Sejarah Kota dan Kabupaten Sukabumi (4) Sebuah Laporan Perjalanan ke Pelabuhanratu pada 1957

1364875612220382830
Salah satu areal pantai Pelabuhanratu 1957 (Kredit Foto Star Weekly)
Majalah Star Weekly No.577 edisi 19 Januari 1957 membuat artikel berjudul “Pelabuhan Ratu dan Karang Wahu”. Pengunjung dari Jakarta maupun dari Bandung terlebih dahulu berangkat ke Sukabumi. Dari sana pagi-pagi sekali dapat mengunjungi Pelabuhanratu dengan menggunakan bis, opelet atau kereta api. Dengan bis ongkosnya Rp 10 dan waktu tempuhnya sekitar 2,5 jam. Kalau berangkat dari Cianjur waktu tempuhnya sekitar satu jam dengan ongkos Rp 4.
Perjalanan ke Pelabuhanratu melewati Cibadak berliku-liku dan kondisinya agak rusak, karena kurang perawatan. Kondisi ini menyebabkan kendaraan tak mampu berjalan cepat karena harus juga mempertimbangkan peralatan. Di desa Pasepen, biasanya bis berhentik sejenak. Para penumpang mendapatkan kesempatan untuk mencoba kue mangkok yang dijajakan pengusaha kue setempat. Harganya hanya 25 sen, sehingga ada yang membawanya sebagai oleh-oleh.
Perjalanan selanjutnya melalui banyak jembatan yang konstruksinya baik. Terutama jembatan gantung di desa Bagbahan yang menuju ke Surade. Pemandangan sekitarnya cukup menarik. Sebelum bis yang ditumpangi wisatawan mendekati pantai Pelabuhanratu akan melintasi bioskop Panghegar dan setelah itu barulah tampak perahu mayang yang layarnya putih di tengah lautan yang kebiruan dan berkilauan ditimpa cahaya matahari.
Para wisatawan yang datang tanpa membawa makanan bisa menikmati rumah makan Samudera yang dimiliki seorang bernama Pak Damad. Rumah makan itu terletak di sebelah tempat pemberhetian bis atau tepat di muka jalan ke jembatan di laut. Menu-menunya antara lain rames seharga Rp 4, Nasi Sop Rp2,50, Gado-gado Rp 1,50, Nasi Putih Rp 1,25. Mereka ingin bermalam dapat menumpang di penginapan sederhana yang juga dimiliki Pak Damad. Ongkos penginapan yang sudah memiliki listrik ini Rp 10 untuk satu orang per malam.
Pelabuhanratu pada masa itu dijadikan kawasan bagi mereka yang gemar memancing. Pancingan yang digunakan tali nylon kira-kira nomor 40. Untuk umpan bisa membeli di tempat pelelangan ikan seharga Rp1 se-ekor per bungkus. Bagi mereka yang ingin menjelajah lautan sekitar dapat menyewa motorboat dengan ongkos Rp 5 per orang untuk satu jam. Oleh-oleh yang bisa dibawa dari sana dalah terasi udang seharga Rp1,50 sebungkus kecil. Kalau membeli di Karangwahu harganya Rp 7.50 hingga Rp 8 per 10 bungkus.
Pada 1957 wistawan yang menginap di sana bisa memancing sampai malam tanpa rasa khawatir akan ditodong atau dirampas seperti di kota-kota (artikel ini menceritakan kondisi yang paradoks ingat masa itu kelompok Darul Islam sedang kuat-kuatnya). Penduduk pelabuhanratu hidup sederhana dan tenteram. Mereka hidup sebagai kaum nelayan. Mereka mencari iklan di waktua ir surut malam hari dan menjual ikannya pada pagi hari.
Jika sudah tiba musim penangkapan tongkol setiap hari bsia diperoleh 2000 ekor dan setiap ekor bisa dijual Rp 3. Ikan-ikan ini dijual melalui koperasi untuk di bawah ke daerah lain. Tak jauh dari pantai terdapat toko-toko kelontong dan warung temapt dimana penduduk bsia mendapatkan kebutuhan sehari-hari.
Tempat lain yang dikunjungi wisatawan adalah karangwahu sekitar 9 Km dari Pelabuhanratu. Wistawan yang menginap banyak suka berjalan kaki pagi hari atau naik bis. Di tengah perjalanan mereka akan melihat kebun anggur yang dapat dikunjungi jika pemiliknya mengizinkan. Wistawan bisa melihat cagar alam yaitu hutan yang dilindungi pemerintah. Umumnya wisatawan yang datang ke singgah di Pemandian Laut Sukawajana yang dikelola oleh DPD Kabupaten Sukabumi. Ongkos masuknya Rp1 dan sewa kamar untuk berganti pakaian Rp2,50. Karangwahu masa itu juga mempunyai penginapan. Wistawan juga bisa membeli batu cincin. 
Irvan Sjafari

No comments: