Trilogi Pemerintahan Islami

WAKIL Ketua MPR, Ahmad Farhan Hamid, mengkhawatirkan Pemilu 2014 dikuasai para pemodal yang memiliki dana kampanye besar (Serambi, 25/2/2013). Kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu, karena demokrasi modern memang didesain untuk memindahkan kekuasaan dari kaum bangsawan ke kelas pemodal. Para politisi dan partai politik dibiayai para pemodal, setelah memenangkan pemilu bekerja melayani pemodal melalui regulasi-regulasi dan kebijakan pembangunan. Inilah “cacat bawaan lahir” demokrasi modern. Apakah Syariat punya jalan keluarnya?

Pertanyaan ini semakin relevan seiring dengan pemikiran terkini yang disampaikan oleh Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Prof Syahrizal Abbas. Bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh ke depan akan mengatur tata cara mengelola pemerintahan yang baik dan islami (Serambi, 28/2/2013). Tulisan ini untuk mendiskusikan lebih jauh apakah konsep pemerintahan Islami yang diusung oleh Dinas Syariat Islam, nantinya dapat mengoreksi “cacat bawaan lahir” demokrasi modern?

Saya menemukan tiga serangkai konsep kunci dalam politik Islam, yaitu hukum, hukumah, dan hukama. Ketiganya dari akar kata yang sama, hakama (ha, kaf, mim). Rancang bangun politik Aceh jika ingin memenangkan rakyat (bukan penguasa modal), harusnya dibangun di atas fondasi ketiganya. Saya ingin meletakkan fondasi pemikiran sistem politik terbaik berbasis syara’ yang akan diusung Dinas Syariat Islam Aceh.

 Hukum
Peradaban Kesultanan Aceh Darussalam menyediakan kita empat konsep terkait aturan sah, yakni adat, qanun, reusam, dan hukom. Dari cara pemisahannya, memperjelas kata ‘hukum’ bukanlah sekadar aturan. Dari banyaknya aturan berlaku, tidak semua bisa disebut hukum. Aturan-aturan yang dikeluarkan oleh majelis rakyat sebagai hasil pemufakatan dan kompromi-kompromi politik disebut qanun. Aturan-aturan yang dikeluarkan pemerintah (eksekutif) dan memiliki sanksi bagi pelanggarnya disebut adat. Aturan-aturan yang mengatur prosedur tetap atau protokoler (tidak ada sanksi bagi pelanggarnya) disebut reusam. Dan aturan-aturan bersumber dari wahyu (syariat) atau disimpulkan dari wahyu (fiqh) oleh para para mujtahid disebut hukom.

Dari kedekatan kata hukum dan hikmah (ilmu tertinggi setelah wahyu), hukum merupakan tesis-tesis atau penyimpulan-penyimpulan pemikiran para pemilik ilmu hikmah (para filsuf dan ahli makrifat). Sebagiannya dikristalkan dalam bentuk aturan-aturan dan pedoman praktis. Terkait hal ini filsuf muslim ternama abad ini, Taqi Misbah Yazdi menjelaskan, pembuatan dan pengesahan aturan-aturan dilakukan berbasis pada kriteria ketuhanan dan ilmiah, bukan kesepakatan mayoritas.

Aturan-aturan bernilai hukum karenanya tidak diproduksi oleh parlemen, tetapi oleh sekumpulan ahli hikmah lagi faqih. Posisi hukum dalam hirarki aturan di Aceh harus kembali ditempatkan pada puncak, seperti ungkapan: adat bersendikan hukum, hukum bersendikan syarak. Qanun-qanun (produksi parlemen) dan adat-adat (produksi eksekutif) bukan saja dirujuk pada hukum, bahkan diinspirasi dan dijiwai oleh nilai-nilai dan spirit kandungan hukum. Qanun-qanun dan adat-adat bisa saja dibuat atas pesanan pemodal (perusahaan-perusahaan kapitalis) yang membiayai partai politik pemenang Pemilu, tapi hukum dan lembaga pembuatnya terlindungi dari negosiasi-negosiasi “rendahan” seperti itu.

 Hukumah
Konsep hukumah (pemerintahan) sangat menentukan apakah hukum dapat melayani kebutuhan dan menyelesaikan kesulitan manusia di Aceh atau tidak. Sebagus apapun hukum, qanun, dan adat yang bisa diproduksi Aceh, tidak banyak berguna ketika konsep hukumah-nya bermasalah. Hukum dan qanun akan menjadi “macan kertas” (garang di kertas) tanpa implementasi, bila konsep hukumah-nya seperti saat ini.

Sayangnya dalam sejarah peradaban Islam, hukumah merupakan isu yang paling langka dibahas dan didiskusikan para ulama. Politik penguasa kedinastian (sejak Rumawi sampai kesultanan Aceh Darussalam) tidak menyediakan situasi kondusif bagi perbincangan bebas tentang konsep hukumah yang baik. Beberapa ulama klasik dibiarkan menulis tentang daulah Islamiah (negara Islam), bukan hukumah Islamiah (pemerintahan Islam). Daulah Islamiah bisa tidak menggunakan konsep hukumah Islamiah. Kekuasaan kaum bangsawan dan pengistimewaan darah biru dibenarkan dalam teori daulah Islamiah, tapi tertolak dalam konsep hukumah Islamiah yang menjunjung tinggi kesetaraan manusia.

Dalam pandangan saya, pemerintahan Islami dapat dibincangkan dari tiga aspek: struktur, kebijakan, dan perilaku. Secara struktur, hukumah Islamiah adalah pemerintahan hukama (filsuf, cendikia, faqih, ahli makrifat) yang di tangan mereka hukum-hukum diproduksi. Lembaga hukama dalam tata negara (atau tata-negeri Aceh) mestilah berada pada posisi tertinggi. Dalam tamadun Aceh, hukama tersusun dari Tuha Peut dan Qadhi Malikul Adil. Namun sistem kesultanan tidak memungkinkan kekuasaan tertinggi sepenuhnya berada di tangan hukama. 

Dari sisi kebijakan, pemerintahan Islami adalah pemerintahan yang menunaikan kewajiban-kewajibannya memenuhi hak-hak rakyat menurut Syariat. Dari sisi perilaku, pemerintahan Islami adalah pemerintahan yang dikelola (baik politisi maupun birokrat) dengan standar akhlak Islam.

 Hukama  
Hukama bentuk plural dari kata hakim (al-hakim). Quran menggunakan gelar al-hakim secara istimewa seperti istimewanya ilmu hikmah. Gelar al-hakim dilekatkan oleh Quran kepada Luqman. Maka hukama pada dasarnya adalah kumpulan orang-orang dengan kualitas sekelas Luqman Alhakim atau mendekatinya. Hukum (rujukan bagi qanun, adat, reusam) dan hukumah harus diserahkan ke tangan kaum hukama.

Gagasan ini secara panjang lebar diuraikan Muhsen Qarawiyon dalam teori politiknya wilayatul hakim (otoritas tertinggi pemilik ilmu hikmah). Adapun ilmu hikmah adalah ilmu tertinggi setelah wahyu. Sebagian filsuf Islam menjelaskan ilmu hikmah dengan model hikmah muta’liayah mulla sadra, yaitu gabungan dari ilmu-ilmu rasional (filsafat), Irfani (gnostik), Kalam (teologi), dan Mistisisme.

Premis-premis dasar teori wilayatul hakim adalah masyarakat manusia sarat dengan tazahum (pertentangan dan gesekan kepentingan) yang penyelesaiannya harus diserahkan kepada satu otoritas (pemerintahan), dan pemerintahan bekerja membangun qawanin (jamak dari qanun) sebagai kerangka kerja penyelesaiannya. Kandungan dan implementasi qawanin harus menjamin keadilan, dan keadilan hanya bisa diketahui dengan ilmu hikmah. Maka otoritas harus diserahkan kepada al-hakim atau hukama (para pemilik ilmu hikmah) atau orang yang lebih arif di antara manusia sekelilingnya.

Dalam peradaban politik Aceh, kualitas hukama terdapat pada Tuha Peut dan Qadhi Malikul Adil yang diisi oleh orang-orang bergelar keilmuan Teungku Chiek dan Syaikh. Saat ini, lembaga Tuha Peut dan Qadhi Malikul Adil dapat dibentuk ulang bersama Wali Nanggroe, namun Aceh kesulitan menemukan orang-orang yang punya kualitas keilmuan dan akhlak berkelas hukama untuk mengisinya.

Satu agenda strategis menjawab persoalan ini adalah menghidupkan kembali institusi-institusi dayah chiek di semua kabupaten/kota. Tentu saja dengan kurikulum dan sistem pendidikan dayah chiek terdahulu yang sudah melahirkan orang-orang sekelas Tgk Chiek Ditiro, Tgk Chiek Pante Kulu, Tgk Chiek Tanoh Abee, dan banyak lagi yang lain. Hanya orang-orang sekelas Tgk Chiek inilah yang dapat mengisi lembaga hukama.

Apakah para Tgk Chiek dengan mudah bisa dibeli oleh pengusaha (perusahaan kapitalis) seperti dibelinya para politisi pemenang pemilu? Bagi saya, hukama adalah orang-orang yang tak terbelikan. Pemerintahan di tangan mereka akan memenangkan kepentingan rakyat. Kegelisahan Farhan Hamid dapat diselesaikan dengan konsep politik terbaik ini, bukan dengan memperbaiki aspek teknis dari pemilu.  

* Affan Ramli, Petua Chiek di Perkumpulan Prodeelat. Email: fan.imamiah@gmail.com

No comments: