Sejarah 18 April; Penyatuan persepsi negara Asia-Afrika melawan kolonialisme Barat
Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam Dasasila Bandung, yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia".
-Barat#sthash.2y3xKXLi.dpuf
NEGARA-negara Asia-Afrika yang baru saja merengkuh kemerdekaan mengadakan pertemuan di Bandung, 18 April 1955. Pertemuan tersebut kemudian dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KTT Asia-Afrika atau KAA) atau juga disebut Konferensi Bandung.
Merujuk pada Cyprus and the Non–Aligned Movement, Ministry of Foreign Affairs, (April, 2008) menyebutkan KAA ini diantaranya diikuti oleh Indonesia, Myanmar (Burma), Sri Lanka (Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinir Menteri Luar Negeri Indonesia, Sunario.
Pertemuan ini berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia. Saat itu, pertemuan negara-negara dari dua benua ini bermaksud mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika. Selain itu, pertemuan ini guna melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet atau negara imperialis lainnya.
Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini turut merefleksikan penolakan keterlibatan secara langsung atau tidak langsung negara-negara Asia-Afrika dalam perang dingin, kekhawatiran negara peserta terhadap ketegangan antara Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat; keinginan negara peserta untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok, peserta konferensi dan pihak Barat; penolakan terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial Perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak Irian Barat.
Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam Dasasila Bandung, yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia".
Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru. Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961.[]
Merujuk pada Cyprus and the Non–Aligned Movement, Ministry of Foreign Affairs, (April, 2008) menyebutkan KAA ini diantaranya diikuti oleh Indonesia, Myanmar (Burma), Sri Lanka (Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinir Menteri Luar Negeri Indonesia, Sunario.
Pertemuan ini berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia. Saat itu, pertemuan negara-negara dari dua benua ini bermaksud mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika. Selain itu, pertemuan ini guna melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet atau negara imperialis lainnya.
Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. Konferensi ini turut merefleksikan penolakan keterlibatan secara langsung atau tidak langsung negara-negara Asia-Afrika dalam perang dingin, kekhawatiran negara peserta terhadap ketegangan antara Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat; keinginan negara peserta untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok, peserta konferensi dan pihak Barat; penolakan terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika Utara dan kekuasaan kolonial Perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk mempromosikan hak Irian Barat.
Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam Dasasila Bandung, yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia".
Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru. Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961.[]
No comments:
Post a Comment