R.A. Kartini dan Emansipasi Wanita Yang Salah Kaprah

13655696031202216674
R.A. Kartini

April, buat bangsa Indonesia identik dengan Hari Kartini. Setiap memasuki bulan ini, kita pasti akan teringat dengan sosok wanita istimewa, Raden Adjeng Kartini, putri seorang Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Tokoh pergerakan wanita yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia ini dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah, pada 21 April 1879.
Kehidupan kaum perempuan yang tertindas pada masa itu mendorong R.A. Kartini untuk melakukan perubahan. Pikirannya terbuka setelah dia banyak berkoresponsi dengan para sahabat wanitanya yang berasal dari Eropa. Salah satu sahabat yang paling mendukung perjuangan adalah Rosa Abendanon, seorang wanita Belanda. Melalui para sahabatnya, R.A. Kartini banyak mendapatkan kiriman buku, majalah dan koran terbitan Eropa, sehingga membantu membuka wawasan berpikirnya.
Menurut R.A. Kartini, budaya Jawa dan penerapan ajaran agama Islam yang salah telah menyebabkan kaum wanita tertinggal dan berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Surat-surat yang dikirimkan ke sahabatnya di Eropa menjelaskan keluhannya terhadap prilaku deskriminatif terhadap kaum wanita yang dilarang menuntut ilmu, harus bersedia dipingit dan dinikahkan dengan pria pilihan orangtuanya, serta harus bersedia dimadu. Dia menentang keras aturan tersebut, karena baginya kaum wanita seharusnya mempunyai hak dan kesempatan yang sama dengan kaum pria dalam memperoleh pendidikan dan di mata hukum.
Kini situasi sudah berubah. Mimpi R.A. Kartini dalam memperjuangkan kaumnya agar bisa setara dengan kaum pria sudah terwujud. Sudah banyak jabatan penting di pemerintahan yang semula dipegang oleh pria, namun kini dipegang oleh wanita. Beberapa contoh misalnya : Petronela Peni Loli yang berhasil menjadi kepala desa wanita pertama di Adonara, Nusa Tenggara Timur; Lienda, Camat Pancoran Mas, berhasil menjadi satu-satunya camat wanita di kota Depok; Dra. Haeny Relawati Rini Widyastuti, M.Si, berhasil terpilih sebagai Bupati Tuban dan merupakan wanita pertama yang menjabat Bupati di Jawa Timur; Hj. Rohani Darus Danil, SH, Walikota Tebing Tinggi yang terpilih selama dua periode dan menjadi walikota pertama di Sumatera Utara; Hj. Ratu Atut Chosiyah, S.E. adalah Gubernur Banten saat ini yang merupakan Gubernur Wanita pertama di Indonesia; dan Megawati Soekarnoputri, Presiden Wanita Pertama Republik Indonesia yang menjabat sejak 23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004.
Dikalangan militer ada Brigjen (K) Herawati yang berhasil menjadi perwira tinggi pertama di TNI AD. Kemudian Laksamana Pertama TNI AL Christina M Rantetana SKM, MPH, yang berhasil menjadi perwira tinggi wanita pertama di tubuh TNI AL. Lalu ada juga Marsekal Pertama TNI Rukmini, SIP, MM, perwira tinggi wanita pertama ditubuh TNI AU. Terakhir dari korp kepolisian, ada Brigjen Rumiah, yang berhasil menjadi Kapolda Perempuan Pertama Indonesia. Masih banyak wanita Indonesia lainnya yang berhasil menduduki berbagai posisi penting di berbagai bidang, baik sebagai pengusaha, profesional, tokoh politik dan lain sebagainya.
Di samping kemajuan yang sudah dicapai kaum wanita di Indonesia, sayangnya masih banyak wanita Indonesia yang menafsirkan emansipasi wanita yang dulu diperjuangkan oleh R.A. Kartini secara keliru. Kebebasan dan persamaan hak sering disalahartikan bahkan terkesan kebablasan. Sebagian wanita yang sudah berumah tangga justru mengabaikan kodratnya sendiri, karena terjebak dengan pekerjaan dan karir sehingga melupakan perannya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan sebagai istri dari suaminya. Apalagi jika wanita itu mempunyai pekerjaan, jabatan atau karir dan penghasilan yang lebih baik dari suaminya. Mereka merasa memiliki hak yang sama dengan suaminya sehingga tidak bisa atau kurang menghargai peran suaminya sebagai kepala rumah tangga.
Tidak jarang kita melihat beberapa wanita yang sukses dalam karirnya, sementara karir suaminya biasa-biasa saja, akhirnya rumah tangganya berantakan. Salah satu penyebabnya adalah karena perasaan egois dari kaum wanita yang sudah melupakan kodratnya, sehingga ketika kesuksesan berada dalam genggamannya, dia menjadi lupa diri. Kesuksesan telah membutakan mata batinnya, sehingga tidak bisa lagi menuruti perkataan suaminya sebagai kepala rumah tangga. Tentu saja akibatnya fatal, karena dalam rumah tangga terjadi dua kepala dan tidak ada yang mau mengalah. Ujung-ujungnya rumah tangga pecah berantakan.
Kalau kita menyimak sejarah R.A. Kartini, tentu maksud persamaan hak yang dituntunya bukan tanpa batas. Artinya, harus ada ruang bagi wanita untuk melakukan perannya sebagai istri dari suaminya dan ibu dari anak-anaknya, tidak semata-mata mementingkan pekerjaan dan karirnya sendiri. Dalam agama, sesungguhnya sudah diatur masing-masing peran suami dan istri dalam rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga berperan sebagai pencari nafkah utama, sementara istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban mendidik anak-anaknya. Kalaupun wanita ingin berkarir diluar rumah untuk membantu suaminya mencari nafkah, tetap tidak boleh melupakan perannya sebagai istri maupun sebagai seorang ibu bagia anak-anaknya.
Disadari atau tidak, adanya kebebasan kaum wanita yang beraktivitas diluar rumah, terutama bagi wanita yang sudah berumah tangga, jika tidak disikapi secara bijaksana bisa melupakan perannya dalam mendidik anak. Sikap materialistis dan menganggap semua persoalan bisa diselesaikan dengan uang, menyebabkan pengasuhan anak diserahkan kepada pembantu rumah tangga atau pengasuh anak (babysitter). Akibatnya, anak secara psikologis lebih dekat dengan mereka. Jika pembantu rumah tangga atau babysitter berpendidikan rendah, sementara mereka bertugas memelihara/merawat anak, maka bisa dibayangkan bagaimana jadinya anak tersebut kelak. Sehingga jangan heran jika banyak anak yang dibesarkan oleh keluarga yang secara ekonomi berkecukupan tetapi kedua orangtuanya sibuk bekerja diluar rumah, akibatnya anak tersebut mencari pelarian dengan mengkonsumsi narkoba dan pergaulan bebas.
Sebenarnya ada jalan keluar bagi wanita karir yang memiliki balita agar bisa selalu dekat dengannya tanpa harus meninggalkan pekerjaan. Setiap kantor, baik milik pemerintah maupun swasta diwajibkan menyediakan tempat penitipan anak balita. Tempat ini terdapat pengasuh anak yang berpendidikan dan berpengalaman serta ada fasilitas bermain yang menyenangkan. Bagi pekerja yang memiliki balita diberi kesempatan pada waktu tertentu untuk bertemu dengan anaknya, mungkin hanya sekedar menyusui atau bercengkrama dengannya. Dengan demikian seorang wanita pekerja masih bisa mendidik anak-anaknya dan secara psikologis kasih sayangnya akan melekat pada anaknya yang menyebabkan pertumbuhan emosi anaknya berkembang dengan baik.
Mungkinkah mimpi tersebut bisa terwujud ? Jika pemerintah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan semua perusahaan yang memperkerjakan wanita sebagai karyawannya untuk menyediakan fasilitas penitipan anak, bukan tidak mungkin mimpi tersebut bisa terwujud. Bukankah untuk memulai sesuatu yang positif diperlukan perubahan. Tentu saja perubahan itu memerlukan keberanian untuk mewujudkannya. Tidak ada sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan jika kita semua mau melakukan perubahan

Jumari Haryadi

No comments: