60 Sahabat Nabi: Abu Dzar Al Ghifari (bagian 1)

Kisah tentang sahabat Abu Dzar Al Ghifari kebanyakan hanya diulas tentang perjalanan hidupnya mencari islam. Padahal, kisah perseteruannya dengan Muawiyah dan menentang hegemoni kekuasaannya sangat patut dijadikan pelajaran, terutama untuk para pejabat dan pemegang kekuasaan. Dari aksi Abu Dzar inilah masyarakat muslim saat itu disadarkan, betapa Khalifah Ustman bin Affan “kurang” memperhatikan perilaku para pejabatnya, terutama yang berasal dari keluarganya sendiri. Dan dari sahabat mulia inilah kita bisa belajar menegakkan konsistensi keislaman kita tatkala godaan duniawi datang menerjang kehidupan. Inilah Guru Besar Islam dalam bidang kezuhudan. Ia datang ke Mekah terhuyung-huyung letih tetapi matanya bersinar bahagia . . . Memang, sulitnya perjalanan dan panasnya udara padang pasir telah menyengat badannya dengan rasa sakit dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya telah meringan­kan penderitaan dan meniupkan semangat serta rasa gembira dalam jiwanya.
Ia memasuki kota dengan menyamar. Seolah-olah ia seorang yang hendak melakukan thawaf keliling berhala-berhala besar di Ka’bah; atau seolah-olah musafir yang tersesat dalam perjalanan; atau lebih tepat orang yang telah menempuh jarak amat jauh, yang memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.
Padahal seandainya orang-orang Mekah mengetahui bahwa kedatangannya itu untuk menemui Muhammad saw. dan men­dengar keterangannya, pastilah mereka akan membunuhnya! Tetapi ia tak perduli akan dibunuh, asal saja setelah melintasi padang pasir luas, ia dapat menjumpai laki-laki yang dicarinya dan menyatakan iman kepadanya. Kebenaran dan da’wah yang diberikan Muhammad saw. dapat memuaskan hatinya.
Ia terus melangkah sambil memasang telinga, dan setiap didengarnya orang memperkatakan Muhammad saw., ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati; hingga dari cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat menunjukkan tempat persembunyian Muhammad saw., dan mempertemukannya dengan beliau.
Di suatu pagi hari, ia pergi ke tempat itu, didapatinya Mu­hammad saw. sedang duduk seorang diri. Didekatinya Rasul­ullah, katanya: “Selamat pagi, wahai kawan sebangsa!” “‘Alai­kas salam, wahai shahabat”, ujar Rasulullah.
Kata Abu Dzar: “Bacakanlah kepadaku hasil gubahan anda!” “la bukan sya’ir hingga dapat digubah, tetapi adalahQuran yang mulia!”, ujar Rasulullah: “Bacakan­lah kalau begitu!”, kata Abu Dzar pula. Maka dibaca hanlah oleh Rasulullah, sedang Abu Dzar mendengarkan dengan penuh perhatian, hingga tidak berselang lama Ia pun berseru: “Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh
“Anda dari mana, saudara sebangsa?”, tanya Rasulullah. “Dari Ghifar”, ujarnya. Maka terbukalah senyum lebar di kedua bibir Rasulullah, sementara wajahnya diliputi rasa kagum dan ta’jub. Abu Dzar tersenyum pula, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik rasa kagum Rasulullah. demi mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terns terang itu, seorang laki-laki dari Ghifar.
Ghifar adalah suatu kabilah atau suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi tamsil perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang Warn dan gelap gulita tidak menjadi soal bagi mereka,,dan celakalah orang yang kesasar atau jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam!
sekarang, di kala Agama Islam yang baru saja lahir. dan berjalan sembunyi-sembunyi, mungkinkah ada di antara orang‑ orang Ghifar itu seorang yang sengaja datang untuk masuk Islam? Berkatalah Abu Dzar dalam menceritakan sendiri kisah itu: “Maka pandangan Rasulullah pun turun naik, tak putus ta’jub memikirkan tabi’at orang-orang Ghifar, lalu sabdanya:
Sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang disukai-Nya …!
Benar, Allah menunjuki siapa yang la kehendaki! Abu Dzar salah seorang yang dikehendaki Allah beroleh petunjuk, orang yang dipilih-Nya akan mendapat kebaikan.
Dan memang, Abu Dzar ini seorang yang tajam pengamatan­nya tentang kebenaran. Menurut riwayat, ia termasuk salah seorang yang menentang pemujaan berhala di zaman jahiliyah, mempunyai kepercayaan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Pencipta.
Demikianlah, baru saja ia mendengar bangkitnya seorang Nabi yang mencela berhala serta pemuja-pemujanya dan menyeru kepada Allah Yang Maha Esa lagi Perkasa, maka ia pun menyiap­kan bekal dan segera mengayunkan langkahnya.
Abu Dzar telah masuk Islam tanpa ditunda-tunda lagi . Urutannya di kalangan Muslimin adalah yang kelima atau ke­enam. Jadi ia telah memeluk Agama itu pada hari-hari pertama, bahkan pads saat-saat pertama Agama Islam, hingga keislaman­nya termasuk dalam barisan terdepan.
Ketika ia masuk Islam, Rasulullah masih menyampaikan da’wahnya secara berbisik-bisik. Dibisikkannya kepada Abu Dzar begitu pun kepada lima orang lainnya yang telah iman kepadanya. Dan bagi Abu Dzar, tak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain memendam keimanan itu dalam dada, lalu me­ninggalkan kota Mekah secara diam-diam dan kembali kepada kaumnya.
Tetapi Abu Dzar yang nama aslinya Jundub bin Janadah, seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan tabi’atnya menentang kebathilan di mana pun ia berada. Dan sekarang kebathilan itu berada di hadapannya serta disaksikannya dengan kedua matanya sendiri . . . . Batu-batu yang ditembok, yang dibentuk oleh para pemujanya, disembah oleh orang-orang yang menundukkan kepala dan merendahkan akal mereka, dan diseru mereka dengan ucapan yang muluk: Inilah kami, kami datang demi mengikuti titahmu!
Memang, ia melihat Rasulullah memilih cara bisik-bisik pada hari-hari tersebut, tetapi tak dapat tidak harus ada suatu teriakan keras yang akan dikumandangkan pemberontak ulung ini sebelum ia pergi. Baru Baja masuk Islam, ia telah menghadap­kan pertanyaan kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, apa yang harus saya kerjakan menurut anda?” “Kembalilah kepada kaummu sampai ada perintah­ku nanti!”‘ ujar Rasulullah. “Demi Tuhan yang menguasai nyawaku’ , kata Abu Dzar pula, “soya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid!”
Bukankah telah saya katakan kepada kalian … ?
Jiwa yang radikal dan revolusioner! Apakah Abu Dzar pada saat terbukanya alam baru secara gamblang, yang jelas terlukis pada pribadi Rasulullah yang diimaninya, serta da’wah yang uraiannya disampaikan dengan lisannya . .., apakah pada saat seperti itu ia mampu kembali kepada keluarganya dalam keadaan membisu seribu bahasa? Sungguh, hal itu di luar ke­sanggupan dan kemampuannya!
Abu Dzar pergi menuju Masjidil Haram dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya suaranya: “Asyhadu alla ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah “. Setahu kita, teriakan ini merupakan teriakan pertama tentang Agama Islam yang menentang kesombongan orang-orang Quraisy dan memekakkan anak telinga mereka …. diserukan oleh seorang perantau asing,
yang di Mekah tidak mempunyai bangsa, sanak keluarga maupun pembela. Dan sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya telah dimaklumi akan ditemuinya .. . Orang-orang musyrik mengepung dan memukulnya hingga rubuh.
Berita mengenai peristiwa yang dialami Abu Dzar itu akhir­nya sampai juga kepada paman Nabi, Abbas. la segera men­datangi tempat terjadinya peristiwa tersebut, tapi dirasanya ia tak dapat melepaskan Abu Dzar dari cengkeraman mereka kecuali dengan menggunakan diplomasi halus, maka katanya kepada mereka: “Wahai kaum Quraisy! Anda semua adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat di kampung Bani Ghifar. Dan orang ini salah seorang warganya, bila ia ber­tindak akan dapat menghasut kaumnya untuk merampok kafilah­ – kafilahmu nanti!” Mereka pun sama menyadari hal itu, lalu pergi meninggalkannya.
Tetapi Abu Dzar yang telah mengenyam manisnya penderita­an dalam membela Agama Allah, tak hendak meninggalkan Mekah sebelum berhasil memperoleh tambahan dari darma baktinya.
Demikianlah pada hari berikutnya, tampak olehnya dua orang wanita sedang thawaf keliling berhala-berhala Usaf dan Na-ilah sambil memohon padanya. Abu Dzar segera berdiri menghadangnya, lalu di hadapan mereka berhala-berhala itu dihina sejadi-jadinya.
Kedua wanita itu memekik berteriak, hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana belalang, lalu menghujani Abu Dzar dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, maka yang diserunya tiada lain hanyalah “bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan Allah, dan bahwa Muham­mad itu utusan Allah”.
Maklumlah sudah Rasulullah saw. akan watak dan tabi’at murid barunya yang ulung ini serta keberaniannya yang me­nakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya sayang saatnya belum lagi tiba, maka diulanginyalah perintah agar din pulang, sampai bila telah didengarnya nanti Islam lahir secara terang‑ terangan, ia dapat kembali dan turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya . Abu Dzar kembali mendapatkan keluarga serta kaumnya dan menceritakan kepada mereka tentang Nabi yang barn diutus Allah, yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa dan membimbing mereka supaya berakhlaq mulia. seorang demi seorang kaumnya masuk Islam. Bahkan usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata, tapi dilanjutkannya pada suku lain — yaitu suku Aslam — di tengah-tengah mereka ia pancarkan cahaya Islam ….
Hari-hari berlalu mengikuti peredaran masa, Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan menetap di sana bersama Kaum Muslimin. Pada suatu hari, satu barisan panjang yang terdiri atas para pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu di belakang mereka. Kalau bukanlah bunyi suara takbir mereka yang gemuruh, tentulah.yang melihat akan menyangka mereka itu suatu pasukan tentara musyrik yang hendak menyerang kota.
Rombongan besar itu semakin dekat . . . lalu masuk ke dalam. kota … dan menujukan langkah mereka ke masjid Rasul­ullah dan tempat kediamannya.
Ternyata rombongan itu tiada lain dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan semuanya oleh Abu Dzar dan tanpa kecuali telah masuk Islam; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja dan anak-anak.
Sudah selayaknyalah Rasulullah semakin ta’jub dan kagum! Belum lama berselang, ia ta’jub ada seorang laki-laki dari Ghifar yang menyatakan keislaman di hadapannya. Sabdanya menun­jukkan keta’juban itu:
Sungguh, Allah memberi hidayah kepada siapa yang di­kehendaki-Nya.
Maka sekarang yang datang itu adalah seluruh warga Ghifar yang menyatakan keislaman mereka. Setelah beberapa tahun lamanya mereka menganut Agama itu, semenjak mereka diberi hidayah Allah di tangan Abu Dzar. Dan ikut pula bersama mereka suku Aslam. Raksasa garong dan komplotan syetan telah beralih rupa menjadi raksasa kebajikan dan pendukung kebenar­an! Nah, tidakkah sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya?
Rasulullah melayangkan pandangannya kepada wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi rasa haru dan cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, ia bersabda:
Suku Ghifar telah di-ghafar — diampuni — oleh Allah.
Kemudian sambil menghadap kepada suku Aslam, sabdanya pula :
Suku Aslam telah disalam — diterima dengan damai oleh Allah.
Dan mengenai Abu Dzar, muballigh ulung yang berjiwa,bebas dan bercita-cita mulia itu, tidakkah Rasulullah akan menyampaikan ucapan istimewa kepadanya? Tidak pelak lagi, pastilah ganjarannya tidak terhingga, serta – ucapan kepadanya dipenuhi berkah! Dan tentulah pada dadanya akan tersemat bintang tertinggi, begitu pun riwayat hidupnya akan penuh dengan medali. Turunan demi turunan serta generasi demi generasi akan berlalu pergi, tetapi manusia akan selalu meng­ulang-ulang apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. mengenai Abu Dzar ini:
Takkan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar.
Lebih benarkah ucapannya dari Abu Dzar. Sungguh, Rasulullah saw. bagai telah membaca hari depan shahabatnya itu, dan menyimpulkan kesemuanya pada kalimat, tersebut. Kebenaran yang disertai keberanian, itulah prinsip hidup Abu Dzar secara keseluruhan!
Benar bathinnya, benar pula lahirnya.
Benar ‘aqidahnya, benar pula ucapannya.
Ia akan menjalani hidupnya secara benar, tidak akan melakukan kekeliruan. Dan kebenarannya itu bukanlah keutamaan yang bisu, karena bagi Abu Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah kebenaran! Yang dikatakan benar ialah menyatakan secara ter­buka dan terus terang, yakni menyatakan yang haq dan me­nentang yang bathil, menyokong yang betul dan meniadakan yang salah.
Benar itu kecintaan penuh terhadap yang haq, mengemukakan­nya secara berani dan melaksanakannya secara terpuji.
Dengan penglihatannya yang tajam, bagai menembus ke alam ghaib yang jauh tidak terjangkau atau samudera yang tidak terselami, Rasulullah saw. menampakkan segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran dan ketegasannya. Maka selalu dipesankan kepadanya agar melatih diri dengan keshabaran dan tidak terburu nafsu.
Pads suatu hari Rasulullah mengemukakan kepadanya per­tanyaan berikut ini:
“Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?” Jawab Abu Dzar: “Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!” Sabda Rasulullah pula: “Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu . . . ? Ialah bershabar sampai kamu menemuiku “.
Tahukah anda kenapa Rasulullah mengajukan pertanyaan seperti itu? Itulah persoalan pembesar dan harta … !
Nah itulah persoalan pokok bagi Abu Dzar dan untuk itu ia harus membaktikan hidupnya, suatu kemusykilan menyangkut masyarakat ummat dan masa depan yang harus dipecahkannya!
Hal itu telah dimaklumi oleh Rasulullah, dan itulah sebabnya kepada beliau mengajukan pertanyaan seperti demikian, yaitu untuk membekalinya dengan nasihat yang amat berharga: “Ber­shabarlah sampai kamu menemuiku”.
Maka Abu Dzar akan selalu ingat kepada wasiat guru dan Rasul ini. Ia tiadalah akan menggunakan ketajaman pedang terhadap para pembesar yang mengaut kekayaan dari harta rakyat sebagai ancamannya dulu . . . , tetapi juga ia tidak akan bungkam atau berdiam diri walau agak sesaat pun terhadap mereka!
Memang, seandainya Rasulullah saw. melarangnya meng­gunakan senjata untuk menebas leher mereka, tetapi beliau tidak melarangnya menggunakan lidah yang tajam demi mem­bela kebenaran. Dan wasiat itu akan dilaksanakannya … !

No comments: