Perempuan Menulis Sejarah

Ketika Kartini dilahirkan pada tanggal 21 Mei 1879, pada masa itu gerakan emansipasi perempuan mengalami berbagai dinamika di Eropa dan sudah berlangsung sejak satu abad sebelumnya. Fakta historiografi emansipasi perempuan kental dengan faktor kondisi politik kontemporer. Relasi gender yang dominan dan bentuk-bentuk kontemporer dari gerakan feminism sudah meninggalkan ciri-ciri mereka. Baik secara metodologi di kalangan sarjana maupun historiografi national mempengaruhi pencapaian gerakan emansipasi tersebut.

Dinamika waktu yang bergerak menuju abad ke-20 menunjukkan adanya generasi pertama dari gerakan emansipasi perempuan yang mencoba untuk meraih posisi sejarahnya. Gerakan itu termasuk gagasan dari Ray Strachey (Inggris), Helene Lange dan Gertrud Baumer (Jerman), serta Johanna Naber (Belanda). Pada tahun 1930, dalam Kongres Internasional Sejarah, sejarawan Polandia Lucie Charewizowa mengemukakan gagasannya untuk penulisan sejarah gerakan emansipasi perempuan. Lucie mengingatkan bahwa gerakan tersebut secara konstan tumbuh dan dalam aktivitasnya telah melahirkan prasangka yang berlebihan. Kajian awal yang sudah ada menunjukkan peringkat gerakan emansipasi perempuan, yang menurut Jane Randall, mengalami bermacam-macam jalan yang mana setiap perempuan membangun sendiri sejarah, kultur,dan tradisi politiknya.
Bagi gerakan emansipasi perempuan abad ke-19, sejarah menjadi penting untuk melakukan koreksi diri dan menciptakan legitimasi. Seperti dikemukakan oleh Charlotte Carmichael Stopes, seorang aktivitis hak-hak perempuan di Inggris, semangat gerakan emansipasi perempuan di negaranya seolah-olah membawa ke situasi sejarah perlawanan Inggris terhadap pasukan Romawi. Usaha sejenis juga terjadi di Prancis ketika pada tahun 1906 terbit sebuah almanak dengan ilustrasi gerakan emansipasi perempuan. Dalam almanak ini orang-orang suci laki-laki dan perempuan, semua digantikan oleh orang suci dari kalangan feminisme, yaitu setiap orang yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Rencana lain adalah menerbitkan ensiklopedi feminism dan pengumpulan dokumen yang terkait dengan gerakan feminisme Prancis:”Sejarah dan ingatan dipertimbangkan secara esensial untuk menyatukan perempuan ke dalam ruang publik…pelembagaan lieux de memories dengan mendirikan monumen…juga dengan jalan penganut feminisme garis keras yang secara politik mengemukakan gagasannya sendiri.”
Sebuah surat kabar yang diterbitkan di Yunani oleh gerakan perempuan dalam pergantian abad ini menunjukkan “status istimewa dari sejarah dalam diskursus feminime.” Hal ini menegaskan posisi tawar yang kuat bagi feminisme atas peran sejarah: “Kalangan kami (perempuan) telah menjadi bagian besar dari sejarah nasional, tetapi tradisi sejarah hanya menyebutkan peran laki-laki.” Pemimpin gerakan perempuan Yunani di era itu, Callirhoi Parren, juga merupakan orang pertama kali menulis sejarah gerakan perempuan. Nilai-nilai khusus telah diubah dalam penafsiran ulang feminisme atas berbagai tragedi dalam sejarah Yunani. Tokoh utama gerakan perempuan di Ceko mendorong penulisan kembali sejarah dan mitologi dalam rangka memberikan legitimasi emansipasi perempuan,misalnya dengan penokohan Putri Libuse dan sosok suci Ludmila.
Kemunduran gerakan emansipasi perempuan setelah dekade 1930-1940-an, merupakan awal usaha-usaha untuk menciptakan tradisi perempuan yang disingkirkan atau dilupakan. Sumbangan penting peran seamcam itu adalah kenyataan adanya usaha untuk mengingatkan kembali kebudayaan masyarakat Eropa dan menunjukkan perkembangan intelektual penting dalam abad ke-19. Sasarannya jelas: reka ulang mengenai tindakan, pencapaian, pengalaman, dan nilai-nilai laki-laki yang terus menerus mendominasi memori kebudayaan. Reka ulang itu hanya langkah kecil untuk pelembagaan apa yang telah menjadi fokus perhatian dalam penafsiran ulang sejarah kaum perempuan mengenai tindakan dan situasi kehidupannya, yang diusahakan untuk selalu tertanam dalam memori kolektif.
Kelanjutan perjuangan gerakan emansipasi perempuan tumbuh kembali di Eropa dengan kebangkitan kembali pada tahun 1970-an. Sejak saat itu mulai tumbuh kajian-kajian yang relevan. Kajian khusus atau permasalahan tertentu atau dalam periode tertentu menjadi topik dominan dalam riset. Ada kecenderungan baru sehubungan dengan fenomena ini yang signifikan: sejarah gerakan perempuan telah diteliti secara luas di seluruh Eropa. Berbagai riset mengenai sejarah gerakan perempuan itu mempunyai pengaruh yang kuat dalam memberikan pijakan perjuangan isu-isu tertentu bagi gerakan feminisme dewasa ini. Emansipasi perempuan berpengaruh di kawasan Eropa Timur dalam masa perang dingin dan perubahan politik setelah tahun 1989. Dalambagian ini telah memunculkan perubahan paradigm, yang juga ditandai dengan perintisan kajian perempuan di kawasan ini.
Hal yang sama diakui oleh Mineke Bosch bahwa di Belanda pun tradisi untuk menuliskan kembali sejarah gerakan emansipasi dimulai pada tahun 1970an. Karena pengaruh kuat tradisi Marxisme dalam aktivitas feminisme dalam masa itu, isu yang mengemuka adalah pemosisian perempouan dalam tata sosial yang demokratis atau konflik antara gerakan perempuan borjouis dan kelas pekerja. Ketimpangan struktural dalam ruang publik dan pengaruh kapitalisme juga ditonjolkan. Jadi, fokusnya pada aktivitas sosial ekonomi dan politik.
Kenyataan yang serupa terjadi di Jerman, Inggris, dan Prancis pada 1970-an dan 1980-an. Di Jerman, rintisan riset dilakukan oleh gerakan perempuan proletarian. Demikian juga di Prancis, gerakan feminisme yang bangkit kembali sejak 1960-an dengan label gerakan berbasis kelas pekerja, pada sisi lain, sangat tidak menyukai label “borjouis.” Baru sejak tahun 1970-an, soal penulisan gerakan feminisme itu menjadi topik yang independen.
Berbagai riset itu menilai gerakan perempuan “klasik” dengan penolakan atau disertai catatan kritis. Sebagai contoh buku yang terbit di tahun 1948 yang memuat sejarah gerakan perempuan di Belanda1789-1948. Penulisan tersebut telah mencirikan “campuran perasaan dalam menilai gerakan perempuan masa sebelumnya.” Ada catatan kritis dalam memberikan ulasan dan ketimpangan definisi mengenai gerakan perempuan dan feminimisme.
Selanjutnya, sikap semacam itu menjadi ciri khas kajian sejarah sejak 1970-an sampai pertengahan 1980-an yang mencap kuno bagi elemen gerakan perempuan klasik yang tidak memperjuangkan kesetaraan hak bagi perempuan, akan tetapi telah diisi dengan berbagai argumentasi yang berbeda-beda. Kondisi itu mencerminkan karakter atau identifikasi umum dalam semua gerakan perempuan pada masa permulaan sejarah. Ada usaha-usaha untuk mengejar suatu pemahaman teoritik atau “pendekatan ilmiah” dengan perhatian yang cukup atratif dalam menilai gerakan perempuan dalam masa-masa sebelumnya. Konsep “women culture” yang diadopsi sejak tahun 1980-an nampaknya mencerminkan pembahasan feminisme kontemporer tetapi dewasa ini juga memperhatikan tradisi sejarah. Jadi muncul karakter baru: depolitisasi sejarah gerakan emansipasi perempuan. Isu utama yang muncul kemudian adalah identitas, self perception, dan komunikasi. Dengan fokus baru ini, maka pertentangan antara “difference feminism” (yang muncul di masa klasik) dengan “equal-rights feminism” (sejak 1970-an) telah diabaikan.
Efek yang sama terjadi pada dekade 1990-an, di mana aktivitas feminsime menorehkan gagasan yang terpusat pada “equality and differences.” Dalam masa ini diskusi feminisme seperti dicatat oleh Karen Offen telah mengembangkan konsep relasi dan feminsime individual, yang sangat berpengaruh terhadap diskusi feminisme yang bergeser sejak 1980-an dan kemudian berlangsung dalam paruh pertama 1990-an.
Sejak tahun 1990-an, dengan mengambilalih pandangan poststructuralist dalam kritik identitas, pandangan sejarah emansipasi perempuan fokus kepada dekonstruksi gender dan peran sejarah perempuan. Sejalan dengan hal ini, sejarah gerakan perempuan harus dikaitkan dengan sejarah pada umumnya. Metodologi baru ini menawarkan pandangan baru dalam mengkaji tema-tema tradisional sejarah politik dari sudut pandang gender. Pendekatan baru ini begitu produktif dalam sejarah gerakan perempuan dan juga memberikan sinyal baru bagi gerakan feminisme. Meskipun demikian, pengetahuan yang disusun kemudian menjadi acak; ada ketertundukan yang hilang, tak ada lagi studi yang lengkap mengenai feminisme di gelombang awal sejarah atau aspek-aspek yang berhubungan dengan hal itu.

Mas Ishar

No comments: