Pulau Mahar

1364864966937857081Mungkin selama perjalanan sejarah dunia ini, baru terjadi pernikahan yang teramat istimewa dimana sebuah pulau dijadikan Mahar dalam perkawinan. Peristiwa ini terukir dalam Sejarah Bima di ujung timur pulau Sumbawa. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-17 pada masa pemerintahan sultan Hasanuddin Ali Syah (1696-1731). Pada tanggal 5 April 1727 Sultan Hasanuddin mengawini puteranya yang bernama Alauddin Muhammad Syah dengan Puteri Sultan Gowa Sirajuddin yang bernama Karaeng Tana Senga Mamuncaragi Mahbubah. Inilah sebuah titian perjalanan cinta dua insan dari keluarga yang serumpun hingga pulau Manggarai dijadikan mahar dalam perkawinan.
Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengaruh dan intrik adu domba dari Belanda yang tidak menginginkan hubungan Bima dengan Gowa harmonis. Penyerahan Manggarai sebagai mahar merupakan keputusan yang terpaksa dari Sultan Hasanuddin Ali Syah karena Belanda yang menjadi perantara pernikahan itu. Dengan dijadikan Mahar itu, maka wilayah Manggarai secara otomatis menjadi wilayah kesultanan Gowa dan Belanda punya andil besar terhadap pulau itu.
Setelah Alauddin diangkat menjadi Sultan Bima menggantikan ayahnya, membantah bahwa Manggarai dijadikan Mahar. Dia sangat keberatan karena tidak ada dokumen resmi tentang penyerahan pulau Manggarai dari Mahar perkawinannya. Sejak saat itu hubungan Bima dengan Gowa menjadi tegang. Kesultanan Bima ingin tetap mempertahankan Tanah Manggarai. Mertua dan menantu terlibat perang dan Belanda bermain di antara keduanya.
Pasukan Gowa dikirim secara besar-besaran ke Manggarai. Kemudian Belanda menawarkan bantuan kepada Alauddin untuk membantu menghadapi Pasukan Gowa. Pertempuran di Manggarai terus berlanjut hingga masa pemerintahan Sultan Abdul Kadim. Lasykar Bima yang dibantu Belanda kembali menyerang pada tahun 1762. Penyerangan ini membuahkan hasil dan Manggarai kembali dikuasai. Namun apa yang terjadi, seperti pepatah kalah jadi abu menang menjadi arang. Meski pada perkembangan selanjutnya hubungan Bima-Gowa kembali mesra berkat silaturahmi dan ikatan keimanan antara dua kerajaan yang serumpun itu intens dilakukan. Hingga pada abad ke 19 Manggarai masih menjadi bagian dari wilayah kesultanan Bima dan kekuasaan itu berakhir setelah terbentuknya daerah-daerah Swapraja sesuai tuntutan proklamasi NKRI.(Sumber : Peran Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail)

Alan M

No comments: