Pakubowono VI.
Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Sunan untuk
penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.
Penjajah
berusaha mencari bukti untuk menangkap Sunan Juru tulis keraton yang
bernama Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai
keterangan. Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang
anti Penjajah, Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Sunan
Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya mati setelah
disiksa secara kejam. Konon jenazahnya ditemukan penduduk di sekitar
Luar Batang.
Belanda
tetap saja menangkap Sunan Pakubuwono VI dan membuangnya ke Ambon pada
tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah
membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia. Fitnah yang dilancarkan pihak Penjajah ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Sunan Pakubuwono VI yaitu Sunan Pakubuwono IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita, yang kelak menjadi pujagga kraton yang termasyur. Pada 8
Juni 1830, Sunan Pakubuwono VI beserta keluarganya dibuang ke Ambon,
padahal ketika itu permaisuri Pakubuwono VI, Gusti Kanjeng Ratu
Agengsedang hamil. Menurut keterangan resmi pemerintah kolonial Hindia
Belanda, kapal yang ditumpangi rombongan Pakubuwono VI mengalami
kecelakaan dan mengakibatkan sang Raja tewas, sedangkan sang permasiuri
selamat dan kemudian melahirkan seorang bayi laki-laki bernama Raden Mas
Duksino pada 22 Desember 1830.
Mas Ishar
Mas Ishar
No comments:
Post a Comment