Tan Malaka: Persatuan Pan Islamisme dan Komunisme
Perkembangan Politik Pribumi Awal Abad 20
Iklim politik di Hindia Belanda sejak
dasawarsa pertama abad dua puluh telah mengalami perkembangan yang cukup
menunjukkan adanya pijakan yang lebih jauh dalam transformasi yang
terjadi dalam masyarakat Pribumi, dari kutub tradisi menuju kutub
modernisasi. Salah satunya mulai bermunculannya perkumpulan-perkumpulan
Pribumi yang lebih modern. Kemunculan perkumpulan yang modern ini tidak
terlepas dari dampak politik etis yang digaungkan oleh golongan etisi di
negeri induk Belanda dengan van Deventer sebagai tokoh terdepannya,
yang salah satu poin pokoknya ialah tentang memajukan pendidikan
Pribumi. Perkumpulan-perkumpulan yang terbentuk ini dengan sendirinya
menemukan ritme tujuan maupun garis-garis politiknya dalam perkembangan
dasawarsa berikutnya di kancah pergerakan kemerdekaan, dan secara sadar
bahwa melalui perkumpulan atau organisasilah, ritme perjuangan menjadi
lebih modern. Beberapa perkumpulan Pribumi yang terbentuk pada awal abad
dua puluh, yang juga dapat dikatakan sebagai penggagas organisasi
modern Pribumi, diantaranya, a) Boedi Oetomo (BO) yang dibentuk pada
tanggal 20 Mei 1908 atas prakarsa Dokter Wahidin. Pada dasarnya
organisasi ini hanya tersegmen pada lingkup orang-orang Jawa yang
berstatus sosial dari kalangan aristokrasi, bangsawan, priyayi, dan
sebagainya, oleh karena itu organisasi ini tidak pernah menjadi
organisasi besar/organisasi massa. Entitas di dalamnya telah menjadikan
organisasi ini bercorak konservatif, dan mempertahankan status quo anggotanya
sebagai aristokrasi sekaligus boneka penjajah, hal ini beriringan
dengan sikapnya terhadap pemerintah Hindia Belanda yang cenderung
bersikap kooperatif, sehingga pemerintah Hindia Belanda (HB) tidak
menganggap BO sebagai ancaman bagi kekuasaannya; dan yang kedua b)
Sarekat Islam (SI). SI adalah perubahan dari Sarekat Dagang Islamiyah
(SDI) yang dibentuk oleh Haji Samanhoedi pada tahun 1912 di Surakarta.
Semula organisasi ini hanya memiliki tujuan ekonomis untuk memajukan
usaha dagang Pribumi yang saat itu dalam persaingan keras dengan
pedagang-pedagang Cina, tetapi dalam perkembangannya, SI semakin nyata
melihat bahwa perlu adanya garis politik yang lebih jauh dari itu. SI
menjadi besar sejak kepemimpinan Tjokroaminoto. SI menjadikan agama
Islam sebagai landasan organisasinya, berbeda dengan BO yang tersegmen
begitu sempit, SI menjadi sebuah organisasi lintas suku, ras, dan klas
sosial, SI juga lebih bersifat progrsif dan “antikapitalisme jahat”.
Prinsip-prinsipnya mampu menjadikan SI sebagai organisasi massa yang
cukup besar, bahkan terbesar pada masa itu. Meskipun pemerintah HB
membatasi ruangnya dengan cara mengharuskan SI otonom di tiap cabangnya,
sehingga tidak ada garis koordinasi pusat ke cabang, namun di sisi
lain, peraturan tersebut akan menjadi keuntungan pusat, karena pusat
tidak perlu bertanggungjawab terhadap program atau aksi-aksi yang ada di
cabang. Tahun 1921, SI pecah menjadi SI Hijau (kubu Agus Salim-Abdul
Muis) dan SI Merah atau Sarekat Rakyat (SR) (kubu Semaoen-Darsono).
Sejak dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, jumlah jemaah haji dari
Hindia Belanda semakin meningkat. Hal ini memungkinkan gagasan tentang
Pan Islamisme dari dunia Arab terbawa oleh jemaah haji tersebut ke dalam
Hindia Belanda. Memasuki abad kedua puluh, gagasan Pan Islamisme serta
gerakan pembaruan Islam modern kian masif, membuat pemerintahan kolonial
mengambil sikap yang lebih tegas dan agak keras.
Anak-anak Pribumi yang berkesempatan
mengenyam pendidikan di luar negeri seperti di negeri Belanda, dengan
mata kepala dan pikiran terbuka, telah mengenal dunia yang lebih luas,
dunia internasional. Dan perlu digarisbawahi, perkenalannya dengan
berbagai ideologi di dunia menjadi pengetahuan baru yang sangat penting
dan besar pengaruhnya terhadap haluan politik di perkumpulan-perkumpulan
Pribumi. Pengalaman-pengalaman berkenalan dengan dunia luar serta
pengetahuan barat itulah yang menjadi buah tangan berharga sekembalinya
mereka ke tanah air dengan pembaharuan-pembaharuan. Konstelasi politik
internasional juga tidak kurang memberi dampak terhadap keadaan politik
dan ekonomi di Hindia Belanda, beberapa diantaranya Revolusi Bolshewik
Oktober 1917 di Rusia, dan Perang Dunia II.
Selintas Sejarah Tan Malaka hingga 1924
Kita mengenal seorang anak Minang yang kelak
sering disebut sebagai “Bapak Republik yang Dilupakan”. Dialah Ibrahim
Datuk Tan Malaka, atau yang lebih akrab dikenal dengan Tan Malaka. Ia
lahir di desa kecil di Pandan Gadang, Suliki, tanah Minangkabau,
Sumatera Barat. Mengenai tanggal maupun tahun kelahirannya belum dapat
ditemukan fakta keras, tetapi sejauh ini kebanyakan “peziarah” Tan
Malaka memakai angka tahun kelahiran menurut penelitian Harry A. Poeze,
yakni 1897. Tahun ini diasumsikannya, karena pada tahun 1903 Tan Malaka
telah masuk di sekolah rendah, jadi ketika itu disimpulkan Tan Malaka
berumur lebih kurang 6 tahun. Tahun itu juga diperkuat oleh keterangan
Jamaludin Tamim sebagai teman seperjuangannya, yang menyebutkan bahwa
Tan Malaka lahir tanggal 2 Juni 1897. Ibra, sapaan akrab masa kecilnya,
dibesarkan dalam lingkungan yang taat adat Minangkabau dan ke-Islam-an
yang kuat serta ketat. Nilai-nilai dari yang belakangan ini terus
terbawa dalam diri Tan Malaka. Bahkan dalam usianya yang masih remaja,
ia sudah bisa menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dan dipercaya untuk
menjadi guru mengaji di surau di desanya. Walaupun hidup dalam tatanan
lingkungan Islam yang ketat, tetapi Tan Malaka kecil menikmati masa
anak-anaknya tidak jauh berbeda dengan lazimnya seorang anak kecil, ia
dikenal sebagai seorang anak yang bandel dan pemberani, pengalamannya
tentang saat menyeberangi Sungai Ombilin, dan dihukum pilin pusar oleh
Guru Gadang, cukup memberi gambaran tentang kenakalanannya. Ibrahim
mulai bersekolah di kelas dua Sekolah Rendah pada tahun 1903 sampai
1908. Sebagai murid yang dikenal cerdas, Ibrahim mendapat perhatian
lebih dari guru-gurunya, mereka mengehendaki agar Ibrahim bisa
melanjutkan sekolah ke Kweekschool Fort de Kock. Di
sanalah ia mulai mengenal G.H. Horensma, seorang gurunya yang kelak
menjadi orang yang dekat Ibrahim, bahkan Horensma dan istrinya
menganggapnya sebagai anak angkat. Tahun 1913 ia menyelesaikan ujian
akhirnya dengan memuaskan, dan pada Januari 1914 melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool di
Haarlem, Belanda, sampai tahun 1916. Atas desakan dari Fabius kepada
Horensma, Tan Malaka pindah ke Busum, alasannya adalah selain karena
Fabius ingin murid-muridnya tinggal dekat dengannya, juga karena hawa
dan iklim di Busum lebih baik daripada di Haarlem, penginapan yang
disediakan juga memiliki lingkungan yang lebih baik, dan di sana juga
terdapat dokter yang siap sedia memberi pengobatan atas Tan Malaka yang
saat itu mulai menderita tbc. Setelah arus pelayaran kembali aman dan
lancar pasca terjadinya Perang Dunia Pertama, akhirnya Tan baru bisa
kembali ke tanah air pada tahun 1919. Selama tinggal di Belanda inilah
ia menjalani masa remaja menuju dewasanya dengan mulai
perkenalan-perkenalan dengan pemikiran-pemikiran Barat. Friedrich
Nietzsche, Karl Marx, dan Rosseau, adalah segelintir tokoh yang
pemikirannya cukup digandrungi oleh Tan.
Saat masih di Belanda, Tan telah diberi
jaminan pekerjaan sekembalinya ia ke Hindia Belanda, yaitu di Perusahaan
Senembah. Tan berangkat dari Belanda dengan kapal J.P. Coen, bersama
dengan Dr. Janssen, direktur dari Perusahaan Senembah. Selama satu tahun
bekerja di perusahaan tersebut, 1920-1921, kepekaan, rasa iba, dan
simpati Tan atas nasib bangsanya semakin tertempa dan mengusik hatinya
untuk melangkah lebih jauh dalam mengubah keadaan bangsanya yang
terjajah. Di sana ia bekerja sebagai guru untuk mengajari anak-anak kuli
cara bercocok tanam, keteguhan prinsipnya mengabdi untuk anak bangsanya
membawanya pada perselisihan dengan seorang Belanda. Kedua faktor
belakangan inilah yang membuatnya memutuskan untuk terjun ke gelanggang
politik di Jawa pada tahun 1921.
Mendarat di Jawa, Tan pertama kali
mengunjungi G.H. Horensma yang telah dipindahtugaskan ke Batavia. Tidak
lama di Batavia, Tan berangkat ke Yogyakarta untuk mendapatkan pekerjaan
sebagai guru. Di Yogyakarta Tan menginap di hotel selama sehari dan
keesokannya dapat tempat menginap di rumah Sutopo, salah seorang anggota
Boedi Oetomo. Sejak di Yogyakarta inilah petualangan politiknya
dimulai. Tan Malaka mulai berkenalan baik dengan tokoh-tokoh teras
Sarekat Islam seperti Tjokroaminoto, Semaoen, dan Darsono.
Kisruh Sarekat Islam
Kehadiran Sneevliet yang membawa ajaran
sosialisme dari negeri Belanda ke HB menjadi batu tapal dalam perjalanan
pergerakan kemerdekaan Pribumi. Paham sosialisme-komunisme yang
dibawanya terbukti berhasil mengambil simpati kaum proletar Pribumi
dengan ramainya Indische Social Democratische Vereninging (ISDV),
organisasi bentukannya. Melihat SI sebagai organisasi masa yang besar,
Sneevliet secara cerdik mencoba mensusupi SI dengan ajaran-ajaran
sosialisme-komunisme dengan melalui mendoktrin Semaoen dan Darsono.
Walhasil kisruh dalam tubuh SI semakin nyata dan tidak terhindarkan,
antara Agus Salim dan Abdul Muis yang menginginkan SI tanpa pengaruh
sosialisme-komunisme, dengan Semaoen dan Darsono yang mempengaruhi
program-program SI ke arah sosialisme-komunisme. Tjokroaminoto sendiri
mengambil sikap menghindari perpecahan, menurutnya sosialisme bukanlah
suatu paham yang bertentangan dengan Islam. H.O.S. Tjokroaminoto menulis
sebuah uraian pendek yang menarik yang berjudul “Islam dan Sosialisme”.
Di dalamnya ia mencoba mempertahankan pendapatnya bahwa kedua ideologi
itu saling melengkapi dan bahwa kemerdekaan akan membuka jalan bagi
Sosialisme dan Pan Islamisme (Lombard, 2008:351). “Bagi kita, ta’ ada
Socialisme atau rupa-rupa isme lainnja, jang lebih baik, lebih elok, dan
lebih mulia, melainkan Socialisme jang berdasar Islam itulah sadja,”
tulis Tjokro.
Semaoen sebagai Ketua Sarekat Islam Semarang
yang memiliki banyak pengikut, banyak menggelar aksi-aksi pemogokan
dengan para buruh. Aksi militannya inilah yang mampu menarik masa
proletar dalam jumlah besar, tetapi sesungguhnya hal ini bertentangan
dengan prinsip Tjokroaminoto yang ingin tetap bersikap kooperatif dengan
pemerintah HB. Semaoen juga dengan gencar melakukan kritik terhadap
kepemimpinan Tjokro dan Central Sarekat Islam (CSI) karena telah ikut
dalam Volksraad. Demikian rivalitas keduanya terus terjadi dan semakin
menajam, sampai timbul kubu Yogyakarta (kubu Agus Salim-Abdul Muis) dan
kubu Semarang (kubu Semaoen-Darsono).
Upaya Tjokro untuk merangkul kubu Semarang
dengan memberikan konsesi memasukkan Semaoen ke dalam “panitia
pengarahan Central Sarekat Islam” dan Darsono sebagai “propagandis
resmi partai”, akhirnya gagal setelah Semaoen dan Darsono pada kongres
nasional ketiga Sarekat Islam di Surabaya tanggal 29 September sampai 6
Oktober 1918 mulai mengancam akan menarik keluar cabang Semarang dari
Sarekat Islam (Rambe, 2003:279). Pada kongres tersebut memang
konfrontasi antara kedua kubu sudah semakin terbuka. Agus Salim yang
memang berniat mengambil pengaruh besar dalam kongres, bermaksud
memajukan niatnya untuk melakukan disiplin partai. Dengan menggunakan
antagonisme bahwa orang komunis tidak beragama, Agus Salim berhasil
mempengaruhi sebagian besar peserta kongres untuk dilakukan disiplin
partai. Semaoen, yang saat itu menjadi Ketua Perhimpunan Komunis
Indonesia, berang. “Semaoen memilih hengkang dan mengubah SI Semarang
menjadi Sarekat Rakyat,” kata Dewi. Pada 1920, Semaoen mengambil alih
ISDV dan mengganti namanya menjadi Partai Komunis Indonesia (Pambudi,
Eko, dkk. 2011:100).
Tan dan Prinsip Persatuan Pan Islamisme dan Komunisme
Dalam kongres SI di Surabaya itu, Tan Malaka
mencoba mendiagnosa sebab-sebab konflik yang terjadi, ia berpendapat
dalam tulisannya Toendoek Kepada Kekoeasaan, Tetapi Tidak Toendoek Kepada Kebenaran (1922):
“Sebagai orang yang baru datang dalam
pergerakan, saya mencoba mencari alasan yang jelas untuk melihat
sebab-sebab perpecahan, sebab-sebab itu tidak dapat saya temukan. Cuma
saya melihat polemik-polemik dalm utusan Hindia dan Sinar Hindia tiada
berhubungan dengan azas-azas atau hal-hal yang prinsipil, melainkan
hampir seluruhnya bersifat personal, yang disertai maki-makian yang
tiada melihat persoalan prinsipil, sangat menghilangkan kepercayaan kaum
kromo kepada pimpinan CSI maupun PKI. Saya takut perpecahan itu tidak
tinggal dalam CSI dan federasi buruh saja, tetapi juga akan meluas ke
semua serikat buruh, baik yang berada di bawah CSI maupun di bawah
pimpinan PKI. Suatu perpecahan seperti ini dalam suatu massa yang
membawa reaksi yang kuat, merupakan bahaya besar bagi rakyat dan akan
mempermudah pekerjaan bagi kaum reaksioner.”
Ketua kongres memberi kesempatan selama lima
belas menit kepada kubu Semarang untuk berbicara, Tan Malaka, Semaoen,
dan seorang anggota PKI masing-masing berbicara selama lima menit.
Prinsipnya tentang pentingnya menjaga persatuan menjadi intisari
pidatonya, dengan membubuhi contoh Tan Malaka menjelaskan:
“Saya telah mengemukakan berbagai hal yang
bersama-sama ada di PKI dan CSI. Saya menunjuk persatuan antara kaum
Muslimin di Kaukasus, Persia, Bukhara dan sebagainya dengan kaum
Bolshewik. Persatuan dengan kaum buruh beragama Islam itulah yang
dianggap oleh kapitalis Inggris sebagai suatu bahaya bagi kekuasaannya
di tanah jajahan. Itulah sebabnya pemerintah Inggris sampai dua kali
minta dengan sangat pada pemerintah Sovyet untuk menghentikan
propagandanya di negeri-negeri Islam. Ini menggambarkan betapa sadarnya
kaum Islam di luar Hindia dan benar-benar memahami siapa lawan mereka di
dunia ini. Di kongres saya meminta pemimpin-pemimpin CSI membujuk
anggota-anggota supaya tidak menerima disiplin partai.”
Abdul Muis menyambut pidato Tan Malaka dengan
baik tetapi bernada dingin, ia ingin apabila memang PKI dan SI tidaklah
bertentangan, maka propaganda-propaganda yang ada haruslah propaganda
yang berdasar SI bukan PKI. Pada akhirnya ususl untuk melakukan disiplin
partai diterima dan dilaksanakan, kecuali ada sepuluh cabang SI yang
pro PKI menolaknya, dan kemudian mereka mendirikan Persatuan Sarekat
Islam (PSI). Tan Malaka merasa sangat kecewa dengan keputusan tersebut,
ia dapat dikatakan menjadi seorang yang sangat kukuh ingin
mempertahankan kekuatan persatuan pergerakan. Menurutnya perpecahan yang
terjadi hanyalah akan menjadi bumerang bagi pergerakan Pribumi itu
sendiri. Apa yang telah terjadi di masa silam, di masa
kerajaan-kerajaan, hanya akan berulang. Politik devide et impera menjadi
jurus strategi yang sangat ampuh untuk memporakporandakan persatuan
komunal kaum pergerakan. Perpecahan persatuan hanya akan menjadi sasaran
empuk bagi pihak-pihak yang reaksioner.
Kegalauan-kegalauan Tan Malaka dalam
permasalahan perpecahan ini disampaikannya secara panjang lebar dengan
analisis yang mendalam, pada kongres PKI ke VIII di Semarang tanggal 25
Desember 1921, yang dihadiri juga oleh wakil dari cabang Central Sarekat
Islam. Tentang bahaya perpecahan itu, Tan Malaka menyampaikan,
setidaknya ada empat poin yang merugikan, yakni:
Pertama, menurut Tan
Malaka, dalam waktu yang tidak lama lagi kapitalisme di dunia akan
mengalami keruntuhan. Maka kaum buruh di Hindia Belanda harus
bersiap-siap mengambil kemudi atas kejatuhan kapitalisme. Kapitalisme
dunia terutama Amerika dan Jepang sebagai kapitalisme yang terbesar di
kawasan Asia Pasifik akan saling bersaing dan berperang mempertahankan
maupun memperebutkan sumber-sumber produksi yang ada, begitu juga negara
kapitalis seperti Inggris dan Belanda. Anasirnya mengatakan bahwa
Hindia Belanda akan terseret bahkan menjadi arena peperangan, sebab
kapital-kapital negara kapitalis tersebut sudah luas menanamkan
kapitalnya di Hindia Belanda. Setelah itu akan ada pertentangan ideologi
besar yang terjadi, yakni antara Rusia dengan sosialisme-komunismenya,
kontra Amerika dengan liberal-kapitalismenya. Dan Amerika beserta
negara-negara kapitalis lainnya tidak mungkin membiarkan Rusia
menancapkan pengaruhnya di Hindia Belanda.
Kedua, dengan adanya
dua partai besar sebagai kendaraan pergerakan sekarang, yakni PKI dan
SI, maka ini akan selalu menjadi sasaran bagi politik pecah belah
pemerintah kolonial. Pergerakan bersama dapat dengan mudah dipatahkan,
karena ada satu titik kontradiksi yang ada antara SI dengan PKI, yang
bagi orang awam akan mudah terhasut, yaitu pemerintah akan melakukan
hasutan bahwa orang-orang PKI adalah orang yang tidak ber-Tuhan. Dengan
pecahnya kekuatan persatuan ini, maka secara nyata kaum pergerakan akan
lupa bahwa ada musuh yang harus dihadapi bersama, kapitalisme
imperialisme Belanda. Tan Malaka mengambil contoh pada masa VOC,
bagaimana ia membantu Trunojoyo dalam memberontak kepada Mataram.
Ketiga, menurutnya
dalam CSI juga banyak terdapat kaum revolusioner, walaupun
revousionernya tidak didasarkan atas komunisme. Apabila mereka itu dalam
pergerakan rakyat berdampingan dengan kita (maksudnya kaum komunis),
maka niscaya lama kelamaan mereka akan mengikuti komunisme. Kaum
revolusioner CSI ini dikatakan oleh Tan Malaka sebagai “revolusioner
perasaan” dan kelak setelah lama ia bergaul dengan kaum komunis dan ia
mengerti akan komunisme, mengerti akan peraturam pemerintah, keadilan,
ekonomi, dan cara mengurus pabrik serta penindasan atas satu kelas
terhadap kelas yang lainnya, maka “revolusioner perasaan” ini lambat
laun akan menjadi revolusioner komunis (Rambe, 2003:284-285). Selain itu
juga, Tan Malaka mengakui bahwa dalam tubuh PKI sendiri masih miskin
orang-orang revolusioner. Mereka yang masuk dalam organisasi ini juga
masih banyak yang tak paham komunisme, atau hanya sekedar tahu enaknya
saja dengan semboyan sama rata sama rasa. Kelak, Tan Malaka mengatakan,
kalau saatnya datang setiap orang yang mengaku dirinya sebagai seorang
komunis, dia harus siap sedia berdiri di samping rakyat untuk berjuang
atas nama kemerdekaan rakyat, dan hanya percaya bahwa jalan menuju
kemerdekaan dan keselamatan bersama itu hanya dapat ditempuh melalui
aksi massa.
Keempat, bahwa
kekuasaan Belanda saat ini sedang dalam vitalitasnya. Berkali-kali
pemerintah kolonial membuang ataupun menahan pemimpin pergerakan dengan
leluasa, dan hal ini dilakukan bukan untuk menjaga keamanan tetapi untuk
memecah belah kekuatan rakyat. Seandainya persatuan rakyat dapat
terjalin dengan kuat, maka pembuangan-pembuangan terhadap pemimpin
pergerakan tidak akan terjadi, sebab rakyat yang terdiri atas buruh dan
serikat sekerja lainnya akan membalas dengan aksi-aksi pemogokan dan
pemboikotan terhadap barang dan produksi Belanda. Tan Malaka memberi
contoh seperti halnya yang terjadi di Mesir, Tan Malaka mengatakan
Inggris tidak akan membuang Zoglul pahlawan rakyat Mesir. Karena jika
hal itu terjadi, persatuan rakyat yang mendukung Zoglul akan mengadakan
pemogokan umum besar-besaran di seluruh negeri. Oleh karena itu, Tan
Malaka menekankan adanya persatuan dan kerukunan dalam rakyat, sehingga
ketika dilakukan pembuangan-pembuangan pemimpin pergerakan terjadi,
massa rakyat dapat segera bertindak melakukan pemogokan, sehingga
pemerintah Hindia Belanda akan berpikir ulang untuk melakukan pembuangan
atau pun penahanan.
Dalam kongres tersebut, Tan Malaka
mengusulkan untuk pentingnya mengadakan kerja sama dalam mencapai
persatuan kekuatan. Usulan tersebut didukung oleh Kyai Tubagus
Hadikoesoemo yang menyambutnya dengan perkataan “orang Islam yang tidak
mendukung persatuan dalam menghadapi kaum imperialis, maka sesungguhnya
ia sesat”. Kongres diakhiri dengan panji-panji persatuan yang terdengar
di desa-desa di Semarang.
Prinsipnya yang tegas dan kuat dalam
menekankan persatuan dalam perjuangan menghadapi kapitalisme dan
imperialisme tidak hanya terdengar keras di tanah airnya, tetapi juga
terdengar sampai di negeri tirai besi, Rusia. Ketika di Moscow, Tan
Malaka mewakili PKI menghadiri Kongres Komunis Internasional (Komintern)
ke IV dari tanggal 5 November sampai 5 Desember 1921. Pada sidang ke-7
tanggal 12 November Tan Malaka mendapat kesempatan berpidato di kongres,
yang disampaikannya dalam bahasa Jerman. Di saat banyak pemimpin
Komintern yang tidak menginginkan adanya kerjasama persatuan antara kaum
muslim dengan komunis atau Pan Islamis dengan Komunisme, justru Tan
Malaka menetang pendapat tersebut dengan tegas dan penjelasan yang
menjelaskan alasan-alasan mengapa keduanya mesti bersatu. Bahkan
pidatonya yang panjang lebar itu mendapat gemuruh tepuk tangan para
hadirin. Tan mengatakan bahwa persatuan dengan Pan Islamisme menjadi hal
sangat diperlukan, sebab saat itu mereka memiliki tujuan yang sama dan
musuh yang sama, yaitu mengusir imperialisme-kapitalisme dari tanah
jajahan, sebab kebanyakan negeri yang sedang dalam ketertindasan
penjajah, kebanyakan di Asia dan Afrika mayoritas adalah bangsa-bangsa
yang masyarakatnya memeluk agama Islam. Sehingga akan menjadi kekuatan
yang besar seumpamanya Pan Islamisme bersatu dengan Komunisme melawan
kaum imperialis-kapitalis.
Orang bertanya kepada kita dalam rapat-rapat terbuka: apakah
kalian Muslim? Ya atau tidak? Percayakah kalian kepada Tuhan? Ya atau
tidak? Dan apakah yang kami jawab? Ya, saya berkata kalau saya berdiri
di depan Tuhan, saya seorang Muslim, bila saya berdiri di depan manusia
saya bukan seorang Muslim, sedangkan Tuhan telah berkata bahwa
dikalangan manusia ada banyak setan. (tanda dukungan yang ramai dari hadirin).
DAFTAR SUMBER
A. Buku
Dt. P. Simule, Kamardi Rais. Pengaruh Adat Minangkabau terhadap Gagasan dan Perjuangan Tan Malaka dalam Mencari dan Menemukan Kembali Tan Malaka. Jakarta: LPPM Tan Malaka. 2005.
Fa’al, Fahsin M. Negara dan Revolusi Sosial. Pokok-pokok Pikiran Tan Malaka. Yogyakarta: Resist Book. 2005.
Ihsanudin. Tan Malaka dan Revolusi Proletar. Yogyakarta: Resist Book. 2010.
Jarvis, Helen. Tan Malaka, Pejuang Revoulusioner atau Murtad?. Yogyakarta: Cermin. 2000.
Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1999.
Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya 2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008.
Malaka, Tan. Aksi Massa. Yogyakarta: Narasi. 2008.
Malaka, Tan. Dari Penjara ke Penjara I. Jakarta: LPPM Tan Malaka. 2007.
Malaka, Tan. Dari Penjara ke Penjara III. Jakarta: LPPM Tan Malaka. 2008.
Malaka, Tan. MADILOG. Yogyakarta: Narasi. 2010
Malaka, Tan. Naar de Republiek Indonesia. 1925.
Musdicov. Kupasan: Islam dalam Madilog Tan Malaka. Yogyakarta: N.V. Badan Usaha & Penerbit Muslimin Indonesia (B.U.P.E.M.I). 1950.
Pambudi, Eko, dkk. Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa. Seri Buku TEMPO: Bapak Pendiri Bangsa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2011.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka. 2008.
Poeze, Harry A. Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik 1897-1925. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. 2000.
Poeze, Harry A. Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik 1925-1945. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. 1999.
Prasetyo, Eko dan Aditya Permana. Waktunya Tan Malaka Memimpin. Yogyakarta: Resist Book. 2012.
Rambe, Safrizal. Pemikiran Politik Tan Malaka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Serambi. 2011.
B. Majalah
Majalah Tempo, Edisi Khusus Hari Kemerdekaan, 11-17 Agustus 2008.
No comments:
Post a Comment