Nilai-nilai Liberal Emansipasi Kartini

136651214815490042

R.A. Kartini dan suaminya, Singgih Djodjo Adhiningrat (1903). Foto: Public Domain
Emansipasi Kartini, Emansipasi Islam? Kaum sarjana yang berkiblat ke Arab terang-terangan mendalilkan emansipasi Kartini sebagai emansipasi Islam. Tentu saja sebuah tesis yang ngawur, sekalipun tidak sepenuhnya ngawur.
Menurut Sdr Tedy Tri Saputro dalam artikelnya berjudul “Decoding Kartini: Bukan Emansipasi Liberal”, intinya, bahwa emansipasi yang digagas R.A. Kartini (1879-1904) bukan emansipasi liberal melainkan emansipasi Islam. Menurut saya pendapat ini keliru sekalipun bukan keliru sama sekali.
R.A. Kartini memang beragama Islam dan dalam berbagai surat-suratnya ada menyinggung nilai-nilai Islam. Akan tetapi emansipasi yang digagas Kartini jelas dipengaruhi nilai-nilai barat, hasil interaksi dirinya dengan berbagai bacaan barat dan teman-teman dari barat, sehingga kelihatan baginya perbedaan perlakuan wanita di barat dan di negerinya.
Pengaruh emansipasi barat merupakan “sumbu ledak” terbesar dari “gugatan” Kartini terhadap perikehidupan perempuan di negerinya waktu itu. Interaksi dirinya dengan pemikiran baratlah yang membuat ia mulai mempertanyakan budaya dan tradisi yang mengungkung perempuan di negerinya.
Dalam hal ini bukan buah interaksi Kartini dengan budaya lokal (Jawa) dan Islam. Karena, toh, Kartini sudah bersentuhan dengan tradisi lokal dan Islam sejak kecil, sekalipun ia tergolong “abangan”, jika mengutip tesis Cliford Geertz.
Kenyataannya, nilai-nilai lokal dan Islam yang dipahaminya tidak jadi “sumbu ledak” bagi gugatan emansipasi yang digagas Kartini. Barulah setelah bersentuhan dengan bacaan-bacaan barat dan teman-teman dari Eropa maka ia baru mulai menggugat diskriminasi terhadap perempuan di negerinya.
Namun demikian, jika dirangkum semua pemikiran R.A. Kartini, akan terlihat simbiosis antara nilai-nilai emansipasi barat, Islam, dan budaya lokal (Jawa) dengan modifikasi tertentu. Namun pemicu gugatan Kartini adalah jelas berkat interaksinya dengan bacaan-bacaan barat dan teman-teman baratnya.
Emansipasi yang digagas Kartini memang fenomenal dan revolusioner di eranya, jauh melampaui masanya. Sebut saja nilai-nilai kesetaraan gender lelaki dan perempuan, persamaan hak, humanisme, yang bermuara pada prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ini jelas klop dengan nilai-nilai liberal, sekalipun bukan liberal yang bermakna “bebas-sebebasnya” seperti dikampanyekan para fundamentalis untuk menjelek-jelekan liberalisme dalam pengertian gerakan sosial politik.
Hal mana tidak ditemui sepenuhnya dalam tradisi historis Islam, terutama pasca hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makah ke Madinah (622 M) hingga saat ini. Ayat-ayat syariah periode Madinah, terus demikian hingga era Kartini, jelas dan tegas membedakan perlakuan perempuan dan laki-laki.
Sebut saja Ayat 34 Surat an-Nisa menyatakan bahwa “kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk perempuan….”
Normanya ayat di atas jelas dan tegas, bahwa perempuan adalah sub-ordinat lelaki. Demikian sebagaimana juga dicatat oleh, antara lain, sarjana Islam seperti Abdullah Ahmed An-Na’im dan Mahmoud Mohamed Taha.
Karena itu, jelas bukan nilai-nilai Islam yang menjadi “sumbu ledak” pertama dari gugatan persamaan hak perempuan dan lelaki yang digagas Kartini. Itulah kenyataannya. Apalagi, jika melihat akulturasi nilai-nilai Islam dan budaya patriaki yang sangat kuat di tanah Jawa pada waktu itu. Keduanya—nilai-nilai Islam dan budaya Jawa—bukanlah gagasan utama dari emansipasi Kartini.

Sutomo Faguci

No comments: