Merayakan Kartini di Hari Wafatnya Walanda Maramis

Lega sudah hati saya, pencarian selama dua hari akhirnya berbuah. Baju kebaya dan bawahan (kain jarik yang dibuat rok) yang sesuai ukurannya bisa ditemukan. Berkali-kali di salon yang menyewakan kostum, selalu terjadi ketidakcocokan, ada kebaya yang pas, namun bawahanya tidak. Giliran bawahannya cocok ternyata kebayanya kekecilan atau kebesaran. Menjelang batas deadline saya kembali mengusulkan untuk memakai baju adat Dayak dan puteri saya setuju. Dan di salon terakhir, sebelum menanyakan kostum adat Dayak, saya tanya apakah ada kostum kebaya dan ternyata beberapa set kebaya yang ditunjukkan oleh pemilik salon, salah satu diantaranya pas untuk putri saya. Rona kegembiraan terpancar di wajah puteri saya, cita-citanya memakai baju kebaya tercapai sudah.

Putri saya ngotot mencari sewaan baju kebaya untuk dipakai merayakan Hari Kartini. Perayaan yang seharusnya jatuh pada tanggal 21 April, namun kemudian diundur jatuh pada hari Minggu. Maka perayaan hari Kartini di sekolah putri saya dilaksanakan pada hari Senin 22 April. Saya ingat bahwa tanggal 22 April adalah hari meninggalnya tokoh perempuan lain yaitu Walanda Maramis.
Maria Josephine Chaterine Maramis, lahir di Kema, 1 Desember 1872. Kelak dirinya lebih dikenal dengan sebutan Walanda Maramis, meninggal dalam usia 51 tahun di Maumbi, 22 April 1924. Tokoh gerakan perempuan di Minahasa ini kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia atas jasa-jasanya memajukan emansipasi wanita di Minahasa dan Indonesia pada masa awal abad ke 20.
Nicholas Grafland seorang pewarta yang dikirim oleh The Nederlands Missionary Society ke Minahasa pada tahun 1849 dan kemudian lebih dikenal sebagai penulis historigrafy Minahasa itu dalam sebuah penerbitan “Nederlandsche Zendeling Genootschap”, mentahbiskan Maria (Walanda Maramis) sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki “bakat istimewa untuk menangkap mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki.
Walanda Maramis menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal karena sakit dalam waktu yang berdekatan. Walanda Maramis yang saat itu masih berumur 6 tahun akhirnya diboyong pindah ke Maumbi (sekarang masuk wilayah Manado) oleh pamannya yang adalah Hukum Besar (Kepala Desa) di Maumbi. Walanda Maramis kemudian disekolahkan di Sekolah Melayu untuk belajar membaca dan menulis serta ilmu pengetahuan lain dan sejarah. Sekolah Melayu inilah yang menjadi satu-satunya pendidikan resmi yang diikuti oleh Walanda Maramis.
Seperti Kartini, Walanda Maramis juga suka menulis. Hanya saja Kartini menulis dalam bentuk korespondensi dengan sahabat dan kenalan di Belanda, sementara Walanda Maramis menulis dalam bentuk artikel dan kemudian dikirimkan ke surat kabar yang terbit di Manado waktu itu yaitu Tjahaja Siang. Tulisan opini Walanda Maramis di surat kabar itu berisi tentang pentingnya kedudukan ibu dalam keluarga, mengasuh anak, menjaga kesehatan anggota keluarga lainnya. Walanda Maramis berpandangan bahwa ibu adalah pendidik awal dari anak-anaknya.
Perhatian kepada peranan ibu dan anak diwujudkan dalam aksi nyata oleh Walanda Maramis dan teman-teman lainnya dengan mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya). Melalui PIKAT, Walanda Maramis menyiapkan perempuan, ibu-ibu untuk menjadi pengasuh anak dengan bekal pengetahuan dan ketrampilan yang cukup. PIKAT didirikan pada bulan Juli 1917.
Dari Manado kemudian PIKAT berkembang ke berbagai penjuru, ke Minahasa, Sangihe Talaud dan Gorontalo (Propinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo), lalu ke Poso dan Donggala (Propinsi Sulawesi Tengah), ke Makassar (Propinsi Sulawesi Selatan), ke Balikpapan, Kota Raja dan Sanga Sanga Dalam (Propinsi Kalimantan Timur) dan ke pulau Jawa yang meliputi Jakarta, Bogor, Bandung, Cimahi dan Malang.
Mulai tanggal 2 Juli 1918, di Manado didirikan sekolah bernama Huis Hood School PIKAT dengan modal semangat dan tekad bulat. Melalui sekolah inilah Walanda Maramis dan teman-temannya mendidik perempuan tamatan SR tanpa memandang golongan, entah atas, menengah atau bawah. Gedung sekolah itu dipinjamkan oleh seorang pedagang Belanda tanpa perlu sewa dan dalam waktu tak terbatas. Pedagang Belanda itu bersimpati dan tertarik atas cita-cita Walanda Maramis.
Berbekal uang pinjaman, pada tanggal 10 Mei 1919 PIKAT membeli tanah dan rumah di daerah yang sekarang dikenal sebagai Titiwungen Manado, disitu didirikan sebuah gedung asrama yang dinamai Huizw Maria (kini dikenal sebagai Asrama Putri PIKAT). Tahun 1926 setelah meninggalnya Walanda Maramis, PIKAT berhasil membeli tanah di Sario untuk membangun gedung PIKAT. Lalu tahun 1932 didirikan sekolah PIKAT di Sario dengan nama Meisyes Vakschool, dengan murid pertama berjumlah 20 orang tamatan HIS, sementara guru-gurunya adalah tamatan dari Opleiding School Voor Onderwijzeres Batavia.
Itulah sekelumit intisari perjalanan hidup dan pengabdian Walanda Maramis untuk Bumi Putera. Dua hal yang patut dicatat dari kepeloporan Walanda Maramis, pertama perhatiannya yang besar pada peran perempuan, ibu dalam mendidik anak-anaknya. Menyiapkan anak menjadi generasi yang unggul serta sehat. Walanda bergiat dalam aras praksis sosial budaya lewat pendidikan dan kursus-kursus. Kedua dalam bidang politik, Walanda Maramis juga mempelopori tuntutan partisipasi politik perempuan yang setara dengan laki-laki. Walanda Maramis menuntut perempuan diberikan hak suara dalam menentukan wakil-wakilnya di dewan perwakilan rakyat. Pada tahun 1919 dibentuk Minahasa Raad dan hanya laki-laki yang berhak memilih. Namun atas perjuangan Walanda Maramis pada tahun 1921 keluar keputusan dari Batavia yang mengijinkan perempuan untuk ikut memilih wakilnya yang duduk di Minahasa Raad.
Atas jasa dan perjuangannya melalui surat keputusan Presiden RI No. 021/K/1969 tertanggal 20 Mei, Maria Walanda Maramis ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Dalam masa pemerintah Gubernur Mayjen HV Worang dibangun Patung Walanda Maramis pada ujung Jalan yang memakai namanya pula. Dan ketika kepemimpinan PIKAT berada dalam tangan Hilda Rantung Karepouwan (Istri Gubernur CJ Rantung), dibangun kompleks monumen pada makam Walanda Maramis di Maumbi.
Nama Walanda Maramis pernah juga disebut untuk menjadi nama universitas negeri di Tondano, namun kemudian tidak jadi dan universitas itu kemudian justru dinamai sebagai Universitas Manado (Unima) meski berada di Tondano, Kabupaten Minahasa (induk).
Untuk putriku, selamat merayakan Hari Kartini di hari peringatan wafatnya Puteri Indonesia lain yang tak kalah hebatnya yaitu Maria Walanda Maramis, yang meng-Indonesia dari Tanah Malesung, Minahasa.

Pondok Wiraguna, 21 April 2013
@yustinus_esha

No comments: