Mencari Jejak Max Havelaar di Lebak
Novel Max Havelar karya Multatuli memang pernah mengguncang Negeri Kincir Angin, hingga Hindia Belanda. Apakah kisahnya sungguh terjadi?
Selepas Rangkasbitung, poster-poster wajah peserta Pemilukada Kabupaten Lebak, Banten, Jawa Barat, tampak menawarkan semangat perubahan kepada warga. Mungkin semangat yang sama pernah muncul di benak Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker dalam novelnya Max Havelaar.
Lelaki kelahiran Amsterdam itu pernah ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist sebagai asisten residen di Lebak pada Januari hingga April 1856. Kala itu Lebak adalah suatu wilayah terpelosok di bawah residensi Banten.
Novel dengan judul asli Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-Maatschappij itu terbit pada 1860 di Belanda. Eduard berkisah tentang pengamatannya soal praktek pemerintahan lokal dalam masa Cultuurstelsel—tanam paksa—pada pertengahan abad ke-19 di Lebak.
Kelak, novel ini memberi perubahan besar terhadap pandangan negara penjajah terhadap rakyat yang dijajahnya. Akhirnya, Cultuurstelsel pun dihapus pada 1870. Eduard telah membongkar kebobrokan Hindia Belanda dan berjuang tanpa memandang ras.
Di selatan alun-alun Lebak, berdiri rumah berarsitektur indis bercat putih bersih. Kelima anak tangganya mengantarkan tetamu menuju beranda luas dengan empat pilar gaya tuskan. Anggun dan memesona.
Pendapa yang berada di depannya juga tetap dipertahankan, baik lantai maupun pilarnya. Pada pertengahan abad ke-19, di rumah itulah Bupati Raden Adipati Karta Natanagara tinggal. Warga setempat menyebutnya Regen Sepoeh, seseorang yang sangat ditakuti sekaliguis dihormati di Kabupeten Lebak.
Semua orang yang pernah membaca novel Max Havelaar—atau menonton film produksi 1976 garapan Alphonse Marie Rademaker dengan judul yang sama—pasti ingin memasuki rumah cantik itu. Mungkin orang akan menebak-nebak: di ruangan mana Slotering diracun oleh Sang Bupati tatkala diundang makan malam? Slotering merupakan nama yang disamarkan Eduard untuk C.E.P. Carolus, Asisten Residen sebelum Eduard, yang diduga tewas diracun oleh Sang Bupati.
Natanagara menjabat Bupati Lebak periode 1830-1865. Makamnya yang terletak di belakang Masjid Agung Lebak—tepat di sisi barat alun-alun—tampak sangat sederhana. Dalam novel Max Havelaar, dia dikisahkan sebagai seorang feodalistis yang kerap menindas rakyat. Bahkan, di halaman rumah itulah bupati memerintahkan warga desa untuk kerja paksa mencabuti rumput.
Sejatinya Eduard marah melihat ketidakadilan di Lebak. Betapa rakyat Lebak miskin, sementara bupati mereka hidup bergelimang kemewahan. Bahkan menantu sang bupati, Demang Raden Wirakusuma, kerap berperilaku kasar dan memeras warga. Perilaku dua tokoh itu dikisahkan melebihi penjajah.
Bagi warga Lebak, nama "Multatuli" telah diabadikan menjadi nama salah satu jalan raya utama yang menuju ke kawasan alun-alun. Wawan Sukmara selaku Kabid Budaya pada Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak berkata, “Banyak tinggalan bangunan zaman Belanda di Lebak, namun Max Havelaar telah menjadi salah satu ikon kota ini.”
Berkait dengan penggambaran Natanagara dalam novel tersebut, Wawan berkata, “Warga Lebak masih melihat dia sebagai sosok yang terhormat.” Sementara, perihal pro dan kontra warga soal Eduard sebagai tokoh dalam sejarah Lebak sekaligus pejuang kemanusiaan, dia berkata, “Kami masih membutuhkan penjelasan dari ahli sejarah sehingga kami bisa menempatkan diri nantinya.”
Eduard berhasil menggambarkan situasi saat itu dalam novelnya, bahwa pribumi telah ditindas tidak hanya oleh penguasa kolonial, melainkan juga oleh penguasa lokal—bahkan lebih kejam. “Sistem penggajian memang telah menggantikan sistem upeti”, kata sejarawan Ery Sandra Amelia Moeis yang akrab disapa Ere Moeis, ketika berkunjung ke Lebak.
“Namun kenyataannya para pegawai pemerintahan pribumi belum sepenuhnya meninggalkan pola lama—feodal.” Akibatnya, eksploitasi penduduk itu justru dilakukan oleh para bupati atau demang.
Rumah Eduard tak jauh dari alun-alun. Halaman depannya yang dahulu pernah dihiasi kolam kini menjelma menjadi bagian kompleks RSUD dr. Adjidarmo. Kondisi rumah itu pun sangat memprihatinkan lantaran tidak utuh lagi—diperkosa bangunan baru. Hanya menyisakan sebagian atap, dinding samping, dan dinding belakang.
Novel yang berlatar budaya feodal dan masyarakat miskin di Lebak 1850-an ini memang melejitkan nama Eduard Douwes Dekker—dan menghentikan sistem tanam paksa. Namun, ironisnya hingga hari ini Lebak masih menjadi salah satu kabupaten termiskin di Banten. Seorang pamong praja berkata dengan nada optimis, “Nanti tahun 2014 kita telah bebas dari kemiskinan!”
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Lelaki kelahiran Amsterdam itu pernah ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist sebagai asisten residen di Lebak pada Januari hingga April 1856. Kala itu Lebak adalah suatu wilayah terpelosok di bawah residensi Banten.
Novel dengan judul asli Max Havelaar, of de koffie-veilingen der Nederlandse Handel-Maatschappij itu terbit pada 1860 di Belanda. Eduard berkisah tentang pengamatannya soal praktek pemerintahan lokal dalam masa Cultuurstelsel—tanam paksa—pada pertengahan abad ke-19 di Lebak.
Kelak, novel ini memberi perubahan besar terhadap pandangan negara penjajah terhadap rakyat yang dijajahnya. Akhirnya, Cultuurstelsel pun dihapus pada 1870. Eduard telah membongkar kebobrokan Hindia Belanda dan berjuang tanpa memandang ras.
Di selatan alun-alun Lebak, berdiri rumah berarsitektur indis bercat putih bersih. Kelima anak tangganya mengantarkan tetamu menuju beranda luas dengan empat pilar gaya tuskan. Anggun dan memesona.
Pendapa yang berada di depannya juga tetap dipertahankan, baik lantai maupun pilarnya. Pada pertengahan abad ke-19, di rumah itulah Bupati Raden Adipati Karta Natanagara tinggal. Warga setempat menyebutnya Regen Sepoeh, seseorang yang sangat ditakuti sekaliguis dihormati di Kabupeten Lebak.
Semua orang yang pernah membaca novel Max Havelaar—atau menonton film produksi 1976 garapan Alphonse Marie Rademaker dengan judul yang sama—pasti ingin memasuki rumah cantik itu. Mungkin orang akan menebak-nebak: di ruangan mana Slotering diracun oleh Sang Bupati tatkala diundang makan malam? Slotering merupakan nama yang disamarkan Eduard untuk C.E.P. Carolus, Asisten Residen sebelum Eduard, yang diduga tewas diracun oleh Sang Bupati.
Natanagara menjabat Bupati Lebak periode 1830-1865. Makamnya yang terletak di belakang Masjid Agung Lebak—tepat di sisi barat alun-alun—tampak sangat sederhana. Dalam novel Max Havelaar, dia dikisahkan sebagai seorang feodalistis yang kerap menindas rakyat. Bahkan, di halaman rumah itulah bupati memerintahkan warga desa untuk kerja paksa mencabuti rumput.
Sejatinya Eduard marah melihat ketidakadilan di Lebak. Betapa rakyat Lebak miskin, sementara bupati mereka hidup bergelimang kemewahan. Bahkan menantu sang bupati, Demang Raden Wirakusuma, kerap berperilaku kasar dan memeras warga. Perilaku dua tokoh itu dikisahkan melebihi penjajah.
Bagi warga Lebak, nama "Multatuli" telah diabadikan menjadi nama salah satu jalan raya utama yang menuju ke kawasan alun-alun. Wawan Sukmara selaku Kabid Budaya pada Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lebak berkata, “Banyak tinggalan bangunan zaman Belanda di Lebak, namun Max Havelaar telah menjadi salah satu ikon kota ini.”
Berkait dengan penggambaran Natanagara dalam novel tersebut, Wawan berkata, “Warga Lebak masih melihat dia sebagai sosok yang terhormat.” Sementara, perihal pro dan kontra warga soal Eduard sebagai tokoh dalam sejarah Lebak sekaligus pejuang kemanusiaan, dia berkata, “Kami masih membutuhkan penjelasan dari ahli sejarah sehingga kami bisa menempatkan diri nantinya.”
Eduard berhasil menggambarkan situasi saat itu dalam novelnya, bahwa pribumi telah ditindas tidak hanya oleh penguasa kolonial, melainkan juga oleh penguasa lokal—bahkan lebih kejam. “Sistem penggajian memang telah menggantikan sistem upeti”, kata sejarawan Ery Sandra Amelia Moeis yang akrab disapa Ere Moeis, ketika berkunjung ke Lebak.
“Namun kenyataannya para pegawai pemerintahan pribumi belum sepenuhnya meninggalkan pola lama—feodal.” Akibatnya, eksploitasi penduduk itu justru dilakukan oleh para bupati atau demang.
Rumah Eduard tak jauh dari alun-alun. Halaman depannya yang dahulu pernah dihiasi kolam kini menjelma menjadi bagian kompleks RSUD dr. Adjidarmo. Kondisi rumah itu pun sangat memprihatinkan lantaran tidak utuh lagi—diperkosa bangunan baru. Hanya menyisakan sebagian atap, dinding samping, dan dinding belakang.
Novel yang berlatar budaya feodal dan masyarakat miskin di Lebak 1850-an ini memang melejitkan nama Eduard Douwes Dekker—dan menghentikan sistem tanam paksa. Namun, ironisnya hingga hari ini Lebak masih menjadi salah satu kabupaten termiskin di Banten. Seorang pamong praja berkata dengan nada optimis, “Nanti tahun 2014 kita telah bebas dari kemiskinan!”
Sungguh kehidupan yang dramatis, nasib Eduard tak semujur novelnya. Setelah tidak bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda, dia kembali ke tanah kelahiran. Berbagai profesi dari redaktur hingga juru bahasa telah dicoba, namun kandas.
Kemudian meja judi menjadi pelarian Eduard, hingga dia jatuh miskin. Dia pindah ke sebuah kota pinggiran Sungai Rhein di Jerman, Ingelheim am Rhein. "Akhirnya, dia meninggal sebagai gelandangan," ujar Ere. "Dia tidak punya rumah."
Eduard memang pernah menjadi asisten residen di kota ini, namun apakah novel Max Havelaar merupakan kisah sejarah? Ere menuturkan bahwa tokoh-tokoh, peristiwa dan tempat yang disebutkan dalam karya Eduard memang pernah ada. Sementara, perilaku bupati yg memerintahkan rakyatnya untuk serahkan upeti dan kerja paksa merupakan hal wajar yang terjadi di beberapa daerah saat itu. “Kita percaya karena fenomena dalam novel itu benar terjadi di Hindia Belanda masa Cultuurstelsel.”(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
No comments:
Post a Comment