Mengapa Buraq-Singa?

SATU topik yang membuat Aceh menjadi bahan pemberitaan kembali adalah tentang disahkannya Bendera dan Lambang Aceh. Lambang ini sudah dikenal sebelumnya sebagai lambang Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) atau gerakan Aceh merdeka (GAM) bergambarkan dua binatang buraq dan singa dengan semboyan Hudeep beusare mate syahid.

Saya tidak tahu siapa yang mendesainnya, tapi yang menjadi keheranan saya adalah semiskin inikah kebudayaan Aceh, sehingga perlu mengimpor gaya perlambangan dari kebudayaan Eropa? Mengapa orang yang meneriaki lambang sebagai identitas, tetapi tidak tahu kalau lambang itu bukanlah identitas kita?

Bukan bermaksud bersikap xenophobia, akan tetapi mengapa tidak kita mengambil dulu dari kebudayaan leluhur kita? Apa karena malu, kurang percaya diri, dan kurang wah dengan memakai budaya sendiri? Seperti kata pepatah, orang kalah selalu mengikuti yang menang.

 Aturan Heraldry
Lambang Aceh yang disimbolkan dengan buraq dan singa itu sendiri sangat mirip dengan lambang yang mengikuti aturan Heraldry. Heraldry merupakan kaidah perlambangan yang awalnya berkembang dari Prancis dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Untuk lambang kerajaan, biasanya, bercirikan dengan sebuah perisai bermahkota diapit dengan dua binatang di sisi kiri dan kanan ditambah motto di bawah.

Gaya perlambangan ini hampir diikuti seluruh kerajaan di Eropa. Beberapa negara Eropa yang beralih dari Kerajaan ke Republik membuang lambang heraldry yang identik dengan monarki kembali ke lambang semula seperti Italia dengan “dua ikat rantai daun” ala Romawi, dan Rusia kepada elang berkepala dua.

Selain Heraldry, di Jepang ada pula sistem perlambangan yang disebut Mon ata Kamon. Mon sulit dideskripsikan namun umumnya adalah bentuk bunga yang dilingkari dan diwarnai sama. Lambang Kekaisaran Jepang yang ada sekarang juga merupakanka mon dan tetap dipertahankan hingga sekarang meskipun Jepang telah memodernisasikan negeri sejak era Meiji. Tak hanya itu, sejumlah bendera di prefektur Jepang tetap memakai lambang Kamon di dalamnya.

Bagaimana dengan di Aceh? Dulu pada masa prakemerdekaan memang di Nusantara tidak mengenal lambang negara secara formal seperti yang lazim ada sekarang, tetapi ada yang kita bisa angkat dengan pola cap yang dipakai sebagai identitas penguasa. Cap yang paling terkenal adalah cap sikureueng yang dipakai Sultan, tetapi beberapa bangsawan dan raja lain termasuk raja Batak dan Minang juga memiliki cap yang mirip.

Awalnya cap ini memang menyerupai stempel dan simbol pemerintahan di Turki maupun Mughal di India. Namun seiring waktu, orang Aceh sedikit mengubah dengan menambah ukiran dan segi-segi sehingga berbeda dari awalnya yang hanya diisi kaligrafi. Saya rasa pola lingkaran cap ini bisa menjadi pertimbangan sebagai jadi dasar dari lambang tersebut dan di dalamnya bisa diisi dengan hal yang lain baik umum maupun khas yang bisa diambil dari kultur Aceh.

Dengan menatapkannya sebagai lambang resmi Provinsi Aceh, secara tidak langsung kita tetap menjaga satu bentuk kebudayaan kita yang terlupakan dan tidak dianggap ini. Dengan demikian kita bisa mempertegas kalau kebudayaan kita bukanlah kebudayaan kemarin sore, tapi sudah berabad-abad terbangun, bukan mempersempit pada masa Sultan Meukuta Alam atau era 1976 saja.

 Krisis identitas
Lambang Aceh ini hanya setitik air dalam lautan dari apa yang terjadi pada masyarakat kita, yaitu sebuah kehilangan identitas budaya. Aceh hanya dianggap semata hanya baju adat yang jauh berbeda dengan masa prakolonial, rencong, pinto Aceh, dan tari-tarian.

Selain itu, tak banyak yang benar-benar serius -walau ada- diperkenalkan pada masyarakat baik dalam maupun luar sebagai komoditas pariwisata. Tidak banyak yang tahu baju rompi berukir yang dipakai Tgk Imum Lueng Bata dalam misi diplomasi ke Singapura sehingga kelihatannya hal ini akan punah seperti hilangnya kepopuleran topi rieman.

Begitu pula dengan nasib boneka-boneka kayu Aceh yang dipamerkan dalam Festival Kolonial 100 tahun hilang begitu saja. Wali Nanggroe yang dianggap sebagai pemersatu masyarakat Aceh ternyata memiliki “istana” yang berasitekturkan barat tanpa secuil pun dari luar kelihatan nilai-nilai keacehan. Sepatutnya pembangunan Istana Wali Nanggroe mampu menggantikan “Dalam” sebagai simbol arsitektur Aceh. Selain yang disebut atas tadi, dhike Aceh juga tidak diberi kesempatan untuk memunculkan diri sebagai salah satu produk kebudayaan Aceh, dikarenakankebijakan saat ini yangterlalu terpaku kepada tari-tarian. Ditambah lagi kita lebih menyenangi simbol bulan bintang sebagai bendera dibandingkan `alam Zulfikar yang asli Aceh dan tidak didapat yang serupa di belahan dunia lain.

Selain berhubungan dengan identitas tadi, menggantikan bulan bintang dengan ‘alam Zulfikar berarti melukiskan kemandirian Aceh yang baru, Aceh yang tidak lagi “mengemis” senjata ke negeri di atas angin Turki sana, tetapi Aceh yang kita harapkan esok adalah Aceh yang bisa membuat “meriam” sendiri.

 Penggalian kembali
Maka dari itu, akhir kata penulis harap dengan sepenuh harapan adanya upaya yang sangat serius dalam penggalian kembali seluruh aspek kebudayaan masyarakat Aceh yang lama kita lupakan. Kita sudah letih dengan konflik yang berkepanjangan, yang membuat kita lupa membangun daerah kita.

Kini saatnya kita meletakkan fondasi berdasarkan identitas budaya kita yang berwawasan global dalam bingkai Negara Kesastuan Republik Indonesia (NKRI). Jika perlu kita menegosiasi Belanda maupun pihak-pihak yang menyimpan khasanah budaya Aceh walaupun memang sulit dan butuh biaya besar.

Dengan banyaknya kebudayaan yang unik digali kembali selain menjadi kebanggaan kita juga bisa menjadi nilai jual pariwisata sehingga Aceh tak hanya dikenal dengan laut, tsunami, Masjid Raya Baiturrahman, dan tari-tarian.

Sarwo Edhi, Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Darussalam, Banda Aceh. Email: sarwo.edhi90@gmail.com

No comments: