Sikap Sejarawan dalam Menyikapi Historiografi Indonesia
Suatu
gambaran sejarah yang dibentuk oleh para sejarawan, bilamana oleh
generasi yang berpengalaman diawetkan menjadi mumi, akan sangat
membahayakan
Sejarawan
bak kompas kehidupan yang akan menentukan jalannyaa sebuah bangsa.
Benar dan salahnya sebuah narasi sejarah bangsa Indonesia tidak terlepas
dari peran sejarawan dalam menuliskan dalam kanvas historiografi
Indonesia. Jika kita cemati historiografi Indonesia, maka mitologi sudah
hidup sejak historiografi tradisional. Anthony H. Johns menulis “The Role of Structural Organisation and Myth in Javanese Historiography” yang diterbitkan dalam The Journal of Asian Studies,
Vol. 24, No. 1. (Nov., 1964), hlm. 91-99. Dalam tulisannya, ia
memaparkan bahwa mitos itu sudah ada dalam tulisan Jawa dan Melayu,
tetapi sulit untuk dinilai kebenaran fakta dari fiksi yang ada,terutama
dalam bagian pengantar. Misalnya Sejarah Melayu, sebuah kronik Dinasti
Malaka (1403-1511), Pararaton, dan Babad Tanah Jawi. Cara yang dilakukannya ketika menggunakan dokumen berupa Pararaton dan Babad Tanah Jawi, adalah dengan menggunakan konsep-konsep analitik dari Pararaton dan Babad Tanah Jawi melalui perspektif budaya. Kronik-kronik yang terdapat dalam Pararaton dan Babad Tanah Jawi dapat diartikan dengan tepat dalam konteks keseluruhan sistem budaya yang menghasilkannya. Sejarawan lain, seperti dalam buku Ujung Timur Jawa, 1763-1813,
yang ditulis oleh Dr. Sri Margana, beliau memberikan contoh tentang apa
yang harus dilakukan sejarwan ketika berhadap dengan sumber yang
berbabu mitos. Beliau menggunakan Babad Blambangan, Babad Semar,
kakawin, Negarakertagama, Hikayat Raja-Raja Pasai, dan Serat Pararaton
dalam mengungkap sejarah Blambangan. Oleh karena
itu, sejarawan harus bersikap hati-hati ketika berhadapan dengan dokumen
tradisonal, perlu penguasaan konsep-konsep tertentu, sepeti konsep
analitik yang dilakukan oleh John sehingga akan diperoleh bukti-bukti
sejarah yang jauh dari mitos.
Kolonialisme
di Indonesia tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam sejarah Indonesia.
Berbagai cara pandang imperialisme menganai bangsa terjajah terabadikan
melalui infiltrasi pengetahuan yang terdiri dari menghimpun penduduk
bangsa terjajah, mengklasifikasikan dan merepresentasikan dengan segala
macam cara Barat, lalu lewat kaca mata Barat dikembangkan lagi kepada
bangsa terjajah. Namun, sebagai seorang sejarawan
juga harus selektif dalam memilah-milah bukti-bukti kolonial yang lepas
dari mitos untuk dijadikan sumber dalam penulisan historiografi
Indonesia.
Menurut
Stuart Hall, Barat adalah sebuah ide atau konsep, sebuah bahasa untuk
membayangkan kompleksnya rangkaian cerita, ide, peristiwa sejarah dan
hubungan sosial. Lalu, apakah perspektif Barat itu serta merta harus
ditinggal dalam penulisan sejarah dari persepektif bangsa terjajah?
Jawabanya adalah tidak, karena Barat tidak semuanya negatif, ada sisi
yang diperlukan dalam menuliskan sejarah sebagai bangsa terjajah.
Seperti apa yang dikatakan oleh Stuart bahwa konsep Barat ini berfungsi
dalam cara yang: 1) memungkinkan adanya karakterisasi dan klasifikasi
masyarakat ke dalam berbagai kategori; 2) memadatkan citra kompleks
berbagai masyarakat lain melalui suatu sistem representasi; 3)
menyediakan sebuah model perbandingan standar; dan 4) menyediakan
kriteria evaluasi yang bisa memperingatkan masyarakat-masyarakat lain.
Dalam buku H.J. De Graaf yang berjudul Historiografi Hindia Belanda,
seorang sejarawan kolonial harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
harus mengetahui dengan baik sejarah kolonial Hindia-Belanda dan juga
tentang sejarah negara-negara koloni yang lainnya; harus mengerti
bahasa-bahasa Belanda dan pribumi (Jawa dan Melayu); harus mengenal
dengan baik adat-istiadat, baik dari orang-orang pribumi maupun
orang-orang Belanda Kolonial, dan harus tahu psikisnya juga; dan harus
mengadakan kunjungan langsung di Indonesia.
Di
samping itu, De Graaf juga menyebutkan beberapa kelemahan penulisan
sejarah pada masa kolonial yaitu sebagai beriku: orang-orang Jawa pada
dasarnya suatu bangsa yang bodoh, tanpa orang-orang Hindu mereka tidak
bisa mencapai tingkat yang begitu tinggi; orang-orang Jawa dahulunya
semua Buddhis dan memeluk agama yang sangat halus; semua bangsa di
Nusantara ditempatkan di bawah kekuasaan Nederland, kemudian mereka
berjuang mati-matian untuk memperoleh kemerdekaan; J.Pz. Coen yang harus
dicontoh karena dianggap sebagai kolonisator sejati; lada yang dikirim
Compagnie ke Holland harus mengorbankan pribumi; semua orang Ambon
dipermainkan dengan sangat buruk; segala sesuatu yang dicapai adalah
hasil kerja orang-orang Jerman; gereja Portugis di Batavia bersalam dari
masa Portugis; semua orang Indo-Eropa bersala dari “Jan Fuselier” dan
“Baboe Minah”; Deandels hanyalah seorang liar, tetapi Raffles adalah
kolonisator sejati; Diponegoro dan Trunojoyo merupakan pahlawan
kemerdekaan; Cultuurstelsel menyebabkan Hindia lebih miskin
800.000.000 gulden; serta sebelum van Deventer Hindia hanya berfungsi
sebagai obyek ekslpoitasi.
Dengan
demikian, posisi sejarawan harus bisa menempatkan diri dalam penulisan
sejarah Indonesia. Sebab, mitos sudah melekat dalam kebudayaan
Indonesia, sejarawan harus mampu memilah kapan mitos itu perlu
dihapuskan dan kapan mitos itu tidak perlu dihapuskan. Jika mitos itu
dihapuskan secara keselurahan dalam historiografi Indonesia, ada
kemungkinan akan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Sebab, mitos identik
dengan subjektivitas sejarawan, dan antara daerah dari Sabang sampai
Merauke terdapat perbedaan sejarah yang terkadang sensitif sekali, jika
diungkap takutnya justru menyebabkan masalah kebangsaan. Hal ini juga
bisa dikatakan bahwa mitos terkadang mempunyai peran positif juga dalam
menyatukan nusantara yang berbineka tunggal ika. Maka, biarlah
mitos-mitos kolonial tersebut menjadi perdebatan dalam tataran akademik
saja, kalau mitos-mitos kolonial itu dihilangkan secara pragmatif dalam
tataran perspektif, maka yang akan timbul adalah permasalahan yang cukup
pelik di Indonesia. hal ini dengan pertimbangan, karena mentalitas dan
kesiapan para elemen bangsa Indonesia belum siap menerima semua
perubahan. Jika siap, tidak menjadi masalah pelik.
Mitos-mitos
kolonial yang berdampak negatif bagi Indonesia perlu dihapuskan dalam
historiografi Indonesia, dari lamanya penjajahan yang disebutkan selama
350 tahun sampai dominasi peran pemerintah dalam membangun Indonesia.
Alatas dalam bukunya yang sudah diterjemahkan, Diskursus Alternatif dalam Ilmu Sosial Asia: Tanggapan terhadap Eurosentrisme,
ada enam aspek atau tingkatan yang sangat penting dilakukan untuk
membangun jati diri Asia tanpa terjebak dari pandangan Barat, antara
lain: 1) metateori, yang merujuk pada: dimensi epistemologis dan
metodelogis yang mendasari pikiran para pemikir non-Barat; 2) teori,
merujuk pada uraian sistematis, analisis, dan kritik atas pemikiran
non-Barat dengan berpedoman pada konsep utama yang digunakan, bukti yang
disusun, asumsi pokok masalah, dan verifikasi empiris; 3) bangunan
teori, merujuk pada abstraksi pemikiran non-Barat; 4) penilaian kritis
atas pengetahuan yang ada, yang telah berusaha menerapkan para pemikir
non-Barat; 5) mengajarkan kepada para pemikir non-Barat melalui kuliah
sosiologi dan ilmu sosial arus utama; 6) diseminasi gagasan para pemikir
non-Barat melalui diskusi-diskusi panel dan makalah reguler dalam
konferensi ilmu sosial arus utama. Selain itu juga, penulisan
sejarah Indonesia dapat dilakukan dengan: 1) memperluar scope dengan
memperhatikan berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia; menggunakan
pendekatan multidimensional; 2) menyusun konseptualisasi sejarah
nasional; 3) menggunakan konsep dan teori dari berbagai cabang ilmu
sosial; 4) memberi tekanan pada mikro-historis; serta 5) menerapkan
sejarah analistis.
Sartono Kartodirjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia Suatu Alternatif, Jakarta: Gramedia, 1982, h. 20.
Wahyu S
No comments:
Post a Comment