Selamat Hari Kartini (Dan/Atau) Maria Walanda Maramis?
SELAMAT HARI KARTINI (DAN/ATAU) HARI MARIA WALANDA MARAMIS?
Siapa yang tidak mengenal sosok seorang
wanita Jawa berdarah bangsawan bernama R.A Kartini?. Sudah pasti hampir
seluruh rakyat Indonesia tahu siapa wanita istimewa ini. Hari ini,
tanggal kelahiran Ibu Kartini bahkan kita peringati sebagai Hari
Emansipasi kaum perempuan negara kita. Beliau pun pada akhirnya
ditetapkan sebagai salah satu pahlawan nasional, dan berbagai macam
acara seringkali diadakan untuk mengenang jasa-jasa RA Kartini sekaligus
sebagai suatu bentuk penghormatan terhadap beliau. Lahir di Jepara pada
tanggal 21 April 1879, dari sebuah keluarga yang cukup mapan, Kartini
terbiasa dengan kehidupan kaum bangsawan, yang memiliki adat istiadat
cukup kuat pada jaman itu. Saya rasa, tidak perlu mengupas terlalu dalam
tentang Ibu Kartini karena ada begitu banyak ulasan di majalah, koran,
bahkan buku yang menceritakan tentang kisah hidup dan perjuangan RA
Kartini. Bagaimana beliau merasa begitu terkungkung dengan adat istiadat
yang cukup keras pada jaman itu, dan juga kisah ketika beliau
mendirikan sekolah bumiputera untuk kaum perempuan. Kartini begitu
tergugah dengan pemikiran kaum perempuan Eropa yang dipandangnya sebagai
sesuatu yang sangat luar biasa, dimana seperti tidak ada batasan bagi
kaum perempuan untuk berkarya, ataupun mewujudkan cita-citanya sesuai
dengan keinginan hati mereka. Suatu hal yang begitu berbeda dengan apa
yang dialami oleh puteri seorang Bupati Jepara ini. Sehingga pada
akhirnya, dia mengumpulkan teman-teman dan kerabatnya untuk diajarkan
baca tulis.
Sekarang kita bicara tentang sosok seorang
Maria Walanda Maramis. Lahir di Kema, Sulawesi Utara pada tanggal 1
Desember 1872, lebih tua 7 tahun dari RA Kartini. Menjadi yatim piatu
pada usia 6 tahun, membuat Maria harus tinggal dengan Paman dan Bibinya.
Oleh sang paman, Maria dan saudaranya dimasukkan ke sebuah sekolah
Melayu, dimana mereka diajarkan membaca dan sedikit pengetahuan sejarah
serta ilmu pengetahuan umum, karena pada jaman itu, hanya itulah
satu-satunya pendidikan resmi yang bisa diterima, karena perempuan
diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga. Seperti halnya Ibu
Kartini, beliau juga sering menulis opini pribadinya, yang terbit lewat
Koran bernama Tjahaja Siang, dimana dalam artikel-artikelnya, beliau
menulis tentang pentingnya peranan kaum perempuan dalam keluarga, karena
merupakan “Guru” awal bagi anak-anak, dimana pendidikan-pendidikan
dasar anak-anak, yang merupakan cikal bakal pemimpin negeri, berada
ditangan kaum perempuan. Menyadari bahwa wanita-wanita muda saat
itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani peranan mereka sebagai
pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain mendirikan
Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917.
Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat
sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit,
merawat bayi, pekerjaan tangan, dan sebagainya, yang pada akhirnya,
berubah menjadi usaha mencari nafkah pada saat perang berkecamuk, karena
dengan keahlian yang telah mereka peroleh, para Ibu-Ibu muda itu bisa
mencari nafkah untuk keluarga mereka, karena para kepala keluarga yang
tidak bias melaksanakan tugas mereka, oleh karena mereka harus ikut
berperang.
Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa Raad.
Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tapi pemilihan oleh rakyat
direncanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya
laki-laki yang bisa menjadi anggota pada waktu itu, tapi Maramis
berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan duduk di dalam
badan perwakilan tersebut. Usahanya berhasil pada tahun 1921 dimana
keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi
suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.
Mengapa saya memberi judul tulisan ini
seperti diatas? Baik RA Kartini maupun MW Maramis adalah dua sosok yang
cukup penting. Apa yang telah mereka lakukan untuk kaum perempuan
dinegeri ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Namun sayang sekali, MW
Maramis kelihatannya tidak terlalu populer dibandingkan dengan RA
Kartini. Bukan terkenal untuk disanjung dan dipuja-puji, namun apa yang
beliau lakukan, sepertinya tidak terlalu familiar bagi kalangan kaum
perempuan. Hidup pada jaman yang sama, berjuang pada jaman yang sama
Satu lewat tulisan dan pemikirannya (RA Kartini) dan yang satunya lagi
juga lewat tulisan serta terjun langsung ke masyarakat, menjadi penyuluh
dan pengajar pada masa gelap di Sulawesi Utara. Tidak ada peringatan
secara nasional, tidak ada acara dan penghormatan-penghormatan terhadap
beliau. Orang hanya mengenal RA Kartini, sebagai satu-satunya pelopor
emansipasi bagi kaum perempuan Indonesia. Sesuatu yang terasa berat
sebelah. Namun saya yakin, baik Ibu Kartini maupun MW Maramis, tidak
merasa keberatan dengan semua itu. Mereka tak pernah tahu, bahwa apa
yang telah mereka lakukan pada masa lampau, berdampak begitu besar bagi
kaum perempuan Indonesia. Saya tetap menghargai semua itu. Saya tetap
merayakan tanggal 21 April sebagai Hari lahirnya pelopor emansipasi
perempuan Indonesia, dan juga 1 Desember secara pribadi, sebagai Hari
lahirnya seorang pelopor Emansipasi perempuan Indonesia, yang lainnya.
Selamat Hari Kartini! (NS/2013)
Nsikome
No comments:
Post a Comment